Apa yang dimaksud dengan Mioma Uteri?


Apa yang dimaksud dengan Mioma Uteri ?

Mioma Uteri merupakan tumor jinak otot rahim diseratai jaringan ikatnya sehingga dapat dalam bentuk padat, karena jaringan ikatnya dominan dan lunak, karena otot rahimnya dominan (Manuaba,2010)

Mioma Uteri merupakan Neoplasma jinak yang berasal dari otot uterus dan jaringan ikat yang manumpangnya, sehingga dalam kepustakaan dikenal juga istilah fibromioma, leiomyoma ataupun fibroid. (Prawirohardjo,2009)

Dalam jurnal Fertility Research and Practice (2016) Sarkodie et al menyatakan Mioma Uteri yang juga dikenal sebagai leiomyoma rahim, merupakan tumor jinak yang berkembang di otot dinding rahim. Merupakan tumor non-kanker yang berasal dari miometrium.

Jadi Mioma Uteri adalah salah satu tumor jinak otot rahim yang disertai jaringan ikatnya. Mioma uteri berasal dari otot polos jaringan fibrous, sehingga mioma uteri dapat berkonsistensi padat jika jaringan ikatnya dominan dan berkonsistensi lunak jika otot rahimnya yang dominan.

Etiologi

Hal yang mendasari tentang penyebab mioma uteri belum diketahui secara pasti, diduga merupakan penyakit multifaktoral. Dipercayai bahwa mioma merupakan sebuah tumor monoclonal yang dihasilkan dari mutasi somatic sebuah sel neoplastic yang berada diantara otot polos myometrium. Sel-sel mioma mempunyai abnormalitas kromosom. Faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan mioma, disamping faktor predisposisi genetik, adalah beberapa hormon seperti estrogen dan progesteron. (Decherney,2007)

  1. Estrogen

    Dengan adanya stimulasi estrogen, menyebabkan terjadinya proliferasi sel di uterus, sehingga menyebabkan perkembangan yang berlebihan dari garis endometrium, sehingga terjadilah pertumbuhan mioma.

    Mioma uteri merupakan tumor jinak yang tumbuh kembangnya dipicu oleh estrogen dan progesteron, terhadap sel nest yang dikenal dengan teori genitoblas Meyer dan de snoo . Teori Meye r dan de snoo telah dibuktikan oleh Nelson pada babi dengan memberikan estrogen terus menerus dan hasilnya terjadi mioma uteri diberbagai tempat dalam uterus babi tersebut. Estrogen yang dianggap pemicu utama terjadinya mioma uteri, sekaligus menuju endometrium sehingga perdarahan merupakan gejala penting. (Manuaba,2010)

    Pada mioma uteri ditemukan kadar reseptor estrogen yang lebih tinggi dibandingkan miometrium normal. Pada mioma uteri, estrogen growth faktor receptor banyak ditemukan dan memicu pertumbuhan mioma uteri. Pemberian terapi GnRH agonis menurunkan konsentrasi estrogen growth factor . (Suparman,2016)

  2. Progesteron

    Pemberian gestagen saja untuk mengecilkan miom sudah ditinggalkan, karena gestagen menghambat apoptosis dan mioma uterus dapat bertambah besar. Jadi, pendapat yang mengatakan bahwa progesterone dapat menghambat pertumbuhan miom uterus sudah ditinggalkan. Hal ini dibuktikan melalui data yang diperoleh dari penelitian molekuler endokrinologik. Pemberian antiprogesteron dapat mengecilkan miom uterus, sehingga disimpulkan bahwa progesteron sama dengan estrogen memicu pertumbuhan miom uterus. Progesteron merangsang pembentukan enzim sulfotransferase di endometrium sehingga terjadi pembentukan estrogen dalam jumlah besar. Progestin memiliki efek vasokontriksi terhadap pembuluh darah. Bila terdapat miom uterus, maka progestin dapat memicu pertumbuhan mioma uteri. (Baziad, 2003).

