Apa yang dimaksud dengan Nifas menurut ajaran Islam?

Nifas

Nifas adalah darah yang keluar dari rahim yang disebabkan melahirkan atau setelah melahirkan. Darah nifas keluar selama 40 hari setelah melahirkan. Selama masa nifas, seorang perempuan dilarang untuk salat, puasa, dan berhubungan intim dengan suaminya.

Nifas dari segi bahasa berasal dari kata “na fi sa” yang bermaksud melahirkan. Nifas adalah darah yang keluar dari rahim yang disebabkan melahirkan atau setelah melahirkan.Darah nifas merupakan darah yang tertahan dan tidak bisa keluar dari rahim selama hamil. Ketika melahirkan, darah tersebut keluar sedikit demi sedikit. Darah yang keluar sebelum melahirkan, disertai tanda-tanda kelahiran yang disebut juga sebagai darah nifas. Dalam hal ini, para fuqaha membatasi dua atau tiga hari sebelum melahirkan. Menurut Imam Asy-Syafi’i, darah nifas adalah darah yang keluar dari rahimnya wanita yang sebelumnya mengalami kehamilan, meskipun darah yang keluar hanya berwujud segumpal darah.

Masa nifas

Masa nifas yang paling sedikit adalah beberapa saat setelah proses bersalin. Sedangkan, masa nifas yang paling lama adalah empat puluh hari, jika masa nifas lebih dari empat puluh hari dan bertepatan dengan datangnya haid pada saat sebelum hamil, maka hari yang lebih dari empat puluh hari tersebut adalah masa haid. Namun, jika darah yang keluar tersebut bukan pada waktu Haid, maka darah tersebut adalah istihadhah (penyakit). Hukum wanita yang sedang nifas sama dengan hukum wanita yang sedang haid.

Pada umumnya, batas lamanya masa nifas adalah 40 hari, dimulai sejak melahirkan atau sebelum melahirkan dengan disertai tanda-tanda kelahiran. Ummu Salamah Ra. berkata, “Wanita mengalami masa nifas pada masa Rasulullah SAW. ialah selama 40 hari“. (HR. Tirmidzi)

Apa yang dimaksud dengan Nifas menurut ajaran Islam ?

Nifas adalah pendarahan dari farji seorang wanita setelah melahirkan. Da- rah yang keluar pada dasarnya adalah darah haid yang berkumpul, tidak keluar selama perempuan itu mengandung. Apabila seorang wanita yang melahirkan anak dengan ope¬rasi cecar (membedah perutnya) kemudian bayinya dikelu- arkan dari bedahan tersebut, maka dengan sendirinya wanita tersebut tidaklah mempunyai darah nifas.

Pada umumnya, kaum wanita yang melahirkan normal dalam mengeluarkan darah nifas adalah 40 hari-malam, sedang waktu yang paling lama adalah 60 hari. Jika ada yang mengalami pendarahan lebih dari 60 hari, melebihi batas ketentuan tersebut, maka tidak lagi nifas melainkan darah istihadhah (penyakit). Hal ini sesuai dengan sabda Nabi Muhammad Saw :

Dari Ummu Salamah ra., ia berkata, “Perempuan-perempuan yang ni- fas pada masa Rasulullah berhenti (shalat) selama 40 hari. (HR. Abu Dawud)

Keluarnya darah nifas itu kadang-kadang tidak lancar, misal¬nya sehari keluar, sehari suci, begitulah seterusnya. Dalam me¬nanggapi masalah para ulama dalam madzhabnya masing-masing mengemukakan pendapatnya.

  1. Imam Maliki: Jika hari-hari suci telah mencapai setengah bulan (15 hari), maka wanita tersebut sudah dikatakan suci. Darah yang keluar sesudah itu adalah darah haid, dan jika darah yang keluar masih kurang dari lima belas hari, maka darah yang keluar adalah darah nifas.

  2. Imam Hanafi: Madzhab ini mengatakan bahwa masa suci yang berselang- seling oleh keluarnya darah nifas, maka darah itu dianggap sebagai darah nifas.

  3. Imam Syafi’i: Para ulama madzhab ini mengatakan masa suci telah berlang- sung lima belas hari atau sesudah dia melahirkan, maka wanita tersebut dihukumi sebagai wanita yang bersuci, sedangkan apabila kurang dari lima belas hari, maka dikatakan sebagai wanita nifas.

