Apa yang dimaksud dengan Kebijakan Capital buffer?

Kebijakan Capital buffer

Apa yang dimaksud dengan Kebijakan Capital buffer ?

1 Like

1. Definisi Capital buffer


Capital buffer didefinisikan sebagai selisih lebih antara rasio kecukupan modal (CAR) yang dimiliki perbankan dengan persyaratan minimum modal perbankan yang diberlakukan regulator (Anggitasari, 2013). Meskipun, regulasi modal bermanfaat untuk keamanan dan kesehatan bank, mewajibkan bank untuk menahan peningkatan modal memiliki banyak biaya dan dapat menjadi kendala terkait perilaku bank. Capital buffer dapat menjadi pelindung yang dapat menyerap berbagai risiko yang mungkin muncul, jika financial distress cost dari modal yang rendah, serta biaya akses modal baru yang tinggi (Wong, et al. 2010). Selain itu, bank yang memiliki modal yang rendah, lebih mudah kehilangan kepercayaan masyarakat. Oleh karena itu, bank dapat menahan dan menjadikan capital buffer sebagai asuransi untuk menghindari biaya disiplin pasar ( market dicipline ) maupun biaya intervensi pengawasan ( supervisory intervention ) jika mereka memutuskan untuk menurunkan modal di bawah persyaratan rasio kecukupan modal.

Capital buffer didefinisikan sebagai selisih lebih antara rasio kecukupan modal (CAR) yang dimiliki perbankan dengan persyaratan minimum modal perbankan yang diberlakukan regulator (Anggitasari, 2013). Meskipun, Regulasi modal bermanfaat untuk kamanan dan kesehatan bank, mewajibkan bank untuk menahan peningkatan modal memiliki banyak biaya dan dapat menjadi kendala terkait perilaku bank.

Capital buffer dapat menjadi pelindung yang dapat menyerap berbagai risiko yang mungkin muncul, jika financial distress cost dari modal yang rendah, serta biaya akses modal baru yang tinggi (Wong, et al. 2005). Selain itu, bank yang memiliki modal yang rendah, lebih mudah kehilangan kepercayaan masyarakat. Oleh karena itu, bank dapat menahan dan menjadikan capital buffer sebagai asuransi untuk menghindari biaya disiplin pasar (market dicipline) maupun biaya intervensi pengawasan ( Supervisory Intervention ) jika mereka memutuskan untuk menurunkan modal di bawah persyaratan rasio kecukupan modal.

Alasan lain bank harus memiliki capital buffer adalah pasar memaksa bank besar untuk memiliki capital buffer , bahkan ketika modal relatif mahal, sebagaimana modal bank berfungsi untuk memonitor dan tanpa penjamin simpanan yang memungkinkan bank membuat jaminan simpanan menjadi lebih murah (Berger et al., 1995). Jokipii dan Milne (2008) menyatakan bahwa di saat terjadi peningkatan yang substansial pada permintaan kredit, bank-bank dengan modal yang relatif kecil akan kehilangan pangsa pasar yang baik untuk dikapitalisasi.

Mishkin (2006) menyatakan bahwa bank menahan modalnya berdasarkan beberapa alasan. Pertama, modal bertujuan untuk mengantisipasi kegagalan, Bank menahan modalnya untuk mengurangi risiko tidak solvabel. Bank cenderung memiliki kecukupan modal untuk menyerap kerugian. Kedua, jumlah modal mempengaruhi pengembalian pemegang saham. Semakin besar modal yang ditahan, semakin kecil keuntungan yang diterima pemegang saham. Terdapat situasi dimana manajer harus mengambil keputusan yang optimal di antara menjaga likuiditas bank tetap aman dan memaksimalkan keuntungan bagi pemegang saham. Ketiga, modal minimum perbankan diatur oleh regulator.

Pada dasarnya terdapat tiga jenis biaya yang terkait capital buffer . Ayuso et al. (2004), Lindquist (2004), Stolz dan Wedow, (2009), Brown dan Davis (2008), Fonseca dan Gonzalez (2009), Nier dan Baumman (2006), Jokipii dan Milne (2008), dan Tabak et al. (2011) memasukkan cost of holding capital , cost of financial bankcruptcy atau financial distress , dan adjustment cost s.

