Apa yang dimaksud dengan muslim?

muslim

Berkaca dari puisi Emha Ainun Najib dengan judul Kau Sangka Aku Muslim, membuat saya bertanya-tanya, apakah makna muslim itu sendiri.

Kau sangka aku seorang muslim
Sebab kau temukan aku bersembahyang
Padahal kau tidak bisa membaca hatiku
Kau tak tau niatku dibalik sembahyang itu
Kau pikir aku seorang yang sholeh
Karna aku tampak khusyu berpuasa
Sedangkan kau tak mengerti pikiran juga strategi dibalik ibadahku
Bahkan kau tuduh aku kiai atau ustadz
Berdasar peci, pakaian dan penampilanku
Telitilah manfaat mudarat hidupku
Sebab islam itu kata kerja ,
bukan kata benda yang kaku

(Emha Ainun Najib)

Menurut KBBI, arti dari kata muslim adalah penganut agama Islam. Tetapi apakah benar bahwa semua orang yang beragam Islam secara otomatis menjadi muslim, seperti yang juga dipertanyakan oleh Cak Nun dalam puisi di atas ?

Kalau mengacu dari artikel yang ada di wikipedia, makana muslim menjadi lebih dalam, yaitu Muslim adalah, secara harfiah, berarti “seseorang yang berserah diri kepada Allah”, karena arti dari Islam sendiri salah satunya adalah berserah diri kepada Allah SWT.

Berikut adalah pandangan yang menarik terkait dengan kata muslim, ditulis oleh Rusdiana Navlia Khulaisie, dalam tulisannya yang berjudul Hakikat kepribadian muslim, seri pemahaman jiwa terhadap konsep insan kamil

Muslim adalah orang atau seseorang yang menyerahkan dirinya secara sungguh – sungguh kepada Allah. Jadi, dapat dijelaskan bahwa “wujud pribadi muslim” itu adalah manusia yang mengabdikan dirinya kepada Allah, tunduk dan patuh serta ikhlas dalam amal perbuatannya, karena iman kepada-Nya. Pola sesorang yang beriman kepada Tuhan, selain berbuat kebajikan yang diperintahkan adalah membentuk keselarasan dan keterpaduan antara faktor iman, islam dan ikhsan.

Orang yang dapat dengan benar melaksanakan aktivitas hidupnya seperti mendirikan shalat, menunaikan zakat, orang – orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang – orang yang sabar dalam kesempitan penderitaan dan peperangan maka mereka disebut sebagai muslim yang takwa, dan dinyatakan sebagai orang yang benar.

Hal ini merupakan pola takwa sebagai gambaran dari kepribadian yang hendak diwujudkan pada manusia islam. Apakah pola ini dapat “mewujud” atau “mempribadi” dalam diri seseorang, sehingga Nampak perbedaannya dengan orang lain, karena takwanya, maka; orang itu adalah orang yang dikatakan sebagain seseorang yang mempunyai “Kepribadian Muslim”.

Secara terminologi kepribadian Islam memiliki arti serangkaian perilaku normatif manusia, baik sebagai makhluk individu maupun makhluk sosial yang normanya diturunkan dari ajaran islam dan bersumber dari Al-Quran dan al- Sunnah.

Kepribadian muslim dalam kontek ini barang kali dapat diartikan sebagai identitas yang dimiliki seseorang sebagai ciri khas bagi keseluruhan tingkah laku sebagai muslim, baik yang disampaikan dalam tingkah laku secara lahiriyah maupun sikap batinnya.

Tingkah laku lahiriyah seperti cara berkata- kata, berjalan, makan, minum, berhadapan dengan orang tua, guru, teman sejawat, sanak famili dan sebagainya.

Sedangkan sikap batin seperti penyabar, ikhlas, dan sikap terpuji yang timbul dari dorongan batin.

Kemudian ciri khas dari tingkah laku tersebut dapat dipertahankan sebagai kebiasaan yang tidak dapat dipengaruhi sikap dan tingkah laku orang lain yang bertentangan dengan sikap yang dimiliki. Ciri khas tersebut hanya mungkin dapat dipertahankan jika sudah terbentuk sebagai kebiasaan dalam waktu yang lama.

