Apa yang dimaksud dengan Kajian Sosiolinguistik?

Sociolinguistic-brain

Pada ilmu linguistik terdapat cabang kajian sosiolinguistik yang berhubungan dengan sosial.

Apa yang dimaksud dengan Sosiolinguistik?

Sosiolinguistik adalah ilmu yang menghubungkan antara penggunaan bahasa dengan budaya yang mempengaruhinya. Ilmu ini merupakan kajian kontekstual terhadap variasi penggunaan bahasa masyarakat dalam sebuah komunikasi yang alami. Variasi dalam kajian ini merupakan masalah pokok yang dipengaruhi atau mempengaruhi perbedaan aspek sosiokultural dalam masyarakat.

Menurut Fasold (1993) inti sosiolinguistik tergantung dari dua kenyataan. Pertama, bahasa bervariasi yang menyangkut pilihan bahasa-bahasa bagi para pemakai bahasa. Kedua, bahasa digunakan sebagai alat untuk menyampaikan informasi dan pikiran-pikiran dari seseorang kepada orang lain. Dengan kata lain, semakin beragam sebuah masyarakat, semakin beragam pula bahasa yang digunakan dalam masyarakat tersebut.

Keragaman dalam masyarakat berupa beragamnya latar belakang dari penutur, beragamnya kondisi dan situasi saat bahasa itu digunakan, beragamnya lawan bicara, beragam suku, budaya dan lain-lain. Karena fenomena inilah kemudian sosiolinguistik juga berarti kajian tentang bahasa dan pemakaiannya dalam konteks sosial dan kebudayaan (Chaer, 1995).

Pendapat lain dikemukakan oleh Booiji (Rafiek, 2005) ia berpendapat bahwa

Sosiolinguistik sebagai cabang linguistik yang mempelajari faktor-faktor sosial yang berperan dalam pemakaian bahasa dan yang berperan dalam pergaulan

Sedangkan Wijana (2006) berpendapat bahwa

Sosiolinguistik merupakan cabang linguistik yang memandang atau menempatkan kedudukan bahasa dalam hubungannya dengan pemakai bahasa itu di dalam masyarakat

Pendapat tersebut pada intinya berpegang pada satu kenyataan bahwa dalam kehidupan bermasyarakat manusia tidak lagi sebagai individu, akan tetapi sebagai masyarakat sosial.

Chaer (2004) menjelaskan bahwa sosiolinguistik adalah bidang ilmu antardisiplin yang mempelajari bahasa dalam kaitannya dengan pengguna bahasa itu di dalam masyarakat.

Sumarsono (2002) menyatakan bahwa sosiolinguistik dibandingkan dengan ilmu-ilmu sosial lain, seperti ilmu ekonomi, sosiologi, atau dengan linguistik sendiri merupakan ilmu relatif baru.

Ditinjau dari nama, sosiolinguistik menyangkut sosiologi dan linguistik, karena itu sosiolinguistik mempunyai kaitan erat dengan kedua kajian tersebut. Sosio adalah masyarakat, dan linguistik adalah kajian bahasa. Jadi sosiolinguistik adalah kajian tentang bahasa yang dikaitkan dengan kondisi kemasyarakatan.

Nababan (1991) mengatakan bahwa istilah sosiolinguistik jelas terdiri dari 2 unsur, yaitu sosio dan linguistik. Kita mengetahui arti linguistik, yaitu ilmu yang mempelajari atau membicarakan bahasa, khususnya unsur-unsur bahasa (fonem, morfem, kata, kalimat) dan hubungan antara unsur-unsur itu (struktur), termasuk hakekat dan pembentukan unsur itu.
Unsur sosio adalah seakar dengan sosial, yaitu yang berhubungan dengan masyarakat, kelompok-kelompok masyarakat, dan fungsi-fungsi kemasyarakatan.

Jadi, sosiolinguistik ialah studi atau pembahasan dari bahasa sehubungan dengan penutur bahasa itu sebagai anggota masyarakat. Sosiolinguistik mempelajari dan membahas aspek-aspek kemasyarakatan bahasa, khususnya perbedaan-perbedaan (variasi) yang terdapat dalam bahasa yang berkaitan dengan faktor-faktor kemasyarakatan (sosial).

Sosiolinguistik adalah ilmu yang mempelajari penggunaan bahasa di dalam masyarakat. Penggunaan bahasa di dalam masyarakat tersebut mencakup variasi-variasi bahasa. Variasi-variasi bahasa ini bisa karena waktu, sosial, geografis.

Downes (1998) merumuskan bahwa “Sociolinguistics is that branch of linguistics which studies just those properties of language and languages which require reference to social, including contextual, factors in their explanation”. Sosiolinguistik adalah cabang linguistik yang mengaji hanya bagian bahasa yang penjelasannya memerlukan acuan faktor-faktor sosial, termasuk faktor-faktor kontekstual.

