Apa yang dimaksud dengan munakahad atau pernikahan?

Kata nikah berasal dari bahasa arab yang didalam bahasa Indonesia sering diterjemahkan dengan perkawinan. Apa yang dimaksud dengan munakahad atau pernikahan?

Perkawinan ialah akad yang menghalalkan di antara lelaki dengan perempuan hidup bersama dan menetapkan tiap-tiap pihak dari pada mereka hak-hak dan tanggung jawab. Dalam arti kata lain, suatu akad yang menghalalkan persetubuhan dengan sebab perkataan yang mengandungi lafaz nikah, perkawinan dan sebagainya.
Berikut dinyatakan beberapa ayat Al-Quran Al-Karim mengenai perkawinan dan tujuan-tujuan di syariatkannya.
Allah berfirman dalam surah An-Nisaa’ ayat 3,

“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya”.

Dari ayat tersebut di atas, dapat diambil penjelasan bahawa seorang lelaki disuruh oleh Allah SWT untuk berkahwin jika berkemampuan, sehingga kepada empat orang isteri dengan cara berlaku adil terhadap mereka seperti mana yang ditentukan oleh syarak. Sebaliknya jika bimbang tidak dapat berlaku adil maka berkawinlah dengan seorang sahaja.

Perkawinan hendaklah diasaskan kepada beberapa faktor penting untuk menjamin kebahagiaan antaranya ialah :

  • Perkawinan diasaskan dengan rasa taqwa kepada Allah. Tanpa taqwa, dikewhatiri perkawinan itu tidak akan mencapai kepada matlamatnya, tambahan pula berkawin itu juga merupakan ibadat dan sunnah.
  • Perkawinan hendaklah juga diasaskan kepada rasa Al Mawaddah dan Ar Rahman. Tanpa dua perkara ini perkahwinan akan hancur dan tinggallah cita-cita sahaja.
  • Sesebuah rumah tangga juga perlu diasaskan kepada dasar hidup bersama secara yang baik dan diredhai Allah SWT. Maka itulah yang biasa disebut Al Mu’assarah Bi Al Maaruf.
  • Perkawinan juga berasaskan kepada amanah dan tanggung jawab bukannya kehendak nafsu semata-mata. Suatu amanah hendaklah ditunaikan dengan sebaik-baiknya, sementara tanggung jawab dilaksanakan
    dengan jujur dan ikhlas hati.

http://khairulmuklis.blogspot.co.id/

Kata nikah berasal dari bahas arab nikaahun yang merupakan masdar atau kata asal dari kata nakaha. sinonimnya tazawwaja kemudian diterjemahkan dalam bahasa indonesia sebagaimana yang disebut perkawinan.

Sedangkan secara bahasa kata nikah berarti adh-dhammu wattadakhul (bertindih dan memasukkan) oleh karena itu menurut kebiasaan arab, pergesekan rumpun pohon seperti pohon bambu akibat tiupan angin diistilahkan dengan tanakahatil asyjar (rumpun pohon itu sedang kawin), karena tiupan angin itu terjadi pergesekan dan masuknya rumpun yang satu keruang yang lain.

  1. Perkawinan menurut istilah sama dengan kata ”nikah” dan kata ”zawaj”.
  2. Ulama golongan syafi’iyah memberikan definisi nikah melihat kepada hakikat dari akad itu bila dihubungkan dengan kehidupan suami istri yang berlaku sesudahnya, yaitu boleh bergaul sedang sebelum akad berlangsung diantara keduanya tidak boleh bergaul.

Sebagaimana dikalangan ulama syafi’i merumuskan pengertian nikah adalah : “Akad/perjanjian yang mengandung maksud membolehkan hubungan kelamin dengan menggunakan lafadz na-ka-ha atau za-wa-ja atau yang semakna dengan keduanya.

Sejalan dengan pendapat di atas, ulama Hanafiyah juga memberikan definisi sebagai berikut : “Akad yang ditentukan untuk memberi hak kepada seorang lakilaki menikmati kesenangang dengan seorang perempuan secara sengaja”.

Definisi-definisi yang diberikan beberapa pendapat imam mazhab, para mujtahid sepakat bahwa nikah adalah suatu ikatan yang dianjurkan syariat. Orang yang sudah berkeinginan untuk menikah dan khawatir terjerumus ke dalam perbuatan zina, sangat dianjurkan untuk melaksanakan nikah. Yang demikian itu adalah lebih utama dari pada haji, sholat, jihat, dan puasa sunnah.