  4. Imam Hambali: Para ulama madzhab ini mengatakan bahwa masa-suci yang berselang-seling oleh keluarnya darah -nifas; maka dianggap sebagai masa suci:

Nifas bagi wanita yang melahirkan anak kembar adalah di¬hitung sejak kelahiran anak pertama. bukan kelahiran kembar kedua; sekalipun jarak antara anak kembar yang pertama dengan anak kembar yang kedua relatif pendek; maka nifasnya terhitung mulai kelahiran anak kembar pertama .

Menurut madzhab Syafi’i, bahwa apabila seorang wanita melahirkan anak kembar, maka nifasnya dihitung sejak kelahiran anak yang kedua. Darah yang keluar sehabis melahirkan anak yang pertama tidak dianggap sebagai darah nifas, tapi darah haid bila bertepatan dengan jatuhnya haid. Kalau tidak demi- kian, maka darah itu adalah darah penyakit.

Madzhab Maliki berpendapat, bahwa antara kelahiran anak pertama den- gan anak kedua sampai 60 hari, maka masa nifasnya sendiri-sendiri. Tapi kalau kurang dari 60 hari, maka masa nifasnya hanya satu dan dihitung sejak kela- hiran anak yang pertama.

Larangan bagi orang yang nifas adalah hampir sama dengan orang yang mengalami haid, yaitu:

  1. Salat
  2. Puasa
  3. Membaca Al-Qur’an
  4. Menyentuh mushaf dan membawanya
  5. Masuk masjid
  6. Thawaf.
  7. Bersetubuh.
  8. Menikmati bagian tubuh istri antara pusar dan lutut.

Nifas


Nifas adalah darah yang keluar dari rahim disebabkan kelahiran, baik bersamaan dengan kelahiran itu, sesudahnya atau sebelumnya ( 2 atau 3 hari ) yang disertai rasa sakit. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan :

“Darah yang dilihat seorang wanita ketika mulai merasa sakit adalah darah nifas”.

Beliau tidak memberikan batasan 2 atau 3 hari. Dan maksudnya yaitu rasa sakit yang kemudian disertai kelahiran. Jika tidak, maka itu bukan nifas. Para ulama berbeda pendapat tentang apakah masa nifas itu ada batas minimal dan maksimalnya. Menurut Syaikh Taqiyuddin dalam risalahnya tentang sebutan yang dijadikan kaitan hukum oleh pembawa syariat hal :

“Nifas tidak ada batas minimal maupun maksimalnya. Andaikata ada seorang wanita mendapati darah lebih dari 40, 60 atau 70 hari dan berhenti, maka itu adalah darah nifas. Namun jika berlanjut terus maka itu adalah darah kotor, dan bila demikian yang terjadi maka batasnya 40 hari, karena hal itu merupakan batas umum sebagaimana dinyatakan oleh banyak hadits."

Atas dasar ini, jika darah nifasnya melebihi 40 hari, pada hal menurut kebiasaannya sudah berhenti setelah masa itu atau tampak tanda-tanda akan berhenti dalam waktu dekat, hendaklah si wanita menunggu sampai berhenti. Jika tidak, maka ia mandi ketika sempurna 40 hari karena selama itulah masa nifas pada umumnya. Kecuali, kalau bertepatan dengan masa haidnya maka tetap menunggu sampai habis masa haidnya. Jika berhenti selama masa (40) hari, maka hendaklah hal tersebut dijadikan patokan kebiasaannya untuk dia pergunakan pada masa mendatang.

Namun jika darahnya terus menerus keluar berarti ia mustahadhah. Dalam hal ini, hendaklah ia kembali kepada hukum-hukum wanita mustahadhah yang telah dijelaskan pada sebelumnya. Adapun jika si wanita telah suci dengan berhentinya darah berarti ia dalam keadaan suci, meskipun sebelum 40 hari. Untuk itu hendaklah ia mandi, shalat, berpuasa, dan boleh digauli oleh suaminya. Terkecuali, jika berhentinya darah itu kurang dari satu hari maka hal itu tidak dihukumi suci. Demikian disebutkan dalm kitab Al Mughni.