1. Kepribadian Muslim Sebagai Individu

Secara individu kepribadian Muslim mencerminkan ciri khas yang berbeda. Ciri khas tersebut diperolah berdasarkan potensi bawaan. Dengan demikian secara potensi (pembawaan) akan dijumpai adanya perbedaan kepribadian antara seorang muslim dengan orang lainnya.

Menurut Hasan Langgulung, bahwa Allah memberikan manusia beberapa potensi yang sejalan dengan sifat-sifatnya. Kepibadian secara utuh hanya mungkin dibentuk melalui pengaruh lingkungan, khususnya pendidikan. Adapun sasaran yang dituju dalam pembentukan kepribadian ini adalah kepribadian yang dimiliki akhlak yang mulia. Tingkat kemuliaan akhlak erat kaitannya dengan tingkat keimanan. Sebab Nabi mengemukakan

“ Orang mukmin yang paling sempurna imannya, adalah orang mukmin yang paling baik akhlaknya.

Disini terlihat ada dua sisi penting dalam pembentukan kepribadian muslim, yaitu iman dan akhlak. Bila iman dianggap sebagai konsep batin, maka batin adalah implikasi dari konsep itu yang tampilanya tercermin dalam sikap perilaku sehari-hari. Keimanan merupakan sisi abstrak dari kepatuhan kepada hukum- hukum Tuhan yang ditampilkan dalam lakon akhlak mulia.

Menurut Abdullah al-Darraz, pendidikan akhlak dalam pembentukan kepribadian muslim berfungsi sebagai pengisi nilai-nilai keislaman. Dengan adanya cermin dari nilai yang dimaksud dalam sikap dan perilaku seseorang maka tampillah kepribadiannya sebagai muslim.

Muhammad Darraz menilai materi akhlak merupakan bagian dari nilai-nilai yang harus dipelajari dan dilaksanakan, hingga terbentuk kecendrungan sikap yang menjadi ciri kepribadian Muslim.

Usaha yang dimaksud menurut Al-Darraz dapat dilakukan melalui cara memberi materi pendidikan akhlak berupa :

  • Pensucian jiwa Kejujuran dan benar Menguasai hawa nafsu
  • Sifat lemah lembut dan rendah hati Berhati-hati dalam mengambil keputusan Menjauhi buruk sangka
  • Mantap dan sabar
  • Menjadi teladan yang baik
  • Beramal saleh dan berlomba-lomba berbuat baik Menjaga diri (iffah)
  • Ikhlas
  • Hidup sederhana
  • Pintar mendengar dan kemudian mengikutinya (yang baik)

Pembentukan kepribadian muslim pada dasarnya merupakan upaya untuk mengubah sikap kearah kecendrungan pada nilai-nilai keislaman. Perubahan sikap, tentunya tidak terjadi secara spontan. Semua berlajan dalam sautu proses yang panjang dan berkesinambungan.

Diantara proses tersebut digambarkan oleh danya hubungan dengan obyek, wawasan, peristiwa atau ide (attitude have referent), dan perubahan sikap harus dipelajari (attitude are learned).

Menurut Al-Ashqar. Ada hubungan timbal balik antara individu dengan lingkungannya. Selanjutnya kata Al-Ashqar, jika secara konsekwen tuntutan akhlak seperti yang dipedomankan pada Al-Qur’an dapat direalisasikan dalam kehidupan sehar-hari, maka akan terlihat ciri-cirinya.