    Jurnal Biomedik (2016) oleh Suparman disebutkan selain terdapat peningkatan hormon dan reseptor estrogen, pada mioma uteri juga ditemukan peningkatan reseptor progesteron. Pada sel miometrium normal dan mioma uteri, puncak aktivitas mitosis terjadi selama fase luteal dan aktivitas mitosis meningkat dengan pemberian progesteron dosis tinggi. Proto-onkogen bcl-2 memroduksi protein yang berfungsi mencegah proses apoptosis dan memicu replikasi sel. Produksi proto- onkogen bcl-2 dipicu oleh hormon progesteron. Pemberian preparat antiprogestin, mifepristone (RU 486) akan menimbulkan atrofi mioma uterus.
    Adanya penelitian klinis yang menunjukkan adanya pembesaran uterus setelah pemberian terapi mioma uteri dengan preparat progesteron bersama GnRH agonis membuka paradigma baru bahwa disamping estrogen, progesteron juga mempunyai peran dalam patogenesis mioma. Pertumbuhan mioma uteri diawali dengan adanya sel otot polos yang mengalami inisiasi. Kemudian estrogen akan mengaktifkan reseptor progesteron. Progesteron ini akan meningkatkan mutasi somatik dan aktifitas mitosis mioma melalui aktivasi reseptor growth factor dan produksi growth factor local. Growth factor ini akan memicu pertumbuhan mioma.

    Penelitian yang dilakukan oleh nida, Heni astutik, dkk (2015) dalam Jurnal Informasi Kesehatan Indonesia menyatakan Sebagai salah satu pencetus mioma uteri, hormon estrogen dan progesteron dapat diperoleh melalui alat kontrasepsi yang bersifat hormonal. Bila pada uterus terdapat mioma, maka pemberian kontrasepsi hormonal kombinasi maupun sekuensial akan memicu pertumbuhan mioma, karena mioma banyak mengandung reseptor estrogen dan progesteron. Dalam penelitian didapatkan kesimpulan bahwa pengguna akseptor hormonal progestin lebih banyak dari pada akseptor hormonal kombinasi dengan persentase 83,3% pada wanita dengan mioma uteri.

Faktor Resiko Mioma Uteri

  • Umur

    Frekuensi mioma uteri paling tinggi antara usia 35-50 tahun yaitu mendekati angka 40%, sangat jarang ditemukan pada usia dibawah 20 tahun. Sedangkan pada usia menopause hampir tidak pernah ditemukan. (Prawirohardjo, 2009). Peningkatan umur merupakan faktor resiko terjadinya mioma uteri. Hal ini disebabkan karena pertumbuhan dan perkembangan mioma uteri disebabkan oleh stimulasi hormon estrogen yang disekresikan oleh ovarium. Mioma uteri jarang timbul pada usia sebelum menarche dan sesudah menopause, tumbuh dengan lambat dan sering terdeteksi pada usia dekade keempat. (Pasinggi, 2015)

  • Riwayat Keluarga (genetis)

    Wanita dengan garis keturunan tingkat pertama dengan penderita mioma uteri mempunyai 2,5 kali kemungkinan untuk menderita mioma uteri dibandingkan dengan wanita tanpa garis keturunan penderita mioma uteri.

  • Obesitas

    Untuk BMI, beberapa studi telah menemukan hubungan antara obesitas dan peningkatan insiden mioma uteri. Hal ini berhubungan dengan konversi hormon androgen menjadi estrogen oleh enzim aromatease di jaringan lemak. Hasilnya terjadi peningkatan jumlah estrogen tubuh, dimana hal ini dapat menerangkan hubungannya dengan peningkatan prevalensi dan pertumbuhan mioma uteri. (Sarkodie et al.2016)

    Penelitian yang dilakukan Sarkodie et al.2016 pada wanita Ghanaian menunjukkan 37 persen wanita yang terdiagnosa mioma memiliki berat badan yang lebih dan obesitas. Penelitian yang dilakukan oleh Kurniasari (2010) jumlah kasus mioma uteri terbanyak, yaitu sebesar 46,49 persen, terjadi pada wanita dengan indeks massa tubuh >25 . Sebuah studi retrospektif mengemukakan bahwa resiko mioma meningkat 21% setiap kenaikan 10 Kg berat badan dan peningkatan indeks massa tubuh.

