Apa yang dimaksud dengan Konsep Jus Cogens dalam Hukum Internasional?

Konsep Jus Cogens

Gagasan terhadap jus cogens dalam hukum internasional mencakup teori-teori tentang norma peremptory dalam hukum internasional.

Apa yang dimaksud dengan Konsep Jus Cogens dalam Hukum Internasional?

Gagasan terhadap jus cogens dalam hukum internasional mencakup teoriteori tentang norma peremptory dalam hukum internasional. Dalam hal ini, terdapat pandangan bahwa ada norma-norma dalam hukum internasional yang memiliki status atau derajat jus cogens , sehingga tidak dapat dikesampingkan atau dikecualikan dalam keadaan apapun.

Untuk menempatkan teori jus cogens dalam konteks yang tepat, ada baiknya dimulai dengan meninjau secara singkat asal usul dan evolusi konsep jus cogens dalam teori hukum internasional mulai dari abad ketujuhbelas hingga saat ini. Meskipun terminologi “ jus cogens ” tidak berakar atau muncul hingga abad keduapuluh, prinsip terkait norma fundamental yang bersifat memaksa ini sebenarnya memiliki sejarah atau historis yang panjang. Gambaran terkait asal usul maupun evolusi dilakukan dengan menguraikan tiga teori terkemuka terkait jus cogens yaitu teori hukum alam, teori positivisme dan teori ketertiban umum, dimana teori-teori tersebut memberikan justifikasi atas keberadaan norma memaksa dalam hukum internasional.

Teori Hukum Alam (Natural Law Theory)


Konsep jus cogens dapat ditelusuri dari tulisan para ahli hukum alam.109 Pada abad keenambelas, banyak penulis klasik yang membedakan antara jus dispositivum ( voluntary law ) dengan jus scriptum ( obligatory law ), dimana jus scriptum tidak dapat dikesampingkan dalam keadaan apapun. Grotius, misalnya, berpendapat bahwa ada prinsip-prinsip tertentu yang merupakan jus natural necessarium ( necessary natural law ). Wolf dan Vattel juga menyatakan bahwa ada sebuah “ necessary law ” yang berlaku terhadap semua negara, dimana perjanjian dan kebiasaan yang bertentangan dengan “ necessary law ” ini adalah illegal. Hal ini karena norma tersebut berasal dari sumber yang lebih tinggi. Bahkan Grotius menyatakan bahwa prinsip-prinsip hukum alam adalah prinsip-prinsip yang abadi yang bahkan Tuhan sekalipun tidak dapat mengubahnya.

Menurut teori hukum alam, terdapat prinsip-prinsip umum yang merupakan kepentingan komunitas internasional secara keseluruhan. Terinsipirasi oleh sikap antipositivisme Lautherpacht, sejumlah ahli berargumen bahwa norma peremptory memiliki status “istimewa” dari otoritas moral. Untuk membedakan norma peremptory dengan hukum kebiasaan internasional secara umum adalah substansi dari aturan itu sendiri, termasuk apakah norma tersebut berakar dari kesadaran internasional. Banyak ahli sepakat bahwa “ the character of certain norms makes it difficult to portray them as other than peremptory .” Dengan kata lain, ada norma-norma yang memiliki karakter tertentu yang membuatnya sangat sulit untuk dilihat dan atau dipandang, selain sebagai norma peremptory.

Para pembela pandangan teori hukum alam menyamakan konsep jus cogens dengan moral yang luhur ( good morals ), dimana mereka percaya bahwa ada etika moral tertentu yang bersifat memaksa. Mereka berpendapat bahwa konvensi atau perjanjian internasional manapun yang bertentangan dengan prinsip-prinsip moral, dinyatakan tidak berlaku, bahwa negara-negara tidak dapat secara mutlak bebas melakukan hubungan-hubungan yang bersifat kontraktual.

Negara-negara tersebut berkewajiban untuk menghormati prinsip-prinsip fundamental tertentu yang sangat melekat di dalam masyarakat intemasional. Banyak partisipan ketika melakukan negosiasi percaya bahwa norma jus cogens didasarkan pada kesadaran hukum dan juga keyakinan moral manusia.

Penganut teori ini menghadapi sejumlah tantangan oleh pihak positivis terkait jus cogens karena dianggap menyamakan hukum dan moralitas, sehingga membingungkan norma-norma etika dengan prinsip terkait hak dan kewajiban secara hukum. Meskipun norma peremptory seperti larangan genosida dan perbudakan, relatif lebih kecil kontroversinya oleh negara-negara, namun belum jelas apakah teori hukum alam dapat menyelesaikan permasalahan dan kontroversi terkait norma yang secara substansi kurang identifikasinya seperti larangan penyiksaan. Inilah yang menyebabkan pengadilan internasional pada pertengahan abad ini mulai meninggalkan teori jus cogens berdasarkan teori hukum alam.

