Dalam konsep-konsep tradisional, para ilmuwan biasanya menafsirkan keamanan - yang secara sederhana dapat dimengerti sebagai suasana bebas dari segala bentuk ancaman bahaya, kecemasan, dan ketakutan - sebagai kondisi tidak adanya ancaman fisik (militer) yang berasal dari luar. Walter Lippmann merangkum kecenderungan ini dengan pernyataannya yang terkenal,
“suatu bangsa berada dalam keadaan aman selama bangsa itu tidak dapat dipaksa untuk mengorbankan nilai-nilai yang dianggapnya penting (vital) …, dan jika dapat menghindari perang atau jika terpaksa melakukannya, dapat keluar sebagai pemenang.”
Dengan semangat yarig sama, kolom keamanan nasional dalam International Encyclopedia of the Social Sciences mendefinisikan keamanan sebagai “kemampuan suatu bangsa untuk melindungi nilai-nilai internalnya dari ancaman luar".
Tiga ciri penting dari pengertian tradisional itu adalah: pertama, identifikasi “nasional” sebagai “negara”; kedua, ancaman diasumsikan berasal dari luar wilayah negara; dan, ketiga, penggunaan kekuatan militer untuk menghadapi ancaman-ancaman itu.
Tak heran jika Arnold Wolfers sampai pada kesimpulan , bahwa masalah utama yang dihadapi setiap negara adalah membangun kekuatan untuk menangkal (to deter) atau mengalahkan (to defeat) suatu serangan.
Padahal, konstruksi nasionalitas dan nasionalisme tidak selamanya dapat diwujudkan secara utuh dalam konstruksi kenegaraan. Di samping itu. ancaman militer mungkin juga bukan merupakan satu-satunya jenis ancaman yang dihadapi oleh negara maupun warga negaranya. Barangkali definisi tradisional seperti yang puluhan tahun dikenal di Barat itu hanya dapat dimengerti terutama dengan mengingat sejarah pembentukan negara-negara Barat. yang berangkat dari konsepsi Wesphalian tentang “negara-bangsa” (nation-state).
Hanya sebagian kecil dari mereka yang masih menghadapi persoalan fundamental mengenai formasi dan institusi pengorganisasian negara. Bahkan dalam kasus seperti Quebec di Kanada, upaya untuk meneguhkan identitas kenegaraan dilakukan dengan cara non-kekerasan (non-violent). Konstitusi Soviet, dan kemudian Rusia, mengakui hak pemisahan diri secara damai.
Sebaliknya, tidak seperti negara-negara Barat yang lebih maju, negara-negara berkembang menghadapi masalah yang jauh lebih kompleks. Peninggalan kolonial (colonial legacy) menyebabkan sebagian dari mereka terlebih dahulu berhasil membentuk negara sebelum berhasil membangun bangsa. Selama puluhan tahun, bangsa tetap tidak lebih dari sekedar komunitas yang dibayangkan (imagined community); dan “kebangsaan” tetap merupakan proyek besar yang entah kapan akan berakhir. Sebab itu, dalam banyak kasus, negara-negara berkembang menghadapi sekaligus tugas ganda bina-bangsa (nation-building) dan bina-negara (state-building), selain menghadapi ancaman militer luar terhadap wilayahnya.
Tidak mudah oleh karenanya mengidentifikasi landasan-landasan yang dapat dianggap sebagai bagian dari keamanan nasional. Barry Buzan mencoba menawarkan tiga landasan keamanan nasional: landasan ideasional, landasan institutional, dan landasan fisik. Apa yang oleh Buzan dianggap sebagai landasan fisik meliputi penduduk dan wilayah serta segenap sumber daya yang terletak di dalam lingkup otoritas teritorialnya; landasan institusional meliputi semua mekanisme kenegaraan, termasuk lembaga legislatif dari eksekutif maupun ketentuan hukum, prosedur dan norma-norma kenegaraan; landasan ideasional dapat mencakup berbagai hal termasuk gagasan tentang “wawasan kebangsaan”.
Dalam konteks seperti itu, kalaupun keamanan nasional akan diidentifiskasi sebagai “keamanan negara” - dengan asumsi bahwa negara tidak lagi menghadapi gugatan atas legitimasinya - maka ia perlu mengandung sedikit-dikitnya tiga komponen: kedaulatan wilayah, lenbaga-lembaga negara (termasuk pemerintahan) yang dapat berfungsi sebagaimana mestinya; dan terjaminnya keselamatan, ketertiban serta kesejahteraan masyarakat.
Kompleksitas ancaman: perspektif, lingkup, dan sifat
Ancaman militer hanya merupakan sebagian dari dimensi ancaman. Belakangan muncul perspektif baru: human security. Berbeda dari perspektif sebelumnya yang cenderung melihat negara sebagai unsur yang paling penting, “human security” yang melihat pentingnya keamanan manusia. Dalam perspektif ini kesejahteraan warga negara merupakan sesuatu yang dipandang penting.
Mereka dapat menghadapi ancaman dari berbagai sumber, bahkan termasuk dari aparatur represif negara, epidemi penyakit, kejahatan yang meluas, sampai dengan bencana alam maupun kecelakaan.
