Apa yang dimaksud dengan Keterasingan Sosial?

image
Dalam ilmu Sosiologi terdapat istilah keterasingan sosial.

Apa yang dimaksud dengan keterasingan sosial?

Kehidupan yang terasing menunjukkan adanya kehilangan kontak dan komunikasi dengan orang lain dan kelompok. Ia memang masih bisa melakukan tindakan, tetapi ia tak bisa berhubungan dengan orang lain karena keterbatasan-keterbatasan material dan jarak yang diciptakannya. Ia tak dapat mengungkapkan pesan, keinginan, dan pendapatnya—atau memang keinginan dan pendapatnya terbatas mengingat keinginan dan pikiran orang juga dibentuk oleh interaksi sosial dengan orang lain.

Orang yang tidak mau berinteraksi dengan orang lain ibarat berada dalam keterasingan, bicara dengan dirinya dan sedikit orang, karenanya nilai-nilai sosialnya sangat terbatas.

Ada beberapa pengertian tentang kehidupan terasing yang dibuat oleh Soerjono Soekanto dalam bukunya Sosiologi, Suatu Pengantar (1985):

  1. Keterasingan hidup yang disebabkan memang secara fisik (badaniah) dijauhkan (diasingkan) dari orang-orang lain atau kelompok sosial.
    Dalam kehidupan kita, ada kasus ketika seorang manusia sejak kecil hidup terasing dari pergaulan manusia. Misalnya, Tarzan yang hidup sejak kecil di hutan bersama hewan dan tumbuh-tumbuhan. Tak heran jika perilakunya juga mirip hewan, tak seperti manusia. Secara fisik, ia memang manusia, tetapi perkembangan kejiwaannya tak jauh beda dengan binatang.

    Ada pula kisah yang diceritakan Kingsley Davis, tentang seorang anak usia 5 tahun yang bernama Anna. Ia disekap dalam sebuah kamar yang kecil di sebuah loteng di rumah petani Pennsylvania. Karena disekap hampir seluruh hidupnya, ia menunjukkan sifat-sifat yang berlainan sama sekali dengan anak-anak lain yang seusia; dia tak bisa berjalan, tak dapat mendengar dengan sempurna, tak bisa makan seperti manusia, dan lain sebagainya;

  2. Keterasingan seseorang yang disebabkan oleh cacat pada satu indranya.
    Misalnya, kebutaan yang diderita sejak kecil atau tuna rungu yang dialami membuat orang dari kehidupan karena hubungan (interaksi) dengan orang lain dihambat dengan keterbatasan fi siknya tersebut. Interaksi sebagai bentuk komunikasi membutuhkan media (sarana). Dengan mata buta dan atau tuli, berarti sarana yang digunakan untuk mendapatkan pesan dari orang lain dihilangkan dari dirinya. Akibatnya, ia terasing dari interaksi sosial yang membuat kepribadiannya terhambat pula. Ia merasa minder karena kemungkinan untuk mengembangkan dirinya melalui interaksi dengan orang lain terhalangi. Ia pasti merasa terasing. Meskipun ada juga orang cacat semacam itu yang memiliki kepercayaan diri untuk bertahan hidup, tentu dibutuhkan dari orang lain untuk memberikan motivasi dan memberikan sarana-sarana (mengingat teknologi juga semakin maju) agar ia bisa mengurangi keterbatasanketerbatasannya; dan

  3. Keterasingan seseorang karena perbedaan kelompok dan identitas sosial, seperti ras, suku, agama, dan kebudayaan yang tak jarang menimbulkan prasangka-prasangka. Prasangka-prasangka ini kadang juga memicu terjadinya konfl ik sosial. Saat pergi ke suatu tempat yang secara budaya berbeda, kita sering terasing. Perbedaan nilai-nilai dan norma yang dipegang juga kadang menimbulkan keterasingan.

Soerjono Soekanto menambahkan adanya keterasingan yang ditimbulkan oleh pelapisan sosial dan perbedaan status sosial sebagaimana ia mencontohkan terjadi pada masyatakat berkasta tempat mobilitas sosial vertikal hampir-hampir tak terjadi. Orang yang berasal dari kasta tertentu (terutama dari kasta rendahan) akan terasing apabila berada di kalangan orang-orang yang berasal dari kasta lain (terutama kasta tertinggi). Keterasingan ini juga terjadi, menghalangi interaksi sosial di antara orang yang berasal dari kelas berbeda.

