Apa yang dimaksud dengan Krisis Paruh Baya?

krisis paruh baya

Apa yang dimaksud dengan krisis paruh baya?

Perubahan fisik dengan kemunduran kemampuan fisik maupun fisiologis serta perubahan pada emosi dan sosial sebagai reaksi atas perubahan yang terjadi dapat menimbulkan krisis paruh baya. Menjadi fase krisis paruh baya, karena memaksa adanya perubahan dan mengalami titik balik. (Wright & Davis 1993). Perubahan yang terjadi dapat menjadi krisis pada seseorang tergantung pada kepribadian, pengalaman-pengalaman sebelumnya dan tekanan sosial.

Goncangan atau gejolak atas perubahan yang terjadi, baik secara drasis maupun perlahan pada aspek fisik, psikologis (pikiran, emosi) yang tidak dapat dihindari oleh
seorang paruh baya. Saat itulah terjadi krisis, sebagai implikasi dari masa stres dan dampak dari masa transisi kehidupan, yang melibatkan proses re-evaluasi yang bersifat instrospektif terhadap nilai dan prioritas (Helson, 1997; Reid & Wills, 1999; Robinson Rosenberg & Farrel, 1999).

Krisis identitas pada seorang pria dapat terjadi saat melakukan evaluasi dengan intensitas tinggi, namun bersamaan dengan itu timbul keraguan diri dan rasa kecewa pada segala hal yang sudah mapan. Maka ia akan bereaksi pemarah, depresi, egois, perilaku yang muncul seperti tiba-tiba membuat keputusan yang tidak didugaduga, seperti berhenti dari pekerjaan, berdandan seperti anak muda, atau bahkan memberi perhatian atau berselingkuh.

Reaksi perilaku tersebut merupakan bentuk pelarian, ekspresi dari depresi dan keraguan diri yang dapat mengancam bagi kehidupan pernikahannya. Meski pada akhirnya akan menyesal karena perbuatannya tidak dipikir panjang, menyesal sudah mengkhianati isteri dan mengabaikan anak-anak mereka, sampai menimbulkan rasa bersalah. Setelah itu akan mencapai titik balik dalam cara memandang diri sendiri dan memiliki hubungan yang kuat dengan peran dan tanggung jawab sosial, memunculkan wawasan baru tentang diri dan mendorong untuk memperbaiki dan merencanakan kembali kehidupannya (Clausen, 1990; Moen & Withington, 1999; Stewart & Ostrove, 1998; Stewart & Vanderwater, 1999). Artinya ia mampu melampuai masa krisis, dengan melakukan perenungan, mengevaluasi dan merestrukturisasi kembali kehidupan. (Levinson, 1996).

Bahkan saat mengevaluasi kembali target dan aspirasi hidupnya dan memutuskan untuk mengisi sisa umurnya, dengan cara terbaik (Lachman & Jones, 1997). Reaksi menghadapi perubahan fisik, dapat menjadi krisis paruh baya, jika standar sosial yang menganggap kecantikan merupakan hak eksklusif, menyebabkan seorang wanita paruh baya sangat rapuh dengan bertambahnya usia. Demikian halnya dengan tekanan sosial untuk mempertahankan kelangsingan seorang wanita muda, dapat membuat sadar diri akan tubuhnya, namun sebaliknya dapat merugikan kepribadian dan kepercayaan wanita paruh baya (Lenz, 1993). Bahkan pada beberapa orang, harga dirinya akan menurun saat menilai rendah penampilan fisik mereka, sehingga usaha untuk mempertahankan kemudaan dan kekuatan dapat menjadi positif jika tidak obsesif dan merefleksikan perhatian terhadap kesehatan dan kebugaran (Gallagher, 1993).

Oleh karenanya, bagi seorang wanita paruh baya, penampilan merupakan penyebab krisis nomor satu. Selama fase kehidupan wanita usia 40-an membutuhkan simpatik atas penampilan, sementara bagi seorang pria, penampilan berada pada urutan bagian akhir, dan karier menentukan harga diri. Secara sosial, peran seorang paruh baya mulai berubah. Kepedulian terhadap orang lain, secara lebh dewasa dan luas, tidak hanya sekedar intimacy namun rasa kasih ini telah men”generalize”ke kelompok lain, terutama generasi selanjutnya.

