Sebuah hadit Nabi Saw. Menyatakan: “Orang muslim adalah seorang yang bisa melindungi keselamatan orang lain dari ucapan maupun perbuatannya ”.
Muslim bukan hanya sebuah status yang disandang oleh seseorang ketika sudah mengucapkan kalimat syahadat, tetapi lebih daripada itu. Berdasarkan hadits nabi tersebut, sejatinya seorang yang dikatakan muslim adalah orang yang sudah berada pada fitrah Islam itu sendiri, yaitu Rahmatan Lil Alamin
Konsep Islam Rahmatan Lil Alamin adalah merupakan tafsir dari surat al-Ambiya ayat 107
Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.
Sementara H.M. Quraish Shihab dalam Tafsirnya al-Mishbah menafsirkan ayat tersebut dengan mengatakan:
Kami tidak mengutusmu, wahai Nabi, kecuali sebagai perwujudan kasih sayang yang menyeluruh untuk alam semesta.
Rasul adalah rahmat itu sendiri, bukan saja kedatangan beliau membawa ajaran, tetapi juga sosok dan kepribadian beliau adalah rahmat yang dianugerahkan Allah Swt kepada beliau. Ayat ini tidak menyatakan bahwa Kami Tidak mengutus engkau untuk membawa rahmat, tetapi sebagai rahmat atau agar engkau menjadi rahmat bagi seluruh alam.
Secara harfiah, al-rahmat berasal pada kata al-rahman yang mengandung arti riqqat taqtadli al-ihsan ila al-marhum wa qad tusta’malu taaratan fi al-riqqah al-mujarrodah, wa taaratan fi al-ihsan al-mujarradah an al-riffah. Yaitu suatu sikap kasih simpati yang mendorong orang untuk berbuat kebaikan kepada orang yang patut dikasihani, dan terkadang digunakan pada sikap simpati saja, dan terkadang digunakan untuk melakukan kebaikan yang tidak disertai sikap simpati.
Sedangkan kata alamin, menurut Anwar al-Baaz adalah jami’u al-khalaiq . Artinya semua makhluk ciptaan Allah. Sedangkan menurut al-Ashfahany bahwa alam terbagi dua, yaitu alam besar yang mencakup dunia antariksa dan segala isinya; dan yang kedua adalah alam yang kecil, yaitu manusia.
Sementara itu H.M. Quraish Shihab mengatakan, bahwa para mufassir memahami kata alam dalam arti kumpulan sejenis makhluk Allah yang hidup, baik hidup sempurna maupun terbatas. Hidup ditandai oleh gerak, rasa, dan tahu. Ada alam malaikat, alam manusia, alam binatang, alam tumbuh-tumbuhan, tetapi tidak ada istilah alam batu, karena batu tidak memiliki rasa, tidak bergerak, tidak juga tahu, walaupun tentang dirinya sendiri.
Namun demikian, pengertian alam dalam arti segala ciptaan alam, termasuk yang tidak memiliki kesadaran, gerak dan kehidupan nampaknya lebih tepat. Karena semua itu ciptaan Allah SWT.
Menurut Fuad Jabali dan kawan-kawan, Islam Rahmatan lil alamin artinya adalah memahami al-Qur’an dan Hadis untuk kebaikan semua manusia, alam dan lingkungan. Islam yang dibawa oleh Nabi adalah Islam untuk semua. Islam mengajarkan kasih sayang pada semua makhluk: manusia, binatang, tumbuhtumbuhan, air, tanah, api, udara dan sebagainya.
Islam memandang, bahwa yang memiliki jiwa bukan hanya manusia, tetapi juga tumbuh-tumbuhan dan binatang, karenanya mereka itu harus dikasihani. Tumbuh-tumbuhan memiliki jiwa makan (al-ghaziyah), tumbuh (al-munmiyah), dan berkembang biak (al-muwallidah) Sedangkan binatang selain memiliki jiwa sebagaimana jiwa tumbuh-tumbuhan, juga memiliki jiwa bergerak (al-muharrikah), dan menangkap (al-mudrikah) yang terdiri dari menangkap dari luar (al-mudrikah min al-kharij) dengan menggunakan pancaindera; menangkap dari dalam (al-mudrikah min al-dakhil) dengan indra bersama (al-hissi al-musytarak), daya representasi (al-khayal), daya imajinasi (al-mutakhayyialh), estimasi (alwahmiyah), dan rekoleksi (al-hafidzah).
Dengan pandangan kejiwaan ini, maka Islam mengajarkan harus santun kepada tumbuh-tumbuhan dengan cara memberikan udara untuk bernafas, sinar matahari yang cukup, pupuk dan disiram air yang cukup dengan penuh kelembutan. Dengan kasih sayang yang demikian itu, maka tumbuh-tumbuhan, pohon atau bunga terbut daunnya akan lebat, batangnya akan kuat, rantingnya akan rindah, dan buah serta bunganya akan mekar dengan segar dan mewangi yang melambangkan ucapan terima kasih kepada yang melakukannya.