Diskursus kontemporer yang memberikan definisi keamanan secara fleksibel dan longgar, dengan memasukkan unsur dan perspektif yang tidak terdapat dalam diskursus tradisional. Bagi Caroline Thomas dan Jessica Mathews, misalnya, keamanan bukan hanya berkaitan dengan nexus military-external tetapi juga menyangkut dimensi-dimensi lain.
Keamanan, menurut Thomas dan Mathews, bukan hanya terbatas pada dimensi militer, seperti sering diasumsikan dalam diskusi tentang konsep keamanan, tetapi merujuk pada seluruh dimensi yang menentukan eksistensi negara… (termasuk di dalamnya) upaya memantapkan keamanan internal melalui bina-bangsa, ketersediaan pangan, fasilitas kesehatan, uang, dan perdagangan, maupun melalui pengembangan senjata nuklir.
Thomas dan Mathews mungkin mulai mengakui keberadaan ancaman non militer, namun mereka berdua tidak sepenuhnya meninggalkan tradisi yang menganggap negara sebagai entitas yang paling penting. Kontribusi mereka berdua terutama terletak pada ruang lingkup keamanan yang tidak lagi terbatas pada dimensi militer. Istilah-istilah yang kemudian muncul misalnya keamanan lingkungan (environmental security), keamanan pangan (food security), keamanan energi (energy security), dan keamanan ekonomi (economic security) menunjukkan bahwa suatu entitas sosial dan/atau politik dapat menghadapi ancaman di berbagai bidang kehidupannya.
Tentu, ancaman itu dapat berasa dari dalam maupun luar negeri. Belakangan muncul berbagai terminologi; misalnya ancaman transnasional (lintas nasional) sebagai ancaman yang berasal dari luar negara dan bergema di dalam suatu negara. Pada prinsipnya, ancaman ini berasal dari luar tapal batas tetapi dapat menimbulkan masalah- masalah serius di dalam wilayah nasional suatu negara. Mereka dapat mengancam komponen keamanan seperti yang diidentiflkasi sebelumnya landasan fisik, landasan ideasional, dan landasan institusional.
Revolusi Iran (1979), misalnya, membawa serta gagasan fundarnentalisme dan rezim teokratik yang dapat mengancam beberapa negara konservatif di Timur Tengah. Kekerasan etnik Rwanda bergema di Burundi sehingga mengancam bukan hanya orang- orang Huttu tetapi juga pemerintahan Burundi.
Revolusi teknologi informasi menghapus jarak fisik, sehingga kejadian di suatu tempat membawa demonstration effect yang mempengaruhi sikap politik masyarakat tertentu dan oleh karenanya mengudang respons negara dimana masyarakat itu berada. Penyelundupan senjata gelap dapat rnemperkuat gerakan separatis yang mengancam suatu negara maupun meningkatkan kriminalitas yang mengancam ketenteraman masyarakat.
Mempertimbangkan semua itu akan terlihat bahwa individu serta suatu entitas sosial (masyarakat maupun politik negara) mungkin harus menghadapi spektrum ancaman yang luas, mulai dari ancaman yang bersifat non-fisik sampai yang bersifat fisik, yang pada prinsipnya merupakan tindak kekerasan atau segala sesuatu yang berkaitan dengan penggunaan senjata.
Sebab itu. kontekstualisasi menjadi penting. Selain itu, mungkin saja hakikat suatu ancaman lebih berkaitan dengan ancaman terhadap negara tetapi tidak merupakan suatu ancaman yang langsung terhadap warganegara. Sebaliknya, mungkin pula suatu ancaman pada hakikatnya merupakan ancaman pada kehidupan warganegara tetapi tidak harus merupakan ancaman terhadap negara.
Titik temu antara diskursus kontemporer dan tradisional itu adalah state adequatness. Pemerintah, sebagai perwakilan masyarakat untuk melaksanakan kebijakan negara, memiliki keharusan untuk memenuhi elemen “kenegaraan yang memadai” (adequate stateness), terutama bagaimana menciptakan perimbangan antara kemampuan menggunakan kekerasan (coercive capacity), kekuatan infrastruktural (infrastructural power), dan legitimasi tanpa-syarat (unconditional legitimacy).
Relevansi, kontekstualiasi, dan instrumen keamanan nasional
Sumber ancaman (source of threat) terhadap apa yang selama ini dikenal sebagai “keamanan nasional” menjadi semakin luas, bukan hanya meliputi ancaman dari dalam (internal threat) dan/atau luar (external threat) tetapi juga ancaman azymutal yang bersifat global tanpa bisa dikategorikan sebagai ancaman luar atau dalam. Seirama dengan itu, watak ancaman (nature of threat) juga berubah menjadi multidimensional. Ancaman menjadi semakin majemuk, dan tidak bisa semata-mata dibatasi sebagai ancaman militer, Ideologi, politik, ekonomi dan kultural merupakan dimensi yang tetap relevan diperbincangkan.