Kondisi tersebut merupakan masa generatifitas pada masa paruh baya (Erikson, 1982 dalam Santrock 1995). Seseorang menjadi lebih bijaksana dalam mengambil keputusan, mampu memberikan bimbingan pada sebelumnya, tidak mengharapkan balasan hanya berkeinginan untuk merawat dan membimbing. Sebaliknya jika seseorang gagal mencapai generatifitas maka akan terjadi stagnasi, yaitu tidak memiliki rasa kepedulian pada orang lain. Mereka menjadi tidak lagi produktif untuk masyarakat karena mereka tidak bisa melihat hal lain selain apakah hal itu menguntungkan dirinya sendiri. Selain itu, tidak memiliki harapan untuk mengapai impian, merasa tidak ada lagi yang akan dicapai dan tidak bisa meraih kesempatan yang sudah disia-siakan. Bahkan terlibat dalam hubungan dan mengharapkan timbal balik dari pasangan (intimacy).

Kondisi krisis paruh baya berlangsung selama 3-5 tahun sejak seseorang memasuki paruh baya.

Dinamika krisis terjadi berawal dari kekecewaan, peningkatan stres, dan perubahan gaya hidup serta cara kerja, yang mengarahkan ke depresi, traumatis, melarikan diri secara drastis. Saat ia berusaha menyesuaikan diri dengan nilai yang diharapkan, namun saat itu juga berupaya menurunkan stres. Maka hambatan yang dihadapi akan semakin meningkatkan stres dan krisisnya. Reaksi terhadap krisis yang berbeda-beda, mungkin seseorang mengalihkan stres tersebut dengan bekerja keras, sehingga seolah-olah tidak terjadi perubahan apapun dalam hidup mereka.

Krisis yang dihadapi berkaitan erat dengan stres yang dihadapi. Ada seorang paruh baya mampu mengelola stres dengan lebih baik dan ada yang tidak, tergantung pribadinya. Stres yang dialami berkaitan erat dengan kondisi fisiknya. Kuat dan lamanya suatu stres dapat melemahkan sistem imun dan meningkatkan kerapuhan terhadap penyakit (Harvard Medical School, 2002). Bisa juga terjadi pada seseorang yang mengalami stres berat, dengan gangguan fisik ringan (flu) saja dapat menimbulkan stres, yang dapat memberi efek kuat pada kesehatan mental ketimbang masalah kronis atau yang menahun (Chiriboga, 1997).

Stres juga dapat meningkatkan gejala penyakit melalui kurangnya kontrol perasaan. Ketika masalah semakin kronis maka akan melipatgandakan efek psikologis (Baum & Fleming, 1993).

Stres juga dapat membahayakan secara tidak langsung terhadap gaya hidup seseorang. Misalnya orang yang dilanda stres akan susah tidur, merokok, dan mengkosumsi miras lebih banyak, makan tidak teratur dan tidak memperhatikan kesehatan, sebaliknya olahraga teratur, nutrisi yang baik akan tidur teratur, dan sering bergaul diasosiasikan dengan stres yang rendah (Baum-Caclopo, Melamed, Gallant & Travis, 1995).

Pada seseorang yang mengkonsumsi miras saat menghadapi stres ekonomi, perkawinan atau pekerjaan, sebenarnya akan meningkatkan stres dan merangsang pelepasan adrenalin dan hormon lainnya. Stres inilah sebagai faktor penyebab hipertensi, jantung ringan, stroke, diabetes, osteoporosis, radang lambung, dan kanker (Baum et, al, 1995).