Darah Kebiasaan Wanita Nifas tidak dapat ditetapkan, kecuali jika si wanita melahirkan bayi yang sudah berbentuk manusia, seandainya ia mengalami keguguran dan janinnya belum jelas berbentuk manusia maka darah yang keluar itu bukan darah nifas, tetapi dihukumi sebagai darah penyakit. Karena itu yang berlaku baginya adalah hukum wanita mustahadhah. Minimal masa kehamilan sehingga janin berbentuk manusia adalah 80 hari dihitung dari mulai hamil, dan pada umumnya 90 hari.Menurut Al Majd Ibnu Taimiyah, sebagaiman dinukil dalam kitab syarhul Iqna’ :

“Manakala seorang wanita mendapati darah yang disertai rasa sakit sebelum masa ( minimal ) itu, maka tidak perlu dianggap (sebagai nifas). Namun jika sesudahnya, maka ia tidak shalat dan tidak puasa. Kemudian, apabila sesudah kelahiran ternyata tidak sesuai dengan kenyataan maka ia segera kembali mengerjakan kewajiban; tetapi kalau tidak ternyata demikian, tetap berlaku hukum menurut kenyataan sehingga tidak perlu kembali mengerjakan kewajiban”.

Hukum–hukum nifas Hukum-hukum nifas pada prinsipnya sama dengan hukum-hukum haid, kecuali dalam beberapa hal berikut ini :

  1. Iddah.

    Dihitung dengan terjadinya talak, bukan dengan nifas. Sebab jika talak jatuh sebelum istri melahirkan, iddahnya akan habis karena melahirkan bukan karena nifas. Sedangkan jika talak jatuh setelah melahirkan, maka ia menunggu setelah haid lagi, sebagaimana telah dijelaskan.

  2. Masa ila’.

    Masa haid termasuk masa ila’ , sedangkan masa nifas tidak. Ila’ yaitu jika seorang suami bersumpah tidak akan menggauli istrinya selama-lamanya, atau selama lebih dari empat bulan. Apabila ia bersumpah demikian dan si istri menuntut suami menggaulinya, maka suami diberi masa empat bulan dari saat bersumpah. Setelah sempurna masa tersebut suami diharuskan menggauli istrinya, atau menceraikan atas permintaan istri. Dalam masa ila’ selama empat bulan bila si wanita mengalami nifas, tidak dihitung terhadap suami, dan ditambahkan atas empat bulan tadi selama masa nifas. Berbeda halnya dengan haid, masa haid tetap dihitung terhadap sang suami.

  3. Baligh.

    Masa baligh terjadi dengan haid, bukan dengan nifas. Karena seorang wanita tidak mungkin bisa hamil sebelum haid, maka masa baligh seorang wanita terjadi dengan datangnya haid yang mendahului kehamilan.

  4. Darah haid jika berhenti lalu kembali keluar tetapi masih dalam waktu biasanya

    Maka darah itu diyakini darah haid. Misalnya seorang wanita yang biasanya haid delapan hari, tetapi setelah empat hari haidnya berhenti selama dua hari, kemudian datang lagi pada hari ketujuh dan kedelapan, maka tak diragukan lagi bahwa darah yang kembali datang itu adalah darah haid.

Adapun darah nifas, jika berhenti sebelum empat puluh hari kemudian keluar lagi pada hari keempat puluh, maka darah itu diragukan. Karena itu wajib bagi si wanita shalat dan puasa fardhu yang tertentu waktunya pada waktunya, dan terlarang baginya apa yang terlarang bagi wanita haid, kecuali hal-hal yang wajib. Dan setelah suci, ia harus mengqadha’ apa yang diperbuatnya selama keluarnya darah yang diragukan, yaitu hal-hal yang wajib diqadha wanita haid. Inilah pendapat yang masyhur menurut para fuqaha’ dari madzhab Hanbali.

Pendapat yang benar, jika darah itu kembali keluar pada masa yang dimungkinkan masih sebagai nifas maka termasuk darah nifah. Jika tidak, maka ia darah haid. ; kecuali jika darah itu keluar terus menerus maka merupakan darah istihadhah. Pendapat ini mendekati keterangan yang disebutkan dalam kitab Al Mughni juz I, bahwa Imam Malik mengatakan :

“Apabila seorang wanita mendapati darah setelah dua atau tiga hari; yakni sejak berhentinya, maka itu termasuk nifas. Jika tidak, berarti ia darah haid”.