Ayuso et al. (2002), Jokipii dan Milne (2008), dan Prasetyantoko & Soedarmono (2010) menggunakan ROE sebagai proxy dari capital holding cost , dan hasilnya adalah ROE mempengaruhi capital buffer secara negatif signifikan. Berbeda dengan penelitian Bauman Nier (2006), D’Avack & Levasseur (2007) yang menemukan hubungan positif antara ROE dan capital buffer . Hal ini mengindikasikan adanya peran penting pemegang saham dalam melakukan disiplin pasar. Pemegang saham meningkatkan ceruk pasar untuk meningkatkan capital buffer guna menjaga nilai pasar (Park dan Peristiani, 2007). Hal ini senada dengan the forward looking theory dari Palia dan Porter (2004) yang menyatakan rasio modal digunakan untuk mempertahankan kekuatan pasar mereka.

Cost of bankcruptcy juga mempengaruhi capital buffer . Jokipii dan Milne (2008), Fonseca dan Gonzalez (2009) menggunakan non-performing loan ratio to total loans (NPL) sebagai proxy risiko perbankan dan menemukan hubungan positif antara NPL dengan capital buffer . Sedangkan Alfon et al. (2005) menemukan hubungan negatif antara NPL dan capital buffer . Ini serupa dengan pendapat Mishkin (2007) yang menyatakan bank cenderung memiliki kecukupan modal untuk melindungi dan menyerap kerugian.

Penyesuaian modal ( capital adjustment ) memiliki dampak penting yang menentukan capital buffer . Bank dihadapkan dengan capital adjustment cost di saat bank terus menerus melakukan penyesuaian dalam rangka mendapatkan rasio modal yang optimal. Ayuso et al. (2002) menggunakan Lag of capital buffer s sebagai proxy biaya ini, hasilnya menunjukan adanya hubungan positif signifikan yang mempengaruhi capital buffer . Fikri (2012) menggunakan incremental capital buffer sebagai proxy capital adjustment , hasilnya menunjukan hubungan yang positif namun tidak signifikan. Hal ini menjelaskan bahwa Lag of capital buffer masih menjadi proxy yang lebih baik dari capital adjustment . Berdasarkan hal tersebut, seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, penelitian ini akan menggunakan Lag of capital buffer sebagai proxy dari capital adjustment .

Terdapat dua jenis perilaku bank dalam mengelola modalnya. Pertama, bank yang melakukan pengamatan ke belakang ( backward-looking ) akan mengurangi capital buffer selama periode kredit sangat tinggi ( boom period ) untuk memperluas kegiatan kreditnya. Hasilnya, mereka terlambat mengantisipasi risiko kredit, dan mereka diharuskan menambah cadangan modalnya selama periode resesi (Borio et al., 2001). Kedua, bank yang memiliki perilaku pengamatan ke depan ( forwardlooking ) dalam mengelola modalnya, akan mengantisipasi resesi ekonomi yang mungkin timbul dengan meningkatkan capital buffer selama periode perumbuhan ekonomi yang sangat tinggi ( economic boom ).

Ayuso et al (2004) menyajikan bukti empiris mengenai perilaku bank-bank di Spanyol yang menerapkan metode backward-looking untuk menunjukkan bahwa modal bank bersifat procyclical . Jokipii dan Milne (2008) menemukan hasil serupa mengenai cadangan modal bank-bank di Eropa yang juga bersifat procyclical selama periode 1997-2004.