Seorang pria paruh baya dengan level kecemasan dan ketegangan tinggi cenderung lebih besar terkena penyakit darah tinggi di kemudian hari dan mengalami 4 atau 5 kali risiko meninggal akibat tekanan darah tinggi dibandingkan pria yang tidak mengalami tingkat kecemasan lebih rendah (Kawachi, Colditz, 1994)

Sumber stres pada masa paruh baya:

  • Pekerjaan. Muncul saat, seseorang memenuhi tuntutan pekerjaan yang tidak sesuai dengan kepuasan kerja dan imbalan. Apabila intensitas stres semakin tinggi dan sering, maka dapat merusak kesehatan fisik dan mental (Levi, 1990; Siergist, 1996). Seorang pekerja keras tetapi keterampilannya tidak mendapat perhatian atau tidak memiliki target yang jelas, cenderung menunjukkan tingkat stres yang tinggi dan moral, serta produktivitas yang rendah (Veninga, 1998).

    Suatu penelitian pada pekerja di Swedia (1998) menunjukkan bahwa ada korelasi yang kuat antara ketidaknyamanan kerja dan reaksi mental fisiologis terhadap tekanan darah tinggi, dan mengalami ketegangan mental lebih tinggi pada saat “istirahat”(Johanson, Evans, Rydsteidt & Carrere, 1998). Oleh karena itu penting mengelola stres pekerjaan, sehingga dapat mempertahankan kesehatan yang lebih baik.

    Stres pada wanita berupa konflik antara pekerjaan dan keluarga, stres dari boss pria, atau tidak ada peningkatan jabatan yang lebih tinggi. Selain itu adanya pelecehan seksual ( Sexual harashment), dapat menciptakan stres.

    Stres yang berkelanjutan dapat menimbulkan Burnout ( kelelahan ) dibandingkan krisis yang sesaat. Kelelahan bersifat emosional, perasaan tidak mampu menyelesaikan apapun dalam pekerjaan yang diberikan dan perasaantidakberdayasertalepaskendali. Hal ini biasanya dialami oleh orang yang bekerja dalam bidang pelayanan seperti Guru, Perawat, Terapist, Pekerja Sosial, dan Polisi. Mereka merasa frustasi dengan ketidakmampuan mereka menolong orang sebanyak yang ingin mereka lakukan. Simptom yang muncul berupa, insomnia, sakit kepala, pilek yang terus menerus, gangguan perut, penyalahgunaan alkohol dan obat terlarang dan kesulitan bergaul. Akibatnya, bisa jadi berhenti bekerja secara tiba-tiba menjauhkan diri dari keluarga dan teman serta depresi (Briley, 1980, Maslach & Johnson, 1985).

  • Kehilangan pekerjaan atau menganggur; Stresor yang paling besar adalah kehilangan pekerjaan. Pekerja paruh baya lebih banyak menjadi korban PHK karena biasanya perusahaan akan memilih pekerja lebih muda, dan memaksa pekerja paruh baya untuk pensiun dini atau bekerja dengan bayaran rendah (Fortezza & Prieto, 1994). Stres akan muncul saat memasuki usia pensiun dan kekhawatiran akan kehilangan sumber keuangan (Orbuch, et al 1996). Reaksi pekerja yang diberhentikan bisa marah dan sensitif, terlebih jika mereka diperlakukan tidak adil (Murray, 2002). Hasil riset menunjukkan bahwa ada korelasi pengangguran dengan kondisi fisik mereka seperti sakit kepala, sakit perut, dan tekanan darah tinggi, serangan jantung, stroke. Kondisi mental menunjukkan perasaan cemas dan depresi, bermasalah pada perkawinan dan keluarga, dan perilaku bermasalah lain seperti keinginan bunuh diri dan perilaku kriminal lainnya (Brenner, 1990, Merva & Fowles, 1992; Perucci, Perruci & Tang, 1998, Voydanoff, 1990).

