Apa yang dimaksud dengan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KomnasHAM)?

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia atau Komnas HAM adalah sebuah lembaga mandiri di Indonesia yang kedudukannya setingkat dengan lembaga negara lainnya dengan fungsi melaksanakan kajian, perlindungan, penelitian, penyuluhan, pemantauan, investigasi, dan mediasi terhadap persoalan-persoalan hak asasi manusia.

Apa yang dimaksud dengan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KomnasHAM) ?

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dibentuk berdasarkan Keppres Republik Indonesia No.50 Tahun 1993 tentang Komisi Nasional Hak Asasi Manusia yang kemudian setelah keluarnya Tap MPR RI NO.XVII/MPR RI/1998 tentang HAM disesuaikan dengan Undang-Undang No.39 Tahun 1999 tentang HAM.

Di dalam :

Pasal 105 UU No.39 Tahun 1999 tentang HAM (merupakan ketentuan peralihan). dikatakan :

  • Ayat (1) : segala ketentuan mengenai HAM yang diatur dalam peraturan perundangan-undangan lain dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak diatur dengan Undang-Undang ini.

  • Ayat (2) :
    a. Komnas HAM yang dibentuk berdasar Keppres No.50 Tahun 1993 tentang Komnas HAM dinyatakan sebagai Komnas HAM menurut UU ini.
    c. Semua permasalahan yang sedang ditangani oleh Komnas HAM tetap dilanjutkan penyelesaiannya berdasar UU ini.

  • Ayat (3) : dalam waktu paling lama 2 tahun sejak berlakunya UU ini susunan organisasi, keanggotaan, tugas dan wewenang serta tata tertib Komnas HAM harus disesuaikan dengan UU ini.

Menurut:

Pasal 76 ayat (3) dan (4) UU No.39 Tahun 1999 :

Komnas HAM berkedudukan di ibukota negara Republik Indonesia dan dapat didirikan Perwakilan Komnas HAM di daerah.

Adapun:

Tujuan Komnas HAM (Psl.75 UU No.39 Tahun 1999) :

  1. Mengembangkan kondisi yang kondusif bagi pelaksanaan HAM sesuai dengan Pancasila, UUD 1945 dan Piagam PBB serta Deklarasi Universal HAM, dan

  2. Meningkatkan perlindungan dan penegakan HAM guna berkembangnya pribadi manusia Indonesia seutuhnya dan kemampuannya berpartisipasi dalam berbagai bidang kehidupan.

Keanggotaan:

Komnas HAM beranggotakan tokoh masyarakat yang profesional, berdedikasi dan berintegritas tinggi, menghayati cita- cita negara hukum dan negara kesejahteraan yang berintikan keadilan, menghormati HAM dan kewajiban dasar manusia (Pasal 76 ayat (2) UU No.39 Tahun 1999).

Persyaratan:

Pasal 84 UU No. 39 Tahun 1999 :

  1. Memiliki pengalaman dalam upaya memajukan dan melindungi org. atau kelompok yang dilanggar HAM-nya,
  2. Berpengalaman sebagai hakim, jaksa, polisi, pengacara atau pengemban profesi hukum lainnya,
  3. Berpengalaman di bidang legislatif, eksekutif dan lembaga tinggi negara atau
  4. Merupakan tokoh agama, tokoh masyarakat, anggota LSM dan kalangan Perguruan Tinggi.

Hak dan Kewajiban

Setiap anggota KOMNAS HAM berkewajiban :

  1. Menaati ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan keputusan KOMNAS HAM,
  2. Berpartisipasi secara aktif dan sungguh-sungguh untuk tercapainya tujuan KOMNAS HAM, dan
  3. Menjaga kerahasiaan ket. yang karena sifatnya merupakan rahasia KOMNAS HAM yang diperoleh berdasarkan kedudukannya sebagai anggota (Pasal 87 ayat (1) UU No.39 Tahun 1999)

Setiap anggota KOMNAS HAM berhak :

  1. Menyampaikan usulan dan pendapat kepada Sidang paripurna dan subkomisi,
  2. Memberikan suara dalam pengambilan keputusan Sidang paripurna dan Subkomisi,
  3. Mengajukan dan memilih calon ketua dan wakil Ketua KOMNAS HAM dalam sidang Paripurna, dan
  4. Mengajukan bakal calon anggota KOMNAS HAM dalam sidang Paripurna untuk pergantian periodik dan antar waktu (Pasal 87 ayat (2) UU No.39 Tahun 1999)

Tugas, Fungsi dan Wewenang

  • Pasal 76 ayat (1) UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM : Untuk mencapai tujuannya KOMNAS HAM melaksanakan fungsi pengkajian, penelitian, penyuluhan, pemantauan dan mediasi tentang hak asasi manusia.

