Apa Yang Dimaksud Dengan Klausula Baku?

image

Klausula Baku adalah setiap aturan atau ketentuan dan syaratsyarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen.

Klausula baku umumnya dikenal orang sebagai perjanjian dengan syarat- syarat baku. Klausula baku ini telah disiapkan terlebih dahulu oleh pihak pelaku usaha dan isinya telah ditentukan secara sepihak oleh pelaku usaha sehingga isinya sudah tentu lebih menguntungkan pelaku usaha sebagai pihak yang lebih kuat kedudukannya sedangkan konsumen hanya dihadapkan pada 2 pilihan yaitu:

  1. Apabila konsumen membutuhkan produk barang dan/atau jasa yang ditawarkan kepadanya, maka setujuilah perjanjian dengan syarat-syarat baku yang disodorkan oleh pelaku usaha (take it);

  2. Apabila konsumen tidak menyetujui syarat-syarat baku yang ditawarkan tersebut maka jangan membuat perjanjian dengan pelaku usaha yang bersangkutan (leave it).

Perjanjian baku sepihak dalam kepustakaan barat dinamakan juga perjanjian adhesi. Pengertian perjanjian adhesi dalam Black’s law dictionary adalah:

“Suatu perjanjian yang telah dibakukan, yang diberikan kepada konsumen barang dan jasa berdasarkan prinsip “take it or leave it”, dengan tidak memberi kesempatan yang sesungguhnya kepada konsumen untuk melakukan penawaran dan dalam keadaan sedemikian rupa sehingga konsumen tidak dapat memperoleh produk atau jasa yang diinginkan, kecuali dengan menyetujui perjanjian baku itu.”[1]

Selanjutnya, yang kiranya perlu dikemukakan di sini adalah bahwa dalam sitem hukum konsumen inggris, perjanjian baku disebut pula sebagai unfair terms in consumers law. Terhadap unfair terms ini dikatakan bahwa:

“A contractual term which hasn’t been individually negotiated shall be regarded as unfair and not binding on the consumer, if cause significant imbalance in the parties contractual rights and obligations to the detriment of the consumer.”[2]

Prof. Dr. Mariam Darus Badrulzaman, S.H., yang mengambil kesimpulan bahwa yang dinamakan perjanjian baku adalah “perjanjian yang isinya dibakukan dan dituangkan dalam bentuk formulir.”[3]

Prof. Sutan Remy Sjahdeini lebih menekankan perjanjian baku dari klausula yang tercantum di dalamnya daripada bentuknya yang berupa formulir. Ia berpendapat bahwa perjanjian baku adalah perjanjian yang hampir seluruh klausulanya sudah dibakukan oleh pemakainya dan pihak lain yang dasarnya tidak mempunyai peluang untuk merundingkan atau meminta perubahan. Yang belum dibakukan hanyalah beberapa hal saja, misalnya yang menyangkut jenis, jumlah, warna, tempat, waktu, dan beberapa hal lainnya yang spesifik dari obyek yang diperjanjikan.[4]

Menurut buku yang berjudul hukum tentang perlindungan konsumen karangan Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani adalah:

“Keuntungan kedudukan sering diterjemahkan dengan pembuatan perjanjian baku atau klausula baku dalam setiap dokumen atau perjanjian yang dibuat oleh salah satu pihak yang lebih dominan dari pihak lainnya. Dikatakan baku Karena perjanjian atau klausula tersebut tidak dapat dinegosiasikan oleh pihak lain.”[5]

Di seluruh dunia, dengan sistem kenegaraan yang berbeda baik sistem individualisme maupun sosialisme berusaha keras mengarahkan perjanjian baku ini sehingga tidak merugikan masyarakat. Ada 2 alasan yang menyebabkan harus diaturnya perjanjian baku antara lain: [6]

  1. Pelanggaran oleh kreditur (pelaku usaha) terhadap asas kebebasan berkontrak yang bertanggung jawab di dalam hukum perjanjian.

