Apa yang dimaksud dengan kebebasan beragama ?

Kebebasan beragama

Kebebasan beragama adalah prinsip yang mendukung kebebasan individu atau masyarakat, untuk menerapkan agama atau kepercayaan dalam ruang pribadi atau umum. Kebebasan beragama termasuk kebebasan untuk mengubah agama dan tidak menurut setiap agama.

Apa yang dimaksud dengan kebebasan beragama ?

Kebebasan memeluk agama dalam perspektif HAM, dalam sidang umum PBB, menjelaskan bahwa:

Kepada setiap orang harus dijamin kebebasan berfikir dan kebebasan mengadakan ibadah-ibadah agama sesuai dengan undang-undang negara yang bersangkutan dan tuntutan moral umum.

Selain dalam undang-undang PBB dan undang-undang setiap negara tentang kebebasan beragama, dalam agama Islam pun telah ada ayat yang menyatakan tentang kebebasan setiap individu untuk memeluk agama sesuai dengan kepercayaan masing-masing selama kepercayaan mereka tidak menyimpang dari aturan setiap agama.

“Tidak ada paksaan dalam (menganut) agama (Islam), sesungguhnya telah jelas (perbedaan) antara jalan yang benar dengan jalan yang sesat. Barang siapa ingkar kepada tagut dan beriman kepada Allah, maka sungguh, dia telah berpegang (teguh)pada tali yang sangat kuat yang tidak akan putus. Allah maha mendengar, maha mengetahui” (QS: al - Baqarah , ayat 2:256 )

Kebebasan beragama juga mendapatkan tempatnya diluar Islam. Pasal 18 Deklarasi Universal HAM (Declaration of Human Raight) dalam resolusi majlis umum PBB pada tanggal 10 Desember 1948 terdapat 4 ayat yang menegaskan bahwa setiap orang berhak atas kebebasan pikiran termasuk kebebasan beragama, melaksanakan ibadah tanpa ada larangan dan paksaan. Hal itu selama terjaganya keselamatan umum, aturan hak-hak dan kebebasan dasar orang lain. Pernyataan ini pun diterima oleh negara-negara Islam di dunia karena selaras dengan kebebasan dalam Islam.

Prof. Dr. Wahbah al Zuhaily-pun membagi kebebasan beragama dalam tiga corak, yaitu:

  • Pertama, kebebasan perseorangan (individual) yang meliputi hak keamanan, terjaga privasinya, kebebasan bertempat tinggal dan terjaganya akal manusia.

  • Kedua, kebebasan politik meliputi kebebasan berpendapat dan beragama, melaksanakan ritual keagamaan, pers, serta berserikat dalam berpolitik dengan dasar musyawarah.

  • Ketiga, hak dan kebebasan ekonomi-sosial meliputi hak memperoleh pekerjaan, perlindungan kesehatan, tanggungan sosial yang tercermin dengan adanya kewajiban zakat dan macam-macam shadaqah, qurban, pembayaran kafarat.

Berdasarkan definisi-definisi tersebut diatas, dapat disimpulkan bahwa kebebasan beragama didalam hak asasi manusia adalah kebebasan untuk meninggalkan atau mengerjakan sesuatu hal menurut agama yang dianut tentang baik atau buruknya hal yang harus ditinggalkan ataupun yang baik untuk dipertahankan. Kebebasan tersebut harus sesuai dengan apa yang telah diatur dalam agama maupun didalam instrumen-instrumen negara atau internasional tentang hak asasi manusia yang telah menjadi kesepakatan suatu negara untuk masyarakatnya.

Referensi :

David P. Forsithe, 2007. Hak-hak Asasi Manusia dan Politik Dunia. Bandung : Angkasa Bandung, Hal 54

Kebebasan Beragama: Konteks Indonesia & Global

Kebebasan beragama di negara kita mengacu pada UUD 1945 pasal 29 ayat 2. Pasal ini menyatakan bahwa setiap warga diberi kemerdekaan atau kebebasan untuk memeluk agamanya masing-masing dan beribadat menurut agama dan kepercayaannya. Pasal 28 ayat 1 UUD 1945 perubahan kedua mengakui adanya hak setiap warga negara atas kebebasan beragama atau kepercayaan, demikian juga Pasal 28 ayat 1 UUD 1945 perubahan kedua, menjelaskan hak beragama dan berkepercayaan adalah Hak Asasi Manusia (HAM) yang tidak bisa dikurangi dan dibatasi dalam kondisi apapun. Bahkan Pasal 28 ayat 4 UUD 1945 perubahan kedua, mempertegas kewajiban negara terutama pemerintah untuk melindungi, memajukan, menegakkan dan memenuhi HAM.

Kewajiban negara melindungi dan memenuhi hak atas kebebasan beragama dan kepercayaan mengandung pengertian, bahwa negara tidak mempunyai wewenang mencampuri urusan agama dan kepercayaan setiap warga negaranya. Sebaliknya, negara harus memberikan perlindungan terhadap setiap warga negaranya untuk melaksanakan ibadah keagamaan atau kepercayaan. Hak Asasi Manusia merupakan suatu konsep etika politik modern dengan gagasan pokok penghargaan dan penghormatan terhadap manusia dan kemanusiaan.

Gagasan ini mengandung konsekuensi tuntutan moral bagaimana seharusnya manusia memperlakukan sesamanya. Tuntutan moral tersebut sejatinya merupakan ajaran inti dari semua agama. Sebab, semua agama mengajarkan pentingnya penghargaan dan penghormatan terhadap manusia, tanpa ada pembedaan dan diskriminasi. Tuntutan moral itu diperlukan, terutama dalam rangka melindungi seseorang atau suatu kelompok yang lemah atau “dilemahkan” (al mustad’afin) dari tindakan semena-mena yang biasanya datang dari mereka yang kuat dan berkuasa.