  • Kesepian ( empty nest) , baik karena kematian pasangan atau pasangan menikah kembali, anak meninggalkan mereka karena menikah. Efek dari empty nest tergantung pada kualitas dan lamanya perkawinan. Dalam suatu perkawinan bahagia, lepasnya anak yang sudah dewasa bisa membantu bulan madu kedua (Robnson & Blanton, 1993), tetapi dalam perkawinan yang kurang bahagia, tidak memiliki alasan yang kuat untuk mempererat hubungan perkawinan. Kualitas perkawinan cenderung menurun sejalan dengan berkurangnya tanggung jawab sebagai orang tua dan pekerjaan yang sedang mencapai puncaknya (Orbuch, et.al, 1996). Efek empty nest , dirasakan lebih berat pada wanita yang berperan sebagai ibu, berbeda halnya dengan wanita yang bekerja (Antonucci, et al, 2001). Empty nest ini bukan akhir dari masa pengasuhan tetapi merupakan transisi hubungan antara orang tua dan orang yang sudah dewasa. Hal ini dapat menjadi stres, karena sekarang harus menghadapi masalah perkawinan yang sebelumnya mereka kesampingkan, fokus pada tanggung jawab sebagai orang tua. (Antonucci, et al, 2001).

    Studi longitudinal menemukan pada wanita yang menikah juga bekerja, maka empty nest tidak memiliki effek terhadap kondisi psikologis, tetapi berhenti bekerja justru meningkatkan stres namun dengan bekerja penuh waktu justru dapat mengurangi stres (Wethington & Kessler, 1998). Diketahui bahwa stres pada kehidupan pria yang berada dalam tahap empty nest seringkali muncul pada kondisi kesehatannya (Chiriboga, 1997). Namun demikian masa paruh baya memiliki kemampuan untuk beradaptasi atas perpisahan atau kehilangan pasangan, terlepas akan menikah kembali atau tidak. Kedewasaan atau kematangan dan pengalaman menghadapi masalah hidup memberikan kemampuan dalam menghadapi masalah perceraian atau kehilangan pasangan. Mereka memiliki relasi sosial dan penguasaan pribadi yang lebih baik sehingga tingkat depresi lebih rendah dibandingkan wanita yang lebih muda. Dua orang psikolog, yaitu Jungmeen E. Kim, PhD dan Phyllis Moen PhD (1999) dari Cornell University menemukan bahwa ada hubungan antara pensiun dengan depresi. Wanita yang baru pensiun cenderung mengalami depresi lebih tinggi dibandingkan dengan wanita yang sudah lama pensiun atau bahkan yang masih bekerja, terutama jika suami masih bekerja. Pria yang baru pensiun cenderung lebih banyak mengalami konflik perkawinan dibandingkan dengan yang belum pensiun.

Cara Menangani Krisis Paruh Baya


Agar perubahan fisik dan psikologis yang terjadi pada masa paruh baya tidak menimbulkan krisis dan berdampak menjadi stres, maka dapat dilakukan dengan melakukan penyesuaian diri, dengan cara:

  • Merubah gaya hidup kearah yang lebih sehat, atau dengan mengubah perilakunya untuk meningkatkan kebugaran fisik (Merill & Verbrugge, 1999). Antara pikiran dan fisik dapat mengkompensasi perubahan yang terjadi, karena seorang paruh baya mampu berpikir lebih realistis untuk menerima perubahan pada penampilan, kinerja panca indera, motorik termasuk kapasitas reproduktif, dan seksual.

  • Menilai secara positif saat menghadapi menopause dan andropause . Artinya dengan menopause sebagai tanda memasuki paruh kedua kehidupan seorang wanita, mengalami perubahan peran, kebebasan dan pertumbuhan secara pribadi. Selain itu mengenal berbagai gejala menjelang menopause , seperti suhu panas, rasa kering terbakar, dan gatal pada bagian vagina, infeksi vagina dan saluran kencing dan disfungsi saluran kencing akibat pengerutan jaringan. Pada pria yang mengalami Andropause disertai perubahan fisiologis emosional dan psikologis yang melibatkan system reproduksi pria dan system lainnya yang juga disebut climacteric . Ia perlu mengenal symptom climacteric seperti depresi, perasaan cemas, insomnia, kelelahan, perasaan lemah, dorongan seksual rendah, kegagalan ereksi, kehilangan otot serta tulang dan rambut tubuh yang berkurang.