  • Pasal 80 ayat (1) : Pelaksanaan kegiatan KOMNAS HAM dilakukan oleh subkomisi. Ketentuan mengenai subkomisi diatur dalam Peraturan Tata Tertib KOMNAS HAM (ayat(2) pasal tersebut), yang ditetapkan oleh Sidang Paripurna (Pasal 79 ayat (3) UU No.39 Tahun 1999). Sidang Paripurna merupakan pemegang kekuasaan tertinggi KOMNAS HAM (Pasal 79 ayat (1) UU No.39 Tahun 1999 tentang HAM.

Adapun Fungsi-fungsi itu sebagai berikut :

  1. Fungsi Pengkajian dan Penelitian, KOMNAS HAM bertugas dan berwenang melakukan (Pasal 89 ayat (1) UU No.39 Tahun 1999 tentang HAM) :

    a. Pengkajian dan penelitian berbagai instrumen internasional HAM dengan tujuan memberikan saran-saran mengenai kemungkinan aksesi dan atau ratifikasi;
    b. Pengkajian dan penelitian berbagai peraturan perundang- undangan untuk memberikan rekomendasi mengenai pembentukan, perubahan dan pencabutan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan HAM;
    c. Penerbitan hasil pengkajian dan penelitian;
    d. Melakukan studi kepustakaan, studi lapangan dan studi banding di negara lain mengenai HAM;
    e. Pembahasan berbagai masalah yang berkaitan dengan perlindungan, penegakkan dan pemajuan HAM, dan
    f. Kerjasama pengkajian dan penelitian dengan organisasi, lembaga atau pihak lainnya baik tingkat nasional, regional maupun internasional dalam bidang hak asasi manusia.

  2. Fungsi Penyuluhan, KOMNAS HAM bertugas dan berwenang melakukan (Pasal 89 ayat (2) UU No.39 Tahun 1999 tentang HAM) :

    a. Penyebarluasan wawasan mengenai HAM kepada masyarakat Indonesia;
    b. Upaya peningkatan kesadaran masyarakat tentang HAM melalui lembaga pendidikan formal dan nonformal serta berbagai kalangan lainnya, dan
    c. Kerjasama dengan organisasi, lembaga atau pihak lainnya di tingkat nasional, regional maupun internasional dalam bidang hak asasi manusia.

  3. Fungsi Pemantauan, KOMNAS HAM bertugas dan berwenang melakukan (Pasal 89 ayat (3) UU No.39 Tahun 1999 tentang HAM) :

    a. Pengamatan pelaksanaan HAM dan penyusunan laporan hasil pengamatan tersebut;
    b. Penyelidikan dan pemeriksaan terhadap peristiwa yang timbul dalam masyarakat yang berdasarkan sifat atau lingkupnya patut diduga terdapat pelanggaran HAM; Penjelasan :
    Yang dimaksud dengan “Penyelidikan dan pemeriksaan” dalam rangka pemantauan adalah kegiatan pencarian data, informasi dan fakta untuk mengetahui ada atau tidaknya pelanggaran hak asasi manusia.
    c. Pemanggilan pihak pengadu atau korban maupun pihak yang diadukan untuk dimintai dan didengar keterangannya;
    d. Pemanggilan saksi untuk diminta dan didengar kesaksikannya, dan kepada saksi pengadu diminta menyerahkan bukti yang diperlukan;
    e. Peninjauan di tempat kejadian dan tempat lainnya yang dianggap perlu;
    f. Pemanggilan terhadap pihak terkait untuk memberikan keterangan secara tertulis atau menyerahkan dokumen yang diperlukan sesuai dengan aslinya dengan persetujuan Ketua Pengadilan;
    g. Pemeriksaan setempat terhadap rumah, pekarangan, bangunan dan tempat lainnya yang diduduki atau dimiliki pihak tertentu dengan persetujuan Ketua Pengadilan, dan
    h. Pemberian pendapat berdasarkan persetujuan Ketua Pengadilan terhadap perkara tertentu yang sedang dalam proses peradilan, bilamana dalam perkara tersebut terhadap pelanggaran HAM dalam masalah publik dan acara pemeriksaan oleh Pengadilan yang kemudian pendapat KOMNAS HAM tersebut wajib diberitahukan oleh hakim kepada para pihak.