  2. Mencegah agar kreditur, sebagai pihak kuat (ekonominya) tidak mengeksploitasi debitur sebagai pihak yang lemah (ekonominya).

Pengertian Klausula Baku Berdasarkan UUPK

Berdasarkan Pasal 1 angka 10 UUPK, definisi dari klausula baku adalah: “Setiap aturan atau ketentuan dan sarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen.”[7]

Dalam definisi tersebut terlihat adanya batasan bahwa pengaturan klausula baku hanya terbatas untuk dokumen atau berbentuk tertulis atau perjanjian antara pelaku usaha dengan konsumen saja dan tidak berlaku untuk perjanjian antara pelaku usaha dengan buruh dalam perjanjian perburuhan, yang juga berpotensi merugikan pihak yang lemah (buruh). Pengaturan kluasula baku hanya terdapat dalam UUPK saja. Dengan demikian, belum terdapat pengaturan normatif dan spesifik mengenai klausula baku sebelumnya.[8]

Pengaturan Klausula Baku Dalam UUPK

Dalam Pasal 18 ayat (1) UUPK, isi dari klausula baku yaitu tentang larangan bagi pelaku usaha untuk membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian, yang isinya antara lain:[9]

a. Menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha;

b. Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen;

c. Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang yang dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang dibeli konsumen;

d. Menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara langusng maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran;

e. Mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen;

f. Memberikan hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi menfaat jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi obyek jual beli;

g. Menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya;

h. Menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran.

Dalam penjelasan Pasal 18 ayat (1) UUPK dinyatakan bahwa larangan pembuatan atau pencatuman klausula baku tersebut dimaksudkan untuk menempatkan kedudukan konsumen setara dengan pelaku usaha berdasarkan prinsip kebebasan berkontrak.

Kemudian dalam Pasal 18 ayat (2) UUPK disebutkan mengenai ketentuan teknis dari pencatuman klausula baku yang isinya sebagai berikut,

“Pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang letak atau bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang pengungkapannya sulit dimengerti.”[10]

Contohnya huruf-hurufnya yang (lebih) kecil, ditempatkan di bagian-bagian yang sulit terlihat atau penyusunan kalimatnya sulit dipahami kecuali mereka yang telah memahami tentang persoalannya.

UUPK ini lebih pro konsumen karena mengatur pembuatan klausula baku atau kontrak standar. Dalam penjelasan Pasal 18 UUPK, dikatakan bahwa larangan untuk memasukkan klausula baku yang mengandung sesuatu yang akan mengakibatkan kerugian konsumen, dimaksudkan untuk menempatkan konsumen sejajar dengan pengusaha berdasarkan prinsip kebebasan berkontrak. UUPK memberikan batas agar klausula baku tidak dibuat hanya mementingkan pihak penyedia jasa saja.

Dalam UUPK, paling tidak ada empat pokok penting tentang persyaratan untuk memasukkan klausula baku, satu di antaranya, pengusaha dilarang memasukkan klausula baku pada tempat atau dalam bentuk yang sulit dilihat atau tidak dapat dibaca secara jelas atau dengan pernyataan yang sulit dipahami. Pengusaha yang masih memasukkan klausula baku yang berisi dokumen yang dilarang akan dikenai hukuman penjara maksimum lima tahun atau denda maksimum dua miliar rupiah.

Dalam Pasal 18 ayat (3) UUPK diatur bahwa,

“setiap klausula baku yang telah ditetapkan oleh pelaku usaha pada dokumen atau perjanjian yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dinyatakan batal demi hukum.”[11]

Pengertian batal demi hukum menurut Subekti adalah “dari semula tidak pernah dilahirkan suatu perjanjian dan tidak pernah ada suatu perikatan.”[12]

Dengan berlakunya UUPK maka semua perjanjian yang dilakukan sejak April 2000 tidak boleh mencatumkan klausula baku yang dilarang dalam pasal 18. Bila masih dicantumkan atau dibuat klausula baku tersbeut, maka konsekuensinya perjanjian tersebut batal demi hukum. Jadi tujuan para pihak yang mengadakan perjanjian tersebut untuk melahirkan suatu perikatan hukum adalah gagal.

