Apa yang dimaksud dengan mampu dalam melaksanakan ibadah haji ?

Apa yang dimaksud dengan mampu dalam melaksanakan ibadah haji ?

Muslim yang akan melaksanakan ibadah haji harus memperhatikan syarat wajib haji yaitu:

  1. Beragama Islam
  2. Berakal
  3. Baligh
  4. Mampu

Dari kacamata islam, mampu disini tidak selalu diukur dengan harta, tetapi juga kemampuan fisik. Kemampuan fisik artinya adalah berbadan sehat dan mampu menanggung beban letih hingga ke Baitullah Al-Haram. Sedangkan kemampuan harta adalah mempunyai nafkah yang dapat mengantarkannya ke Baitullah pulang dan pergi.

Al-Lajnah Ad-Daimah berkata bahwa

“Mampu terkait dengan haji adalah berbadan sehat dan mempunyai biaya kendaraan yang dapat menghantarkan ke Baitullah Al-Haram baik melalui pesawat, mobil, hewan atau menyewa sesuai dengan kondisinya. Juga memiliki bekal yang cukup untuk pulang dan pergi. Dan biaya tersebut diluar dari biasa nafkah orang-orang yang seharus dia nafkahi sampai kembali dari hajinya. Bagi seorang wanita, harus didampingi suami atau mahramnya untuk safar haji atau umrah.”

Disyaratkan bahwa nafkah yang dapat menghantarkan sampai ke baitullah adalah kelebihan dari kebutuhan primer, nafkah syar’i dan pelunasan hutang. Maksud dengan hutang disini adalah hak-hak Allah seperti kafarat (tebusan karena pelanggaran) dan hak-hak manusia.

Maka siapa yang masih mempunyai hutang, sementara uangnya tidak memungkinkan untuk haji dan melunasi hutanya, maka dia harus memulai dengan melunasi hutang dan tidak diwajibkan haji. Sebagian orang mengira bahwa illat (sebab) larangan tersebut adalah tidak mendapatkan izin dari orang yang memberi hutang. Kalau dia meminta izin dan dizinkan, maka tidak mengapa. Dugaan ini tidak ada asalnya. Sebabnya adalah masih berlakunya tanggungan. Maka, sebagaimana diketahui bahwa jika orang yang menghutangi mengizinkan, maka tanggungan orang yang berhutang masih tetap ada pada dirinya dan tidak hilang sekedar dia memberinya izin.

Oleh karena, kami katakan kepada orang yang memiliki hutang, “Lunasi dahulu hutangmu. Jika masih tersisa (uangnya), silakan berhaji dengannya. Kalau tidak, maka haji tidak wajib bagi anda.”

Kalau orang yang berhutang meninggal dunia, dan kewajiban melunasi hutang menghalanginya melaksanakan haji, maka dia akan bertemu kepada Allah dalam kondisi keislaman yang sempurna tanpa menyia-nyiakan dan berlebih-lebihan. Karena haji belum wajib baginya. Sebagaimana zakat tidak wajib bagi orang fakir, begitu juga haji.

Jika dia lebih mendahulukan haji dibanding melunasi hutang-hutangnya, lalu meninggal dunia sebelum melunasinya maka dia dalam kondisi bahaya. Karena, jika orang yang mati syahid dimaafkan semuanya kecuali hutang, bagaimana dengan selainnya?

Maksud dari nafkah syar’iyyah adalah nafkah yang ditetapkan oleh syariat, seperti nafkah untuk dirinya dan keluarganya tanpa berlebih-lebihan. Kalau kondisinya menengah, dan dia ingin memperlihatkan penampilan orang kaya, sehingga dia membeli mobil mahal untuk menandingi orang kaya, sementara dia tidak punya uang untuk haji, maka dia harus menjual mobilnya agar dapat haji dari penjualan mobilnya. Kemudian dia membeli mobil sesuai dengan kondisinya. karena nafkah untuk (pembelian) mobil mahal ini bukan termasuk nafkah sesuai agama, bahkan itu termasuk berlebih-lebihan yang dilarang agama. Yang jadi patokan dalam nafkah adalah, apa yang ada pada dirinya untuk mencukupi keluarganya sampai dia kembali. Sehingga sekembalinya dari haji, masih ada nafkah untuk dirinya, dan cukup untuk membiayai orang yang menjadi tanggungannya seperti sewa rumah, gaji atau bisnis atau semisal itu. oleh karena itu, tidak diharuskan melaksanakan haji dengan modal pokok bisnisnya yang dia gunakan untuk membiayai nafkah diri dan keluarganya dari keuntungannya. Karena hal itu akan berdampak kurangnya modal dan berkurang labanya sehingga tidak mencukupi untuk diri dan keluarganya.