Selain itu nikah dalam arti hukum ialah akad (perjanjian) yang menjadikan halal hubungan seksual sebagai suami istri antara seorang pria dan seorang wanita. Pengertian perkawinan menurut Undang-undang Perkawinan adalah : Ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) di Indonesia disebutkan bahwa : Perkawinan menurut hukum Islam adalah “akad yang sangat kuat atau miitsaqon gholiidhon untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah. Ungkapan “akad yang sangat kuat atau miitsaqon gholiidhon” merupakan penjelasan dari Ungkapan “ikatan lahir batin” yang terdapat dalam rumusan UU No 1/1974 tentang Perkawinan yang mengandung arti bahwa akad perkawinan bukanlah semata perjanjian yang bersifat keperdataan.

Sedangkan ungkapan “untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah” merupakan penjelasan dari ungkapan “Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” dalam rumusan UU No 1/1974 tentang Perkawinan. Hal ini menjelaskan bahwa perkawinan bagi umat Islam adalah merupakan peristiwa agama dan oleh karena itu orang yang melaksanakannya telah melakukan perbuatan ibadah.

Oleh karena perkawinan merupakan perbuatan ibadah maka perempuan yang telah menjadi istri merupakan amanah Allah yang harus di jaga dan diperlakukan dengan baik, karena ia di ambil melalui prosesi keagamaan dalam akad nikah.

Dasar Hukum Perkawinan

Dalam pandangan Islam, perkawinan di samping sebagai perbuatan ibadah, ia juga merupakan sunnah Allah dan sunnah Rasul-Nya. Sebagai sunnah Allah, perkawinan merupakan qudrat dan irodat Allah dalam penciptaan alam semesta.

  1. Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu. (Q.S. An-Nisaa’ : 1)

  2. ”Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. dan Allah Maha Luas (pemberianNya) lagi Maha mengetahui” .(Q.S. An-Nuur : 32).

  3. ”Wahai para pemuda, siapa saja diantara kalian yang telah memiliki kemampuan untuk menikah, hendaklah dia menikah; karena menikah lebih menundukkan pandangan dan lebih menjaga kemaluan. Adapun bagi siapa saja yang belum mampu menikah, hendaklah ia berpuasa; karena berpuasa itu merupakan peredam (syahwat)nya”.

Berkaitan dengan hal diatas, maka disini perlu dijelaskan beberapa hukum dilakukannya perkawinan, yaitu :

  1. Wajib
    Perkawinan berhukum wajib bagi orang yang telah mempunyai kemauan dan kemampuan untuk kawin dan dikhawatirkan akan tergelincir pada perbuatan zina seandainya tidak kawin. Hal ini didasarkan pada pemikiran hukum bahwa setiap muslim wajib menjaga diri untuk tidak berbuat yang terlarang, sedang menjaga diri itu wajib, maka hukum melakukan perkawinan juga wajib.

  2. Sunnat
    Perkawinan itu hukumnya sunnat menurut pendapat jumhur ulama’. Yaitu bagi orang yang telah mempunyai kemauan dan kemampuan untuk melangsungkan perkawinan tetapi kalau tidak kawin tidak dikhawatirkan akan berbuat zina.

  3. Haram
    Bagi orang yang tidak mempunyai keinginan dan tidak mempunyai kemampuan serta tanggung jawab untuk melaksanakan kewajiban-kewajiban dalam rumah tangga, sehingga apabila dalam melangsungkan perkawinan akan terlantarlah diri dan istrinya. Termasuk juga jika seseorang kawin dengan maksud untuk menelantarkan orang lain, masalah wanita yang dikawini tidak di urus hanya agar wanita tersebut tidak dapat kawin dengan orang lain.

  4. Makruh
    Bagi orang yang mempunyai kemampuan untuk melakukan perkawinan juga cukup mempunyai kemampuan untuk menahan diri sehingga tidak memungkinkan dirinya tergelincir berbuat zina sekiranya tidak kawin. Hanya saja orang ini tidak mempunyai keinginan yang kuat untuk dapat memenuhi kewajiban sebagai suami istri yang baik.

  5. Mubah
    Bagi orang yang mempunyai kemampuan untuk melakukannya, tetapi apabila tidak melakukannya tidak khawatir akan berbuat zina dan apabila melakukannya juga tidak akan menelantarkan istri. Perkawinan orang tersebut hanya didasarkan untuk memenuhi kesenangan bukan dengan tujuan menjaga kehormatan agamanya dan membina keluarga yang sejahtera.