  • Paritas

    Mioma uteri lebih sering terjadi pada wanita nullipara atau wanita yang hanya mempunyai satu anak. Hal ini mennjukkan hasil penelitian yang dilakukan Sarkodie et al, 2016 bahwa 64 % wanita yg terdiagnosa mioma uteri adalah nullipara. Pada wanita nullipara, kejadian mioma lebih sering ditemui salah satunya diduga karena sekresi estrogen wanita hamil sifatnya sangat berbeda dari sekresi oleh ovarium pada wanita yang tidak hamil. Hampir semuanya adalah estriol, suatu estrogen yang relatif lemah daripada estradiol yang disekresikan ovarium. Hal ini berbeda dengan wanita yang tidak pernah hamil dan melahirkan, estrogen yang ada di tubuhnya adalah murni estrogen yang dihasilkan oleh ovarium yang semuanya digunakan untuk proliferasi jaringan uterus. (Sarkodie et al, 2016)

    Pada faktor uterus, Heffner (2008) menjelaskan bahwa wanita dengan infertilitas terkadang dapat ditemui leimioma uterus atau yang biasa disebut dengan fibroid atau mioma uteri yang merupakan tumor jinak otot polos. Tumor ini merupakan tumor yang sering dijumpai pada wanita dan mungkin berlokasi pada setiap tempat di dalam dinding uterus atau dapat bergantung pada tangkai yang mengandung pasokan darah ke tumor tersebut. Leimioma yang menugbah bentuk rongga uterus atau yang menyumbat tuba falopii sangat mungkin menyebabkan penurunan kesuburan.

  • Usia Menarche

    Parker (2007) menyebutkan bahwa menarche dini (<10 tahun) meningkatkan risiko kejadian mioma uteri (1,24 kali) dan menarche terlambat (>16 tahun) dapat menurunkan risiko kejadian mioma uteri (0.68 kali). Hal ini diduga bahwa wanita dengan sikus menstruasi lebih awal akan meningkatkan jumlah pembelahan sel myometrium selama usia reproduktif, sehingga meningkatkan mutasi genetik yang mengontrol proliferasi mioma uteri. Sibagariang (2010) menyebutkan bahwa ada pengaruh antara usia menarche dengan usia saat terjadinya menopause pada wanita menopause. Makin dini menarche terjadi, makin lambat menopause timbul. Paparan estrogen yang semakin lama akan meningkatkan insiden mioma uteri. (Proverawati,2009)

    Usia menarche dini telah dikaitkan dengan beberapa komplikasi kesehatan, termasuk risiko tinggi untuk obesitas, penyakit jantung, sindrom metabolik, diabetes tipe 2, preeklamsia, dan berbagai bentuk kanker. penelitian sebelumnya telah mengidentifikasi hubungan usia menarche dini sebagai faktor risiko untuk pengembangan leiomyomata uterus, atau fibroid yang insidennya meningkat dengan usia sampai menopause, dengan kejadian melebihi 70%. (Edwards,2013)

  • Faktor Ras

    Pada wanita tertentu, khususnya wanita berkulit hitam, angka kejadian mioma uteri lebih tinggi. Penelitian di Baird di Amerika yang dilakukan terhadap wanita kulit hitam dan wanita kulit putih menemukan bahwa wanita kulit hitam beresiko 2,9 kali kemungkinan untuk menderita mioma uteri. (Parker,2007)

Gejala

Mioma uteri menimbulkan gejala hanya pada 35-50% kasus. Sebagian besar penderita mioma uteri tidak menunjukkan adanya gejala. Gejala mioma uteri tergantung pada lokasi, ukuran , jenis dan adanya kehamilan. (Decherney,2007)

Proporsi gejala yang dialami oleh wanita dengan mioma uteri bervariasi tergantung ukuran dan lokasinya. Setidaknya 60% dari wanita yang menderita satu atau lebih gejala.