    Penjelasan :

    Yang dimaksud dengan “pelanggaran HAM dalam masalah publik” antara lain mengenai pertanahan, ketenagakerjaan dan lingkungan hidup.

  4. Fungsi Mediasi, KOMNAS HAM bertugas dan berwenang melakukan (Psl. 89 ayat (4) UU No.39 Tahun 1999):

    a. Perdamaian kedua belah pihak;
    b. Penyelesaian perkara melalui cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi dan penilaian ahli;

    Penjelasan :
    Yang dimaksud dengan “mediasi” adalah penyelesaian perkara perdata diluar pengadilan, atas dasar kesepakatan para pihak.

    c. Pemberian saran kepada para pihak untuk menyelesaikan sengketa melalui pengadilan;
    d. Penyampaian rekomendasi atas suatu kasus pelanggaran HAM kepada Pemerintah untuk ditindaklanjuti penyelesaian, dan
    e. Penyampaian rekomendasi atas suatu kasus pelanggaran HAM kepada DPR Republik Indonesia untuk ditindaklanjuti.

Laporan Tahunan:

Pasal 97 UU No.39 Tahun 1999 tentang HAM
KOMNAS HAM wajib menyampaikan laporan tahunan tentang pelaksanaan fungsi, tugas dan wewenangnya serta kondisi HAM dan perkara-perkara yang ditanganinya kepada DPR Republik Indonesia dan Presiden dengan tembusan kepada Mahkamah Agung.

Tata Cara Pelaporan / Pengaduan dan Mediasi :

  1. Setiap orang dan atau sekelompok orang yang memiliki alasan kuat bahwa hak asasinya telah dilanggar dapat mengajukan laporan atau pengaduan lisan atau tertulis kepada KOMNAS HAM (Pasal 90 ayat (1) UU No.39 Tahun 1999);

  2. Pengaduan hanya akan mendapatkan pelayanan bila disertai dengan identitas pengadu yang benar dan keterangan atau bukti awal yang jelas tentang materi yang diadukan (Pasal 90 ayat (2) UU No.39 Tahun 1999);

  3. Pengaduan yang dilakukan oleh pihak lain harus disertai dengan persetujuan dari pihak yang hak asasinya dilanggar sebagai korban kecuali untuk pelanggaran HAM tertentu berdasarkan pertimbangan KOMNAS HAM (Pasal 90 ayat (3) UU No.39 Tahun 1999). Ketentuan ini meliputi pula pengaduan melalui perwakilan (class action) mengenai pelanggaran HAM yang dialami oleh kelompok masyarakat (Pasal 90 ayat (4) UU No.39 Tahun 1999).

    Penjelasan Pasal 90 ayat (1) :

    Yang dimaksud dengan “pengaduan melalui perwakilan” adalah pengaduan yang dilakukan oleh perorangan atau kelompok untuk bertindak mewakili masyarakat tertentu yang dilanggar hak asasinya dan atau atas dasar kesamaan kepentingan hukumnya.

  4. Pemeriksaan atas pengaduan kepada KOMNAS HAM tidak dilakukan atau dihentikan apabila :
    a. Tidak memiliki bukti awal yang memadai;
    b. Materi pengaduan bukan masalah pelanggaran HAM;
    c. Pengaduan diajukan dengan iktikad buruk atau ternyata tidak ada kesungguhan dari pengadu.

    Penjelasan :

    Yang dimaksud dengan ”itikad buruk” adalah perbuatan yang mengandung maksud dan tujuan yang tidak baik, misalnya pengaduan yang disertai data palsu atau keterangan tidak benar dan atau ditujukan semata-mata untuk mengakibatkan pencemaran nama baik perorangan, keresahan kelompok dan atau masyarakat.
    Adapun yang dimaksud dengan “tidak ada kesungguhan” adalah bahwa pengadu benar-benar tidak bermaksud menyelesaikan sengketanya, misalnya pengadu telah 3x dipanggil tidak datang tanpa alasan yang sah.

    d. Terdapat upaya hukum yang lebih efektif bagi penyelesaian materi pengaduan, atau
    e. Sedang berlangsung penyelesaian melalui upaya hukum yang tersedia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    Mekanisme pelaksanaan kewenangan mengenai hal ini ditetapkan dengan Peraturan Tata Tertib KOMNAS HAM (Pasal 91 ayat (2) UU No.39 Tahun 1999 Tentang HAM).