Kemudian dalam Pasal 18 ayat (4) bahwa

“pelaku usaha wajib menyesuaikan klausula baku yang bertentangan dengan UUPK.” [13]

Dengan berlakunya UUPK, para pelaku usaha yang telah mencantumkan klausula baku yang bertentangan dengan Pasal 18 UUPK tersebut diwajibkan untuk menyesuaikan klausula baku sehingga tidak bertentangan dengan UUPK.

Pada prinsipnya, UUPK tidak melarang pelaku usaha untuk membuat perjanjian baku yang memuat klausula baku atas setiap dokumen dan atau perjanjian transaksi usaha perdagangan barang dan atau jasa, selama dan sepanjang perjanjian baku dan atau klausula baku tersebut tidak mencantumkan ketentuan sebagaimana dilarang dalam Pasal 18 ayat (1) serta tidak berbentuk sebagaimana dilarang dalam Pasal 18 ayat (2) UUPK tersebut.[14] Penggunaan klausual baku merupakan kebebasan individu pelaku usaha unutk menyatakan kehendaknya dalam menjalankan usahanya. Dalam hal ini dimungkinkan dengan adanya asas kebebasan berkontrak.

Bentuk Klausula Baku

Berdasarkan pengertian klausula baku menurut UUPK, dinyatakan bahawa klausula baku terdiri atas 2 bentuk yaitu:

  1. Dalam bentuk perjanjian
    Dalam bentuk perjanjian, yang merupakan suatu perjanjian yang konsepnya atau draftnya telah dipersiapkan terlebih dahulu oleh salah satu pihak; biasanya penjual atau produsen. Perjanjian ini di samping memuat aturan- aturan yang umumnya biasa tercantum dalam sesuatu perjanjian, memuat pula persyaratan-persyaratan khusus baik berkenaan dengan pelaksanaan perjanjian, menyangkut hal-hal tertentu dan/atau berakhirnya perjanjian itu. Dalam bentuk suatu perjanjian tertentu ia memang merupakan suau perjanjian, dalam bentuk formulir atau lain-lain, dengan materi (syarat-syarat) tertentu dalam perjanjian tersebut. Misalnya, memuat ketentuan tentang syrata berlakunya kontrak baku, syarat-syarat berakhirnya, syarat-syarat tentang risiko tertentu, hal-hal tertentu yang tidak ditanggung dan atau berbagai persyaratan lain yang pada umunya menyimpang dari ketentguan yang umum berlaku. Berkaitan dengan masalahberlakunya ketentuan syarat-syarat umum yang telah ditentukan atau ditunjuk olkeh oerusahaan tertentu, termuat pula ketentuan tentang ganti rugi, dan jaminan-jaminan tertentu dari suatu produk.

  2. Dalam bentuk persyaratan-persyaratan
    Perjanjian ini dapat pula dalam bentuk-bentuk lain, yaitu syarat-syarat khusus yang termuat dalam berbagai kuitansi, tanda penerimaan atau tanda penjualan, kartu-kartu tertentu, pada papan-papan pengumuman yang diletakkan di ruang penerimaan tamu atau di lapangan, atau secarik kertas tertentu yang termuat di dalam kemasan atau pada wadah produk yang bersangkutan.[15]

Menurut Prof. Dr. Mariam Darus Badrulzaman, S.H., perjanjian baku yang terdapat di dalam masyarkat dapat dibedakan ke dalam 3 jenis, yaitu:

  1. Perjanjian baku sepihak
    Yaitu perjanjian yang sisinya ditentukan oleh pihak yang kuat kedudukannya di dalam perjanjian itu. Pihak yang kuat ialah pihak kreditur yang lazimnya mempunyai posisi (ekonomi) lebih kuat dibandingkan pihak debitur.