Seperti halnya ancaman militer, ancaman ideologi dan atau politik dapat muncul dalam berbagai bentuk Suatu negara mungkin menghadapi ancaman politik dalam bentuk tekanan tertentu untuk mengubah tujuan-bentuk atau struktur institusi-institusi politiknya. Dalam bentuk yang paling ekstrim, ancaman politik ini terutama terjadi jika terdapat perbedaan organizing principle antar negara yang antagonistik.
Apa yang dilakukan oleh Libya dan Suriah terhadap beberapa pemerintahan moderat di Timur Tengah (Libanon. Yordan) dan Amerika terhadap rejim-rejirn radikal di Amerika Latin dan Karibia (Kuba, Chille, Guatemala, Haiti). Dalam bentuk yang lebih lunak, persyaratan politik yang menyertai segenap bantuan bilateral dan multilateral, mungkin dapat dikategorikan sebagai ancaman politik.
Ancaman luar yang tidak kalah penting adalah ancaman ekonomi. Namun berlainan dengan ancaman politik dan militer dari luar, ancaman luar ekonomi ini agak sukar didefinisikan dengan jelas. Sekalipun demikian, sukar untuk mengatakan bahwa ancaman terhadap keamanan nasional ini mempunyai implikasi langsung dengan kelangsungan hidup negara. Selain itu, ancaman ekonomi luar bersifat ambiguous, serta tidak memenuhi kriteria cross-boundry, dan pada saat sama juga tidak memenuhi kriteria penggunaan kekerasaan.
Lebih lagi, beberapa gejala kontemporer lebih menyerupai dinamika ekonomi normal daripada benar-benar merupakan ancaman dalam pengertian yang tradisional, baik untuk menguasai wilayah maupun untuk mengubah institusi-institusi negara. Tidak mungkin bisa di jawab dengan memuaskan apakah krisis ekonomi merupakan konspirasi untuk menghancurkan negara Indonesia, atau semata-mata merupakan konsekuensi yang tidak dapat dielakkan dari dinamika ekonomi kontemporer dan penataan ekonomi Indonesia yang rapuh.
Ancaman ekonomi mungkin baru bisa mempunyai implikasi militer, misalnya jika kerugian material itu menyebabkan menyusutnya anggaran atau menutup pasokan logistik yang diperlukan untuk pengembangan atau operasi militer.
Di tengah keharusan untuk mempersiapkan diri terhadap keamanan internal, ancaman militer dari luar merupakan sesuatu yang harus selalu diperhitungkan, sekalipun pada saat yang sama harus diakui pula bahwa untuk beberapa tahun yang dapat diperhitungkan ke depan sukar dibayangkan terjadinya perang dalam pengertian tradisional.
Menduduki wilayah asing (occupation) menjadi sesuatu yang secara moral memperoleh gugatan semakin tajam dan secara ekonomis semakin mahal. Konflik bersenjata, jika harus terjadi, kemungkinan besar akan bersifat terbatas, berlangsung dalam waktu singkat, dan menggunakan teknologi tinggi.
Amerika Serikat diperkirakan tetap memainkan peranan penting di kawasan Asia Pasifik, baik karena potensi ketidakstabilan di Semenanjung Korea, hubungan tradisionalnya dengan Jepang dan Korea Selatan, kekhawatirannya terhadap tampilnya Cina sebagai kekuatan hegemon regional, maupun karena kepentingan ekonominya di kawasan ini. Ancaman militer dari luar terhadap Indonesia kelihatannya akan bersifat ancaman tidak langsung yang terjadi karena ketidakstabilan regional.
Termasuk dalam kategori ini adalah, antara lain, perlombaan senjata yang dapat terjadi karena ketidakadilan di Semenanjung Korea dan Asia Timur, prospek penyelesaian masalah Taiwan, dan kemungkinan aksiden perbatasan dengan negara-negara yang berbatasan dengan Indonesia.
Sekedar sebagai contoh, tabel berikut merupakan upaya awal untuk mengidentifikasikan ancaman terhadap keamanan nasional.
Apa yang selama ini dikenal sebagai “keamanan dalam negeri” dapat menjangkau spektrum yang luas, mulai dari kemiskinan, epidemi dan bencana alam, kerusuhan sosial, pertikaian antar golongan, kejahatan, pemberontakan bersenjata sampai dengan gerakan separatis bersenjata.
DaIam tabel di atas juga terlihat bahwa gangguan-gangguan yang timbul karena kesenjangan sosial dapat merupakan ancaman serius bagi keamanan manusia, tanpa harus menjadi ancaman bagi bekerjanya institusi pemerintahan negara dan tidak berhubungan sama sekali dengan masalah keutuhan wilayah.
Sementara itu, pertikaian antar golongan dapat menjadi ancaman serius bagi bekerjanya fungsi pemerintahan negara, meski tidak merupakan ancaman terhadap keutuhan wilayah. Gerakan separatis, berbeda dari pemberontakan bersenjata, merupakan ancaman yang secara langsung berkaitan dengan keutuhan wilayah dan bekerjanya fungsi pemerintahan.
Sumber :
- Dr. Kusnanto Anggoro, Kemanan Nasional, Pertahanan Negara, Dan Ketertiban Umum.