Hudson (1996) memberikan batasan sosiolinguistik sebagai, " … the study of language in relation to society". Kajian tentang bahasa dalam kaitannya dengan masyarakat. Trudgill (1995) menyimpulkan, “Sociolinguistics, then, is that part of linguistics which is concerned with language as a social and cultural phenomenon. It investigates the field of language and society and has close connections with the social sciences, especially social psychology, anthropology, human geography, and sociology”. Jadi, sosiolinguistik adalah bagian dari linguistik yang berkaitan dengan bahasa sebagai gejala sosial dan budaya. Sosiolinguistik menyelidiki bidang bahasa dan masyarakat. Sosiolinguistik erat berhubungan dengan ilmu-ilmu sosial, khususnya psikologi sosial, antropologi, geografi manusia, dan sosiologi.

Perkembangan Sosiolinguistik

Sosiolinguistik yang kita kenal dewasa ini boleh dikatakan dipengaruhi oleh perkembangan penelitian-penelitian sosiolinguistis yang dilakukan di Amerika (Serikat). Meskipun minat terhadap masalah- masalah sosiolinguistik sudah lama tumbuh di kalangan para linguis di Eropa, minat terhadap sosiolinguistik di Amerika baru tumbuh belakangan, yakni di sekitar pertengahan tahun 1960-an.

Dari sejarah perkembangan studi linguistik dapat kita ketahui bahwa tradisi linguistik di Amerika berbeda dengan tradisi linguistik yang berkembang di Eropa. Tradisi keilmuan di Amerika tidak setua tradisi keilmuan di Eropa. Di Amerika sebagian besar para linguis tumbuh dari pengalaman mereka bekerja dengan bahasa-bahasa Indian. Pengalaman mereka berpengaruh pada cara kerja mereka yang kebanyakan bersifat deskriptif.

Di samping itu, linguistik di sana berkembang dengan pengaruh yang sangat besar dari psikologi aliran behaviorism yang bersifat empiris. Dari pengaruh inilah maka linguistik di sana pada awalnya, yakni dari awal tahun 1930-an sampai akhir tahun 1950-an, lebih menitikberatkan perhatiannya pada struktur bahasa, khususnya pada bidang tata bunyi (fonologi) dan tata kata (morfologi). Masalah makna yang berkaitan dengan semantik-kurang mendapat perhatian. Baru sesudah diterbitkannya buku Chomsky, Syntactic Structures, pada tahun 1957, para linguis memperhatikan masalah tata kalimat dan masalah makna secara lebih mendalam.

Hasil kajian-kajian kebahasaan yang ada sampai saat itu dianggap kurang memuaskan. Hasrat para linguis, di samping para ahli di bidang ilmu sosial seperti sosiologi, antropologi sosisal, dan psikologi sosial untuk memperoleh penjelasan lebih lanjut mengenai masalah kebahasaan dalam konteks yang lebih luas menyebabkan mereka mulai mencoba menganalisis bahasa dengan mempertimbangkan segi-segi di luar struktur interen bahasa.

Pada tahun 1966 William Labov menerbitkan hasil penelitiannya, The Social Stratification of English in New York City. Hasil penelitiann itu segera menarik perhatian di kalangan linguis dan metode penelitian yang dipakainya diterapkan di tempat lain, antara lain oleh Trudgill.

Penelitian demi penelitian yang dilakukan dengan cara yang agak berbeda dari cara yang pada waktu itu sudah lazim dilakukan-artinya tidak hanya melihat bahasa dari struktur interennya melulu menjadi salah satu sebab berkembangnya penelitian bahasa yang bersif at sosiolinguistis. Dari penelitian Labov inilah tampaknya penelitian orang mengenai variasi bahasa dalam hubungannya dengan struktur sosial menjadi lebih terbuka.

Di Eropa dari awal perkembangannya para linguis memberikan perhatian mereka pada segi kemasyarakatan bahasa. Methrie (2001) mencatat adanya empat tradisi keilmuan yang berpengaruh pada perkembangan telaah sosiolinguistik. Keempat tradisi itu masing-masing adalah linguistik historis-komparatif, antropologi, dialektologi pedesaan, dan telaah tentang bahasa-bahasa campuran seperti pijin dan kreol.

Sementara itu, Ferdinand de Saussure -sebagaimana Whitney- juga menyadari bahasa sebagai fakta sosial. Salah satu pokok pikirannya yang terkenal adalah pembedaan langue dan parole (de Saussure, 1988). Langue adalah sistem bahasa yang terdapat secara melembaga di dalam masyarakat dan sukar berubah; sedangkan parole adalah realisasi dari sistem yang berupa ujaran yang dihasilkan oleh para pemakai bahasa, sifatnya perorangan.

Segi kemasyarakatan bahasa ini terdapat dalam langue, dan inilah yang menjadi objek penelitian bahasa. Para peneliti bahasa yang ingin mengetahui sistem suatu bahasa, atau langue yang ada dalam masyarakat, harus menelitinya melalui parole yang terdapat dalam diri perorangan.