  2. Perjanjian yang ditetapkan pemerintah
    Yaitu perjanjian baku yang isinya ditentukan pemerintah terhadap perbuatan hukum tertentu, misalnya perjanjian yang mempunyai obyek hak atas tanah.

  3. Perjanjian yang ditentukan di lingkungan notaris atau advokat
    Yaitu dimana ada perjanjian yang konsepnya sejak semula disediakan untuk memenuhi permintaan anggota masyarakat yang meminta bantuan notaris atau advokat yang bersangkutan.[16]

Ciri-Ciri Perjanjian Baku

Secara garis besar ciri-ciri perjanjian baku menurut Mariam Darus Badrulzaman antara lain:

  1. Isinya ditetapkan secara sepihak oleh pihak yang posisi (ekonominya) kuat.

  2. Masyarakat (debitur) sama sekali tidak ikut bersama-sama menentukan isi perjanjian.

  3. Terdorong oleh kebutuhan, debitur terpaksa menerima perjanjian itu.

  4. Bentuk tertentu (tertulis).

  5. Dipersiapkan terlebih dahulu secara massal dan konfektif.[17]

Sedangkan menurut William Statsky, perjanjian adhesi (perjanjian baku sepihak dalam kepustakaan barat) mempunyai ciri-ciri sebagi berikut:

  1. Bentuk yang sudah dibakukan;

  2. Menyangkut barang dan jasa konsumen;

  3. Penjual berada dalam kedudukan yang lebih kuat dalam tawar menawar;

  4. Pembeli tidak mempunyai kesempatan nyata untuk menawar syarat-syaratnya; perjanjian itu diberikan secara “take it or leave it”;

  5. Pembeli tidak mempunyai kesempatan nyata untuk mencari perjanjian yang lebih menguntungkan di tempat lain.[18]

Klausula Eksonerasi Dalam Kontrak Baku

Di dalam suatu kontrak baku terdapat klausula yang sangat memberatkan salah satu pihak. Terhadap klausula yang berat sebelah tersebut terdapat beberapa penggunaan istilah di antaranya Klausula Eksonerasi atau Klausula Eksemsi. Klausula eksonerasi atau klausula pembebasan dari tanggung jawab (exemption clause) tercantum di dalam kontrak baku. Klausula eksonerasi yang tercantum dalam kontrak baku pada umumnya terlihat pada ciri-cirinya, yaitu adanya pembatasan tanggung jawab atau kewajiban salah satu pihak (kreditur) untuk mengganti kerugian kepada debitur.

Menurut Mariam Darus Badrulzaman seperti yang dikutip oleh Sri Gambir Melati Hatta, ciri-ciri klausula eksonerasi adalah sebagai berikut:

  1. Isinya ditetapkan secara sepihak oleh penjual (pengusaha) yang posisinya relatif kuat dari pembeli;

  2. Pembeli (konsumen) sama sekali tidak ikut menentukan isi perjanjian;

  3. Terdorong oleh kebutuhannya pembeli (konsumen) terpaksa menerima perjanjian tersebut;

  4. Bentuknya tertulis;

  5. Dipersiapkan terlebih dahulu secara massal atau individual.[19]

Dalam pustaka-pustaka hukum Inggris, klausula eksonerasi disebut exclusion clause. Sementara itu pustaka-pustaka hukum Amerika Serikat menyebutnya sebagai exculpatory clause, warranty disclaimer clause dan limitation of liability clause. Sementara itu menurut Niew Nederlands Burgerlijk Wetboek (NNBW) dipakai istilah, ketentuan yang onredelijk bezwarend.[20]

Selanjutnya di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, pasal-pasal yang mengatur mengenai jual-beli yang menjadi sumber klausula eksonerasi dalam kontrak baku yaitu Pasal 1493 K.U.H.Perdata dan Pasal 1506 K.U.H.Perdata. Pasal 1493 KUHPerdata menyatakan:

“Kedua belah pihak diperbolehkan dengan persetujuan-persetujuan istimewa, memperluas atau mengurangi kewajiban yang ditetapkan oleh Undang-Undang ini; bahkan mereka itu diperbolehkan mengadakan perjanjian bahwa si penjual tidak akan diwajibkan menanggung sesuatu apapun.”

