Apa yang dimaksud dengan kematian?

Mati adalah terputusnya hubungan roh dengan jasad lahir dan batin, perpisahan di antara kedua-duanya, pertukaran dari satu keadaan kepada keadaan lain.

Apa yang dimaksud dengan kematian ?

Kata mata‛ memiliki makna tidak hidup lagi, yaitu hilangnya kekuatan akal dan jasad dikarenakan keluarnya ruh dari jasad tersebut. Artinya, hanya jasadlah yang mengalami kematian bukan ruh.

Dengan demikian, kematian secara fisik (badan) bukanlah kematian yang sesungguhnya. Sebab, ruh masih menghidupi jiwa. Adapun kematian fisikal yaitu badan kita, hanya merupakan tanda bahwa sel-sel dalam tubuh tidak berfungsi lagi, lalu membusuk dan menyatu pada asal kejadiannya yaitu tanah.

Kata mata’ pada umumnya digunakan untuk sesuatu yang bernyawa, maka ia memiliki arti mati dan sebaliknya jika digunakan untuk benda atau tempat maka diartikan sebagai hilangnya fungsi atau manfaat dari benda atau tempat tersebut. Kata mata’ juga diartikan dengan tidur meskipun sangat jarang terjadi, seperti dalam perkataan‚ tidur adalah kematian sementara, sedangkan kematian adalah tidur selamanya‛.

M. Quraish Shihab menyimpulkan beberapa pendapat ulama, bahwa yang dimaksud dengan kematiaan secara lahiriah adalah lawan dari kehidupan yang memiliki rasa, gerak dan sadar. Sedangkan kematian yakni ketika tidak ada lagi rasa, gerak, dan pengetahuan.

Allah berfirman dalam QS. al-Baqarah (2): 28

Bagaimana kamu ingkar kepada Allah, padahal kamu tadinya mati, lalu Dia menghidupkan kamu, kemudian Dia mematikan kamu lalu Dia menghidupkan kamu kembali, kepada-Nya-lah kamu dikembalikan.

Dalam ayat ini kematian disebutkan lebih awal dari kehidupan, begitu pula dalam QS. al-Mulk (67): 2

Yang menciptakan mati dan hidup, untuk menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa, Maha Pengampun.

Pada ayat pertama kematian dan kehidupan sama-sama digambarkan dua kali. Kematian pertama yaitu zaman dimana ketika ruh kehidupan belum dihembuskan kepada manusia (janin).

Terjadinya kehidupan pertama manusia yaitu bermula dari proses nutfah (sperma), menjadi segumpal darah (‘alaqah), lalu segumpal daging (mudghah) dan kemudian gumpalan daging tersebut dijadikan tulang belulang dan terakhir tulang-tulang tersebut dibungkus dengan daging. Lalu terbentuklah janin. Kemudian pada fase inilah terjadinya kehidupan pertama manusia yang disebut oleh Fazlurrahman dengan peristiwa ikrar primordial (Primordial Covenant) antara tuhan dan manusia.

Di saat ini terjadi kesaksian ruh akan ketuhanan Allah. Untuk selanjutnya manusia mengalami kehidupan kedua, yaitu kehidupan didunia ini setelah terjadinnya proses persalinan. Kehidupan mulai dari lahirnya bayi, kemudian berangsur-angsur sampai pada usia dewasa hingga pikun (kembali seperti bayi lagi). Namun, ditengah perjalanan Allah mewafatkan manusia dengan berbagai macam cara dan dalam bilangan usia yang berbeda-beda pula. Ada yang diwafatkan di masa kanak-kanak, remaja, dewasa dan tua.

Hal ini di jelaskan dalam QS. al-Hajj (22): 5.