  • Olahraga. Melakukan jalan kaki paling sedikit satu jam sekali dalam seminggu, untuk mengatasi penurunan masa tulang, sekaligus dapat mengurangi risiko penyakit jantung koroner, setelah usia 45 tahun. Wanita berusia di atas 40 tahun sebaiknya mendapatkan 1000-1500 mg makanan yang mengandung kalsium disertai dengan vitamin D sesuai anjuran dokter yang akan membantu tubuh menyerap kalsium.

  • Mengelola stres; dengan lebih realistis, menerima perubahan yang terjadi dan dapat mempelajari strategi untuk menghindari stres secara efektif. Cara mengelola stres, dapat dilakukan melalui adaptif defence atau beradaptasi dengan situasi stres. Caranya dengan

    • Menemukan sisi baik dari situasi yang buruk. Seseorang yang dapat melakukan adaftif defence cenderung memiliki kondisi kesehatan dan kekuatan fisik yang baik pada usia 65 tahun, terlepas dari kondisi fisik aktual mereka.

    • Melakukan kontrol emosi melalui relaksasi, meditasi dan biofeedback. Tujuannya untuk mendapatkan dukungan sosial dalam mengekspresikan perasaan mereka, sehingga tidak mengalami penderitaan psikologis, artinya mereka secara aktif mengontrol pribadi mereka dalam menghadapi penyakitnya.

    • Menurunkan burnout , dengan cara mengurangi jam kerja dan mengambil istirahat termasuk mengisi akhir pekan dengan liburan, olahraga, mendengarkan musik, meditasi. Namun yang paling efektif untuk melepaskan stres dan kelelahan adalah dengan mengubah kondisi yang menyebabkannya, seperti mencoba peluang pekerjaan yang memiliki arti bagi dirinya, minimal mampu menggunakan keterampilan yang dapat menimbulkan perasaan berprestasi dan meningkatkan harga diri.

    • Tidak menyalahkan diri sendiri atau tidak melihat dirinya sebagai seorang yang gagal memperoleh pekerjaan dan menilai kondisinya secara obyektif. Berbeda halnya jika memiliki sumber keuangan lain, namun jika memungkinkan maka perlu menemukan pekerjaan baru sehingga dapat memulihkan kesejahteraan. Dukungan dari keluarga dan teman yang penuh pengertian dapat membantu seseorang beradaptasi dengan situasi krisis. Selain faktor motivasi dan keyakinan akan kemampuan diri merupakan kunci untuk kembali menemukan lahan pekerjaan.

  • Memupuk kondisi emosi positif bukan emosi negatif seperti kecemasan dan perasaan tertekan. Kondisi emosi negatif sering dikaitkan dengan kesehatan fisik dan mental yang buruk, dan emosi positif dikaitkan dengan kesehatan yang baik. (Salovery, Rothman, Detwiler & Steward, 2000, Spiro 2001). Perasaan negatif akan menekan fungsi sistem kekebalan tubuh meningkatkan kerapuhan terhadap penyakit sebaliknya perasaan positif meningkatkan fungsi tersebut. Emosi negatif membuat orang lain berpikir bahwa mereka lebih sakit daripada kondisi sebenarnya dan bisa memberikan penilaian negatif berkaitan dengan apa yang sebenarnya mereka dapat lakukan (Salovey et.al 2000).

Sumber : Alit Kurniasari, Krisis Paruh Baya Dan Penanganannya, Sosio Informa Vol. 3, No. 02, Mei - Agustus, Tahun 2017

Krisis paruh baya atau Midlife crisis adalah krisis identitas yang dialami oleh orang yang berusia 40 - 60 tahun. Identifikasi mengenai hal ini pertama kali dilakukan oleh psikolog Carl Jung dan merupakan hal yang normal bagi proses pendewasaan. Sebagian orang akan mengalami perubahan emosional ini, setidaknya sekali seumur hidupnya. Bagi beberapa orang, fase ini bisa menjadi serangan yang parah dimana mereka akan membutuhkan terapi psikologi.