Syarat Dan rukun Perkawinan

Setiap perbuatan hukum harus memenuhi dua unsur yaitu rukun dan syarat. Rukun ialah unsur pokok (tiang) dalam setiap perbuatan hukum. Sedangkan syarat ialah unsur pelengkap dalam setiap perbuatan hukum. Jika kedua unsur ini tidak terpenuhi maka perbuatan itu dianggap tidak sah menurut hukum.

Rukun juga bisa diartikan dengan sesuatu yang mesti ada sebagai penentu sah dan tidaknya suatu pekerjaan (ibadah), dan sesuatu itu termasuk dalam rangkaian pekerjaan tersebut. Seperti membasuh muka untuk wudlu’ dan takbirotul ihrom untuk sholat, atau adanya calon pengantin laki-laki dan perempuan dalam perkawinan.

Tentang jumlah rukun nikah ini para Imam Madzhab berbeda pendapat dalam menentukanya. Imam Malik mengatakan rukun nikah itu ada lima macam, yaitu : wali dari pihak perempuan, mahar (mas kawin), calon pengantin laki-laki, calon pengantin perempuan, dan sighat akad nikah.

Imam Syafi’i juga menyebutkan lima, yaitu calon pengantin lakilaki, calon pengantin perempuan, wali, dua orang saksi dan sighat akad nikah. Sedangkan menurut para ulama madhzab Hanafiyah menyebutkan rukun nikah itu hanya ada satu yaitu ijab dan qobul (akad yang dilakukan oleh pihak wali perempuan dan calon pengantin laki-laki). Sedang menurut segolongan ulama yang lain menyebutkan rukun nikah ada empat, yaitu : sighat (ijab dan qobul), calon pengantin perempuan, calon pengantin laki-laki, dan wali dari pihak calon pengantin perempuan.

Dalam KHI, tentang rukun nikah ini disebutkan dalam Pasal 14 yaitu ”untuk melaksanakan perkawinan harus ada : calon suami, calon istri, wali nikah, dua orang saksi dan ijab serta qabul. Dari uraian diatas, jumhur ulama telah sepakat bahwa rukun perkawinan terdiri atas :

  1. Adanya calon suami dan istri yang akan melakukan perkawinan
  2. Adanya wali dari pihak calon pengantin wanita,
  3. Adanya dua orang saksi,
  4. Adanya sighat akad nikah, yaitu ijab kabul yang di ucapkan oleh wali atau wakilnya dari pihak perempuan dan dijawab oleh calon pengantin laki-laki.

Syarat perkawinan merupakan dasar sah tidaknya suatu perkawinan. Apabila syarat-syaratnya terpenuhi, maka perkawinan itu sah dan menimbulkan adanya segala hak dan kewajiban sebagai suami istri. Adapun syarat-syarat yang harus terpenuhi dari perkawinan antara lain yaitu :

  1. Calon suami dengan syarat-syarat
  • Beragama Islam
  • Laki-laki
  • Jelas orangnya (bukan khuntha muskhil)
  • Dapat memberikan persetujuan
  • Tidak terdapat halangan melakukan perkawinan
  1. Calon istri dengan syarat-syarat
  • Beragama, meskipun yahudi atau nashrani
  • Perempuan (bukan khuntha mushkil)
  • Jelas orangnya
  • Dapat dimintai persetujuannya
  • Tidak terdapat halangan melakukan perkawinan
  1. Wali nikah dengan syarat-syarat
  • Laki-laki
  • Dewasa
  • Mempunyai hak perwalian
  1. Saksi nikah dalam perkawinan harus memenuhi beberapa syarat berikut ini
  • Minimal dua orang laki-laki
  • Hadir dalam ijab qabul
  • Dapat mengerti maksud akad
  • beragama islam
  • bersikap adil
  • dewasa
  1. Ijab qobul dengan syarat-syarat
  • dilakukan dengan bahasa yang mudah dimengerti kedua belah pihak (pelaku akad dan penerima aqad dan saksi).
  • singkat hendaknyamenggunakan ucapan yangmenunjukkan waktu lampau atau salah seorang menggunakan kalimat yang menunjukkan waktu lampausedang lainnya dengan kalimat yang mennjukkan waktu yang akan datang.