Ia memberikan rincian ciri- ciri yang dimaksud sebagai berikut:

  • Selalu menepuh jalan hidup yang didasarkan didikan ketuhanan dengan melaksanakan ibadah dalam arti luas.
  • Senantiasa berpedoman kepada petunjuk Allah untuk memperoleh bashirah (pemahaman batin) dan furqan (kemampuan membedakan yang baik dan yang buruk).
  • Kekuatan untuk menyerukan dan berbuat benar, dan selalu menyampaikan kebenaran kepada orang lain.
  • Memiliki keteguhan hati untuk berpegang kepada agamanya.
  • Memiliki kemampuan yang kuat dan tegas dalam menghadapi kebatilan.
  • Tetap tabah dalam kebenaran dalam segala kondisi.
  • Memiliki kelapangan dan ketentraman hati serta kepuasan batin hingga sabar menerima cobaan.
  • Mengetahui tujuan hidup dan menjadikan akhirat sebagai tujuan akhir yang lebih baik.
  • Kembali kepada kebenaran dengan melakukan tobat dari segala kesalahan yang pernah dibuat sebelumnya.

Setiap Muslim diajurkan untuk belajar seumur hidup, sejak lahir (dibesarkan dengan yang baik) hingga diakhir hayat. Pembentukan kepribadian Muslim secara menyeluruh adalah pembentukan yang meliputi berbagai aspek, yaitu:

  • Aspek idiil (dasar), dari landasan pemikiran yang bersumber dari ajaran wahyu.
  • Aspek materiil (bahan), berupa pedoman dan materi ajaran yang terangkum dalam materi bagi pembentukan akhlak al-karimah.
  • Aspek sosial, menitik beratkan pada hubungan yang baik antara sesama makhluk, khususnya sesama manusia.
  • Aspek teologi, pembentukan kepribadian muslim ditujukan pada pemben- tukan nilai-nilai tauhid sebagai upaya untuk menjadikan kemampuan diri sebagai pengabdi Allah yang setia.
  • Aspek teologis (tujuan), pembentukan kepribadian Muslim mempunyai tujuan yang jelas.
  • Aspek duratife (waktu), pembentukan kepribadian Muslim dilakukan sejak lahir hingga meninggal dunia.
  • Aspek dimensional, pembentukan kepribadian Muslim yang didasarkan atas penghargaan terhadap faktor-faktor bawaan yang berbeda (perbedaan individu).
  • Aspek fitrah manusia, yaitu pembentukan kepribadian Muslim meliputi bimbingan terhadap peningkatan dan pengembangan kemampuan jasmani, rohani dan ruh.

2. Kepribadian Muslim Sebagai Ummah.

Komunitas Muslim (kelompok seakidah) ini disebut ummah. Individu merupakan unsur dalam kehidupan masyarakat. Maka dengan membentuk kesatuan pandangan hidup pada setiap individu, rumah tangga, diharapkan akan ikut mempengaruhi sikap dan pandangan hidup dalam masyrakat, bangsa, dan ummah. Adapun pedoman untuk mewujudkan pembentukan hubungan itu secara garis besarnya terdiri atas tiga macam usaha, yakni :

  1. memberi motivasi untuk berbuat baik,
  2. mencegah kemungkaran dan,
  3. beriman kepada Allah.

Untuk memenuhi tiga persyaratan itu, maka usaha pembentukan kepribadian Muslim sebagai ummah dilakukan secara bertahap, sesuai dengan ruang lingkup dan kawasan yang menjadi lingkungan masing-masing.

Abdullah al-Daraz membagi kegiatan pembentukan itu menjadi empat tahap meliputi:

  • Pembentukan nilai-nilai Islam dalam keluarga
    Bentuk penerapannya adalah dengan cara melaksanakan pendidikan akhlak dilingkungan keluarga.

    Pembentukan nilai-nilai Islam dalam keluarga dinilai penting. Pertama, keluarga paling berpotensi untuk membentuk nilai– nilaid asar, karena lingkungan sosial pertama kali yang dikenal anak. Kedua, Keluraga menempati peran penting dalam pembentukan masyarakat. Keluarga senagai organisasi sosial yang paling kecil, tapi mempengaruhi masa depan suatu masyarakat.