Paruh baya dibagi menjadi dua yaitu usia madya dini yang membentang dari usia 40 hingga 50 tahun dan usia madya lanjut yang berbentang antara usia 50 hingga 60 tahun.(Elizabeth, 2002)

Hal-hal yang biasa dialami pada fase ini adalah (Marry AJ, 2006) :

  • Tidak merasa bahagia dan puas terhadap gaya hidup yang sudah dilakukan selama ini.
  • Bosan terhadap orang-orang yang sebelumnya menarik bagi mereka.
  • Merasa membutuhkan pengalaman baru dan perubahan.
  • Mempertanyakan pilihan terhadap kehidupan yang sudah menjadi pilihan mereka selama puluhan tahun.
  • Bingung terhadap hal yang akan mereka lakukan.
  • Khawatir terhadap dirinya sendiri dan merasa terikat terhadap kehidupannya
  • Meragukan cinta dan pernikahan
  • Tertarik kepada gairah dan hubungan yang intim dengan orang yang baru.

Daniel Levinson dalam buku Life Span Development oleh John W. Santrock (2002) memandang paruh kehidupan sebagai sebuah krisis, yang meyakini bahwa orang dewasa usia tengah baya berada diantara masa lalu dan masa depan, yang berusaha mengatasi kesenjangan yang mengancam kontinuitas kehidupan.

Berbagai perubahan di dalam kepribadian dan gaya hidup selama awal sampai pertengahan 40-an sering kali didistribusikan pada krisis paruh baya (midlife crisis), masa yang konon penuh stres dipicu oleh pengkajian dan evaluasi kembali kehidupan seseorang. Krisis paruh baya dikonseptualisasikan sebagai sebuah krisis identitas, bahkan disebut juga masa remaja kedua.

Apa yang menyebabkannya, ujar Elliott Jacques (1967), seorang ahli psikoanalisis yang menciptakan istilah itu, adalah kesadaran akan kematian. Saat ini, banyak orang yang menyadari bahwa mereka tidak akan mampu memenuhi impian masa muda mereka, atau bahwa pemenuhan impian mereka tidak membawa kepuasan seperti yang mereka harapkan. Mereka tahu bahwa jika ingin mengubah arah, mereka harus bertindak secara cepat. (Papalia, 2013)

Menurut psikiater Roger Gould menghubungkan fase dan krisis dalam pandangannya tentang transformasi perkembangan. Dia menekankan bahwa paruh kehidupan adalah sama bergejolaknya dengan masa remaja, dengan pengecualian bahwa selama masa dewasa tengah usaha untuk menangani krisis barangkali akan menghasilkan kehidupan yang lebih bahagia dan lebih sehat.

Karakteristik Paruh Baya


Seperti halnya setiap periode dalam rentang kehidupan, usia madya pun diasosiasikan dengan karakteristik tertentu yang membuatnya berbeda. Berikut ini akan diuraikan sepuluh karakteristik yang amat penting (Elizabeth, 1980).

  • Usia madya merupakan usia yang sangat ditakuti
    Diakui bahwa semakin mendekati usia tua, periode usia madya semakin terasa lebih menakutkan dilihat dari seluruh kehidupan manusia. Oleh karena itu orang-orang dewasa tidak akan mau mengakui bahwa mereka telah mencapai usia tersebut. Kebanyakan orang dewasa menjadi rindu pada masa muda mereka dan berharap dapat kembali ke masa itu.

  • Usia madya merupakan masa transisi
    Seperti halnya masa puber, yang merupakan masa transisi dari masa kanak-kanak ke masa remaja dan kemudian dewasa, demikian pula usia madya merupakan masa ketika pria dan wanita meninggalkan ciri-ciri jasmani dan perilaku masa dewasanya dan memasuki suatu periode dalam kehidupan yang akan diliputi oleh ciri-ciri jasmani dan perilaku yang baru. Seperti yang telah diuraikan, bahwa periode ini merupakan masa dimana pria mengalami perubahan keperkasaan dan wanita dalam kesuburan. Bardwick mengatakan bahwa, “orang Amerika tampaknya menghadapi usia lanjut dengan mengubah peranan, khususnya dalam pekerjaan, dan mengubah pasangan”.