Pendapat ini sesuai dengan yang dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Menurut kenyataan, tidak ada sesuatu yang diragukan dalam masalah darah. Namun, keragu-raguan adalah hal yang relatif, masing-masing orang berbeda dalam hal ini sesuai dengan ilmu dan pemahamannya. Padahal Al Qur’an dan sunnah berisi penjelasan atas segala sesuatu. Allah tidak pernah mewajibkan seseorang berpuasa ataupun thawaf dua kali, kecuali jika ada kesalahan dalam tindakan pertama yang tidak dapat diatasi dengan mengqadha’. Adapun jika seseorang dapat mengerjakan kewajiban sesuai dengan kemampuannya, maka ia telah terbebas dari tanggungannya, sebagaimana firman Allah :

“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya”(QS. Al-Baqarah : 286)

“Maka bertaqwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu…”(QS. At- taghabun : 16)

  1. Dalam haid

    Jika si wanita suci sebelum masa kebiasaannya, maka suami boleh dan tidak terlarang menggaulinya. Adapun dalam nifas, jika ia suci sebelum empat puluh hari maka suami tidak boleh menggaulinya, menurut yang masyhur dalam madzhab hanbali. Tapi pendapat yang benar, menurut pendapat kebanyakan ulama, suami tidak dilarang menggaulinya. Sebab tidak ada dalil syar’i yang menunjukkan bahwa hal itu dilarang, kecuali riwayat yang disebutkan oleh Imam Ahmad dari Utsman bin Abu Al Ash bahwa istrinya datang kepadanya sebelum empat puluh hari, lalu ia berkata :

    “ jangan kau dekati aku!”.

    Ucapan utsman tersebut tidak berarti suami dilarang menggauli istrinya karena hal itu mungkin saja merupakan sikap hati-hati Utsman, yakni khawatir kalau istrinya belum suci benar, atau takut dapat mengakibatkan pendarahan disebabkan senggama atau sebab lainnya. Wallahu a’lam.

Menurut arti bahasa nifas adalah persalinan. Sedangkan menurut istilah, Nifas adalah darah yang keluar dari kemaluan wanita pada saat melahirkan atau setelahnya jika bayi lahir prematur. Pengertian dari Nifas adalah darah yang keluar dari seorang wanita karena melahirkan, meskipun anak yang di lahirkan mengalami keguguran. Ada juga pengertian Nifas adalah darah yang keluar dari rahim seorang wanita setelah selesai melahirkan, walaupun anak yang di lahirkan belum berwujud manusia atau masih berupa ‘alaqah (darah kental) atau mudghah ( segumpal daging ).

Masa Nifas

Masa minimal darah nifas itu tidak ada batasannya sama sekali. Terkadang hanya keluar pada saat melahirkan lalu setelah itu langsung mampet.Jika ini yang terjadi maka wanita yang bersangkutan wajib mandi, shalat, dan puasa. Tanda-tanda mampetnya darah nifas itu sama seperti tanda-tanda mampetnya darh haid. Dapun masa maksimal itu adalah empat puluh hari.Lebih dari itu tidak di sebut darah nifas, kecuali jika wanita itu yang bersangkutan punya kebisaaan seperti itu. Maka darah yang masih keluar darinya tetap disebut sebagai darah nifas sampai enam puluh hari. Tidak lebih dari itu.

Atas dasar ini, nifas dapat terjadi hanya sebentar saja. Jika seorang wanita melahirkan kemudian darahnya terhenti seiring dengan lahirnya si bayi, atau bahkan melahirkan tanpa mengeluarkan darah, maka habislah waaktu nifas dan sebagai konsekuensinya ia wajib melakukan semua yang di lakukan oleh orang yang suci, yaitu puasa shalat dan lain sebagainya.

Suci di antara Haid dan Nifas

Kalangan madzab Hanafi berpendapat bahwa sucu di sela-sela nifas dan haid adalah haid. Begitu pula suci di sela-sela nifas dan haid pada masa nifas menurut Abu Hanifah di anggap sebagai nifas .pendapat yang masyhur I kalangan madzab Syafi’I juga menyatakan bahwa suci yang terjadi di sela-sela nifas dan haid di di anggap sebagai nifas. Sementara itu, kalangan ulama’ Madzab Maliki dan Hambali menyatakan sebagai kondisi suci, dan wanita yang mengalaminya wajib mandi pada hari di waktu darah tersebut berhenti, juga berpuasa, shalat, dan boleh berhubungan badan.