Apa yang dimaksud dengan Konsep Intervensi Kemanusiaan?

Konsep Intervensi Kemanusiaan

Intervensi kemanusiaan dipahami sebagai “pengerahan pasukan militer ke negara lain demi tujuan melindungi warga negara lain dari kekerasan” (Finnemore, 2003).

Apa yang dimaksud dengan Konsep Intervensi Kemanusiaan?

Intervensi kemanusiaan merupakan subyek yang banyak mengandung kontroversi dan membingungkan (Heinze, 2009). Kontroversial karena: pertama, intervensi kemanusiaan secara konseptual jelas-jelas kontradiktif dengan konsep kedaulatan. Dalam sejarah relasi antar bangsa, konsep kedaulatan yang diterima adalah konsep kedaulatan Westphalia. Konsep ini lahir sebagai konsekuensi perjanjian damai Westphalia pada tahun 1648 yang intinya adalah setiap entitas politik yang disebut negara berhak mengatur urusannya sendiri tanpa campur tangan pihak lain ( non-interference ). Prinsip ini kemudian dituangkan dalam Piagam PBB Bab2 (Pasal 7) yang melarang negara lain ikut campur urusan dalam negeri negara lain. Kedua, intervensi kemanusiaan kontradiktif dengan prinsip larangan penggunaan kekuatan militer ( non-use of force ). Prinsip ini termaktub secara eksplisit dalam Piagam PBB Bab2 (Pasal 4) yang isinya melarang penggunaan kekuatan militer kecuali untuk pertahanan diri ( self defense ) atau atas ijin DK PBB (Bellamy dalam Wiliams, 2008). Mengingat perdebatan tentang hal ini merupakan substansi hukum internasional, tulisan ini tidak akan memfokuskan pada isu tersebut.

Para sarjana Barat umumnya sepakat mengenai definisi intervensi kemanusiaan. Intervensi kemanusiaan dipahami sebagai “pengerahan pasukan militer ke negara lain demi tujuan melindungi warga negara lain dari kekerasan” (Finnemore, 2003). Definisi yang lebih komprehensif dikemukakan oleh Holzgrefe (dalam Holzgrefe & Keohane, 2003) yakni “ancaman atau penggunaan kekuatan militer di wilayah kedaulatan negara lain oleh satu negara (atau sekelompok negara) yang dimaksudkan untuk mencegah dan menghentikan kekerasan terhadap hak asasi manusia individu ketimbang warga negaranya sendiri dengan tanpa seijin negara yang diberikan tindakan militer tersebut”. Definisi ini tampak sejalan dengan definisi yang dikemukakan oleh Heinze (2009) yakni “penggunaan kekuatan militer oleh satu atau sekelompok negara di dalam wilayah yurisdiksi negara lain, tanpa seijin negara yang bersangkutan, untuk tujuan mencegah atau menghentikan penindasan terhadap warga negara yang dilakukan oleh negara itu. Sedangkan Welsh (2004) mendefinisikan intervensi kemanusiaan sebagai tindakan “campur tangan koersif dalam urusan internal negara lain yang melibatkan penggunaan kekuatan militer untuk mencegah kekerasan terhadap hak asasi manusia atau mencegah meluasnya penderitaan yang dialami warga.”

Dari beberapa definisi konseptual mengenai istilah intervensi kemanusiaan di atas, dapat disimpulkan bahwa intervensi kemanusiaan paling tidak mengandung tiga unsur pokok: penggunaan kekuatan militer (metode), penghentian pelanggaran terhadap hak asasi manusia (tujuan), dan dilakukan tanpa seijin negara yang bersangkutan (prosedur). Definisi ini berbeda dengan konsep intervensi militer dimana negara menggunakan cara koersif – kekuatan militer, sebagaimana namanya – untuk menghukum negara lain karena dianggap membahayakan keamanan internasional tanpa disertai dengan upaya-upaya kemanusiaan ( humanitarian relief ). Di sini penekanan intervensi militer hanya pada metode yang ditempuh, bukan tujuan yang hendak dicapai.

Intervensi kemanusiaan hendaknya juga dibedakan dari konsep operasi kemanusiaan ( humanitarian action ). Jika intervensi kemanusiaan acapkali menggunakan metode koersif, operasi kemanusiaan menggunakan metode non-koersif atau nir-kekerasan. Hehir (2010) mengatakan bahwa humanitarianisme dan operasi kemanusiaan adalah istilah yang kerap digunakan para pekerja kemanusiaan dan organisasi non-pemerintah dimana istilah kemanusiaan diartikan sebagai tindakan yang altruistik, non-politis, dan hirau dengan kemaslahatan orang banyak. Operasi kemanusiaan biasanya dilakukan oleh organ-organ non-pemerintah (NGO) internasional seperti organisasi PBB yang mengurusi masalah pengungsi (UNHCR), Organisasi Palang Merah Internasional (ICRC) dan sebagainya. Tetapi negara terkadang juga ikut terlibat dalam menyelenggarakan aktivitas-aktivitas kemanusiaan seperti kesehatan, penyaluran bahan pangan, rekonstruksi infrastruktur, pendidikan dan lain-lain.

Landasan moral bagi intervensi kemanusiaan lahir dari sejarah peradaban Barat. Para ahli kerap merujuk landasan moral ini pada Just War Theory atau diartikan sebagai “teori tentang perang yang dapat dibenarkan”. Menurut teori ini, perang atau penggunaan kekerasan hanya dibenarkan sejauh menyangkut dua hal yakni untuk membela diri dan menghukum pihak yang telah melakukan kesalahan. Dalam konteks intervensi kemanusiaan, prinsip kedua menjadi landasan moral yang menjadikannya dapat dibenarkan. Thomas Aquinas, filsuf-rohaniawan Abad Pertengahan mencetuskan ide tentang Just War dalam bukunya Summa Theologicae ( Summary of Theology ) mengatakan bahwa alasan yang dapat dibenarkan untuk memerangi orang lain adalah “Mereka yang melakukan penyerangan harus diperangi karena mereka berhak mendapatkannya atas kesalahannya” (Nardin, 2000). Memerangi yang tidak bersalah adalah dosa sehingga menghukum mereka yang melakukannya adalah suatu tindakan yang dibenarkan. Sedangkan Onuf (2000) berpendapat bahwa konsep intervensi kemanusiaan yang kita kenal dewasa ini pada mulanya adalah gagasan untuk menata dunia menurut “sensibilitas liberal”. Pelanggaran hak asasi manusia dipandang sebagai upaya merusak tatanan masyarakat liberal sehingga diperlukan tindakan campur tangan untuk mengembalikan tatanan itu.