  1. Massa di Perut Bawah

    Penderita mengeluhkan merasakan adanya massa atau benjolan di perut bagian bawah.

  2. Perdarahan Abnormal

    Perdarahan uterus yang abnormal merupakan gejala klinis yang paling sering terjadi dan paling penting. Gejala ini terjadi pada 30% pasien dengan mioma uteri. Wanita dengan mioma uteri mungkin akan mengalami siklus perdarahan haid yang teratur dan tidak teratur. Menorrhagia atau metorrhagia sering terjadi pada penderita mioma uteri.Perdarahan abnormal ini dapat menyebabkan anemia defisiensi besi.

    • Hipermenorea, perdarahan banyak saat menstruasi karena meluasnya permmukaan endometrium dalam proses menstruasi atau gangguan kontraksi otot Rahim.
    • Perdarahan berkepanjangan
      Akibat perdarahan penderita dapat mengeluh anemis karena kekurangan darah, pusing, cepat lelah, dan mudah terjadi infeksi. (Manuaba,2010)
  3. Nyeri Perut

    Gejala nyeri tidak khas dengan mioma, walaupun sering terjadi. Hal ini timbul karena gangguan sirkulasi darah pada sarang mioma yang disertai dengan nekrosis setempat dan peradangan. Pada mioma yang sangat besar, rasa nyeri dapat disebabkan karena tekanan pada urat syaraf yaitu pleksus uterovaginalis, menjalar ke pinggang dan tungkai bawah. (Wiknjosastro,2005) Dismenorea sekunder jika terdapat kelainan organic seperti mioma, polip endometrial, dan endometriosis. (Manuaba, 2010)

  4. Pressure Effect (Efek Tekanan)

    Pembesaran mioma dapat menyebabkan adanya efek tekanan pada organ-organ disekitar uterus. Gejala ini merupakan gejala yang tak biasa dan sulit untuk dihubungkan langsung dengan mioma. Penekanan pada kandung kencing dapat menyebabkan kerentanan kandung kencing, pollakisuria dan dysuria. Bila uretra tertekan bias menimbulkan retensio urin. Bila berlarut-larut dapatmenyebabkan hydroureteronephrosis. Tekanan pada rectum tidak begitu besar, kadang-kadang menyebabkan konstipasi atau nyeri saat defekasi (Decherney,2007)

  5. Infertilitas dan Abortus

    Infertilitas dapat terjadi apabila sarang mioma menutup atau menekan pars interstisialis tuba, sedangkan mioma submucosa dapat memudahkan terjadinya abortus karena distorsi rongga uterus. Apabila penyebab lain infertilitas sudah disingkirkan dan mioma merupakan penyebab infertilitas tersebut, maka merupakan suatu indikasi untuk melakukan miomektomi. (Wiknjosastro,2005)

  6. Gangguan pertumbuhan dan perkembangan kehamilan

    Kehamilan dengan disertai mioma uteri menimbulkan proses saling memengaruhi. Kehamilan dapat mengalami keguguran, persalinan premature, gangguan saat proses persalinan, tertutupnya saluran indung telur yang menimbulkan infertilitas, pada kala ketiga terjadi gangguan pelepasan plasenta dan perdarahan. (Manuaba,2010)

Komplikasi

  1. Degenerasi Panas

    Mioma uteri yang terjadi leiomiosarkoma ditemukan hanya 0,32-0,6% dari seluruh mioma, serta merupakan 50-75% dari semua sarkoma uterus. Keganasan umumnya baru ditemukan pada pemeriksaan histologi uterus yang telah diangkat.

  2. Torsi (Putaran tangkai)

    Sarang mioma yang bertangkai dapat mengalami torsi, timbul gangguan sirkulasi akut sehingga mengalami nekrosis.Dengan demikian terjadilah sindrom abdomen akut. Jika torsi terjadi perlahan- lahan gangguan akut tidak terjadi.

  3. Nekrosis dan Infeksi

    Sarang mioma dapat mengalami nekrosis dan infeksi yang diperkirakan karena gangguan sirkulasi darah padanya. (Wiknjosastro,2005)