Pasal 1506 KUHPerdata menyatakan bahwa:

“Ia diwajibkan menanggung terhadap cacat yang tersembunyi, meskipun ia sendiri tidak mengetahui adanya cacat itu, kecuali jika ia, dalam hal yang demikian, telah meminta diperjanjikan bahwa ia tidak diwajibkan menanggung sesuatu apapun.”

Kemudian, klausula eksonerasi yang ditimbulkan dari asas kebebasan berkontrak dalam suatu perjanjian yang para pihaknya mempunyai kedudukan yang seimbang masih dapat dibenarkan. Namun, apabila ditelaah lebih dalam, jika kedudukan para pihak dalam membuat perjanjian adalah seimbang, kemungkinan adanya klausula eksonerasi dalam perjanjian sangat kecil. Masing-masing pihak tentu tidak mau bertanggung jawab atas resiko yang bukan tanggung jawabnya.

Dalam perkembangannya, klausula eksonerasi yang banyak digunakan oleh kalangan usaha termasuk bank menimbulkan permasalahan dalam hal kedudukan para pihak, yakni antara bank dan nasabah yang tidak seimbang dalam membuat perjanjian, sehingga bank dapat “memaksakan” penggunaan klausula eksonerasi secara tidak langsung.

Asas kebebasan berkontrak yang memungkinkan penggunaan klausula eksonerasi secara luas perlu dibatasi. UUPK sendiri lahir sebagai bentuk intervensi atas asas kebebasan berkontrak tersebut. Hal ini perlu, mengingat kedudukan para pihak tidak seimbang, sehingga konsumen sebagai pihak yang mempunyai posisi tawar yang lemah perlu dilindungi. UUPK berusaha menyeimbangkan posisi tawar konsumen terhadap produsen agar produsen tidak sewenang-wenang menggunakan klausula eksonerasi.

Kontrak Baku dan Asas Kebebasan Berkontrak

Pada abad sembilan belas, seiring dengan berpengaruhnya doktrin pemikiran ekonomi laissez faire, kebebasan berkontrak menjadi suatu prinsip yang umum dan sangat mendukung adanya persaingan dan pasar yang bebas. Kebebasan berkontrak menjadi penjelmaan hukum (legal expression) prinsip pasar bebas.[21] Kebebasan berkontrak menjadi paradigma baru dalam hukum kontrak yang sangat diagungkan oleh para ahli hukum dan pengadilan. Kebebasan berkontrak cenderung berkembang ke arah kebebasan tanpa batas (unrestricted freedom of contract).[22]

Kebebasan berkontrak dan asas pacta sunt servanda dalam kenyataannya menimbulkan ketidakadilan, dimana kebebasan berkontrak didasarkan pada asumsi bahwa para pihak dalam kontrak memiliki posisi tawar (bargaining position) yang seimbang, padahal dalm kenyataanya para pihak tidak selalu memiliki posisi tawar yang seimbang sehingga pihak yang memiliki posisi tawar yang lebih kuat cenderung untuk menguasai pihak yang memiliki posisi tawar yang lebih lemah.