Wahai manusia! jika kamu meragukan hari kebangkitan, Maka sesungguhnya Kami telah menjadikan kamu dari tanah, kemudian dari setetes mani, kemudian dari segumpal darah, kemudian dari segumpal daging yang sempurna kejadiannya dan yang tidak sempurna, agar Kami jelaskan kepada kamu dan Kami tetapkan dalam rahim, menurut kehendak Kami sampai waktu yang sudah ditentukan, kemudian Kami keluarkan kamu sebagai bayi, kemudian (dengan berangsur- angsur) kamu sampai kepada usia dewasa, dan di antara kamu ada yang diwafatkan dan (adapula) di antara kamu yang dikembalikan sampai usia sangat tua (pikun), sehingga dia tidak mengetahui lagi sesuatu yang telah diketahuinya. dan kamu lihat bumi ini kering, kemudian apabila telah Kami turunkan air (hujan) di atasnya, hiduplah bumi itu dan menjadi subur dan menumbuhkan berbagai jenis pasangan tetumbuhan yang indah.

Kehidupan kedua telah berlangsung kemudian dilanjutkan kematian kedua, ketika ruh kehidupan yang telah dihembuskan tersebut dicabut kembali. Menurut al-Gazali, setelah kematian kedua ini ada lagi kehidupan ketiga yakni kehidupan akhirat. Karena itu, meskipun kematian kedua bagi sebagian orang menganggapnya sebagai kepunahan, akan tetapi pada dasarnya adalah sebuah proses menuju kehidupan selanjutnya yang lebih kekal. Menurut al-Gazali, kematian kedua ini adalah yang disebut dengan kematian kecil (al-Qiyamah al- Sugra).

Kebanyakan orang menilai bahwa kematian ini merupakan peristiwa yang paling mengerikan, sehingga bagi sebagian orang mungkin tidak ada peristiwa yang lebih mengerikan di dunia ini selain daripada kematian. Namun demikian, kematian adalah sebuah fakta dan keniscayaan yang tidak bisa ditolak kehadirannya oleh makhluk hidup. Jika kematian diyakini bukan sebagai kepunahan atau akhir dari kehidupan seperti yang dijelaskan oleh al-Gazali di atas, maka keyakinan akan adanya alam setelah kehidupan dunia merupakan sebuah keniscayaan. Dalam hal ini, doktrin akhirat menjadi wacana penting untuk menyikapinya. Adanya keyakinan terhadap doktrin ini tidak sedikit pula menyebabkan seseorang berusaha untuk menjangkau nilai-nilai jangka panjang, yang boleh jadi menjadikannya untuk hidup dengan cara meninggalkan kepentingan-kepentingan duniawi (zuhud).

Kematian manusia yang kedua bukanlah mengakibatkan ketiadaan. Ia adalah proses yang harus dilalui manusia untuk berpindah dari alam dunia ke alam berikutnya, yang merupakan kelahiran kedua untuk perpindahan dari satu kehidupan ke kehidupan yang lain yang sempurna. Agaknya itulah salah satu sebab mengapa kematian dinamai oleh al-Qur’an dengan ‚tawaffa‛ (wafat) yang secara harfiah berarti ‚kesempurnaan‛ atau ‚penahanan‛.

M. Quraish Shihab menjelaskan bahwa kematian adalah jalan untuk meraih kesempurnaan hidup. Dan kematian juga akibat penahanan Allah terhadap nafs, sehingga tidak dapat kembali ke dalam tubuh tempatnya semula.

Al-Qur’an juga menamai kematian dengan musibah QS. al-Ma’idah (5):

. . . jika kamu dalam perjalanan di bumi, lalu kamu ditimpa musibah kematian.

Menurut M. Quraish Shihab kematian menjadi musibah bagi yang tidak mempersiapkan dirinya sebelum menghadapi kematian. Di sini, ia dianggap sebagai musibah adalah akibat ulah dan kesalahan manusia, bukanlah substansi dari kematian itu sendiri.13 Manusia termasuk dari makhluk hidup di dunia ini yang tidak luput dari kematian atau maut. Sebagaimana firman Allah dalam QS. Ali ‘lmran (3): 185 yang artinya,

Tiap-tiap yang bernyawa pasti akan merasakan mati.