  5. Dalam hal tertentu dan bila dipandang perlu guna melindungi kepentingan dan hak asasi yang bersangkutan atau terwujudnya penyelesaian terhadap masalah yang ada. KOMNAS HAM dapat menetapkan untuk merahasiakan identitas pengadu dan pemberi keterangan atau bukti lainnya serta pihak yang terkait dengan materi aduan atau pemantauan (Pasal 92 ayat (1) UU No.39 Tahun 1999). KOMNAS HAM dapat menetapkan untuk merahasiakan atau membatasi penyebarluasan suatu keterangan atau bukti lain yang diperoleh KOMNAS HAM yang berkaitan dengan materi pengaduan atau pemantauan (ayat (2) pasal yang bersangkutan). Penetapan sebagaimana dimaksud dalam hal ini didasarkan pada pertimbangan bahwa penyebarluasan ketentuan atau bukti lainnya tersebut dapat :

    a. membahayakan keamanan dan keselamatan negara;
    b. membahayakan keselamatan dan ketertiban umum;
    c. membahayakan keselamatan perorangan:
    d. mencemarkan nama baik perorangan;
    e. membocorkan rahasia negara atau hal-hal yang wajib di rahasiakan dalam proses pengambilan keputusan Pemerintah.
    f. membocorkan hal-hal yang wajib dirahasiakan dalam proses penyidikan, penuntutan dan persidangan suatu perkara pidana.
    g. menghambat terwujudnya penyelesaian terhadap masalah yang ada, atau
    h. membocorkan hal-hal yang termasuk dalam rahasia dagang. (Pasal.92 ayat (3) UU No.39 Tahun.1999)

  6. Pemeriksaan pelanggaran HAM dilakukan secara tertutup kecuali ditentukan lain oleh KOMNAS HAM (Psl.93 UU No.39 Tahun 1999)

  7. Pihak pengadu, korban, saksi dan atau pihak lainnya yang terkait sebagaimana dimaksud dalam Psl.89 ayat (3) huruf c dan d, wajib memenuhi permintaan KOMNAS HAM (Psl.94 ayat (1) UU No. 39 Tahun 1999). Apabila kewajiban tersebut tidak dipenuhi oleh pihak lain yang bersangkutan (tidak datang menghadap atau menolak memberikan keterangannya) KOMNAS HAM dapat meminta bantuan Ketua Pengadilan untuk pemenuhan panggilan secara paksa sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan-undangan.(Psl.94 ayat (2) jo Psl.95 UU No.39 Tahun 1999).

    Penjelasan Pasal 95 UU No.39 Tahun 1999 :

    Yang dimaksud dengan “ketentuan peraturan perundang- undangan” dalam pasal ini adalah ketentuan Pasal 140 ayat (1) dan ayat (2) Pasal 141 ayat (1) Reglemen Indonesia yang Diperbaruhi (RIB) atau Pasal 167 ayat (1) Reglemen Luar Jawa dan Madura.

  8. Pasal 96 UU No.39 Tahun 1999 :
    Ayat (1) : penyelesaian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 89 ayat (4) huruf a dan b dilakukan oleh Anggota KOMNAS HAM yang ditunjuk sebagai mediator.
    Ayat (2) : penyelesaian yang dicapai dalam ayat (1) berupa kesepakatan secara tertulis dan ditandatangani oleh para pihak dan dikukuhkan oleh mediator.
    Ayat (3) : kesepakatan tertulis sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) merupakan keputusan mediasi yang mengikat secara hukum dan berlaku sebagai alat bukti yang sah.

    Penjelasan:
    Lembar keputusan asli atau salinan otentik keputusan mediasi diserahkan dan didaftarkan oleh mediator kepada Panitera Pengadilan Negeri.

    Ayat (4) : bila keputusan mediasi tidak dilaksanakan oleh salah satu pihak dalam jangka waktu yang ditetapkan dalam keputusan tersebut maka pihak lainnya dapat memintakan kepada Pengadilan Negeri setempat agar keputusan tersebut dinyatakan dapat dilaksanakan dengan pembubuhan kalimat “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.