Kemudian pada abad dua puluh, timbul berbagai kritik dan keberatan terhadap asas kebebasan berkontrak baik yang berkaitan dengan akibat negatif yang ditimbulkannya maupun kesalahan berpikir yang melekat di dalamnya sehingga paradigma kebebasan berkontrak bergeser kearah paradigma kepatutan.[23] Dengan demikian meskipun kebebasan berkontrak masih menjadi asas penting dalam hukum kontrak namun tidak lagi seperti pada waktu abad sembilan belas. Saat ini, kebebasan berkontrak bukanlah kebebasan tanpa batas. Negara telah melakukan sejumlah pembatasan kebebasan berkontrak melalui peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan, hal ini dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu: [24]

  1. Makin berpengaruhnya ajaran itikad baik di mana itikad baik tidak hanya ada pada pelaksanaan kontrak, tetapi juga harus pada saat dibuatnya kontrak;

  2. Makin berkembangnya ajaran penyalahgunaan keadaan (misbruik van omstandigheden atau undue influence)

Pada abad dua puluh, seiring terjadinya pergeseran kebebasan berkontrak ke arah fairness, terjadi peningkatan perhatian kepada doktrin itikad baik. Saat ini, kebebasan berkontrak telah diimbangi dengan adanya itikad baik dalam pembuatan dan pelaksanaan kontrak yang dibuat oleh para pihak.

Berkaitan dengan asas kebebasan berkontrak, maka hal yang penting yaitu kewajiban untuk membaca kontrak. Dalam penandatangan suatu kontrak berarti bahwa para pihak sudah setuju dengan kontrak tersebut, termasuk juga sudah setuju dengan isinya. Ketentuan ini menyimpulkan bahwa sebelum menandatangani suatu kontrak, para pihak harus terlebih dahulu membaca kontrak dan mengerti terhadap isi kontrak tersebut, hal inilah yang disebut dengan “kewajiban membaca” (duty to read) terhadap suatu kontrak.[25] Konsekuensi yuridis dari adanya kewajiban membaca kontrak ini adalah bahwa pada prinsipnya para pihak tidak bisa di kemudian hari mengelak untuk melaksanakan kontrak dengan alasan bahwa dia sebenarnya tidak membaca klausula kontrak yang bersangkutan. Jadi pada prinsipnya yang berlaku adalah prinsip kontrak adalah kontrak. Ketentuan seperti ini merupakan hukum yang berlaku umum dimana-mana. Akan tetapi, nilai-nilai keadilan mengisyaratkan agar prinsip kewajiban membaca isi kontrak tersebut tidak pantas untuk diberlakukan secara mutlak.[26]

Kontrak baku sering kali dipakai oleh salah satu pihak (pihak yang membuat kontrak) untuk melanggar prinsip-prinsip keadilan sehingga dalam hal ini tunduk kepada hukum yang berlaku yaitu kontrak. Untuk menghindari keberlakuan unsur-unsur ketidakadilan ke dalam suatu kontrak, ilmu hukum kontrak telah mengembangkan berbagai pengecualian terhadap kewajiban membaca suatu kontrak. Pengecualian-pengecualian tersebut membawa konsekuensi terhadap batal atau dapat dibatalkannya suatu kontrak atau klausula dari suatu kontrak jika hal tersebut termasuk ke dalam salah satu pengecualian dari kewajiban membaca kontrak, meskipun kedua belah pihak telah menandatangani kontrak yang bersangkutan. Pengecualian-pengecualian tersebut yaitu:[27]

  1. Tempat dari klausula tersebut tidak pantas
    Para pihak yang gagal membaca kontrak tidak dapat dimintakan tanggung jawabnya secara hukum manakala klausula yang gagal dibacanya tersebut diletakkan di tempat yang tidak pantas sehingga klausula tersebut tidak dapat menarik perhatian yang menandatangani kontrak yang bersangkutan. Misalnya. Jika klausula eksemsi yang membebaskan kewajiban salah satu pihak ditempatkan dalam kotak barang yang dibeli dalam kontrak jual beli.

  2. Klausula tersebut atau seluruh dokumen tidak terbaca atau sulit dibaca
    Tanggung jawab salah satu pihak yang menandatangani kontrak juga tidak dapat dimintakan terhadap klausula-klausula dalam kontrak yang tidak terbaca oleh salah satu pihak. Misalnya, karena tulisan yang hurufnya terlalu kecil atau kabur atau kalimatnya sangat berbelit-belit.

