Apa yang dimaksud dengan Jiwa dalam Islam ?

jiwa

Jiwa atau Jiva berasal dari bahasa Sanskerta yang artinya “benih kehidupan”. Dalam berbagai agama dan filsafat, jiwa adalah bagian yang bukan jasmaniah (immaterial) dari seseorang.

Apa yang dimaksud dengan Jiwa dalam Islam ?

Diri manusia terdiri atas lahir dan batin. Lahir yang disebut juga sebagai jasmani terdiri dari anggota tubuh yakni, panca indera; mata. telinga, hidung, lidah, dan kulit. Batin disebut juga dengan ruhani meliputi ruh, jiwa, hati, dan akal.

Menurut Mulyadhi Kartanegara, ada beberapa pendapat ulama tentang batin manusia—ada yang mengatakan bahwa jiwa merupakan perantara antara lahir (tubuh) dan ruh—tanpa keberadaan jiwa, ruh tidak mungkin memerintah tubuh. Sedangkan hati terletak antara jiwa dan ruh. Kaitannya dengan akal dan jiwa dalam pandangan filsuf Muslim, bagaimana filsuf Muslim memposisikan akal di antara ruh, hati, dan jiwa.

Akal dan Jiwa
Gambar Hubungan antara Akal dan Jiwa

Segala persoalan yang ada di alam semesta ini salah satunya diselesaikan dengan akal. Salah satu tokoh yang tidak pernah lelah mencari kebenaran adalah al-Ghazālī. Suatu ketika ia mengungkapkan keinginannya untuk mengetahui segala sesuatu, termasuk kepercayaan agama, seyakin-yakinnya, sebagaimana keyakinannya terhadap kebenaran.

Awalnya dia bertolak pada indera, tapi ada sebuah kasus yakni ketika bintang di langit sana terlihat kecil padahal menurut penelitian para ilmuwan bahwa ukuran bintang adalah lebih besar dari matahari. Dari sini al-Ghazālī kecewa. Kemudian terus mencari dengan menggunakan akal. Menurutnya dalam Misykat al-Anwār, al-Ghazālī mengatakan bahwa akal lebih patut disebut sebagai cahaya dari pada indera, sebab akal lebih lengkap menjelaskan keadaan sebuah objek dibanding dengan indera. Setelah lama dari itu, akhirnya al- Ghazālī menemukan sumber pengetahuan yang menurutnya lebih baik dari akal, yakni hati.

Dalam al-Qur’ān, jiwa diungkapkan dengan kata nafs atau ruh, yang artinya tidak selalu sama karena nafs sendiri tidak hanya satu artinya; ada yang berarti jiwa, hati, dan jenis, sedangkan ruh ada yang berarti jiwa, malaikat Jibril, dan wahyu. Meskipun ada persamaan arti antara nafs dan ruh, dalam Mu’jam alwasith, ruh dan nafs dibedakan, ruh yang menghidupkan nafs dan esensi ruh lebih halus dari pada nafs.

Pengertian ini diperkuat oleh M. Quraiṣ Ṣihab, ia mengatakan bahwa nafs dalam al Qur’ān menggambarkan totalitas manusia atau kepribadian seseorang yang membedakannya dengan orang lain. Dia mengutip pendapat Abdul Karim al-Khatib, salah seorang ulama Islām kontemporer, yang cenderung memahami jiwa sebagai suatu hasil perpaduan antara jasmani dan rohani manusia, perpaduan yang menjadikan yang bersangkutan mengenal perasaan, emosi, dan pengetahuan yang dikenal dan dibedakan dengan manusia lainnya.

Sedangkan Ibnu Katsir berpendapat bahwa nafs dan ruh adalah sama, yakni zat yang halus yang menjalar di dalam tubuh, seperti mengalirnya air dalam akar pepohonan.

Robert Frager—seorang sufi dan psikolog—membagi jiwa menurut posisinya dalam diri manusia. Ada tujuh macam jiwa, yakni jiwa mineral, jiwa nabati, jiwa hewani, jiwa pribadi, jiwa insani, jiwa rahasia, dan jiwa maharahasia.