Kita memang melihat interaksi sosial semacam itu menunjukkan terjadinya ketimpangan sosial. Ketimpangan berbasis pada kelas ekonomi tersebut juga menimbulkan keterasingan tersendiri. Inilah yang penulis tambahkan untuk memperluas pemahaman kita tentang terjadinya keterasingan dan model interaksi sosial yang mengasingkan di era kehidupan yang konon sudah dianggap mengglobal dan maju ini.

keterasingan atau Alienasi pada dasarnya merujuk pada suatu kondisi ketika manusia dijauhkan atau menjauhkan diri dari sesuatu, sesama manusia, alam, budaya, tuhan, atau bahkan dirinya sendiri. Istilah ini berasal dari kata Latin alienatio yang diderivasi dari kata kerja alienare yang berarti menjadikan sesuatu milik orang lain (Schacht, 2005).

Alienasi sebagai konsep proses sosial biasnya dilekatkan pada aktivitas- aktivitas negatif seperti kejahatan, alkoholisme, prasangka sosial, keresahan, kenakalan remaja, penyakit jiwa, dan lain sebaginya (Paramitta, dkk, 2012). Namun masalahnya adalah ternyata berbagai aktivitas yang dianggap menggangu tersebut pada dasar nya merupakan sekedar respon terhadap suatu kondisi tertentu.

Didalam individu yang teralienasi terjadi penghayatan atas diri sendiri dan orang lain sebagiamana penghayatan atas benda-benda. Fromm merumuskan alienasi sebagai suatu cara berada (modus kehidupan) pada manusia dalam menghayati dirinya, sebagai sesuatu yang asing. Manusia telah berpisah dari dirinya sendiri, sehingga tidak lagi menghayati dirinya sendiri sebagai pusat dunianya, pencipta tindakanya sendiri, sebaliknya tindakan atau akibat dari hal tersebut telah berbalik menjadi sesuatu yang dipatuhinya.

Keterasingan/ Alienasi yaitu suatu perasaan tidak menjadi bagian dari apapun dan suatu perasaan bahwa tidak satu orang pun yang peduli dengan apapun yang terjadi dengan diri kita.

Mann mendefinisikan keterasingan sebagai negara atau pengalaman terisolasi dari kelompok atau kegiatan dimana seseorang harus memiliki atau di mana seseorang harus terlibat. Keterasingan/ Alienasi berarti kehilangan dorongan dorongan hati untuk bergaul, kehilangan kreatifitas, kehilangan kontrol terhadap tindakan kehilangan otonomi, dan singkatnnya menghancurkan potensi individu itu sendiri.

Didalam kamus psikologi sendiri dijelaskan bahwa alienasi ada beberapa pengertian yaitu perasaan keterasingan, rasa terlepas dan terpisah. ketiadaan rasa hangat atau relasi persahabatan dengan orang lain. Dan juga merupakan keterpisahan seseorang dari aku sebenarnya, disebabkan oleh keasyikannya terhadap abstraksi-abstraksi dan kebutuhan untuk konformnitas terhadap kemauan dan harapan orang lain serta ketentuan-ketentuan dari lembaga sosial (Chaplin, 2008).

Dari beberapa pengertian alienasi jadi dapat disimpulkan bahwa alienasi yaitu suatu kondisi ketika seseorang dijauhkan atau menjauhkan diri dari sesuatu karna kehilangan dorong-dorong hati untuk bergaul, ketiadaan rasa hangat atau relasi persahabatan dengan orang lain, kehilangan kreatifitas, kehilangan kontrol terhadap tindakan dan juga perasaan terpisah dari kelompok, lingkungan dan dirinya sendiri karna disebabkan oleh tuntutan dan harapan orang lain serta ketentuan- kententuan dari lembaga sosial bukan dari dirinya sendiri.

Aspek-aspek Keterasingan


Dalam suatu riset tentang alienasi disebutkan pula oleh Seeman (dalam Fishman dan Langman, 2010) bahwa alienasi memiliki beberapa aspek sebagai berikut:

  • Powerlessness (ketidakberdayaan) suatu perasaan bahwa kejadian dari akibat yang terjadi pada seorang individu di kontrol serta di tentukan oleh kekuasaan eksternal di luar dirinya, bukan karna kekuatan atau dari individu itu sendiri, atau dikendalikan oleh orang lain.