Demikian pula kasih sayang dilakukan kepada binatang dengan cara memberi makan, minum, tempat tinggal, perawatan kesehatan, pelatihan dan sebagainya. Di dalam riwayat hadis dinyatakan, tentang seorang wanita pelacur masuk syurga karena memberi minum seekor anjing yang kehausan; dan seseorang yang disiksa di dalam kubur, karena menyiksa seekor kuncing yang dikatnya dan tidak diberi makan hingga mati. Dalam riwayat lain disebutkan, bahwa Nabi Muhammad SAW pernah menegur seorang sahabat yang memberi beban yang terlalu berat terhadap seekor unta hinga perutnya menyentuh tanah.
Nabi berkata kepada sahabat itu: Ittaqillah fi al-bahaim farkabuha shalihatan wa zabahuha shalihatan. Artinya: Bertakwallah kamu di dalam memperlakukan binatang ini, tunggilah dengan wajar, dan sembelihlah dengan menyenangkan.
Jika kepada tumbuh-tumbuhan dan binatang saja Islam melarang menyakitinya, apalagi terhadap manusia. Iman yang tertanam dalam jiwa manusia harus dibuktikan dengan amal shalih, sikap yang amanah, jujur dan terpercaya. Iman tanpa amal shalih dianggap iman yang palsu.
-
Ajaran ibadah shalat misalnya harus menumbuhkan sikap rendah hati, mawas diri, rasa syukur, dan kasih sayang. Hal ini lahir dari pemahaman yang mendalam dari makna gerakan, bacaan dan ucapan yang terdapat dalam ibadah shalat.
-
Ibadah puasa harus melahirkan manusia yang bertakwa yang antara lain sikap yang merasa diawasi Tuhan.
-
Zakat mendorong sikap simpati, empati dan kepedulian sosial.
-
Ibadah haji, mengajarkan sikap persaudaraan dan memberikan rahmat dan manfaat bagi seluruh manusia di dunia.
Islam sebagai rahmatan lil alamin ini secara normatif dapat dipahami dari ajaran Islam yang berkaitan dengan akidah, ibadah dan akhlak. Akidah atau keimanan yang dimiliki manusia harus melahirkan tata rabbaniy (sebuah kehidupan yang sesuai dengan aturan Tuhan), tujuan hidup yang mulia, taqwa, tawakkal, ikhlas, ibadah. Aspek akidah ini, harus menumbuhkan sikap emansipasi, mengangkat harkat dan martabat manusia, penyadaran masyarakat yang adil, terbuka, demokratis, harmoni dalam pluralisme.
Islam rahmatan lil alamin selanjutnya dapat dilihat dalam praktek ajaran Islam dalam realitas sebagaimana yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW dan para pengikutnya generasi pertama. Nabi Muhammad SAW senantiasa berfihak kepada kaum mushtad’afin, kepedulian sosial, fakir, miskin dan orang-orang yang terkena musibah.
Guna menjamin terpeliharanya hak-hak asasi manusia lebih lanjut dapat dibaca dalam Piagam Madinah yang dibuat oleh Nabi Muhammad SAW semasa di Madinah dan disepakati oleh seluruh perwakilan komunitas penduduk Madinah. Isi Piagam Madinah yang sebanyak 47 pasal itu antara lain mengandung visi etis, solidaritas, persatuan, kebebasan, pengakuan supremasi hukum, keadilan, serta kontrol sosial untuk mengajak kepada kebaikan dalam mencegah kemungkaran.
Dalam prakteknyam Nabi pernah memerintahkan mengasihi tawanan Perang Badar secara lebih baik, seperti yang dilakukan terhadap Abu Azis. Ia seorang tawanan Perang Badar yang diberi makanan yang keadaanya lebih baik dari makanan yang dimakan orang yang menawannya. Nabi Muhammad saw juga tidak pernah kehilangan kasih sayangnya karena mendapatkan perlakuan buruk dari musuh-musuhnya. Di hadapan Nabi, orang yang jahat dibalas dengan kebaikan.
Dalam sebuah riwayat tercatat, nama Suhail bin Amr yang diusulkan oleh Umar bin Khattabm agar ditarik lidahnya agar berhenti menyebarkan fitnah dan melakukan perlawanan pada Nabi. Namun Nabi berkata: Aku tidak akan memutilasinya, atau Tuhan akan memutilasiku walau aku seorang Nabi.
Contoh praktek Islam rahmatan lil alamin dapat dijumpai dalam perilaku dan hubungan antara orang Muhajirin dan Anshar. Di dalam surat al-Hayr (59) ayat 9 dinyatakan, bahwa orang-orang Anshar yang telah beriman kepada ajaran Nabi Muhammad SAW sangat menyintai orangorang Muhajirin, mereka memberikan berbagai kebutuhan orang Muhajirin, dengan ikhlas, walaupun mereka hidup dalam kekurangan.
Berkaitan dengan ayat ini, Ahmad Musthafa alMaraghi menghubungkannya dengan hadis riwayat Bukhari, Muslim, Turmudzi dan al-Nasai dari Abi Hurairah yang menceritakan kisah orang Anshar bernama Abu Thalhah yang menjamu tamunya orang Muhajirin dengan makanan bayinya, karena ia tidak punya makanan lain (karena miskinnya) kecuali makanan bayi.
Begitulah makna kata muslim, bahwa muslim sejatinya adalah sebuah kata sifat, bukan hanya sekedar kata benda atau kata keterangan.