Kesadaran akan pentingnya HAM dalam wacana global muncul bersamaan dengan kesadaran akan pentingnya menempatkan manusia sebagai titik sentral pembangunan (human centred development), yang harus dihormati tanpa membedakan ras, warna kulit, jenis kelamin, suku bangsa, bahasa, maupun agamanya. Isu kebebasan beragama selain tercantum di dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM), ditemukan juga dalam berbagai dokumen historis tentang HAM, seperti dokumen International Bill of Rights (1966), Rights of Man France (1789), dan Bill of Rights of USA (1791).

Pasal 2 DUHAM menyatakan: “Setiap orang berhak atas semua hak dan kebebasan-kebebasan yang tercantum dalam Deklarasi ini tanpa perkecualian, seperti ras, warna kulit, jenis kelamin, bahasa, agama, politik atau pendapat yang berlainan, asal mula kebangsaan atau kemasyarakatan, hak milik, kelahiran, ataupun kedudukan lain.” (Musdah, 2005). Pemerintah dan DPR telah meratifikasi Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik melalui UU No 12/2005. Pasal 18 ayat 1 Kovenan Internasional Sipil-Politik yang melindungi hak atas kebebasan berpikir, berkeyakinan dan beragama, termasuk hak untuk memeluk kepercayaan. Hak atas kebebasan beragama atau berkepercayaan tidak dapat dikurangi.
.

Referensi

Billah. M.M. 2007. Pluralitas Agama di Indonesia: Memilih Kerangka
Pemahaman atas Keberadaan Aliran Keagamaan dari Perspektif Teologi dan HAM. Malang: UIN Malang.

Haryatmoko. 1999. Pluralisme Agama dalam Perspektif Filsafat. Yogyakarta:
IAIN Sunan Kalijaga

Sejak dunia mengenal dan dihadapkan pada berbagai komunitas kultural, yang masing-masing memiliki watak berbeda, maka akan djumpai standar sosial dan kultural yang berbeda. Selain standar sosial dan kultural, juga faktor sejarah sangat mempengaruhi perbedaan antara suatu negara dengan negara lain. Dalam hubungannya dengan hak atas kebebasan beragama dan beribadah, sejarah hubungan antara negara dan agama sangat berpengaruh terhadap konsep hak atas kebebasan beragama dan beribadah pada sebuah negara. Kebebasan dalam beragama merupakan perwujudan dari sikap individu dalam menjalankan kewajiban beribadahnya sesuai dengan keyakinan yang di anutnya.

Di Indonesia yang mendasarkan perlindungan HAM, termasuk hak atas kebebasan beragama dan beribadah pada Tuhan Yang Maha Esa (YME) sebagai Sila Pertama Pancasila yang merupakan dasar falsafah negara (philosofische grondslag), perkembangan HAM di Barat secara umum berkebalikan dengan hal tersebut.

Pengaturan tentang kebebasan beragama dalam Negara RI juga memerlukan pengaturan tentang hubungan antara negara dengan umat beragama dan hubungan antar umat beragama dalam menjalankan keyakinannya, karena sebagaiman dikemukakan oleh Oemar Seno Adji dan Muhammad Tahir Azhary bahwa dalam Negara Hukum Indonesia, terdapat hubungan yang harmonis dan erat antara agama dan negara. Peranan negara juga dapat dilihat dalam Pasal 18 ayat (3) ICCPR yang menentukan adanya peranan negara dalam menjalankan agama oleh seseorang, karena dalam ketentuan tersebut diatur bahwa kebebasan menjalankan dan menentukan agama atau keyakinan seseorang hanya dapat dibatasi oleh ketentuan berdasarkan hukum, dan yang diperlukan untuk melindungi keamanan, ketertiban, kesehatan, atau moral masyarakat, atau hak-hak dan kebebasan mendasar orang lain.

Perlunya pengaturan terhadap kehidupan beragama tidak hanya mengakomodasi golongan agama tertentu, akan tetapi karena hal tersebut harus diatur demi kepentingan ketertiban dalam masyarakat. Kasus yang biasanya terjadi dalam hubungan antar warga negara terkait kehidupan beragama adalah proselytism yang dilakukan dengan tidak etis, penodaan agama, dan penyalahgunaan agama. Proselytism yang dilakukan dengan tidak etis merupakan paksaan untuk berpindah agama. Proselytism yang merupakan pemaksaan, selain dilarang dalam UUD negara tertentu, juga dilarang dalam Deklarasi Kairo tentang HAM dalam Islam, yang menyatakan: “Dilarang untuk menggunakan pemaksaan dalam bentuk apa pun kepada manusia atau untuk memanfaatkan kemiskinan atau ketidaktahuannya guna mengubah kepercayaannya ke suatu agama atau ateisme.”

Dalam pembahasan tentang konsep hak atas kebebasan beragama dan beribadah telah dikemukakan bahwa dalam Sila Pertama Pancasila diakui Tuhan YME yang berarti bahwa setiap manusia di Indonesia berkewajiban menghormati agama dan kepercayaan orang lain, betapa pun mungkin ia tidak mempercayainya doktrin agama dan kepercayaan itu, karena merupakan hak setiap orang untuk memilih, memeluk, dan mengamalkan ajaran-ajaran agamanya secara bebas tanpa mengalami gangguan dan juga tanpa mengganggu pihak lain. Hal tersebut berarti tidak hanya larangan proselytism yang dilakukan dengan tidak etis, tetapi juga larangan melakukan penodaan dan penyalahgunaan agama di dalam negara RI.