Teori Positivisme (Positivism Theory)


Sebagian besar ahli secara perlahan melihat jus cogens melalui kacamata positivism yaitu melalui persetujuan negara. Meskipun kontribusi teori hukum alam tidak begitu saja dapat ditinggalkan, namun diperlukan juga persyaratan persetujuan negara yang didasarkan bahwa negara itu berdaulat secara mandiri dan otonom, sehingga negara tidak dapat terikat oleh norma-norma yang tidak mereka setujui. Berdasarkan pendekatan persetujuan, norma-norma internasional mencapai status memaksa atau peremptory melalui proses pembuatan hukum yang sama yang menghasilkan hukum internasional pada umumnya. Secara khusus, negara dapat menyetujui suatu norma peremptory dengan mengkodifikasikannya ke dalam perjanjian internasional, menerimanya sebagai hukum kebiasaan internasional, atau dengan menerapkan norma tersebut secara domestic, sebagai prinsip hukum yang berlaku umum.

Teori positivisme terkait jus cogens menganggap bahwa sebuah norma memaksa merupakan hukum kebiasaan yang telah memperoleh status peremptory melalui praktek negara dan opinion juris . Menurut para positivis, dengan melihat konsep jus cogens melalui pendekatan-kebiasaan, akan menjamin negaranegara untuk memelihara kontrol terhadap evolusi atau perkembangan normanorma peremptory. Namun, mereka berjuang untuk menghubungkan antara pendekatan-kebiasaan teori jus cogens dengan praktek negara yang nyata. Fakta menunjukkan bahwa negara-negara jarang (kalau tidak sama sekali) mengekspresikan maksud mereka untuk mentransformasikan norma kebiasaan yang umum menjadi hukum memaksa, dan memang tidak jelas praktek negara mana saja yang dapat mendukung maksud tersebut. Tentu saja, mereka yang mengkritik jus cogens akan secara langsung dan seketika menunjuk bahwa normanorma terkait HAM, seperti larangan terhadap penyiksaan, yang telah diakui sebagai jus cogens , sering kali dilanggar dalam praktek. Meskipun praktek negara secara jelas mendukung dan mengakui norma peremptory sebagai hukum kebiasaan internasional, pendekatan-persetujuan negara akan kesulitan untuk menjelaskan mengapa norma kebiasaan harus mengikat “ persistent objectors ” atau membatalkan perjanjian yang bertentangan.

Bila jus cogens tidak tepat dimasukan sebagai hukum kebiasaan internasional, gagasan bahwa norma peremptory berasal dari status konvensi atau perjanjian internasional yang bersifat “ nonderogable ” juga belum sepenuhnya tepat. Seperti Konvensi tentang Genosida yang mengatur norma hak asasi manusia yang fundamental dan menginginkan keanggotaan universal. Namun, banyaknya persetujuan negara terhadap konvensi ini tidak dapat ditafsirkan serta merta bahwa aturan tersebut juga berlaku bagi negara-negara yang belum meratifikasinya. Fakta bahwa banyak begara telah meratifikasi konvensi tersebut tidak meniadakan kebutuhan agar negara-negara yang belum meratifikasi untuk memberikan persetujuan agar mereka terikat oleh pasal-pasal di dalam konvensi tersebut. Apalagi, gagasan bahwa konvensi genosida merupakan jus cogens berdasarkan persetujuan negara dapat dilihat di dalam konvensi tersebut, yang menyatakan bahwa, “ parties confirm that genocide…… is a crime under international law.” Yang jelas adalah meskipun sebuah konvensi atau perjanjian multilateral mengandung norma-norma internasional, namun hal tersebut tidak cukup untuk mengidentifikasi sebuah norma sebagai peremptory.

Teori positivism lainnya yang juga populer adalah teori yang menegaskan bahwa norma peremptory merupakan hukum internasional sebagai “ general principles of law recognized by civilized nations .” Hal tersebut dapat dilihat, contohnya prinsip pacta sunt servanda dan juga hak-hak individu, yang diabadikan di dalam konstitusi nasional, statuta maupun putusan-putusan pengadilan. Sehingga negara-negara secara implicit menyetujui norma peremptory dengan menghormati dan mengakuinya sebagai prinsip fundamental di dalam hukum nasional. Beberapa ahli mengusulkan agar persyaratan persetujuan negara mungkin dapat dipenuhi jika sebagian besar perwakilan dari negara-negara mengakui norma tersebut sebagai peremptory, atau yang mereka sebut sebagai teori consensus ( consensus theory ). Keuntungan dari teori konsensus ini dibandingkan dengan teori positivism lainnya adalah bahwa teori ini membebaskan norma peremptory dari aturan persistent objector yang terjadi berdasarkan hukum kebiasaan internasional. Meskipun demikian, saat ini terdapat sedikit bukti bahwa negara-negara menerima konsensus internasional sebagai proses otoritatif untuk menghasilkan norma peremptory. Hal ini karena paradigma positivis ini tidak mampu menjelaskan mengapa negara-negara yang tidak setuju dengan norma peremptory yang sedang berkembang, tidak dapat menarik persetujuan mereka. Sehingga, teori konsensus internasional kurang mampu untuk melengkapi teori-teori dasar dari jus cogens .

