Apa yang dimaksud dengan jiwa yang tenang atau Muthma’innah ?

jiwa yang tenang atau Muthma’innah

Muthma’innah atau jiwa yang tenang bisa diartikan sebagai bentuk ketenangan, tidak gelisah, tidak resah, tidak berteriak, tidak ada keributan atau kerusuhan atau tidak ribut.

Apa yang dimaksud dengan jiwa yang tenang atau Muthma’innah ?

Menurut Tafsir al-Maraghi, Muthma’innah adalah ketenangan jiwa setelah adanya kegoncangan. Maksudnya adalah ketetapan pada apa yang telah dipegang setelah menerima goncangan akibat paksaan.

Fakhrur Razy, ahli tafsir tersohor pernah menguraikan dalam “Tafsir Kabir”, bahwa jiwa (hati) manusia itu memang hanya satu, tetapi sifat-sifatnya banyak dan bermacam-macam. Apabila hati itu lebih condong kepada nilai-nilai Ketuhanan dan mengikuti petunjuk-petunjuk Ilahi, maka ia bernama nafs al Muthma’innah, jiwa yang tenang dan tenteram. Jika ia condong kepada hawa nafsu dan marah maka ia dinamakan ammarah bi assui’ , yaitu hati yang dipenuhi oleh kejahatan.

Pengertian “jiwa tenang” adalah jiwa yang beriman dan tidak digelitik rasa takut dan duka hati. Muthma’innah, bisa diartikan sebagai jiwa yang ikhlas, yang yakin, yang beriman. Ibnu Abbas mengartikannya sebagai jiwa yang beriman. Imam Hasan, mendefinisikan sebagai jiwa yang beriman dan yakin. Sedangkan Imam Mujahidin mengartikannya sebagai jiwa yang rida dengan ketentuan Allah yang tahu bahwa sesuatu yang menjadi bagiannya pasti akan datang kepadanya. Adapun Ibnu Atha mengartikannya sebagai Jiwa yang arif billah (mengenal Allah) yang tak sabar untuk berjumpa dengan Allah walau sekejap.

Di kalangan beberapa ulama merumuskan bahwa jiwa yang Muthma’innah’ (tenang) itu ialah jiwa yang disinari oleh akal dan rasional. Jiwa yang tenang itu tumbuh kerana kemampuan menempatkan sesuatu kepada tempat yang sewajarnya, dan senantiasa meletakkannya di atas dasar iman. Dengan dasar iman, maka manusia akan menerima segala sesuatu yang dihadapinya, baik senang maupun susah, baik menang maupun kalah dan lain-lain dengan perasaan rida. Sekiranya seseorang manusia itu mendapat nikmat, berhasil, dan mencapai kejayaan, dia tidak melonjak- lonjak karena kegirangan. Sebaliknya, jika mengalami bencana, muflis, kalah dalam perjuangan dan lain-lain, dia tidak berdukacita, apalagi berputus asa.

Dalam situasi lain, mereka yang bersifat ‘ Muthma’innah’ ini, dapat menguasai diri dalam keadaan apapun, berfikiran rasional, mampu menciptakan keseimbangan dalam dirinya, hatinya tetap tenang dan tenteram. Jiwa yang tenang itu senantiasa merasa rida menghadapi apa pun keadaan, juga senantiasa mendapat keridaan Ilahi, seperti yang dinyatakan di dalam al-Qur’an, yang bermaksud:

“Wahai jiwa yang tenang tenteram! Kembalilah kepada Tuhanmu, merasa senang (kepada Allah) dan Allah senang pula kepadanya. Masuklah dan berkumpul bersama-sama hamba-Ku dan masuklah ke dalam syurga-Ku.”. al-Fajr (89): 27-28

Menurut al-Qur’an, jiwa yang tenang disaluti dengan memiliki keyakinan yang tidak goyah terhadap kebenaran, seperti yang terkandung di dalam surah an-Nahl ayat 16. Ia juga memiliki rasa aman, bebas dari rasa takut dan sedih di dunia dan akhirat kelak serta memiliki hati yang tenteram kerana selalu mengingat Allah. Apabila ini terjadi, pada hakikatnya seseorang itu telah mencapai puncak kebahagiaannya.

Kata Muthma’innah, sebagian ahli mengatakan, bisa diambil dari kata tuma’ninah. Makna tuma’ninah tidak berarti diam, statis dan berhenti, sebab dalam tuma’ninah terdapat aktifitas yang disertai dengan perasaan tenang. Jika diamati dinamika tuma’ninah dalam sholat memiliki ritme yang harmonis. Terkadang ia mengangkat tangan, berdiri tegak, membungkuk, kembali tegak, bersujud dan duduk. Dinamika seperti itu menggambarkan seluruh perilaku manusia yang senantiasa jatuh bangun dalam mengarungi kehidupan. Apabila istilah t}uma’ninah memiliki arti statis dan tidak bergerak berarti jiwa manusia tidak akan berkembang yang hal itu pada dasarnya menyalahi hukum logika perkembangan.