  3. Terjadi kesalahan/kesilapan (mistake)
    Kontrak juga tidak mengikat para pihak jika ada kesalahan dalam klausula kontrak tersebut. Misalnya, terdapat salah ketik untuk angka yang seharusnya Rp.100.000.000,- (seratus juta rupiah) untuk harga sebuah mobil, tetapi yang tertulis Rp.100.000,- (seratus ribu rupiah)

  4. Terjadi penipuan
    Meskipun ada kewajiban membaca kontrak tetapi jika dalam kontrak tersebut ada unsur-unsur penipuan dan pihak lain berpegang pada penipuan tersebut. Misalnya, jika disangka yang dibeli adalah mobil bermerek BMW setengah pakai seperti yang diinformasikan penjual, tetapi ternyata mobil tersebut mempunyai tampilan luar seperti mobil BMW, namun mobil tersebut memakai mesin bermerek Daihatsu.

  5. Berlakunya doktrin ketidakadilan
    Meskipun sudah ditandatangani suatu kontrak dan meskipun ada kewajiban membaca kontrak, tetapi jika ternyata kontrak sangat berat sebelah dan sangat tidak adil bagi salah satu pihak, maka berdasarkan doktrin ketidakadilan (unconscionability) ini, kontrak tersebut tidak dapat diberlakukan. Misalnya, kontrak yang melepaskan tanggung jawab salah satu pihak, meskipun pihak tersebut melakukan kesengajaan atau kelalaian yang merugikan pihak lainnya. Sampai saat ini masih terdapat perbedaan pendapat di antara para ahli hukum mengenai apakah kontrak baku sesuai asas kebebasan berkontrak atau tidak. Salah satu ahli hukum yang menyatakan kontrak baku bertentangan dengan asas kebebasan berkontrak yang bertanggung jawab yaitu Prof. Dr. Mariam Darus Badrulzaman, SH. yang menyatakan bahwa kontrak baku bertentangan dengan asas kebebasan berkontrak yang bertanggung jawab karena apabila ditinjau dari asas-asas dalam sistem hukum Nasional, dimana akhirnya kepentingan masyarakatlah yang harus didahulukan. Namun dalam kontrak baku, kedudukan antara pengusaha dengan konsumen tidak seimbang. Posisi monopoli dari pengusaha membuka peluang luas baginya untuk menyalahgunakan kedudukannya.[28] Kontrak baku hanya memuat sejumlah kewajiban yang harus dipikul oleh konsumen, sehingga hal ini tidak boleh dibiarkan tumbuh secara liar dan karena itu perlu ditertibkan.[29]

Pendapat tersebut berbeda dengan pendapat Prof. Dr. Sutan Remi Sjahdeini, SH. yang menyatakan bahwa keabsahan berlakunya kontrak baku tidak perlu dipersoalkan tetapi perlu diatur aturan dasarnya sebagai aturan-aturan mainnya agar klausula-klausulanya atau ketentuan-ketentuan dalam kontrak baku tersebut baik sebagian atau seluruhnya mengikat para pihak.[30]

