Apa yang dimaksud dengan Kelompok Bersenjata Non-Negara?

Kelompok Bersenjata Non-Negara

Apa yang dimaksud dengan Kelompok Bersenjata Non-Negara?

Kelompok Bersenjata Non-Negara


Kelompok bersenjata non-negara dalam hukum internasional diklasifikasikan sebagai bagian dari aktor non-negara. Secara luas aktor non-negara adalah segala entitas yang bukan merupakan bagian dari pemerintahan negara. Andrew Clapham mendifinikan, konsep aktor non-negara secara luas merupakan entitas non-negara yang biasanya digunakan untuk merujuk kelompok bersenjara, teroris, kelompok masyarakat atau agama, dan perusahaan multinasional .

Kelompok bersenjata non-negara pada dasarnya merupakan frasa umum yang digunakan untuk menunjuk kelompok-kelompok yang memiliki kemampuan militer tetapi tidak berada dibawah naungan negara baik secara tidak langsung atau tidak sama sekali. Bentuk dari kelompok bersenjata ini sendiri memiliki banyak ragam, mulai dari kelompok bersenjata bentukan negara seperti paramiliter dan militia, sampai dengan kelompok yang tidak memiliki hubungan langsung dengan negara seperti kelompok geriliawan, milisi, pemberontak dsb .

Secara definisi kelompok bersenjata non-negara sangat sedikit dibahas dalam lingkup internasional. Hukum internasional tidak memberikan penjelasan secara jelas tentang kelompok bersenjata non-negara . Mengingat hukum internasional sendiri dibentuk berdasarkan paham state-centric . Zakaria Dabone, dalam tulisannya menjelaskan bahwa kurangnya perhatian internasional terkait hal ini sendiri dikarnakan kelompok bersenjata non-negara lebih sering muncul dalam konflik-konflik non-internasional dan pengaturan atas hal ini sendiri merupakan yurisdiksi nasional .

Kurangnya kesamaan terminologi atas permasalahan ini sendiri menimbulkan beragamnya penggunaan kata untuk menyebut entitas-entitas non-negara yang terlibat dalam suatu konflik bersenjata, hal ini terbukti dengan penyebutan yang berbeda dalam beberapa perjanjian internasional seperti, armed group, non-state organized armed group, armed non-state actors, armed opposition group , dsb. Tetapi secara umum dapat disimpulkan bahwa frasa-frasa ini digunakan untuk merujuk kelompok-kelompok dengan kriteria:

  1. Ilegal dalam hukum nasional,

  2. Bukan merupakan bagian dari angkatan bersenjata pemerintah,

  3. Adanya unsur penggunaan kekerasan bersenjata

Merujuk pada Additional Protocol 2 yang mengatur tentang konflik bersenjata non-internasional, pasal 1 Additional Protocol 2 menyatakan bahwa:

sebagai belligerent, mengingat kelompok bersenjata non-internasional adalah frasa yang memiliki artian luas dalam hukum internasional.

Kelompok bersenjata non-negara seperti dijelaskan sebelumnya, pengaturan tentang kelompok bersenjata jatuh kepada nasional. Tetapi seiring perkembangan kelompok bersenjata non-negara tidak hanya terbatas pada konflik-konflik non-internasional. Dalam beberapa kasus seperti Taliban di afganistan, Hizbullah, dan South Lebanese Army di Lebanon. Kelompok-kelompok ini melakukan perang dengan negara yang menjadi musuh negaranya. Praktik-praktik seperti ini sendiri menjadikan pertanyaan dalam dunia internasional. Apakah sebuah aktor non-negara wajib mengikuti hukum perang/ hukum humaniter?

Marco Sassoli, dalam tulisannya yang berjudul “ Transnational Armed Groups and International Humanitarian Law ” menjelaskan, bahwa kelompok bersenjata non-negara, yang melakukan perang lintas batas negara tidak dapat diterapkan hukum kebiasaan perang, karna secara design hukum humaniter dibentuk dengan sistem state-centric yang dimana hanya mengakomodir perang internasional dalam bentuk negara melawan negara. Hukum Humaniter hanya dapat berlaku bagi kelompok bersenjata non-negara yang terlibat dalam perang internasional secara langsung merepresentasikan negaranya . Kelompok bersenjata non-negara adalah penyebutan yang diciptakan oleh ahli-ahli hukum internasional yang digunakan untuk menunjukan fenomena non-state actor dengan kemampuan militer. Fenomena non-state actor sendiri yang dapat terhitung baru dalam lingkup internasional, maka pengembangan agar hukum internasional dapat mencakup aspek ini sendiri sangat diperlukan

“… dissident armed forces or other organized armed groups which, under responsible command, exercise such control over a part of its territory as to enable them to carry out sustained and concerted military operations and to implement this Protocol

Berdasarkan pasal tersbut dijelaskan bahwa kelompok bersenjata yang memiliki kapasitas keorganisasian yang memadai dan kemampuan untuk menguasi wilayah, wajib untuk melaksanakan Hukum Humaniter. Kemampuan untuk menjalankan Common Article 3 dan Additonal Protocol 2 selain memberikan hak bagi kelompok bersenjata untuk menggunakn hukum internasional juga membebankan bagi kelompok bersenjata untuk mentaati hukum perang, seperti tidak menggunakan senjata pemusnah massal, penggunaan senjata kimia, tidak menyerang sipil, dsb . Hal ini sendiri sejalan dengan syarat untuk diakui sebuah pemberontakan.