  • Jiwa mineral terletak dalam sistem kerangka manusia. Seperti halnya kerangka tubuh kita yang tersembunyi dalam tubuh juga terdapat struktur batiniah yang tersembunyi dalam tubuh kita yang sebagian besarnya adalah mineral, yakni sistem kerangka.

  • Jiwa nabati yang terletak dalam hati (fisik) dan terkait dalam sistem pencernaan.Ia mengatur pertumbuhan dan asimilasi dari bahan-bahan makanan, fungsi yang kita bagi dengan makanan. Ketika kita dalam rahim, kita sepenuhnya berfungsi sebagai jiwa tumbuhan. Kita dihubungkan oleh rahim dengan tali pusar, yang berfungsi sebagai penyalur makanan. Kita tumbuh dan berkembang, dan hanya itu yang kita lakukan.

    Jika kita kekurangan vitamin atau mineral, maka kita secara perlahan akan menjadi lemah dan mungkin jatuh sakit. Kita tidak segera menyadari kekurangan itu, tetapi efeknyalah yang memberi tahu kita. Hal serupa juga kita dapat terjadi jika kita kekurangan gizi secara emosional, intelektual dan spiritual.

  • Jiwa hewani, yang terletak dalam hati dan berhubungan dengan sistem peredaran darah. Jiwa hewani mencakup rasa takut, amarah dan hasrat. Jiwa hewani memiliki kemampuan luar biasa, merupakan sumber motivasi, kekuatan untuk bertindak dan juga mencakup potensi untuk melakukan hal-hal yang luar biasa.

  • Jiwa pribadi yang terletak pada otak dan terkait dengan sistem syaraf. Perkembangan sistem syaraf yang kompleks membedakan antara manusia dan hewan. Jiwa pribadi juga tempat ego. Kita memiliki ego positif dan ego negatif. Ego negatif mengatur kecerdasan kita dan memberikan kepekaan terhadap diri kita sendiri. Bisa berupa tekanan untuk menghargai diri sendiri, bertanggung jawab dan integritas. Dapat juga berupa tekanan untuk bersikap egois, angkuh dan merasa terpisah dari manusia lainnya serta dari Tuhan. Sedangkan ego postif adalah ia dapat memberikan ketenteraman batin pada saat guncangan-guncangan tak terhindarkan muncul selama kita berada di jalan spiritual

  • Jiwa insan terletak dalam qalb, yakni hati spiritual. Jiwa insan lebih baik dari jiwa pribadi. Ia adalah wadah dari belas kasih, keimanan dan kreativitas. Kecerdasan jiwa insan dan jiwa pribadi saling melengkapi. Kegiatan berpikir berkaitan dengan analisis impersonal dan logis. Hati menambahkan belas kasih dan keimanan. Menggabungkan keduanya membawa kita kepada penilaian yang lebih baik. Akal mengetahui apa yang efektif sementara hati mengetahui apa yang benar.

  • Jiwa rahasia yang terletak dalam hati batiniah. Jiwa inilah yang mengetahui dari mana ia datang dan kemana ia akan pergi.

  • Jiwa maharahasia yang mencakup yang benar-benar transendental, melampaui ruang dan waktu. Ini adalah jiwa azali, ia ditiupkan oleh Tuhan ke dalam diri manusia. Ia adalah inti, jiwa dari segala jiwa. Ia adalah percikan Ilahi yang suci dalam diri kita.

    Jiwa maharahasia itu adalah ruh. Al-Ghazālī mendefiniskan ruh dengan dua definisi:

    • Suatu jisim halus yang berasal dari rongga jantung yang menyebar ke seluruh tubuh melalui pembuluh-pembuluh nadi, persis seperti cahaya sebuah lentera yang memenuhi sebuah ruangan.

    • Jisim halus yang dapat mengenal, yang disebutkan oleh Allah dalam firman-Nya

      Mereka bertanya kepadamu tentang ruh, katakanlah, ruh itu urusan Tuhanku” (al-Isra/ 17:85).

Menurut al-Ghazālī, kata nafs mengandung dua arti:

  1. Jiwa yang menyatukan antara daya amarah dan daya nafsu, jiwa yang selalu mendorong kepada kejahatan (annafs al-ammarah bi as-su’).

  2. Jiwa dan esensi manusia yang dirujuk sebagai ammarah bi as-su’, lawwamah, atau muthmainnah, tergantung pada keadaannya dalam hubungan dengan Tuhan.

