Apa yang dimaksud dengan Kafa'ah?

image

Menurut pendapat Imam Hanafi, Kafa’ah diartikan sebagai kesepadanan antara laki-laki dan perempuan dalam pernikahan.

Apa yang dimaksud dengan Kafa’ah?

kafa’ah dalam terminologi hukum islam ialah menyaratkan agar suami muslim mesti sederajat, sepadan atau lebih unggul dibandingkan istrinya, meskipun seorang perempuan boleh memilih pasangannya dalam perkawinan. Ini bertujuan agar ia tidak kawin dengan laki-laki yang derajatnya berada dibawahnya.

Hasbullah Bakry yang menjelaskan bahwa pengertian kafa’ah ialah kesepadatan diantara calon suami dengan calon istrinya setidaktidaknya dalam tiga perkara yaitu:

  1. Agama (sama-sama Islam)
  2. Harta (sama-sama berharta)
  3. Kedudukan dalam masyarakat (sama-sama merdeka).

Pengertian kafaah menurut istilah juga dikemukakan oleh M. Ali Hasan yang mengartikan kafa’ah sebagai kesetaraan yang perlu dimiliki oleh calon suami dan istri, agar dihasilkan keserasian hubungan suami istri secara mantap dalam menghindari celaan di dalam masalah-masalah tertentu. Di saat laki-laki hendak dipinang seorang gadis, maka keluarganya pertama kali harus menyelidiki status sosial dan hartanya.

Kafa’ah atau kufu berarti sederajat, sepadan atau sebangding. Yang dimaksud kufu dalam pernikahan adalah laki-laki sebanding dengan calon istrinya, sama dalam kedudukan, sebanding dalam tingkatan sosial dan sederajat dalam akhlak serta kekayaan. Jadi, tekanan dalam hal kafa’ah adalah keseimbangan, keharmonisan dan keserasian, terutama dalam hal agama, yaitu akhalk dan ibadah.

Kafa’ah itu adalah hak perempuan dan walinya. Wali tidak bisa memaksa mengawinkan perempuan dengan orang yang tidak sekufu kecuali yang bersangkutan ridha, demikian para walinya. Maka si perempuan tidak boleh dikawinkan kecuali atas persetujuan dengan para wali. Apabila perempuan dan walinya sudah ridha maka perkawinannya boleh dilaksanakan sebab, persetuju akan mengghilangkan halangan untuk kawin.

Penentuan kafa’ah itu merupakan hak perempuan yang akan kawin sehingga bila dia akan diwinkan oleh walinya dengan orang yang tidak sekufu dengannya, dia dapat menolak atautidak memberikan izin kepada walinya. Dalam Kompilasi hukum Islam (KHI) hanya sekilas menyebutkan tentang kafa’ah dalam bab 10 tentang pencegahan perkawinan yaitu pasal 61: tidak sekufu tidak dapat dijadikan alasan untuk menjegah perkawinan kecuali tidak sekufu karena perbedaan agama atau ikhtilaful al-din.

Konsep kafa’ah merupakan perwujudan dari kehidupan sosial dalam berinteraksi di masyarakat, ketika akan memilih pasangan untuk dinikahi. Pada dasarnya kafa’ah sudah diterapkan dimasyarakat namun dalam kafa’ah tidak diatur secara jelas mengenai batasan dan ukuran se-sekufuan seseorang. Namun demikian, kafa’ah tetap menjadi bahan pertimbangan, sebab perkawinan merupaka penggabungan dua keluarga. Tidak ada dalil yang secara jelas menyatakan bahwa kafa’ah menjadi syarat yang wajib dalam perkawinan.

Imam mazhab yang empat (hanafi, Syafi’i, Hambali, dan Maliki) mempunyai kesamaan pendapat bahwa kafa’ah terdapat perbedaan dalam menjelaskan secara rinci. Ulama berbeda pendapat tentang ukuran kafa’ah yaitu sikap hidup yang lurus dan sopan bukan dari segi keturunan, pekerjaan, kekayaan, dan lain sebagainya. Jadi bagi laki-laki yang soleh, walaupun bukan keturunan yang terpandang, maka ia boleh menikahi wanita manapun. Seorang laki-laki pekerja rendah, boleh kawin dengan wanita kaya, asalakan pihak perempuan rela.

Kafa’ah dipertimbangkan hanya pada pelaksanaan perkawinan dan ketidak sederajatan yang terjadi kemudian tidak dapat mempengaruhi kualitas perkawinan yang sudah terjadi. Maka jika seorang pria kawin dengan wanita dan kedua pasangan tersebut se-kufu namun ternyata pria tersebut seorang pezina, ini tidak bisa menjadikan alasan bagi buabarnya perkawinan.

Para Imam Mazhab telah berbeda pendapat dalam penetapan aspek apa saja yang menjadi ukuran kafa’ah, adapun yang menjadi persamaan dan perbedaan di kalangangan Imam Madzhab tentang kafa’ah sebagai berikut:

  • Aspek kafa’ah yang telah disepakati para ulama yaitu;
  1. Agama, para Imam Mazhab mensyarakatkan agama sebagai unsur yang mesti ada.
  2. Kemerdekaan, merupakan unsur yang mesti ada dan ini tidak diperselisihkan lagi.
  • Sedangakan dari segi unsur kafa’ah yang masih diperselisihkan yaitu:
  1. Nasab, terdapat perbedaan dalam menentukan perlu tidaknya faktor nasab.
  2. Pekerjaan, faktor penunjang dalam keseharian, masih diperselisihkan perlu tidaknya.
  3. Harta, harta merupakan cerminan dai kemapanan ekonomi sebuah kelurga.