  • Usia madya adalah masa stres
    Penyesuaian secara radikal terhadap peran dan pola hidup yang berubah, khususnya bila disertai dengan berbagai perubahan fisik, selalu cenderung merusak homeostatis fisik dan psikologis seseorang dan membawa ke masa stres, suatu masa bila sejumlah penyesuaian yang pokok harus dilakukan di rumah, bisnis, dan aspek sosial kehidupan mereka.

  • Usia madya adalah usia yang berbahaya
    Acher (1980) dalam buku Psikologi Perkembangan oleh Elizabeth B. Hurlock edisi kelima menginterpretasi ”usia berbahaya” ini sebagai berikut :
    Terhadap apa saja yang ada disekelilingnya, kelihatannya bahwa orang berusia madya berusaha mencari percontohan kegiatan dan pengalaman baru. Periode ini dapat di dramatisasi dengan episode ekstrem ke dalan hubungan ekstra- marital, atau dengan bentuk alkoholisme. Bagi beberapa orang krisis usia madya bisa berakhir dengan kesusahan yang permanen dan semakin pendeknya usia mereka.
    Saat ini merupakan suatu masa di mana seseorang mengalami kesusahan fisik sebagai akibat dari terlalu banyak bekerja, rasa cemas yang berlebihan, ataupun kurang memperhatika kehidupan.

  • Usia madya adalah usia canggung
    Sama seperti remaja, bukan anak-anak dan bukan juga dewasa, demikian juga pria dan wanita berusia madya bukan “muda” lagi tapi bukan juga tua. Franzblau mengatakan bahwa “Orang yang berusia madya seolah-olah berdiri di antara generasi pemberontak yang lebih muda dan generasi warga senior”. Mereka secara terus menerus menjadi sorotan dan menderita karena hal-hal yang tidak menyenangkan dan memalukanyang disebabkan oleh kedua generasi tersebut.

  • Usia madya adalah masa berprestasi
    Erikson mengatakan bahwa selama usia madya, orang akan menjadi lebih sukses atau sebaliknya mereka berhenti dan tidak mengerjakan sesuatu apapun lagi. Apalagi orang berusia madya mempunyai kemauan yang kuat untuk berhasil, mereka akan mencapai puncaknya pada usia ini dan memungut hasil dari masa- masa persiapan dan kerja keras yang dilakukan sebelumnya.

  • Usia madya merupakan masa evaluasi
    Usia madya pada umumnya merupakan saat pria dan wanita mencapai puncak prestasinya, maka logislah apabila masa ini juga merupakan saat mengevaluasi prestasi tersebut berdasarkan aspirasi mereka semula dan harapan-harapan orang lain, khususnya anggota keluarga dan teman.

  • Usia madya dievaluasi dengan standar ganda
    Standar ganda ini mempengaruhi banyak aspek terhadap kehidupan pria dan wanita, ada dua aspek khusus yang perlu diperhatikan, pertama adalah aspek yang berkaitan dengan perubahan jasmani. Dan kedua, dapat terlihat nyata pada cara mereka (pria dan wanita) menyatakan sikap terhadap usia tua.

  • Usia madya merupakan masa sepi
    Masa ini dialami sebagai masa sepi (empty nest), yaitu masa ketika anak-anak tidak lagi tinggal bersama orang tua. Kecuali dalam beberapa kasus ketika pria dan wanita menikah lebih lambat dibandingkan dengan usia rata-rata, atau menunda kelahiran anak hingga mereka lebih mapan dalam karier, atau mempunyai keluarga besar sepanjang masa, usia madya merupakan masa sepi dalam kehidupan perkawinan.

  • Usia madya merupakan masa jenuh
    Banyak atau hampir seluruh pria dan wanita mengalami kejenuhan pada akhir usia tigapuluh dan empatpuluhan. Para pria jenuh dengan kegiatan rutin sehari-hari dan kehidupan bersama keluarga yang hanya sedikit memberika hiburan. Wanita, yang menghabiskan waktunya untuk memelihara rumah dan membesarkan anak-anaknya.