Jiwa banyak dibicarakan dalam al- Qur’ān. Bahkan kita dipancing oleh Allah untuk memahami „jiwa‟ itu dengan menggunakan akal. Hal ini dapat dilihat dari firman-Nya dalam surat az-Zumar ayat 42, yang artinya:

“Allah memegang jiwa (orang) ketika matinya dan (memegang) jiwa (orang) yang belum mati di waktu tidurnya; maka Dia tahanlah jiwa (orang) yang telah Dia tetapkan kematiannya dan Dia melepaskan jiwa yang lain sampai waktu yang ditentukan. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda kekuasaan Allah bagi kaum yang berfikir.”

Ayat ini menjelaskan bahwa jiwa adalah „sesuatu‟ yang bisa ada dan tidak ada, atau bisa keluar dan masuk pada seorang manusia ketika ia masih hidup. Jiwa adalah „sosok‟ non fisik yang berfungsi dan bersemayam di dalam tubuh seorang manusia. Ia bertanggung jawab terhadap seluruh perbuatan kemanusiaannya.

Eksistensi jiwa terbentuk ketika ia bergabung dengan fisiknya, dan kemudian „tidak berfungsi‟ ketika berpisah dari badannya.

Ada tiga hal yang membedakan ruh dengan jiwa, yakni karena substansinya, karena fungsinya, dan karena sifatnya.

  • Pertama pada subtansinya, jiwa digambarkan sebagai dzat yang berubahubah kualitas: naik dan turun, baik dan buruk, dan seterusnya. Sedangkan ruh digambarkan sebagai dzat yang selalu baik dan suci, berkualits tinggi.

  • Kedua, pada fungsinya. Jiwa digambarkan sebagai sosok yang bertanggung jawab atas segala perbuatan kemanusiaannya. Sedangkan ruh adalah tidak memiliki tanggung jawab atas perbuatan manusia.Ruh adalah dzat yang selalu baik dan berkualitas tinggi. Sedangkan jiwa adalah dzat yang bisa memilih kebaikan atau keburukan. Maka jiwa harus bertanggung jawab atas pilihannya tersebut.

  • Ketiga, pada sifatnya. Jiwa bisa merasakan kesedihan, kekecewaan, kegembiraan, kebahagiaan, ketenteraman, dan sebagainya. Sedangkan ruh bersifat stabil dalam „kebaikan‟ tanpa mengenal perbandingan.

Jiwa dan ruh adalah erat kaitannya dengan akal. Misalnya, orang yang jiwanya terganggu pasti mengalami gangguan pada akal dan kesadarannya. Akal adalah seluruh potensi kecerdasan yang dimiliki oleh manusia, baik melibatkan kecerdasan intelektual, emosional maupun spiritual.

Berhubungan dengan masalah rohani, dalam pemikiran Islām, rohani memiliki unsur-unsur: akal, nafsu, qalbu, roh, yang memiliki fungsi masing-masing. Dalam pandangan Islām, akal berbeda dengan otak. Ini sesuai dengan yang dikatakan Prof. Dr. Harun Nasution, “Akal dalam pengertian Islām, bukan otak, melainkan daya pikir yang terdapat dalam jiwa manusia”.

Akal dalam Islām merupakan ikatan dari tiga unsur, yakni pikiran (al-fikr), perasaan (alwujdan), dan kemauan (al-iradah). Dalam pengertian biasa, pikiran terdapat pada otak, sedangkan perasaan terdapat pada indera dan kemauan terdapat pada jiwa.

Al-Kindi (796-873 M), filosof Islām pertama, menjelaskan bahwa pada jiwa manusia terdapat tiga daya, daya bernafsu (al-quwwah syahwaniyyah) yang berada di perut, daya berani (al-quwwah ghaḍabiyyah) yang bertempat di dada dan daya berpikir (al-quwwah naṭiqah) yang berpusat di kepala. Ibn Miskawaih (941-1030 M), memberi pembagian yang sama. Daya terendah adalah daya bernafsu, dan daya tertinggi adalah daya berpikir.