Dalam surat Ali Imran ayat 97 Allah menjelaskan :

" Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah".

Rasulullah menjelaskan makna mampu atau sanggup (istitha’ah) ini dalam hadis beliau :

"Dari Anas r.a., dari Nabi saw. tentang firman Allah “barang siapa yang mampu ke sana”. Anas berkata : Ditanya Rasulullah saw. : Ya Rasulullah, apa yang dimaksud “sabila” itu ? Nabi menjawab : “Bekal dan kendaraan”. (HR. Ad-Daruqutni) 18

Dalam Kitab I’anatut Thalibin dijelaskan pengertian istitha’ah itu sebagai berikut :

“Dan seorang dikatakan istitha’ah dengan telah tersedianya bekal perjalanan dan nafkah bagi keluarga yang menjadi tanggungannya”

Majelis Ulama Indonesia melalui rapat komisi fatwa tanggal 2 Februari 1979 telah memberikan batasan tentang pengertian istitha’ah adalah bahwa orang Islam dianggap mampu melaksanakan ibadah haji apabila jasmaniah, ruhaniah, dan perbekalannya memungkinkan ia untuk menunaikan ibadah haji tanpa menelantarkan kewajiban terhadap keluarganya.

Menurut pendapat Malikiah, orang yang mampu berjalan ia wajib berhaji, sebagaimana diwajibkan untuk memberikan nafkah keluarga yang ada dalam tanggungannya. Dia wajib menjual apa saja untuk biaya pergi haji, termasuk peralatan yang digunakan untuk mencari nafkah, binatang ternak, bahkan sampai buku-buku dan perhiasannya.

Dari dalil-dalil dapat diketahui bahwa yang dimaksud mampu dalam melaksanakan haji adalah tersedianya biaya perjalanan serta bekal hidup baginya selama mengerjakan ibadah haji bagi dirinya dan bagi keluarga yang ditinggalkan. Seseorang yang secara finansial memiliki kemampuan tetapi dirinya sudah tua atau sakit sehingga tidak kuasa melaksanakannya, ia tetap wajib mengerjakan haji dengan menyuruh orang lain.

Hadis yang menyatakan demikian adalah :

" Bahwasanya seorang wanita dari suku Khas’am berkata : "Ya Rasulullah, kewajiban haji yang difardlukan Allah atas hamba-hamba-Nya datang kebetulan bapakku telah tua renta sehingga tak sanggup lagi berkendaraan. Bolehkah saya menghajikan atas namanya? Jawab Nabi : “Boleh”. Peristiwa itu terjadi pada saat haji wada’. (HR. Jama’ah)

Berdasar hadis di atas bahwa anak perempuan boleh mewakili/menghajikan ayahnya; demikian sebaliknya, seorang anak laki-laki boleh menghajikan ibunya. Hadis lain yang menerangkan kebolehan menghajikan orang lain atau yang disebut sebagai badal haji adalah :

_"Dari Ibnu Abbas r.a. katanya, Seorang wanita dari suku Juhainah datang kepada Nabi saw. dan berkata : "Ibu saya bernazar untuk mengerjakan haji, belum sempat mengerjakannya, ia meninggal dunia. Bolehkah saya mengerjakan haji untuknya? Nabi Menjawab : “Ya, hajikanlah untuknya. Bagaimana pendapatmu seandainya ibumu berhutang? Adakah engkau membayarnya? Bayarlah hutang kepada Allah, karena hutang kepada Allah lebih berhak untuk dibayar”. (HR. Al-Bukhari) _

Badal haji tersebut haruslah sudah berhaji. Tidak sah seorang menghajikan orang lain sementara dirinya belum haji. Dalam sebuah hadis Rasulullah menjelaskan:

"Dari Ibnu Abbas r.a. bahwasanya Rasulullah saw mendengar seorang laki-laki yang berkata : "Labbaika dari Syubrumah. Rasulullah saw bertanya : "Siapa Syubrumah itu ? laki-laki itu menjawab : "Saudaraku atau kerabatku. Rasulullah bertanya lagi : Sudahkah engkau berhaji untuk dirimu ? Ia menjawab : “Belum !. Rasulullah berkata lagi : Berhajilah untuk dirimu dulu, kemudian baru hajikan Syubrumah”. (HR. Abu Daud dan Ibnu Majah)

Badal haji tidak mesti harus ada hubungan keluarga dengan orang yang dihajikan. Yang penting, badal itu mengetahui identitas orang yang diwakilinya. Hal itu penting karena ketika akan memulai ibadah, badal harus meniatkannya untuk orang yang diwakilinya agar hajinya sah. Tidak dibutuhkan izin dari orang yang diwakili, karena ia telah meninggal. Tentu saja biayanya diambil dari harta orang yang diwakili, yaitu harta peninggalannya.