  • Pembentukan nilai-nilai dalam hubungan sosial
    Kegiatan hubungan sosial mencakup upaya penerapan nilai-nilai akhlak dalam pergaulan sosial

  • Membentuk nilai-nilai Islam dalam kehidupan berbangsa.
    Adapun upaya untuk membentuk nilai-nilai Islam dalam konteks ini adalah:

    • Kepala negara menerapkan prinsip musyawarah, adil, jujur, dan tanggung jawab.
    • Masyarakat Muslim berkewajiban mentaati peraturan, menghindarkan dari perbuatan yang merugikan keharmonisan hidup berbangsa.
  • Pembentukan Nilai-nilai Islam dalam Hubungannya dengan Allah.
    Baik secara individu atau secara ummah, kaum muslimin diharuskan untuk senantiasa menjaga hubungan yang baik dengan Allah SWT. Nilai-nilai Islam yang diterapkan dalam membina hubungan itu mencakup:

    • Senantiasa beriman kepada Allah. Bertaqwa kepada-Nya
    • Menyatakan syukur atas segala nikmat Allah dan tidak berputus asa dalam mengaharapkan rahmat-Nya.
    • Berdo’a kepada Allah, mensucikan diri, mengagungkan-Nyaserta senantiasa mengingat-Nya
    • Menggantungkan niat atas segala perubahan kepada-Nya.

    Realisasi dari pembinaan hubungan yang baik kepada Allah ini adalah cinta kepada Allah. Puncaknya adalah menempatkan rasa cinta kepada-Nya dan kepada Rasul-Nya. Dengan menerapkan kecintaan kepada Allah dan Rasul-Nya diatas segalanya, diharapkan kepribadian Muslim sebagai individu maupun sebagai ummah akan membuahkan sikap untuk lebih mendahulukan kepentingan melaksanakan perintah khalikNya dari kepentingan lain.

    Pembentukan kepibadian Muslim sebagai individu, keluarga, masyarakat, maupun ummah pada hakikatnya berjalan seiring dan menuju ketujuan yang sama. Tujuan utamanya adalah guna merealisasikan diri, baik secara pribadi (individu) maupun secara komunitas (ummah) untuk menjadi pengabdi Allah yang setia. Pada tingkat ini terlihat bahwa filsafat pendidikan Islam memiliki sifat yang mendasar (sejalan dengan fitrah), universal (umum) dan terarah pada tujuan yang didasarkan atas konsep yang jelas dan benar adanya.

3. Kepribadian Muslim Sebagai Khalifah

Allah sebagai pencipta memberi pernyataan, bahawa ia mampu untuk menadikan manusia umat yang sama. Dalam hal ini ternyata Al-Qur’an telah memeberi jalan keluar untuk menggalang persatuan dan kesatuan manusia, yang memilikilatar belakang perbedaan suku, bangsa dan ras.

Mengacu pada pengertian tersebut, setidak-tidaknya dijumpai empat aspek yang tercakup dalam pengertian ukhuwah, yaitu:

  • Ukhuwah fi al-ubudiyyat, yang mengadung arti persamaan dalam ciptaan dan ketundukan kepada Allah sebagai pencipta. Pesamaan seperti ini mencakup persamaan antara sesama makhluk ciptaan Allah.

    Dan tiadalah binatang-binatang yang ada di bumi dan burung-burung yang terbang dengan kedua sayapnya, melainkan umat (juga) seperti kamu. Tiadalah Kami alpakan sesuatupun dalam Al-Kitab, kemudian kepada Tuhanlah mereka dihimpunkan. Surat Al-An’am Ayat 38

  • Ukhuwah fi al-insaniyyat, merujuk kepada pengertian bahwa manusia memiliki persamaan dalam asal keturunan.

    Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling takwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. Surat Al-Hujurat Ayat 13

  • Ukhuwah fi al-wathaniyyat wa al nasab, yang meletakkan dasar persamaan pada unsur bangsa dan hubungan pertalian darah.

  • Ukhuwah fi din al-Islam, yang mengacu pada persamaan keyakinan (agama) yang dianut, yaitu Islam.