Referensi:
[1] H.C.Black, Black’s Law Dictionary, 5th edition. (St.Paul,Minnesota: West Publishing, 1983), p. 19.
[2] Malcom Leder & Peter Shears, Consumer Law, 4th Edition, (London, 1996), hal. 64.
[3] Badrulzaman (b), Pembentukan Hukum Nasional dan Permasalahannya (Kumpulan karangan), (Bandung: Alumni, 1981), hal. 49.
[4] Sutan Remy Sjahdeini, “Kebebasan berkontrak dan perlindungan yang seimbang bagi para pihak dalam perjanjian kredit bank di Indonesia,” (Disertasi Doktor Universitas Indonesia, Jakarta, 1993), hal. 122.
[5] Gunawan Widjaya dan Ahmad Yani, Hukum Tentang Perlindungan Konsumen, (Jakarta: PT.Gramedia Pustaka Utama, 2000)
[6] Badrulzaman, op. cit., hal. 73.
[7] Undang-Undang Perlindungan Konsumen, op. cit., Pasal.1 angka 10.
[8] Rini maryam, “Tinjauan pasal 18 undang-undang perlindungan konsumen pada produk perbankan tabungan,” (skripsi sarjana hukum universitas Indonesia, jakarta, 2001), hal. 17.
[9] Undang-Undang Perlindungan Konsumen, op. cit., Pasal. 18 ayat (1).
[10] Ibid., Pasal. 18 ayat (2).
[11] Ibid., Pasal. 18 ayat (3).
[12] Subekti, Hukum Perjanjian. Cet Ke-19. Jakart:Intermasa, 2002 hal. 35.
[13] Undang-Undang Perlindungan Konsumen, op. cit., Pasal. 18 ayat (4).
[14] Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, op. cit., hal. 57.
[15] Az. Nasution, Hukum Perlindungan Konsumen, Suatu Pengantar, cet. 1, (Jakarta: Daya Widya, 1999), hal. 99-100.
[16] M.D. Badrulzaman, “Perlindungan terhadap konsumen dilihat dari sedut perjanjian baku (standard) dalam symposium aspek-aspek hukum masyarakat perlindungan konsumen,” Cet.1, (s.l: Binacipta, 1986) : 63.
[17] Badrulzaman, op. cit., hal. 65.
[18] William Statsky, Legal Thesaurus/Dictionary, 2nd reprint (st.paul, Minn: West Publishing, 1986), p. 24.
[19] Sri Gambir Melati Hatta, Beli Sewa Sebagai Perjanjian Tak Bernama : Pandangan Masyarakat Dan Sikap Mahkamah Agung Indonesia, (Bandung: Alumni, 2000), hal. 149-151.
[20] Mariam Darus Badrulzaman, op.cit., hal. 71.
[21] Ridwan Khairandy, Itikad Baik Dalam Kebebasan Berkontrak, (Jakarta: Program pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004), hal.1.
[22] Ibid., hal.1.
[23] Ibid., hal.2.
[24] Ibid.
[25] Munir Fuady, Hukum Kontrak Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis (Bandung: PT.Citra Aditya Bakti, 2003), hal.89.
[26] Ibid.
[27] Ibid.
[28] Badrulzaman, op. cit., hal. 54.
[29] Ibid.
[30] Sjahdeini, op. cit., hal. 71.

Berdasarkan Undang-undang Tentang Perlindungan Konsumen. UU No 8 Tahun 1999, Pasal 1 angka 10, klausula Baku adalah setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen.

Ketentuan klausula baku diatur secara khusus dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK) karena pada praktiknya dalam tahap transaksi antara pelaku usaha dan konsumen terdapat kedudukan yang tidak seimbang sehingga pelaku usaha dapat memanipulasi perjanjian yang dibuat dalam ketentuan klausula baku yang biasanya menguntungkan salah satu pihak yaitu pihak pelaku usaha. Akibat dari pencantuman klausula baku tersebut konsumen menerima begitu saja tanpa bisa bernegosiasi tentang isi klausula baku tersebut.

Atas dasar kondisi tersebut di atas, maka UUPK mengatur klausula baku pada Pasal 18 ayat (1) yaitu pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian apabila:

  1. menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha;

  2. menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen;

  3. menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang yang dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang dibeli oleh konsumen;

  4. menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran;

  5. mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen;

  6. memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi obyek jual beli jasa;

  7. menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya;

  8. menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran.

Selain itu menurut Pasal 18 ayat (2), pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang letak atau bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang pengungkapannya sulit dimengerti.

Setiap klausula baku yang telah ditetapkan oleh pelaku usaha pada dokumen atau perjanjian yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dinyatakan batal demi hukum. Berdasarkan Pasal 18 ayat (3), Pelaku usaha wajib menyesuaikan klausula baku yang bertentangan dengan Undang-undang ini.