Dalam kitab Fathul Mu’in dijelaskan :

"Dan bolehlah (ibadah) itu dilakukan oleh orang asing (bukan keluarganya) sekalipun tanpa izin (dari padanya)

Orang yang mampu secara finansial tetapi tidak mampu secara fisik, orang ini dinamakan ma’dlub. Orang seperti ini wajib berhaji dengan mewakilkan atau menyuruh orang lain untuk menghajikannya dengan biaya dijamin olehnya. Untuk menghajikan orang ma’dlub harus ada izin dari yang bersangkutan.

Dalam kitab Fathul Mu’in juga dijelaskan masalah ini sebagai berikut :

“Tidak sah menggantikan ibadah orang ma’dlub tanpa seizin dari padanya, karena ibadah haji itu perlu ada niatnya, sedangkan dalam hal ini dialah yang berhak meniati dan mengizini”.

Adapun jika keadaan seorang itu memiliki kemampuan berhaji baik secara finansial, fisik, serta aman perjalanannya, maka ia tidak dibenarkan mewakilkannya kepada orang lain, meskipun yang mewakili itu isterinya atau anaknya sendiri. Keadaan seperti ini dalam fikih Islam disebut sharurah. Islam tidak membenarkan sharurah. Dalam sebuah hadis Rasulullah saw. melarang cara sharurah:

“Dari Ibnu Abbas r.a. bahwasanya Nabi saw. berkata : " Tidak ada sharurah dalam Islam”. (HR. Ahmad dan Abu Dawud)

Jadi, istitha’ah itu dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu

  1. kesanggupan mengerjakan sendiri, dan
  2. kesanggupan mengerjakan dengan diwakili oleh orang lain.

Kedua kesanggupan itu menjadi sebab timbulnya kewajiban haji atas diri seorang muslim, dan kewajiban itu tetap melekat pada dirinya selama ia belum menunaikannya.

Beberapa hal yang harus diperhatikan yang berkaitan dengan istitha’ah ini adalah:

  • Rumah satu-satunya yang dibutuhkan untuk tempat tinggal dia bersama keluarga dan orang-orang yang berada di bawah tanggungjawabnya tidak boleh dijual untuk bekal pergi haji;

  • Uang modal usaha guna memperoleh nafkah keluarga tidak boleh digunakan atau dihabiskan untuk bekal pergi haji. Demikian ini dijelaskan dalam kitab Fikih Sunnah bahwa :
    َ
    "Jika ia memerlukan tempat kediaman yang tak dapat diabaikannya, atau pelayan yang akan melayaninya, ia tidak wajib pergi haji. Dan jika orang membutuhkan uang untuk modal usaha yang hasilnya menjadi andalan nafkah keluarga, ─ menurut Abul Abbas bin Sharih ─ ia tidak wajib haji, karena ia membutuhkan uang itu.

  • Orang yang punya biaya untuk pergi haji tetapi ia juga punya pinjaman kepada orang lain sebesar biaya haji itu, dan jika pergi haji ia tidak mungkin melunasi hutangnya, maka ia tidak wajib pergi haji. Hendaknya ia menggunakan uang itu untuk melunasi hutangnya. Demikian diterangkan lebih lanjut :

    “Dan jika seorang yang dipiutangi itu orang yang tidak mampu, atau akan sulit membayarnya, maka tidak wajib pergi haji”.

Seorang muslim yang memiliki harta yang bukan menjadi andalan sumber penghasilan baginya, dan apabila harta-harta tersebut dijual tidak mengakibatkan terbengkalainya tanggung jawab memberi nafkah kepada keluarga, maka orang tersebut sudah istitha’ah. Istitha’ah tidak bisa diartikan sebagai kelebihan harta setelah kebutuhan-kebutuhan lain terpenuhi. Bukan demikian.

Makna " man istatha’a ilaihi sabila" itu adalah suatu kondisi seseorang di mana ia benar-benar mampu menyiapkan biaya pergi haji sehingga tidak menimbulkan mudlarat baginya. Keadaan tersebut tidak boleh dimanipulasi dengan berbagai alasan yang seolah-olah ia tidak mampu. Allah Maha Mengetahui keadaan kemampuan hamba-Nya.