Dasar ini menempatkan kaum muslimin sebagai saudara, karena memiliki akidah yang sama.Mengacu pada pokok permasalahan diatas, terlihat bahwa kekhalifahan manusia bukan sekedar jabatan yang biasa. Dengan jabatan tersebut manusia dituntut untuk bertanggung jawab terhadap kehidupan dan pemeliharaan ciptaan Tuhan di muka bumi. Untuk itu manusia manusia dapat mengemban amanat Allah baerupa kreasi yang didasarkan atas norma-norma ilahiyat.

Sebagai khalifah manusia dituntut untuk memiliki rasa kasih sayang, yang sekaligus menjadi identitasnya. Sifat kasih sayang adalah cerminan dari kecenderungan manusia untuk meneladani sifat Allah Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Sebagai khalifaeh juaga manusia diserahkan amanta untuk mengatur kehidupan di bumi, manusia tak terlepas dari keterikatannya dengan sang Pencipta. Dalam hal ini manusia dituntut untuk bersyukur terhadap keberadaannya dan lingkungan hidupnya.

Kepribadian khalifah tergabung dalam empat sisi yang saling berkaitan, keempat sisi itu adalah:

  1. mematuhi tugas yang diberikan Allah,
  2. menerima tugas tersebut dan meleksanakannya dalam kehidupan perorangan maupun kelompok,
  3. memelihara serta mengelola lingkungan hidup untuk kemanfaatan bersama,
  4. Menjadikan tugas-tugas khalifah sebagai pedoman pelaksanaannya.

Gambaran dari kepribadian Muslim terangkum dalam sosok individu yang segala aktivitasnya senantiasa didasarkan kepeda atas Nama Allah, sekaligus dalam ridho Allah. Kesadaran dan keterikatan dengan nilai-nilai ilahiyat ini merupakan acuan dasar bagi setiap aktivitas yang dilakukannya.

Sebuah hadit Nabi Saw. Menyatakan: “Orang muslim adalah seorang yang bisa melindungi keselamatan orang lain dari ucapan maupun perbuatannya ”.

Muslim bukan hanya sebuah status yang disandang oleh seseorang ketika sudah mengucapkan kalimat syahadat, tetapi lebih daripada itu. Berdasarkan hadits nabi tersebut, sejatinya seorang yang dikatakan muslim adalah orang yang sudah berada pada fitrah Islam itu sendiri, yaitu Rahmatan Lil Alamin

Konsep Islam Rahmatan Lil Alamin adalah merupakan tafsir dari surat al-Ambiya ayat 107

Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.

Sementara H.M. Quraish Shihab dalam Tafsirnya al-Mishbah menafsirkan ayat tersebut dengan mengatakan:

Kami tidak mengutusmu, wahai Nabi, kecuali sebagai perwujudan kasih sayang yang menyeluruh untuk alam semesta.

Rasul adalah rahmat itu sendiri, bukan saja kedatangan beliau membawa ajaran, tetapi juga sosok dan kepribadian beliau adalah rahmat yang dianugerahkan Allah Swt kepada beliau. Ayat ini tidak menyatakan bahwa Kami Tidak mengutus engkau untuk membawa rahmat, tetapi sebagai rahmat atau agar engkau menjadi rahmat bagi seluruh alam.

Secara harfiah, al-rahmat berasal pada kata al-rahman yang mengandung arti riqqat taqtadli al-ihsan ila al-marhum wa qad tusta’malu taaratan fi al-riqqah al-mujarrodah, wa taaratan fi al-ihsan al-mujarradah an al-riffah. Yaitu suatu sikap kasih simpati yang mendorong orang untuk berbuat kebaikan kepada orang yang patut dikasihani, dan terkadang digunakan pada sikap simpati saja, dan terkadang digunakan untuk melakukan kebaikan yang tidak disertai sikap simpati.

Sedangkan kata alamin, menurut Anwar al-Baaz adalah jami’u al-khalaiq . Artinya semua makhluk ciptaan Allah. Sedangkan menurut al-Ashfahany bahwa alam terbagi dua, yaitu alam besar yang mencakup dunia antariksa dan segala isinya; dan yang kedua adalah alam yang kecil, yaitu manusia.