Teori Public Order


Teori ketiga mendefinisikan jus cogens sebagai norma umum atau ” public order ” yang penting untuk integritas dari hukum internasional sebagai sebuah sistem hukum. Berdasarkan teori ini, hukum internasional mengakui suatu norma memaksa sebagai hierarki yang lebih unggul dari konvensi dan atau hukum kebiasaan pada umumnya, untuk mempromosikan kepentingan komunitas internasional secara keseluruhan dan melestarikan nilai-nilai utama atau dasar hukum internasional, dan bukan untuk memenuhi kebutuhan dari negara-negara secara individu. Dengan menggunakan analogi hukum domestic, beberapa negara menafsirkan jus cogens sebagai kebiasaan yang baik, berdasarkan aspek moral, dan mengedepankan public policy , dalam pengertian hukum nasional. Atau disebutkan oleh Verdross sebagai berikut :

The law of civilized states… demands the establishment of a juridical order guaranteeing the rational and moral coexistence of the members… A truly realistic analysis of the law shows us that every positive juridical order has its roots in the ethics of a certain community, that it cannot be understood apart from its moral basis.

Berdasarkan teori public order, semua norma peremptory merupakan salah satu dari dua fungsi berikut ini, yaitu menjaga keberadaan negara-negara sebagai sebuah komunitas yang damai atau menghormati dasar-dasar komitmen normatif dari sistem internasional. Sudargo Gautama, menjelaskan tentang public policy ini sebagai “rem darurat” yang sebenarnya tidak bertentangan dengan hukum positif suatu negara, dan dapat dikategorikan sebagi suatu pelanggaran yang sangat berat terhadap sendi-sendi hukum nasional. Mengenai arti dari “ketertiban umum” sangat sukar dikemukakan ke dalam suatu perumusan, oleh karena setiap negara memiliki pengertian masing-masing.

Menurut teori ini jus cogens dianggap sebagai prinsip yang bersifat integral dengan komunitas internasional itu sendiri. Banyak para ahli yang berargumen bahwa norma jus cogens seperti diskriminasi rasial merefleksikan transformasi dari hukum internasional menjadi komunitas global yang memiliki kesadaran untuk mempromosikan HAM dan perdamaian di antara negara-negara. Sebagai bukti atas agenda normatif ini, penganut teori public order ini menunjuk sejumlah instrumen seperti Piagam PBB, yang menyataka bahwa ” the United Nation‟s objectives to include the promotion of international peace and security, friendly relations among nations, human rights, and fundamental freedoms .”

Pada waktu yang bersamaan, teori ini tidak berhasil menghasilkan teori preskriptif dan basis normatif terkait jus cogens , maupun mengklarifikasi norma internasional mana yang patut disebut peremptory. Bila dihadapkan dengan pertanyaan penentu, yaitu terkait sifat maupun isi dari norma peremptory, penganut teori ini hanya dapat memberikan penalaran tentang tidak adanya dispensasi atas norma itu, atau mendaur ulang argumen-argumen dari teori positivisme atau hukum alam.

Sementara ini, dapat disimpulkan bahwa jus cogens merupakan konsep yang masih membutuhkan penjelasan dengan teori yang tepat. Perkembangan norma jus cogens telah dipengaruhi oleh sejumlah teori seperti teori persetujuan negara, teori hukum alam dan teori international order, yang ketiganya belum sepenuhnya berhasil menyelesaikan tugasnya untuk mengidentifikasi konsep jus cogens secara jelas. Dengan kata lain, meskipun konsep jus cogens telah diakui dan diterima secara luas oleh komunitas internasional, dasar teoritisnya yang belum sempurna telah mempengaruhi dan memperlambat perkembangan dan implementasinya. Untuk itu, dibutuhkan analisis lebih mendalam terkait konsep jus cogens yang mungkin dapat disempurnakan di dalam penjelasan selanjutnya, khususnya terkait dengan pengakuan formal jus cogens , baik dari dari sumber konvensi maupun putusan badan atau peradilan internasional.

Dalam konvensi Wina tahun 1969 tentang Hukum Perjanjian, pengertian jus cogens terdapat dalam Bagian V yang mengatur perihal pembatalan, berhenti berlaku dan penundaan berlakunya perjanjian. Pada rumusan Pasal 53 dinyatakan sebagai berikut: “………a premptory norm of general international law is a norm accepted and recognized by the international community of states as a whole as norm from modified only by a subsequent norm of general international law having the same character”.