  • Meaninglessness (tidak berarti) yaitu suatu perasaan bahwa terjadi suatu kejadian tidak dapat di pahami, sehingga muncul anggapan bahwa segala sesuatu yang terjadi di masa yang akan datang akan sulit ditebak.

  • Normlessness (tidak ada norma) yaitu suatu perasaan bahwa tujuan-tujuan yang tidak diakui secara social diperlukan untuk mencapai maksud-maksud yang diakui secara social sehingga muncul anggapan bahwa seorang individu tidak harus terikat pada nilai-nilai dan moraitas standar yang berlaku di lingkungan sosilanya.

  • Social isolation (terisolasi secara sosial) suatu perasaan kesendirian, penolakan dan terpisah dari nilai-nilai kelompak atau hubungan antara anggota kelompok sehingga tidak menutup kemungkinan karena perasaan seperti menjadikan individu yang bersangkutan menarik diri dari kehidupan sosialnya, atau tidak adanya rasa memiliki.

  • Self-estrangement (keterasingan diri) perasaan yang muncul pada diri seorang individu bahwa segala aktifitas yang telah dilakukannya tidaklah menguntungkan dirinya, sehingga memunculkan perasaan bahwa segala prilaku yang dilakukan individu tersebut semata-mata bukan keinginan sendiri. atau juga suatu perasaan bukan dirinya dan juga tidak adanya kepuasan pribadi.

Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Keterasingan


Faktor-faktor yang mempengaruhi keterasingan dapat dikelompokkan kedalam beberapa kategoriberikut ini :

1. Lingkungan atau Pergaulan

Hurlock, mengemukakan kondisi-kondisi yang menyebabkan seseorang ditolak atau teralienasi antara lain:

  • Kesan pertama yang kurang baik karena penampilan diri yang kurang menarik atau sikap menjauhkan diri, yang mementingkan diri sendiri

  • Terkenal sebagai orang yang tidak sportif

  • Penampilan yang tidak sesuai dengan standart kelompok dalam hal daya tarik fisik atau tentang kerapihan

  • Perilaku sosial yang ditandai oleh perilaku yang menonjolkan diri, mengganggu dan menggertak orang lain, senang memerintah, tidak dapat bekerja sama dan kurang bijaksana

  • Sifat-sifat kepribadian yang mengganggu orang lain seperti mementingkan diri sendiri, keras kepala, gelisah dan mudah marah

  • Status sosio ekonomi berada di bawah status sosio ekonomi kelompok dan hubungan yang buruk dengan anggota-anggota keluarga

  • Tempat tinggal yang terpencil dari kelompok atau ketidakmampuan untuk berpartisipasi dalam kegiatan kelompok.

2. Faktor Keluarga

Menurut Ward dan Harvey, faktor-faktor yang menyebabkan seseorang mengalami keterasingan dalam keluarga antara lain :

  • Perceraian orang tua
    Perceraian orang tua akan mengakibatkan dampak negatif, baik dalam perkembangan maupun pertumbuhan anak. Anak akan merasa diabaikan atau diasingkan oleh orang tuanya, karena orang tuanya akan cenderung mengurus dirinya sendiri.

  • Penyalahgunaan fisik pada anak
    Orang tua yang menggunakan kekerasan dalam menyelesaikan suatu permasalahan dengan anak, misalnya menampar, menendang, memukul atau menghajar, dan segala kekerasan yang lain.

  • Sistem keluarga
    Salah satunya adalah peraturan keluarga yang berupa batasan-batasan, misalnya peraturan tidak boleh pulang terlalu larut malam, harus juara kelas, dan lain-lain.

  • Konflik
    Konflik juga berpotensi menyebabkan timbulnya perasaan alienasi individu yang terlibat konflik cukup hebat dan akan mengalami disorientasi terhadap pemikirannya. Pertentangan batin menimbulkan polarisasi pemikiran, sedemikian rupa sehingga sulit menentukan nilai-nilai mana yang harus digunakan untuk menyikapi konflik.

  • Salah Pendidikan
    Cara mendidik yang salah diterapkan baik oleh orang tua, keluarga atau lingkungan sekitar individu sejak kecil turut berperan pada pembentukan kepribadiannya yang rentan terhadap perasaan alienasi. Pada hakikatnya individu dengan Cognitive Apprausal System (system pembelajaran pada individu) senantiasa memberi arti atau penilaian pada lingkungannya. Pola-pola pendidikan orang tua yang otoriter dan lingkungan yang tidak mampu memberikan dukungan pada individu akan cenderung membuat individu teralienasi.