Sementara itu H.M. Quraish Shihab mengatakan, bahwa para mufassir memahami kata alam dalam arti kumpulan sejenis makhluk Allah yang hidup, baik hidup sempurna maupun terbatas. Hidup ditandai oleh gerak, rasa, dan tahu. Ada alam malaikat, alam manusia, alam binatang, alam tumbuh-tumbuhan, tetapi tidak ada istilah alam batu, karena batu tidak memiliki rasa, tidak bergerak, tidak juga tahu, walaupun tentang dirinya sendiri.

Namun demikian, pengertian alam dalam arti segala ciptaan alam, termasuk yang tidak memiliki kesadaran, gerak dan kehidupan nampaknya lebih tepat. Karena semua itu ciptaan Allah SWT.

Menurut Fuad Jabali dan kawan-kawan, Islam Rahmatan lil alamin artinya adalah memahami al-Qur’an dan Hadis untuk kebaikan semua manusia, alam dan lingkungan. Islam yang dibawa oleh Nabi adalah Islam untuk semua. Islam mengajarkan kasih sayang pada semua makhluk: manusia, binatang, tumbuhtumbuhan, air, tanah, api, udara dan sebagainya.

Islam memandang, bahwa yang memiliki jiwa bukan hanya manusia, tetapi juga tumbuh-tumbuhan dan binatang, karenanya mereka itu harus dikasihani. Tumbuh-tumbuhan memiliki jiwa makan (al-ghaziyah), tumbuh (al-munmiyah), dan berkembang biak (al-muwallidah) Sedangkan binatang selain memiliki jiwa sebagaimana jiwa tumbuh-tumbuhan, juga memiliki jiwa bergerak (al-muharrikah), dan menangkap (al-mudrikah) yang terdiri dari menangkap dari luar (al-mudrikah min al-kharij) dengan menggunakan pancaindera; menangkap dari dalam (al-mudrikah min al-dakhil) dengan indra bersama (al-hissi al-musytarak), daya representasi (al-khayal), daya imajinasi (al-mutakhayyialh), estimasi (alwahmiyah), dan rekoleksi (al-hafidzah).

Dengan pandangan kejiwaan ini, maka Islam mengajarkan harus santun kepada tumbuh-tumbuhan dengan cara memberikan udara untuk bernafas, sinar matahari yang cukup, pupuk dan disiram air yang cukup dengan penuh kelembutan. Dengan kasih sayang yang demikian itu, maka tumbuh-tumbuhan, pohon atau bunga terbut daunnya akan lebat, batangnya akan kuat, rantingnya akan rindah, dan buah serta bunganya akan mekar dengan segar dan mewangi yang melambangkan ucapan terima kasih kepada yang melakukannya.

Demikian pula kasih sayang dilakukan kepada binatang dengan cara memberi makan, minum, tempat tinggal, perawatan kesehatan, pelatihan dan sebagainya. Di dalam riwayat hadis dinyatakan, tentang seorang wanita pelacur masuk syurga karena memberi minum seekor anjing yang kehausan; dan seseorang yang disiksa di dalam kubur, karena menyiksa seekor kuncing yang dikatnya dan tidak diberi makan hingga mati. Dalam riwayat lain disebutkan, bahwa Nabi Muhammad SAW pernah menegur seorang sahabat yang memberi beban yang terlalu berat terhadap seekor unta hinga perutnya menyentuh tanah.

Nabi berkata kepada sahabat itu: Ittaqillah fi al-bahaim farkabuha shalihatan wa zabahuha shalihatan. Artinya: Bertakwallah kamu di dalam memperlakukan binatang ini, tunggilah dengan wajar, dan sembelihlah dengan menyenangkan.

Jika kepada tumbuh-tumbuhan dan binatang saja Islam melarang menyakitinya, apalagi terhadap manusia. Iman yang tertanam dalam jiwa manusia harus dibuktikan dengan amal shalih, sikap yang amanah, jujur dan terpercaya. Iman tanpa amal shalih dianggap iman yang palsu.