Berbeda dengan hasil tersebut, beberapa penelitian menunjukkan rasio modal bersifat countercyclical . Hal ini dikarenakan bank-bank yang menerapkan forwardlooking melakukan antisipasi terhadap resesi ekonomi selama periode economic boom tidak hanya meningkatkan keuntungan, tapi juga meningkatkan cadangan modal untuk menghindari kerugian yang besar jika terjadi resesi ekonomi (Borio et al, 2001). Berger dan Udell (2004) menyatakan bahwa rasio modal bersifat countercyclical , dikarenakan mengembangkan neraca selama periode economic boom . Terakhir, penelitian ini juga mengikutsertakan beberapa faktor penentu lainnya yang dapat mempengaruhi capital buffer perbankan konvensional di Indonesia. Terdapat dua faktor penentu yang diikutsertakan dalam penelitian ini, seperti Loans to Total Assets (LOTA) dan Bank’s Share Assets (BSA). LOTA dipertimbangkan dalam analisis ini untuk menentukan kondisi pertumbuhan kredit yang tinggi akan berpengaruh dalam mengurangi kapasitas untuk meningkatkan cadangan modal atau tidak. BSA juga dipertimbangkan sebagai independen variabel. Oleh karena itu, penelitian ini perlu membuktikan apakah bank dengan kekuatan pasar yang besar relatif lebih mudah mendapatkan keuntungan, sehingga mendorong bank untuk dapat meningkatkan cadangan modal melalui laba.

2. Regulasi Capital buffer untuk Pengendalian Kredit

Regulasi kapital atau modal bank dapat mempengaruhi shock perekonomian terhadap pinjaman melalui dual saluran yaitu bank lending chanel dan bank capital chanel . Keduanya didasarkan atas permasalahan adverse selection yang mempengaruhi pengumpulan dana bank. Saluran pertama, bergantung pada ketidaksempurnaan di pasar pinjaman, sedangkan yang kedua bergantung pada ketidakseimbangan di pasar ekuitas (Gambacorta (2011) dalam Utari, 2012).

Bank lending channel memfokuskan pengaruh pengetatan moneter terhadap penyaluran kredit. Pengetatan moneter akan meningkatkan cost of fund bank khususnya untuk dana pihak ketiga dan mengurangi interest margin . Akibatnya profitabilitas bank berkurang dan jika pada kondisi ini bank harus meningkatkan permodalan, bank akan bereaksi dengan meningkatkan persyaratan kredit, sehingga penyaluran kredit akan berkurang karena adanya peningkatan biaya.

Ketika terjadi peningkatan ketentuan permodalan, ekses kapital bank akan berkurang. Secara umum permodalan bank dapat mempengaruhi pinjaman melalui capital channel jika terpenuhinya dua kondisi. Kondisi pertama, pelanggaran ketentuan modal minimum sangat berisiko dan akibatnya bank perlu membatasi risiko terhadap kemungkinan ketidakcukupan modal, sehingga kemudian bank akan melakukan penyesuaian jumlah kredit. Kondisi kedua, jika pasar untuk ekuitas bank tidak sempurna, bank tidak dapat dengan mudah mengeluarkan ekuiti baru, terutama pada periode krisis karena adanya tax disadvantage, problem adverse selection dan agency cost

3. Faktor-Faktor Penentu Capital buffer


Seperti yang disebutkan di atas, penelitian ini dibuat berdasarkan penelitian terdahulu Ayuso et al. (2004), Jokipii dan Milne (2008), dan Tabak (2011), terdapat tiga jenis biaya yang terkait capital buffer dan model capital buffer : cost of holding capital , cost of financial distress, dan adjustment cost s.

  1. Cost of Holding Capital

Cost of holding capital menyiratkan dari kelebihan modal ( direct costs of remunerating the excess of capital ), yaitu biaya kesempatan modal ( opportunity cost of the capital ) (Ayuso, et al., 2002). Oleh karena itu, insentif bank untuk menahan modalnya tergantung pada biaya modal ( cost of the capital ) dan biaya deposito ( cost of deposits ) (Fonseca dan Gonzalez, 2009). Analisis teoritikal (Myers dan Majluf, 1984; Campbell, 1979) menyatakan bahwa di dalam konteks informasi asimetris, ekuitas merupakan alternatif yang lebih mahal dibandingkan kewajiban bank lainnya. Penelitian ini, mengikutsertakan return on equity (ROE) perbankan dalam rangka mengetahui biaya langsung yang timbul dari kelebihan modal. Pengukuran ini menunjukkan berapa banyak keuntungan yang bisa didapat perusahaan dibandingkan dengan total jumlah ekuitas pemegang saham yang terdapat pada neraca.