Menurut Ibnu Sina, jiwa adalah kesempurnaan awal. Dengan jiwa, spesies manusia dapat mencapai tingkat kesempurnaan tertinggi hingga ia menjadi manusia yang sebenar-benarnya. Kesempurnaan yang dimaksud adalah sesuatu yang dengan keberadaannya manusia dapat disebut sebagai manusia. Menurutnya, tidak semua jiwa merupakan potret badan, sebab jiwa yang rasional terpisah dari badan dan wujudnya tidak selalu berpateri dalam materi badan.

Dengan demikian, Ibnu Sina memaknai jiwa rasional sebagai substansi akal yang terpisah dari badan. Jiwa rasional juga merupakan substansi rohani karena jiwa rasional menangkap hal-hal yang rasional dan juga menangkap dirinya tanpa perlu menggunakan alat atau mekanisme tertentu. Sedangkan indera lahir dan indera batin tidak menangkap apapun kecuali dengan menggunakan alat. Keduanya tidak dapat mempersepsi dirinya sendiri.

Ibnu Sina membagi daya jiwa menjadi tiga bagian; jiwa tumbuhan, jiwa
hewan, dan jiwa rasional.

  1. Jiwa tumbuhan mencakup daya yang ada pada manusia, hewan dan tumbuhan. Jiwa tumbuhan memiliki tiga daya, yakni:

    • Daya nutrisi, yakni daya yang mengubah makanan menjadi bentuk tubuh.

    • Daya penumbuh, yakni daya yang menambah kesesuaian pada seluruh bagian tubuh yang diubah karena makanan.

    • Daya generatif, yakni daya yang berfungsi atas terjadinya proses penciptaan.

  2. Jiwa hewan mencakup semua daya yang ada pada manusia dan hewan. Jiwa hewan terdiri dari daya penggerak dan daya persepsi. Daya penggerak terdiri dari penggerak sebagai pemicu dan penggerak sebagai pelaku. Penggerak sebagai pemicu adalah daya hasrat, yakni daya yang jika terbentuk di dalam khayalan bentuk yang diinginkan maka hal itu akan mendorongnya untuk menggerakkan.

    Daya ini terbagi menjadi dua, yaitu :

    • Daya syahwat adalah daya yang mendorong untuk menggerakkan menuju sesuatu yang dikhayalkan penting untuk mencari kenikmatan,

    • Daya emosi adalah daya yang menggerakkan untuk melawan sesuatu yang dikhayalkan berbahaya atau merusak demi mendapatkan kemenangan.

    Daya penggerak dalam kedudukannya sebagai pelaku adalah daya yang muncul di dalam urat untuk melaksanakan penggerakkan yangs esuai untuk mewujudkan tujuan yang diinginkan. Daya persepsi dibedakan menjadi dua; pertama, daya yang mempersepsi dari luar yaitu panca indera ekternal.Kedua, daya yang mepersepsi dari dalam yakni panca indera batin seperti indera kolektif, daya konsepsi, daya fantasi, waham, dan ingatan.

  3. Jiwa rasional mencakup daya yang khusus pada manusia. Jiwa rasional melaksanakan fungsi yang dinisbatkan kepada akal. Ibnu Sina membagi jiwa rasional menjadi dua daya, yakni daya akal praktis dan daya akal teoritis. Daya akal praktis mendorong manusia melakukan perbuatan yang sepantasnya dilakukan atau ditinggalkan dengan kata lain disebut dengan perilaku moral. Sedangkan daya akal teoritis adalah mempersepsi potret-potret universal yang bebas dari materi. Ada beberapa tingkat akal teoritis:

    • Akal potensial
    • Akal kepemilikan
    • Akal nyata
    • Akal mustafad

Menurut Ibn Miskawaih jiwa merupakan jauhar rohani yang kekal, tidak hancur karena matinya suatu jasad. Jiwa memiliki tiga daya, yaitu daya bernafsu (al-nafs al-bahiniyyat), daya berani (al-nafs al-sabu’iyyat), dan daya berfikir (alnafs al-nathiqat).

  • Daya bernafsu merupakan sumber syahwat, usaha mencari makan, dan berbagai kenikmatan inderawi lainnya, pusat daya jiwa ini adanya di hati.

  • Daya berani merupakan sumber kemarahan, tantangan, keberanian, atas halhal yang menakutkan, keinginan berkuasa, dan berbagai kesempurnaan, pusat daya ini adanya di hati.