  • Ajaran ibadah shalat misalnya harus menumbuhkan sikap rendah hati, mawas diri, rasa syukur, dan kasih sayang. Hal ini lahir dari pemahaman yang mendalam dari makna gerakan, bacaan dan ucapan yang terdapat dalam ibadah shalat.

  • Ibadah puasa harus melahirkan manusia yang bertakwa yang antara lain sikap yang merasa diawasi Tuhan.

  • Zakat mendorong sikap simpati, empati dan kepedulian sosial.

  • Ibadah haji, mengajarkan sikap persaudaraan dan memberikan rahmat dan manfaat bagi seluruh manusia di dunia.

Islam sebagai rahmatan lil alamin ini secara normatif dapat dipahami dari ajaran Islam yang berkaitan dengan akidah, ibadah dan akhlak. Akidah atau keimanan yang dimiliki manusia harus melahirkan tata rabbaniy (sebuah kehidupan yang sesuai dengan aturan Tuhan), tujuan hidup yang mulia, taqwa, tawakkal, ikhlas, ibadah. Aspek akidah ini, harus menumbuhkan sikap emansipasi, mengangkat harkat dan martabat manusia, penyadaran masyarakat yang adil, terbuka, demokratis, harmoni dalam pluralisme.

Islam rahmatan lil alamin selanjutnya dapat dilihat dalam praktek ajaran Islam dalam realitas sebagaimana yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW dan para pengikutnya generasi pertama. Nabi Muhammad SAW senantiasa berfihak kepada kaum mushtad’afin, kepedulian sosial, fakir, miskin dan orang-orang yang terkena musibah.

Guna menjamin terpeliharanya hak-hak asasi manusia lebih lanjut dapat dibaca dalam Piagam Madinah yang dibuat oleh Nabi Muhammad SAW semasa di Madinah dan disepakati oleh seluruh perwakilan komunitas penduduk Madinah. Isi Piagam Madinah yang sebanyak 47 pasal itu antara lain mengandung visi etis, solidaritas, persatuan, kebebasan, pengakuan supremasi hukum, keadilan, serta kontrol sosial untuk mengajak kepada kebaikan dalam mencegah kemungkaran.

Dalam prakteknyam Nabi pernah memerintahkan mengasihi tawanan Perang Badar secara lebih baik, seperti yang dilakukan terhadap Abu Azis. Ia seorang tawanan Perang Badar yang diberi makanan yang keadaanya lebih baik dari makanan yang dimakan orang yang menawannya. Nabi Muhammad saw juga tidak pernah kehilangan kasih sayangnya karena mendapatkan perlakuan buruk dari musuh-musuhnya. Di hadapan Nabi, orang yang jahat dibalas dengan kebaikan.

Dalam sebuah riwayat tercatat, nama Suhail bin Amr yang diusulkan oleh Umar bin Khattabm agar ditarik lidahnya agar berhenti menyebarkan fitnah dan melakukan perlawanan pada Nabi. Namun Nabi berkata: Aku tidak akan memutilasinya, atau Tuhan akan memutilasiku walau aku seorang Nabi.

Contoh praktek Islam rahmatan lil alamin dapat dijumpai dalam perilaku dan hubungan antara orang Muhajirin dan Anshar. Di dalam surat al-Hayr (59) ayat 9 dinyatakan, bahwa orang-orang Anshar yang telah beriman kepada ajaran Nabi Muhammad SAW sangat menyintai orangorang Muhajirin, mereka memberikan berbagai kebutuhan orang Muhajirin, dengan ikhlas, walaupun mereka hidup dalam kekurangan.

Berkaitan dengan ayat ini, Ahmad Musthafa alMaraghi menghubungkannya dengan hadis riwayat Bukhari, Muslim, Turmudzi dan al-Nasai dari Abi Hurairah yang menceritakan kisah orang Anshar bernama Abu Thalhah yang menjamu tamunya orang Muhajirin dengan makanan bayinya, karena ia tidak punya makanan lain (karena miskinnya) kecuali makanan bayi.

Begitulah makna kata muslim, bahwa muslim sejatinya adalah sebuah kata sifat, bukan hanya sekedar kata benda atau kata keterangan.