Kalaulah kematian tidak ditetapkan Allah, maka permasalahan lain pun akan muncul, yaitu betapapun luasnya bumi, dia akan terasa sernpit. Sangat dimungkinkan jika tidak ada kematian, maka untuk berdiri pun tidak akan mendapat tempat, apalagi untuk mernbangun hunian sebagai tempat berteduh. Itulah salah satu hikmah dari kematian yang telah ditetapkan Allah demi keberlangsungan hidup di bumi yang terus mengalami perubahan dan perkembangan.

Selain itu, peristiwa ini diciptakan oleh Allah sebagai alat pengecekan, mana diantara makhluknya yang lebih baik amalnya. Allah berfirman dalam QS. al-Mulk (67): 2 berikut;

Yang menciptakan mati dan hidup, untuk menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun

Referensi
  • Ragib al-Asfahani, Mu’jam Mufradat li Alfaz al-Qur’an al-Karim (Beirut: Dar al-Fikr, t.t.).
  • M. Quraish Shihab, Kehidupan Setelah Kematian: Syurga yang Dijanjikan al-Quran (Jakarta: Lentera Hati, 2008).
  • Abdurrazaq Naufal, Hidup di Alam Akhirat (Jakarta: Rieneka Cipta, 1993).

Kematian merupakan fakta biologis, akan tetapi kematian juga memiliki dimensi sosial dan psikologis. Secara biologis kematian merupakan berhentinya proses aktivitas dalam tubuh biologis seorang individu yang ditandai dengan hilangnya fungsi otak, berhentinya detak jantung, berhentinya tekanan aliran darah dan berhentinya proses pernafasan.

Dimensi sosial dari kematian berkaitan dengan perilaku dan perawatan sebelum kematian, tempat letak di mana proses sebelum dan sesudah bagi kematian si mati. Penawaran dan proses untuk memperlambat atau mempercepat kematian, tata aturan di seputar kematian, upacara ritual dan adat istiadat setelah kematian serta pengalihan kekayaan dan pengalihan peran sosial yang pernah menjadi tanggung jawab si mati (Hartini, 2007).

Ismail (2009) mengatakan bahwa secara medis kematian dapat dideteksi yaitu ditandai dengan berhentinya detak jantung seseorang. Namun pengetahuan tentang kematian sampai abad moderen ini masih sangat terbatas. Tidak ada seorangpun yang tahu kapan dia akan mati. Karena itu tidak sedikit pula yang merasa gelisah dan stress akibat sesuatu hal yang misterius ini. Dimensi psikologis dari kematian menekankan pada dinamika psikologi individu yang akan mati maupun orang- orang di sekitar si mati baik sebelum dan sesudah kematian (Hartini,2007).

Sihab (2008) mengatakan bahwa kematian pemutusan segala kelezatan duniawi, dia adalah pemisah antara manusia dan pengaruh kenyamanan hidup orang- orang yang lalai. Hal ini sejalan dengan firman Allah dalam Al- Qur’an “ Dimana saja kamu berada, kematian akan mendapatkan kamu, kendatipun kamu di dalam benteng yang tinggi dan kokoh” (Annisa:4:78). Maut juga disebut sebagai pengancam hidup bagi manusia, sehingga kebanyakan dari individu takut akan kematian itu sendiri.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kematian terjadi ketika berhentinya proses aktivitas dalam tubuh biologis seorang individu yang ditandai dengan hilangnya fungsi otak, berhentinya detak jantung, berhentinya tekanan aliran darah dan berhentinya proses pernafasan serta terhentinya hubungan manusia dengan alam dunia.