Maksudnya adalah sebagai suatu norma yang diterima dan diakui oleh masyarakat internasional secara keseluruhan, sebagai norma yang tidak dapat dilanggar dan hanya dapat diubah oleh suatu norma dasar hukum internasional umum yang baru yang mempunyai sifat yang sama.

Sebagaimana kita ketahui bahwa rumusan naskah Konvensi Wina 1969 ini merupakan produk hasil kerja selama dua puluh tahun Panitia Hukum Internasional, yang dibentuk berdasarkan Resolusi Majelis Umum PBB No. 174/II/1947/ yang beranggotakan para ahli hukum terkemuka dari berbagai bangsa dan berbagai sistem hukum. Berkenaan dengan jus cogens, Panitia Hukum Internasional menyatakan bahwa:

The emergence of rules having to character of jus cogens is comparativelu recent, while international law is in process of rapid development….the right course to provide in general terms that treaty is void if it conflict with a rule of jus cogens and to leave the full content of this rule to be worked out in state practice and the yurisprudence of international tribunal……”.

Dari pandangan Panitia Hukum Internasional tersebut dapat ditarik beberapa hal yang menyangkut jus cogens ini, yakni jus cogens merupakan aturan-aturan dasar hukum internasional umum yang dapat ditafsirkan sebagai public policy dalam pengertian hukum nasional.

Sudargo Gautama menjelaskan tentang public policy ini sebagai “rem darurat” yang dapat dipakai terhadap suatu ketentuan hukum asing (yang sebenarnya tidak bertentangan dengan hukum positif suatu Negara) yang dapat dikategorikan merupakan suatu pelanggaran yang sangat berat terhadap sendisendi suatu hukum nasional.

Sendi-sendi asasi ini dapat dianalogikan sebagai norma-norma dasar dari jus cogens. Mengenai apa yang merupakan “ketertiban umum” sangat sukar dikemukakan suatu perumusan. Selanjutnya untuk dapat memberikan gambaran dan perbandingan pendapat di atas, maka akan dikutip beberapa pendapat para ahli tentang jus cogens sebagai berikut:

  1. Suy, memberikan batasan terhadap jus cogens sebagai berikut: “……the body of those general rules of law whose non observance may effect the very essence of the legal system to which they belong to such an extent that the subject of law may not, under paid of absolute nullity defart from them in virtue of particular agreements……”. Dari defenisi Suy ini dapat dilihat bahwa konsep jus cogens sangat umum dikenal bukan hanya dalam sistem hukum perdata, tetapi juga dalam sistem hukum internasional publik.

  2. Lord Mc Nair, dalam hal ini memberikan komentarnya walaupun tidak menggunakan istilah jus cogens, ia menegaskan adanya ketentuan-ketentuan hukum kebiasaan internasional yang berada dalam suatu kategori hukum yang “lebih tinggi” dan ketentuan-ketentuan mana tidak dapat dikesampingkan atau diubah oleh Negara-negara yang membuat suatu perjanjian. Ia pun menegaskan bahwa adalah lebih baik memberikan contoh-contoh (illustration) dari ketentuan jus cogens itu daripada memberikan batasan mengenai apa yang dimaksud dengan jus cogens.

    Lord Mc Nair memberi contoh ketentuanketentuan yang telah diterima baik secara tegas maupun secara diam-diam dalam hukum kebiasaan internasional dan aturan mana yang lebih penting untuk melindungi kepentingan umum masyarakat internasional. Misalnya ketentuan-ketentuan yang melarang digunakannya perang agresi, hukum mengenai genocide (larangan untuk membunuh massal), ketentuan-ketentuan mengenai perbudakan, pembajakan dan lain-lain tindakan kriminal terhadap kemanusiaan, juga ketentuan mengenai prinsip menentukan nasib sendiri juga hak-hak asasi manusia.

  3. Christos L. Rozakis, memberikan penegrtian jus cogens sebagai berikut: “in all major systems subject are free, it is true, to contract out of rules of law in their interse relations, that freedom, however, is conditional. There are general rules of law which exclude the conclusion of particular contractual arrengenents conflicting with them by actually prohibiting derogating from their content and by threatening with invalidity any attempt of violation of that prohibition. These rules are usually called jus cogens”.

    Dari pengertian ini ditegaskan bahwa meskipun Negara-negara memiliki kebebasan untuk membentuk hukum, bebas untuk mengatur tingkah laku mereka sendiri, namun kebebasan itu ada batasnya. Terdapat kaidah hukum yang membatasi kehendak Negara. Kaidah hukum yang mengancam dengan invaliditas setiap persetujuan-persetujuan yang dibuat oleh Negara-negara yang bertentangan dengannya. Kaidah hukum ini disebut jus cogens.