1.1 Return on equity (ROEt-1)

Pada saat retun on equity (ROE) tinggi, menahan kelebihan modal menjadi mahal. Dalam hal ini, memaksimalkan keuntungan bank dapat dilakukan dengan menjaga capital buffer lebih rendah ketika biaya kesempatan modal (opportunity cost of capital ) tinggi. Beberapa penelitian sebelumnya, Ayuso et al.(2002) dan Jokipii & Milne (2008) menemukan hubungan negatif antara ROE dengan capital buffer . Hal ini menimbulkan suatu pemikiran bahwa bank akan mengurangi capital holding di saat the cost of capital tinggi. Ayuso et al. (2004), Jokipii dan Milne (2008) menggunakan return on equity (ROE) sebagai proxy dari cost of holding capital . Jokipii dan Milne (2008) menyatakan ROE juga dapat melebihi remunerasi yang dituntut pemegang saham dan sejauh ini digunakan untuk pengukuran pendapatan dibanding biaya. Tingginya laba dapat menjadi pengganti modal sebagai penyangga ( buffer ) menghadapi berbagai guncangan yang tidak terduga. Dengan demikian, sebagaimana peningkatan modal melalui pasar modal terbilang mahal, laba ditahan seringkali digunakan untuk meningkatkan capital buffer .

  1. Cost of Financial Distress

Menahan modal pada tingkat yang lebih tinggi dapat membuat bank mengurangi probabilitas kebangkrutan bank, dengan demikian hal ini disebut cost of failure , termasuk kehilangan nilai perusahaan, kehilangan reputasi, biaya hukum dari proses kebangkrutan (Tabak, 2011). Sebagaimana disebutkan Milne dan Whalley (2001), meningkatkan modal dapat mengurangi risiko ketidakpatuhan dan biaya kegagalan yang berbanding lurus dengan nilai absolut dari kekayaan bersih negatif dari bank gagal. Terkait dengan biaya ini adalah yang terkait dengan adanya persyaratan modal wajib minimum. Semakin tinggi modal akan mengurangi risiko ketidakpatuhan terhadap persyaratan tersebut, dengan demikian akan meminimalkan biaya konsekuen. Faktanya, sebelum batas peraturan tercapai, otoritas pengawasan perbankan biasanya menempatkan beberapa batasan pada aktivitas bank. Profil risiko dari bank menentukan capital buffer .

2.1 Non Performing Loans (NPLt-1)

Ayuso et al. (2004), Jokipii dan Milne (2008), Fonseca dan Gonzalez (2009), mereka menggunakan non-performing loan ratio to total loans (NPL) sebagai proxy risiko bank. Risiko bank dapat terjadi akibat kredit macet atau ketidakmampuan debitur dalam melunasi pinjamannya. Oleh karena itu, kemampuan manajemen kredit sangat dibutuhkan untuk mengelola permasalahan kredit (Sinungan, 2000). Penelitian ini menggunakan non-performing loan to total loans (NPL) sebagai proxy risiko bank (risiko kredit), rasio ini mengindikasikan kemampuan manajemen perbankan dalam mengelola permasalahan kredit. Merujuk pada peraturan Bank Indonesia BI No. 3/30DPNP on december, 2001), non-performing loan (NPL) diukur dari kredit macet ( non-performing loan ) dibagi total kredit yang didistribusikan (total loans). Semakin tinggi angka non-performing loan akan meningkatkan biaya, sehingga berpotensi menyebabkan kerugian. Sesuai dengan peraturan Bank Indonesia, jumlah aman dari non-performing loan (NPL) adalah di bawah 5%. 37

  1. Adjustment cost s

Bank dihadapkan pada biaya penyesuaian ( adjustment cost ) dalam rangka mencapai modal yang optimal. Capital adjustment yang tidak optimal mengakibatkan kelebihan atau kekurangan modal. Namun, konsekuensi kekurangan modal sepertinya lebih serius, sehingga bank lebih memilih “ over-capitalised ” atau kelebihan modal dibanding “ under-capitalised ” atau kekurangan modal (Fikri, 2012). Dengan kata lain, bagian dari capital buffer yang diamati ditujukan untuk pencegahan, sebagian karena friksi dalam penyesuaian tingkat modal (Wong, et al., 2005).