Salah satu aliran linguistik di Eropa yang juga berasal dari de Saussure adalah Aliran Praha. Dari tulisan-tulisan para penganjur aliran ini dapat kita ketahui bahwa objek pengamatan mereka tidak terbatas pada struktur bahasa saja, tetapi melampaui batas wilayah yang lebih luas seperti pengajaran bahasa, pembakuan bahasa, dan hubungan bahasa dan sastra. Dari kenyataan itu dapat kita simpulkan bahwa sudah sejak awal pertumbuhannya, linguistik di Eropa tidak meninggalkan segi kemasyarakatan dari bahasa.

Oleh karena itu, sosiolinguistik di sana bukanlah sebuah barang baru sama sekali. Dari aliran lain, yaitu aliran yang tumbuh di lnggris, linguistik malah sangat memperhatikan fungsi bahasa dalam konteks atau fungsi sosialnya. Pertumbuhan suasana seperti itu tidak lepas dari pengaruh seorang ahli antropologi, Bronislav Malinowsky, yang menekankan pentingnya konteks pemakaian bahasa. Pokok-pokok pikirannya ini diteruskan oleh John R. Firth. Firth inilah kemudian yang menganjurkan pemakaian istilah sociological linguistics untuk semantik karena musykilnya menelaah makna secara strukural belaka.

Sosiolinguistik menurut Chaer dan Leonie Agustina (2004) adalah cabang ilmu linguistik yang bersifat interdisipliner dengan ilmu sosiologi, dengan objek penelitian hubungan antara bahasa dengan faktor-faktr sosial dalam suatu masyarakat tutur. Sosiolinguistik menyoroti keseluruhan masalah yang berhubungan dengan organisasi sosial perilaku bahasa, tidak hanya mencakup pemakaian bahasa saja, melainkan juga sikap-sikap bahasa, perilaku terhadap bahasa dan pemakai bahasa.

Sosiolinguistik mengkaji hubungan bahasa dan masyarakat, yang mengaitkan dua bidang yang dapat dikaji secara terpisah, yaitu struktur formal bahasa oleh linguistik dan struktur masyarakat oleh sosiologi (Wardhaugh 1984; Holmes 1993; Hudson 1996).

Istilah sosiolinguistik itu sendiri baru muncul pada tahun 1952 dalam karya Haver Cerita Currie (dalam Dittmar 1976) yang menyatakan perlu adanya kajian mengenai hubungan antara perilaku ujaran dengan status sosial.

Disiplin ini mulai berkembang pada akhir tahun 60- an yang diujungtombaki oleh Commite on Sociolinguistics of the Social Science Research Council (1964) dan Research Commite on Sociolinguistics of the International Sociology Association (1967).

Kajian sosiolinguistik melihat fenomena pemakaian bahasa sebagai fakta sosial yang menempatkan pemakaian suatu ragam bahasa sebagai sistem lambang (kode), sistem tingkah laku budaya, dan sistem pragmatik yang berhubungan dengan pemakian bahasa dalam konteks yang sebenarnya.

Klasifikasi sosiolinguistik

Klasifikasi sosiolinguistik dilakukan berdasarkan hubungan antara bahasa dengan faktor-faktor yang berlaku dalam masyarakat; tepatnya, berdasarkan status, fungsi, penilaian yang diberikan masyarakat terhadap bahasa itu.

Klasifikasi sosiolinguistik ini pernah dilakukan oleh Wiliam A. Stewart tahun 1962 dalam artikelnya “ An Outline of Linguistic Typology for Describing Multilingualism ”. Klasifikasi ini dilakukan berdasarkan empat ciri atau kriteria, yaitu standarisasi, otonomi, historisitas dan vitalitas.

Kriteria standarisasi, yaitu kodifikasi dari seperangkat norma untuk “penggunaan yang benar”, khususnya oleh ahli bahasa, guru, penulis, dan sebagainya. Kodifikasi disebarkan dalam bentuk buku tata bahasa, kamus, panduan tentang gaya, model teks dan sebagainya, tertulis maupun lisan.

Otonomi bahwa bahasa memiliki kekhasan dan kemandiriannya sebagai suatu sistem, meliputi tata-suara, tata-kata maupun tata-bahasanya.

Historisitas merupakan atribut yang dimiliki bahasa yang mempunyai prestise tinggi, yang melambangkan kebudayaan yang tinggi, atau yang digunakan oleh nenek moyang yang terhormat. Historisitas berkenaan dengan sejarah perkembangan bahasa atau pemakaian bahasa itu. Kriteria historisitas ini akan menjadi positif kalau bahasa itu mempunyai sejarah perkembangan atau sejarah pemakaiannya.

Vitalitas adalah kekuatan pengaruh banyaknya jumlah pengguna serta kedudukan mereka di masyarakat. Lebih banyak dan lebih penting kedudukan pemilik bahasa tertentu, lebih besar vitalitas bahasa itu, sehingga lebih besar pula potensinya untuk distandarisasi, memilki otonomi dan historisitas.