Tujuan Kafa’ah

Kafa’ah berperan membentuk keluarga yang sakinah sesuai dengan ajaran Islam. Dengan dipahami substansi kafa’ah merupakan langkah awal untuk menciptakan keluarga yang sakinah. Kafa’ah juga bertujuan menyelamatkan perkawinan dari kegagalan yang disebabkan perbedaan di anatara dua pasangan. Pada akhirnya dapat menimbulkan ketidak harmonisan dalam berumah tangga.

Kafa’ah sangat berperan sebagai penetralisasi kesenjangan, sebab perbedaan berasal dari kehidupan manusia yang syarat dengan kesenjangan status yang beragam. Keberadaan manusia yang hidup berkelompok-kelompok dan bersuku-suku telah menelurkan butirbutir perbedaan status dan martabat.

Kafa’ah Dalam Perspektif Imam Mazhab

  1. Pendapat Imam Hanafi
    Kafa’ah diartikan sebagai kesepadanan antara laki-laki dan perempuan dalam lima kriteria:
  • Nasab, Nasab dibagi menjadi dua golongan Arab dan Ajam, sementara Arab kembali dalam dua golongan yaitu: Quraisy dan non Qurasy. Seperti laki-laki Quraisy sekufu dengan perempuan Quraisy walaupun berbeda kabilah. Sementara perempuan Arab non Quraisy sekufu dengan laki-laki Arab dari kabilah manapun dan laki-laki ajam tidak sekufu bagi perempuan Quraisy.

  • Islam, orang Quraisy sekufu dengan sesamanya, agama tidak menjadi masalah bagi orang Quraisy, seperti: orang tua seorang lelaki muslim tidak beragama islam, sedangkan orang tua perempuan muslimah beragama islam masih dikatagorikan sekufu.

  • Kemerdekaan, tidak ada masalah dalam hal kemerdekaan, karena orang rab tidak boleh diperbudak. Sedangkan bagi orang ajam, nasab yang berlaku hanya kemerdekaan dan keislamannya saja. Lelaki yang merdeka dan memiliki ayah budak, tidak sekufu dengan perempuan merdeka.

  • Pekerjaan, seorang laki-laki sepadan dalam hal pekerjaan dengan keluarga perempuan dan ukuran kesepadannya adalah adat dan tradisi yang berlaku dimasyarakat.

  • Keagamaan, keagamaan ini hanya berlaku bagi orang jam dan Arab. Seperti orang fasik tidak sekufu dengan perempuan saleh yang memiliki ayah saleh.

  1. Pendapat Imam Syafi’i
    Kafa’ah menurut mazhab Syafi’i adalah persamaan dan kesempurnaan, persamaan ini terbagi kepada empat kriteria:
  • Nasab, orang ajam hanya berhak menikah dengan orang ajam, orang Quraisy hanya berhak menikah dengan orang Quraisy. Mazhab Syafi’i memiliki persepsi yang sama dengan mazhab Hanafi tentang golongan tertinggi di masyarakat Arab

  • Agama, laki-laki harus sama dalam hal istiqamah dan kesucian. Laki-laki yang fasik tidak sekufu dengan perempuan yang istiqamah kecuali telah bertaubat, sementara laki-laki pezina tidak kufu dengan perempuan yang suci meskipun laki-laki tersebut telah bertaubat.

  • Kemerdekaan, hanya berlaku pada pihak laki-laki dan tidak pada perempuan, karena laki-laki dapat menikah dengan siapa saja baik hamba atau sederajad.

  • Profesi, laki-laki yang pekerjaanya tergolong rendah tidak sekufu ddengan perempuan yang kaya, namun laki-laki yang miskin dan sekufu dengan perempuan yang kaya dengan syarat kerelaan orang tua.

  1. Pendapat Imam Hambali
    Mendefinisikan kafa’ah dengan kesamaan dalam lima hal:
  • Keagamaan, laki-laki fasik tidak sekufu dengan perempuan suci dan saleh
  • Pekerjaan, laki-laki yang memiliki pekerjaan yang dianggap rendah dan hina tidak kufu dengan perempuan yang memiliki pekerjaan yang mulia.
  • Harta, laki-laki yang miskin tidak kufu dengan perempuan yang kaya, karena berhubungan dengan mahar dan nafkah.
  • Kemerdekaan, dalam hal kemerdekaan dibedakan antara budak laki-laki dan perempuan, karena laki-laki budak dianggap tidak sekufu dengan perempuan merdeka.
  • Nasab, laki-laki ajam tidak sekufu dengan perempuan Arab.
  1. Pendapat Imam Malik
    Mazhab Maliki tidak mengakui kafa’ah dalam nasab kemerdekaan dan harta, karena masalah kafa’ah dalam perkawinan hanya berhubungan dengan dua hal yang menjadi hak bagi perempuan bukan walinya yaitu:
  • Keagamaan : yakni muslim bukan fasik.
  • Bebas dari aib : yang dapat membahayan pihak perempuan.