3.1 Lag of Capital buffer (BUFFt-1)

Lag of Capital buffer (BUFFt-1) merupakan proxy dari adjustment cost . Ayuso et al. (2004) dan Estrella (2004) dalam model penelitiannya menggunakan Lag of capital buffer sebagai proxy dari adjustment cost , hasilnya terdapat hubungan positif antara Lag of capital buffer dengan capital buffer .

4. Faktor-Faktor Lain Penentu Capital buffer

Loans to Total Assets (LOTA)

Memberikan kredit merupakan aktivitas utama perbankan dan merupakan sumber utama pendapatan perbankan. Namun, kegiatan utama perbankan ini juga memiliki risiko yang besar. Loans to Total Assets akan berdampak pada pertumbuhan pendapatan perbankan. LOTA ditopang oleh meningkatnya konsumsi saat ini. Sesuai dengan teori, peningkatan konsumsi akan meningkatkan jumlah kredit. Loans to Total Assets ratio (LOTA) dipertimbangkan di dalam analisis, dikarenakan ini merupakan rasio yang penting untuk bank. LOTA diharapkan memiliki hubungan positif dengan capital buffer . Hal ini dikarenakan, semakin tinggi modal yang didistribusikan untuk kredit, semakin besar risiko yan dihadapi bank akibat tingginya pendistribusian kredit tersebut.

  1. Bank’s Share Assets

Bank’s Share Assets (BSA) juga dipertimbangkan sebagai independen variabel di dalam penelitian ini. Bank’s Share Assets merupakan rasio total aset bank berbanding dengan total aset sistem perbankan (Prasetyantoko dan Soedarmono, 2008). Dengan demikian, Bank’s Share Assets dapat digunakan untuk mengetahui kekuatan penetrasi suatu bank dalam pasar atau industri.

1 Like

Fikri dan Erman mendefinisikan capital buffer sebagai selisih antara rasio modal yang dimiliki oleh bank dengan rasio modal minimum yang dipersyaratkan oleh pengambil kebijakan. Tak jauh berbeda, Wibowo mengartikan capital buffer sebagai “selisih antara rasio modal yang dimiliki oleh bank dengan kebutuhan modal minimum yang dipersyaratkan yang digunakan sebagai ukuran kekuatan modal bank dalam meredam risiko yang dapat mengancam stabilitas bank”. Oleh sebab itu, dari kedua definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa capital buffer adalah modal penyangga yang berasal dari kelebihan modal yang dimiliki oleh bank atas ketentuan modal minimal yang disyaratkan oleh pengambil kebijakan didasarkan pada profil risiko yang dihadapi oleh bank.

Capital buffer berfungsi untuk menyerap kerugian akibat munculnya risiko
sistemik yang tidak diharapkan. Umumnya, risiko tersebut berasal dari krisis
keuangan ataupun instabilitas kondisi politik suatu negara. Dengan capital buffer
yang memadai, operasional kegiatan bisnis bank secara keseluruhan tidak mudah
terganggu dan dapat terus berjalan dalam berbagai kondisi ekonomi yang berbeda-beda.

Pengukuran Capital Buffer

Sesuai dengan peraturan Bank Indonesia, rasio kebutuhan modal minimum sebesar 8% dari aktiva tertimbang menurut risiko. Peraturan tersebut berlaku hingga kurun waktu tahun 2014. Penerbitan POJK No. 21/POJK.03/2014 tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank Umum Syariah, menyebabkan perubahan modal minimum yang dipersyaratkan pada tahun berikutnya. Secara sederhana formula penghitungan capital buffer adalah sebagai berikut:

BUF = CB – CM
Di mana:
BUF : capital buffer
CB : rasio kecukupan modal bank syariah
CM : rasio kecukupan modal minumum sesuai profil risiko

Referensi

http://repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/39213/1/MOHAMAD%20IQBAL%20AKBARI-FEB.pdf