Ketenangan dirasakan oleh individu disebabkan karena aktifitas yang dilakukan tetap dalam prosedur yang benar, tidak menyalahi aturan, dan tidak sedikitpun terindikasi berbuat makar. Sulit bisa diterima jika individu beraktifitas dengan tenang sementara aktifitas yang dilakukan berlabel dosa dan maksiat. Jika perbuatan dosa dan maksiat itu dapat menyenangkan atau bahkan menenangkan individu maka sifatnya hanya sesaat untuk kemudian akan berakibat pada penderitaan dan keresahan selama-lamanya.

Makna Muthma’innah dalam Tafsir al-Qur’a’n


Dalam Tafsir al-Azhar, dikaji bahwa yang disebut Nafs al-Muthma’innah adalah sebuah tingkatan kepribadian (jiwa) yang telah mencapai tenang dan tentram. Definisi lainnya dalam Tafsir al-Azhar, di antaranya, adalah; jiwa yang telah digembleng oleh pengalaman dan penderitaan. Jiwa yang telah melalui berbagai jalan berliku sehingga tidak mengeluh lagi ketika mendaki karena dibalik pendakian pasti ada penurunan. Juga jiwa yang tidak gembira melonjak lagi ketika menurun karena sudah tahu bahwa dibalik penurunan akan bertemu lagi pendakian. Itulah jiwa yang telah mencapai iman karena telah matang oleh berbagai percobaan.

Menurut Ahmad Faried dalam kitab Tazkiyah an-Nufus wa Tarbiyatuha Kama Yuqorriruhu Ulama’ as-Salaf (Menyucikan Jiwa: Konsep Ulama Salaf), diungkapkan bahwa nafsu Muthma’innah, selalu berteman bahkan berada di samping para malaikat. Dengannya manusia mendapatkan bimbingan dan dorongan pada kebenaran hakiki yang menghiasi dengan nuansa keindahan bagi kehidupan. Kehadirannya mampu membentengi diri dari setiap keinginan berbuat jahat dan mampu merefleksikan segala bentuk kejahatan beserta akibat dan sanksi-Nya, agar ia mau menjauhinya. Jadi, segala perbuatan manusia yang semata-mata untuk ubuddiyah kepada Allah, maka itu semua bermuara dari nafsu Mutmainnah.

Nafsu al-Muthma’innah bersama-sama dengan malaikat mengemban tugas untuk memberi penyegaran jiwa manusia dengan: tauhid, ihsan, kebaikan, takwa, tawakal, tobat, kembali pada jalan Allah, tidak panjang angan-angan, mempersiapkan bekal untuk menyongsong kematian dan hidup sesudahnya.

Jiwa Muthma’innah, memiliki beberapa bentuk kepribadian, diantaranya adalah; keimanan, keyakinan, keikhlasan, tawakkal, taubat, taqarrub, sabar, bijaksana, tawadu’, tenang dan cinta kepada Allah dan rasulnya, memenuhi perintahnya dan menjauhi larangannya, berani, menjaga diri, jujur dan penuh kasih saying. Atau dalam hadis Nabi disederhanakan dalam dimensi iman, Islam dan ihsan. Semua bentuk tersebut bermotivasi pada teosentris yang berdaya positif mengelilingi jiwa-jiwa Muthma’innah.

Artinya: (yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram. QS. ar-Ra’d (13): 28

Kriteria jiwa yang tenang dapat dilihat pada sifat Rasulullah, yaitu sifat sabar, tawakal, rela atau ridha dengan ketentuan Allah SWT, artinya mampu berserah diri kepada Allah, artinya meyakini bahwa nasib baik-buruk kehidupan ada hikmahnya yang bisa jadi manusia tidak mengetahuinya

Dalam firman Allah SWT, QS. al-Baqarah ayat 112

Artinya: “(Tidak demikian) bahkan barangsiapa yang menyerahkan diri kepada Allah, sedang ia berbuat kebajikan, maka baginya pahala pada sisi Tuhannya dan tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (QS. al-Baqarah: 112)

Agama merupakan bagian yang paling berpengaruh dalam ketenangan jiwa. manusia sebagai makhluk yang tercipta dan terbagi dalam jasad dan jiwa/mental/roh/. Roh merupakan wujud yang tidak dapat ditangkap indra atau perasaan, tetapi dengannya Tuhan melekatkan kemampuan untuk mengetahui eksistensi jasmani manusia. Selama roh berada dalam diri manusia, wujud jasmani yang hidup itu bisa berpikir, memahami, dan mengetahui. Ketika roh meninggalkan tubuh, indra dan kemampuannya untuk memahami, berpikir, dan merasa juga pergi.

Ketika jiwa berpikir dan insaf, ia menjadi murni dan selaras, kemudian ia disebut jiwa yang damai (al-nafs al-muthmainnah). Hal itu karena Allah telah menciptakan Khalifah-Nya dengan sifat-sifat yang sempurna, namun Dia tetap memandang lemah, tak berdaya. Allah ingin ia sadar bahwa hanya akan menemukan kekuatan karena pertolongan dan dukungan Tuhannya.

Karena hal tersebut, Allah memberikan penjelasan mengenai jiwa dan bagaimana mengelola jiwa. Dalam firman Allah swt . dalam QS. as- Syam: 7-10 :

Artinya: “ dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya). maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya. Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu. dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya ” (QS. asy- Syam: 7-10)