Kematian dalam Persfektif Agama Islam


Menurut persfektif Islam kematian dianggap sebagai peralihan kehidupan, dari dunia menuju kehidupan di alam lain. Kematian didefinisikan sebagai kehilangan permanen dari fungsi integratif manusia secara keseluruhan (Hasan, 2006). Al- qur’an merupakan media terbaik yang paling representatif dalam mengungkapkan perspektif Islam mengenai kematian dan pasca kematian.

Al- qur’an memberikan perhatian yang cukup berpengaruh pada masalah ini dalam kehidupan individu dan masyarakat (bangsa). Bahkan al- qur’an sering menyandingkan antara keimanan pada Allah dalam keimanan pada hari akhir, sehingga sekali lagi, mengesankan bahwa keimanan pada Allah saja belum cukup bagi individu dalam mewujudkan kesempurnaan mental, ketenangan jiwa, dan kesalehan moral serta perilaku tanpa disertai keimanan pada hari akhir (Rasyid,2008).

Menurut para ulama kematian bukan sekedar ketiadaan atau kebinasaan belaka, tetapi sebenarnya mati adalah terputusnya hubungan roh dengan tubuh, terhalangnya hubungan antara keduanya, dan bergantinya keadaan dari suatu alam ke alam lainnya (Al- Qurtubi, 2005).

Kematian dalam Persfektif Psikologi


Psikologi sebagai sebuah ilmu yang mengkaji pikiran, perasaan, dan perilaku seseorang melihat kematian sebagai suatu peristiwa dahsyat yang sesungguhnya sangat berpengaruh dalam kehidupan seseorang. Ada segolongan orang yang memandang kematian sebagai sebuah malapetaka. Namun ada pandangan yang sebaliknya bahwa hidup di dunia hanya sementara, dan ada kehidupan lain yang lebih mulia kelak, yaitu kehidupan di akhirat. Maut merupakan luka paling parah untuk narsisisme insani. Untuk menghadapi frustrasi terbesar ini, manusia bertindak religius (Dister, 1982). Masalah kematian sangat menggusarkan manusia. Mitos, filsafat juga ilmu pengetahuan tidak mampu memberikan jawaban yang memuaskan.

Kekosongan batin akan semakin terasa ketika individu dihadapkan pada peristiwa- peristiwa kematian. Terutama jika dihadapkan pada kematian orang- orang terdekat dan yang paling dicintai. Rasa kehilangan bersifat individual, karena setiap individu tidak akan merasakan hal yang sama tentang kehilangan. Sebagian individu akan merasa kehilangan hal yang biasa dalam hidupnya dan dapat menerimanya dengan sabar. Individu yang tidak dapat menerima kehilangan orang yang disayang dalam hidupnya akan merasa sendiri dan berada dalam keterpurukan.

Berbagai proses yang dilalui untuk kembali dari keterpurukan karena setiap orang akan mengalami hal- hal yang unik dan khusus, tergantung bagaimana cara dia ditinggalkan. Sebagian individu yang lebih memilih untuk tegar karena kesadaran utuk melanjutkan kehidupan. Perasaan kehilangan akan semakin berat dirasakan jika kadar rasa memiliki itu tinggi hal ini terjadi karena adanya kedekatan batin yang tinggi.

Kematian juga disikapi manusia mengenai dirinya. Sadar bahwa suatu saat dirinya juga akan mengalami kematian. Masing- masing mulai menakar diri. Menginvetarisasi semua aktivitas dan lakon hidup. Mengingat kebaikan dan keburukan yang sudah pernah dilakukan. Khawatir akan balasan yang akan diterima dihari kebangkitan. Perasaan seperti ini sering dirasakan dan menghantui manusia yang terjadi semacam kecemasan batin. Sebagai suatu ilmu pengetahuan empiris psikologi terikat pada pengalaman dunia. Psikologi tidak melihat kehidupan manusia setelah mati, melainkan mempelajari bagaimana sikap dan pandangan manusia terhadap masalah kematian dan apa makna kematian bagi manusia itu sendiri (Boharudin, 2011)