    Penjelasan:
    Permintaan terhadap keputusan yang dapat dilaksanakan (fiat eksekusi) kepada Pengadilan Negeri dilakukan melalui KOMNAS HAM. Apabila pihak yang bersangkutan tetap tidak melaksanakan keputusan yang telah dinyatakan dapat dilaksanakan oleh Pengadilan, maka Pengadilan wajib melaksanakan keputusan tersebut. Terhadap pihak ketiga yang merasa dirugikan oleh keputusan ini maka pihak ketiga tersebut masih dimungkinkan mengajukan gugatan melalui Pengadilan.

    Ayat (5) : Pengadilan tidak dapat menolak permintaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (4).

Sumber : Bambang Dwi Baskoro, Hukum Acara Pidana Lanjut, Universitas Diponegoro

Negara Republik Indonesia mengakui dan menjunjung tinggi HAM dan kebebasan dasar manusia hak yang secara kodrati melekat pada dan tidak terpisahkan dari diri manusia yang harus dilindungi dan harus dihormati demi peningkatan martabat kemanusiaan, kesejahteraan, dan kecerdasan serta keadilan. Hak asasi manusia itu dewasa ini telah tercantum dengan tegas dalam UUD 1945 sehingga telah resmi menjadi hak-hak konstitusional setiap orang atau constitusional rights.

Setiap orang mempunyai hak untuk menikmati kehidupannya serta tumbuh dan berkembang dalam berbagai kehidupannya yang aman, tenteram, damai dan sejahtera. Oleh karena itulah manusia sebagai ciptaan Tuhan Yang Maha Esa dikaruniai seperangkat hak yang melekat kepadanya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum, Pemerintah dan setiap orang demi untuk penghormatan dan perlindungan harkat dan martabatnya sebagai seorang manusia.

Hukum positif Indonesia (Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Pasal 1 angka 1) mendefinisikan HAM adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, hukum dan Pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia. Sebagai lawan atau pun kebalikan dari hak, haruslah ada suatu kewajiban. Hal ini merupakan akibat hukum, yaitu timbulnya hak dan kewajiban. Oleh karena itu, selain hak asasi, manusia juga memiliki kewajiban dasar antara manusia yang satu terhadap yang serta terhadap masyarakat. Secara normatif pula, kewajiban dasar manusia didefinisikan di dalam Pasal 1 angka 2 adalah seperangkat kewajiban yang apabila tidak dilaksanakan, tidak memungkinkan terlaksananya dan tegaknya hak asasi manusia.

Lembaga nasional HAM merupakan suatu badan yang menangani persoalan-persoalan HAM, terutama dalam kerangka memajukan dan melindungi HAM. Di Indonesia, lembaga nasional tersebut adalah Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (KOMNAS HAM) dibentuk guna membantu masyarakat korban pelanggaran hak asasi manusia untuk memulihkan hak-haknya, maka dibutuhkan adanya sebuah Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. KOMNAS HAM dibentuk pada tanggal 7 Juni 1993 berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 50 tahun 1993 tentang Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Keputusan Presiden tersebut lahir menindaklanjuti hasil rekomendasi Lokakarya tentang Hak Asasi Manusia yang diprakarsai oleh Departemen Luar Negeri Republik Indonesia dan Perserikatan Bangsa-Bangsa, yang diselenggarakan pada tanggal 22 Januari 1991 di Jakarta. Lembaga nasional HAM ini harus berdiri di antara pemerintah dan masyarakat sipil, suatu lembaga quasi pemerintah. Di satu pihak meskipun lembaga ini bersifat independen, namun ia tidak dapat menggantikan fungsi institusi pengadilan atau lembaga legislatif melainkan lembaga ini ada tak lain adalah untuk melengkapi fungsi dari kedua institusi ini. Secara normatif Prinsip kemandirian atau independensi lembaga ini diatur dalam secara normatif dalam Pasal 1 angka 7. UU HAM yang menyatakan bahwa KOMNAS HAM merupakan suatu lembaga mandiri yang kedudukannya setingkat dengan lembaga negara lainnya yang berfungsi melaksanakan pengkajian, penelitian, penyuluhan, pemantauan dan mediasi hak asasi manusia.

