Apa yang Dimaksud dengan Memosisikan Pengajaran Sastra sebagai Laboratorium Pengembangan?

image

Penelitian sastra akan memiliki laboratorium dimana-mana sesuai dengan objek yang akan diteliti.

Apa yang dimaksud dengan memosisikan pengajaran sastra sebagai laboratorium pengembangan?

Apa yang dianggap sastra, bagaimana membaca dan menikmatinya serta apa yang dianggap penting sebagai hasil dari keterlibatan dengan karya sastra bergeser dari waktu ke waktu sejalan dengan pergeseran pemahaman dan kepentingan subjek yang terlibat di dalamnya: para (maha)guru, (maha)siswa dan pihak perumus kebijakan dan pemasok bahan pembelajaran. Dahulu, ketika para (maha)guru beranggapan bahwa karya sastra mengandung keunggulan teksual baik dari segi pengungkapan maupun kandungan pemikiran-pemikirannya, masuk akal kalau diharapkan bahwa (maha)siswa mengahapalkan karya sastra itu sampai di luar kepala sehingga ada bedanya orang yang terdidik dari orang lain yang tidak terdidik secara khusus tentang sastra.

Perbedaan tersebut, dalam konteks semacam itu, mungkin terletak pada kelincahan para (maha)siswa dalam melafalkan apa-apa saja yang terkandung dalam karya sastra yang dipelajarinya dengan cara penyampaian dan gaya bahasa yang canggih selayaknya seorang sastrawan bicara. Di masa yang lain, ketika para (maha)guru beranggapan bahwa yang penting dari pelajaran sastra adalah bagaimana (maha)siswa mengolah karya sastra yang dibacanya untuk olah pikir selanjutnya dengan menggunakan perspektif teoretis tertentu (misalnya penggunaan teori kritis tertentu), maka (maha)siswa akan melakukan hal itu dalam melibati karya sastra yang dipelajarinya, dan mengungkapkan hasil belajarnya sesuai parameter yang dianggapnya penting untuk ditunjukkan ke luar sebagai hasil belajarnya. Yang kemudian akan muncul di permukaan, mungkin, adalah kelincahan menggunakan jargon-jargon teori kritis yang dipelajarinya semisal istilah relasi kuasa, hegemoni makna, eksploitasi, kesadaran-palsu (false consciousness), manipulasi kuasa, ideologi dominan, resistensi, dan peristilahan lain sejenis itu.

Yang tengah diilustrasikan dalam contoh di atas adalah bahwa masalah pengajaran sastra merupakan masalah pilihan. Orientasi yang dipilih pihak pengajar akan memberikan arah dan oleh karena itu menstrukturkan pengalaman dan hasil belajar yang diperoleh para (maha)siswa. Oleh karena itu, tak berlebihan kiranya apabila dikatakan bahwa apa yang dianggap penting oleh (maha)guru akan juga dianggap penting oleh (maha)siswa. Dalam konteks pembelajaran hubungan ini telah menjadi suatu keniscayaan oleh karena, terutama, praktik pembelajaran dan motivasi belajar yang telah mentradisi: ekspektasi (maha)guru hadir dengan membawa kriteria dengan mana hasil belajar (maha)siswa diukur dan nilai apa (misalnya A, B, C, D, dan E/F) yang diberikan (maha)guru.

Dari contoh ini terlihat bahwa dunia pembelajaran termasuk pembelajaran sastra telah memiliki paradigmanya sendiri, yang telah dibangun melalui tradisi praktik yang terentang panjang. Oleh karena sifatnya yang paradigmatis inilah pada dasarnya orientasi pembelajaran dan praktik interaksi belajar-mengajar merupakan sesuatu yang memola, dan oleh karena itu pula dapat dikembangkan secara berpola pula.

Bidang pembelajaran sastra dapat secara sistematis dideskripsikan dan dibicarakan melalui berbagai dimensi anasir pembentuknya yang jamak tetapi relatif konstan: orientasi instruktur yang memandu langkah-langkah instruksionalnya, teks yang dipilih untuk mewadahi interaksi pembelajaran yang dibangunnya di kelas, desain tugas yang harus dikerjakan (maha)siswa pembelajar sastra, dan struktur interaksi instruksional (misalnya diskusi sastra) yang digelarnya, dan jenis soal/ujian atau penilaian yang diberlakukan dalam kelas. Sifat pembelajaran yang dipandu paradigma (model) tertentu yang relatif sistematis ini menjanjikan jalan lapang dan panjang untuk diteliti dan dikembangkan lebih lanjut.