Prinsip kemandirian lembaga ini memiliki spektrum yang sangat luas yaitu terletak pada anggota lembaga ini. Pembentukan institusi nasional HAM haruslah merupakan lembaga yang efektif dan mempunyai kelayakan untuk disebut sebagai sebuah institusi nasional. Untuk itulah, maka pembentukan institusi nasional HAM haruslah memenuhi elemen-elemen yang diatur di dalam standar internasional pembentukan institusi nasional HAM sebagaimana disebutkan di dalam Prinsip-Prinsip Paris 1991 atau Paris Principle 1991.

Baik di ranah masyarakat sipil maupun di pemerintahan terdapat banyak lembaga yang pekerjaannya menyentuh persoalan hak asasi manusia, sama seperti Komnas HAM. Dengan realitas demikian posisi lembaga nasional hak asasi manusia harus berdiri di antara pemerintah dan masyarakat sipil, suatu lembaga quasi pemerintah. Di satu pihak meskipun sebuah lembaga negara, Komnas HAM tidak menggantikan institusi pengadilan atau lembaga legislatif melainkan melengkapi fungsi tersebut. Di pihak lain, lembaga ini harus tetap independen dari eksekutif maupun lembaga pemerintah lainnya. Sehubungan dengan hal itu pada pertemuan internasional, lembaga nasional hak asasi manusia tidak dapat berbicara atas nama pemerintahnya. Statusnya dalam ranah internasional berbeda dengan status pemerintah maupun organisasi non pemerintah. Dalam hubungan antara pemerintah dan masyarakat sipil Komnas HAM memiliki posisi yang unik. Meskipun instansi ini didirikan oleh Pemerintah/Negara, Komnas HAM tetap tidak memihak kepadanya. Demikian pula dengan masyarakat sipil, Komnas HAM harus dapat melepaskan diri dari pengaruh Pemerintah, maupun pengaruh pihak-pihak lain yang minta perlindungan dan penegakan hak asasinya kepada Komnas HAM.

Prinsip Independensi


Prinsip independensi Komnas HAM memiliki spektrum yang luas. Di antaranya adalah yang terletak pada anggota Komnas HAM itu sendiri. Komnas HAM membutuhkan anggota dengan integritas yang tidak diragukan yang dapat bersikap independen terhadap berbagai kekuasaan terutama kekuasaan negara. Termasuk di dalamnya jauh dari adanya konflik kepentingan pribadi. Praktik anggota Komnas HAM untuk tidak ikut mengambil keputusan dalam kasus yang melibatkan dirinya adalah salah satu bentuk sikap independen.

Di tingkat staf, Prinsip-prinsip Paris yang memuat prinsipprinsip acuan bagi lembaga-lembaga Komnas HAM menyatakan bahwa keterlibatan pegawai negeri/pejabat pemerintah dalam instansi sebuah Komnas HAM paling jauh hanya sebagai konsultan. Dengan demikian, sistem merit harus ditanamkan pada setiap pegawai negeri. Independensi juga dibutuhkan dalam pengelolaan sumber-sumber daya keuangan. Basis material yang berada di bawah kendali pemerintah yang lama terlibat dalam pelanggaran hak asasi manusia tentu memungkinkan terganggunya independensi Komnas HAM terhadap kekuasaan. Terakhir, untuk menjaga otonomi komisi secara operasional, Komnas HAM juga perlu memiliki kewenangan hukum untuk memaksa kerja sama dengan pihak lain

Prinsip pluralisme, prinsip-prinsip Paris menyatakan ”Komposisi lembaga nasional dan penunjukan anggota-anggotanya, baik melalui pemilihan atau cara lain, harus dilaksanakan sesuai dengan prosedur yang memuat semua jaminan yang diperlukan untuk memastikan perwakilan yang beragam dari kekuatan sosial yang terlibat dalam pemajuan dan perlindungan HAM. Prinsip ini harus tercermin dalam keanggotaan Komnas HAM dengan latar belakang yang beragam.

Elemen-elemen Lembaga HAM


Adapun elemen-elemen dasar bagi pembentukan institusi nasional HAM tersebut adalah Independen, di mana sebuah lembaga yang efektif adalah lembaga yang mampu bekerja secara terpisah dari pemerintah, partai politik, serta segala lembaga dan situasi yang mungkin dapat memengaruhi kinerjanya. Untuk itu, pembentukan institusi nasional HAM haruslah independen. Independen disini tidak diartikan sama sekali tidak ada hubungan dengan pemerintah, akan tetapi dimaksudkan tidak adanya intervensi pemerintah maupun pihak lain dalam pelaksanaan tugas dan fungsinya. Independensi disini dibagi dalam beberapa kriteria yaitu :

  • Independensi melalui otonomi hukum dan operasional
    Pembentukan institusi nasional HAM melalui undang-undang sangatlah penting untuk memastikan independensi hukumnya, terutama independensi dari pemerintah, sehingga memungkinkannya lembaga tersebut menjalankan fungsinya tanpa adanya gangguan dari pemerintah maupun lembaga lain. Sedangkan otonomi operasional adalah berhubungan dengan kemampuan lembaga nasional HAM untuk melakukan kegiatan sehari-harinya secara terpisah dari individu, organisasi, departemen atau pihak mana pun.

  • Independensi melalui otonomi keuangan
    Keterkaitan antara otonomi keuangan dengan independensi fungsional sangatlah erat, karena lembaga nasional HAM yang tidak mempunyai keuangan yang mencukupi maka akan sangat tergantung kepada lembaga pemerintah atau badan lain. Untuk itu, sumber dan pendanaan lembaga nasional HAM harus disebutkan di dalam undang-undang pembentukannya untuk memastikan bahwa lembaga tersebut secara finansial mampu untuk melaksanakan fungsi dasarnya.

  • Independensi melalui prosedur pengangkatan dan pemberhentian
    Persyaratan dan ketentuan yang berlaku bagi anggota lembaga nasional HAM harus secara spesifik diatur di dalam undangundang pembentukannya guna memastikan bahwa anggotanya baik secara individu maupun kolektif mampu menghasilkan dan mempertahankan tindakan yang independen. Pemberhentian anggota harus diatur secara jelas di dalam undang-undang pembentukan yang menyebutkan secara rinci dan jelas keadaan yang menyebabkan dapat diberhentikannya anggota.

  • Independensi melalui komposisi
    Komposisi lembaga nasional dapat lebih menjamin independensi terhadap pejabat publik dan harus mencerminkan suatu tingkat pluralisme sosiologis dan politis serta keragaman yang seluasluasnya.

  • Yurisdiksi yang Jelas dan wewenang yang Memadai
    Yurisdiksi pokok haruslah disebutkan dengan jelas di dalam undang-undang pembentukan seperti memberikan pendidikan tentang hak asasi manusia, membantu pemerintah dalam masalah-masalah legislatif serta menerima dan menangani pengaduan pelanggaran hak asasi manusia.

  • Kemudahan Akses
    Keberadaan lembaga nasional HAM haruslah mudah diakses oleh orang-orang atau kelompok orang yang harus dilindungi, atau yang kepentingannya harus diperjuangkan. Kemudahan akses ini antara lain akses secara fisik yaitu seperti pendirian perwakilan di daerah, sehingga memudahkan rakyat yang tinggal di daerah tidak perlu harus menyampaikan keluhannya ke pusat, akan tetapi dapat dilayani di daerah.

  • Kerja sama
    Lembaga nasional HAM harus bekerja sama dengan PBB dan organisasi-organisasi lain dalam sistem PBB, lembaga-lembaga regional dan nasional dari negara-negara yang berkompeten dalam bidang pemajuan dan perlindungan hak asasi manusia. Selain itu, kerja sama juga harus dilakukan dengan organisasi non pemerintah, antar lembaga nasional dan organisasi pemerintah.

  • Efisiensi Operasional.
    Lembaga nasional HAM sebagaimana lembaga lainnya harus berusaha untuk memastikan bahwa metode-metode kerjanya adalah yang paling efektif dan efisien yang mungkin dilakukan. Efisiensi operasional menyentuh semua aspek prosedur lembaga dari prosedur penerimaan dan seleksi personil, pengembangan metode kerja dan peraturan prosedur serta penerapan pemeriksaan kinerja rutin.

  • Pertanggungjawaban
    Sesuai dengan dasar hukum pembentukannya, lembaga nasional akan bertanggung jawab secara hukum dan keuangan kepada pemerintah dan/atau parlemen yang dilakukan melalui pembuatan laporan secara berkala. Selain bertanggung jawab secara hukum kepada pemerintah dan/atau parlemen, institusi nasional HAM juga secara langsung bertanggung jawab kepada publik yang dapat dilakukan dengan berbagai macam cara, misalnya menyebarluaskan hasil laporan dan publikasi lainnya yang berkenaan dengan hak asasi manusia.