  • Daya berpikir, membedakan, dan menalar hakikat segala sesuatu, pusatnya ada di otak. Menurutnya jiwa adalah sebuah substansi sederhana yang tak terindera.

Jiwa berasal dari substansi yang lebih tinggi, lebih mulia dan lebih utama dari segala yang bersifat fisik.

Sumber : Tuti Aliyah, Akal Menurut Pandangan Al-Ghazali, UIN Syarif Hidayatullah

Referensi
  • Nety Hartaty, Psikologi Dalam Tinjauan Tasawuf (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2004).
  • Agus Mustafa, Menyelam ke Samudera Jiwa dan Ruh.
  • Harun Nasution, Kedudukan Akal dalam Islam.
  • Miska Muhammad Amien, Epistemologi Islam Pengantar Filsafat Pengetahuan Islam (Jakarta, UI Press, 2006).
  • Agus Mustafa, Menyelam ke Samudera Jiwa dan Ruh (Surabaya: Padma Press, 2005).
  • Al-Ghazālī, Iḥyā’ ‘Ulumuddīn (Keajaiban Kalbu) (Jakarta: Republika, 2011).
  • Amsal Bakhtiar, Tema-Tema Filsafat Islam (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2005).
  • Sudirman Tebba, Ruh Misteri Mahadahsyat (Jakarta: Pustaka irVan, 2008).
  • Mulyadhi Kartanegara, Menyelami Lubuk Tasawuf (Jakarta: Erlangga, 2006).
  • Hamzah Ya‟qub, Filsafat Agama; Titik Temu Akal dengan Wahyu.
  • Mulyadhi Kartanegara, Gerbang Kearifan: Sebuah Pengantar Filsafat Islam (Jakarta:
  • Lentera Hati, 2006).

Telaah pemikiran Islam tentang jiwa dalam kaitannya dengan filsafat Islam, akan ditilik dari akar kata bahasa Arab, yaitu kata al-nafs. Al-nafs (nun-fa-sin) menunjukkan arti keluarnya angin lembut bagaimanapun adanya. Al-nafs juga diartikan darah, karena seseorang apabila kehilangan darah maka ia kehilangan jiwanya, atau hati (qalb) dan sanubari (dhamir), padanya ada rahasia yang tersembunyi.

Kata nafs di dalam Al-Qur’an disebutkan lebih dari 250 kali dengan berbagai varian (perubahan) katanya. Di antaranya al-fi’l (kata kerja), al-ism (kata benda), baik isim al-nakirah, isim ma’rifah, mufrad ataupun jamak, serta yang bergandengan dengan dhamir (sanubari).

Dengan jumlahnya yang lebih dari dua ratus lima puluh kali, dapat dipastikan bahwa lafal al-nafs mempunyai arti yang lebih dari satu dan maksud yang beragam. Jika ditelusuri dalam Al-Qur’an, kata al-nafs mempunyai beberapa arti, yaitu antara lain:

  1. Bermakna al-insan (manusia), seperti dalam:

    Oleh karena itu Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil, bahwa: barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan dimuka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya. Dan sesungguhnya telah datang kepada mereka rasul-rasul Kami dengan (membawa) keterangan-keterangan yang jelas, kemudian banyak diantara mereka sesudah itu sungguh-sungguh melampaui batas dalam berbuat kerusakan dimuka bumi. Q.S. al-Maidah: 32,

    Dan jagalah dirimu dari (azab) hari (kiamat, yang pada hari itu) seseorang tidak dapat membela orang lain, walau sedikitpun; dan (begitu pula) tidak diterima syafa’at dan tebusan dari padanya, dan tidaklah mereka akan ditolong. Q.S. al-Baqarah: 48,

  2. Bermakna Zat Ilahiyah, seperti firman Allah dalam:

    dan Aku telah memilihmu untuk diri-Ku. Q.S. Thaha: 41

    Katakanlah: “Kepunyaan siapakah apa yang ada di langit dan di bumi”. Katakanlah: “Kepunyaan Allah”. Dia telah menetapkan atas Diri-Nya kasih sayang. Dia sungguh akan menghimpun kamu pada hari kiamat yang tidak ada keraguan padanya. Orang-orang yang meragukan dirinya mereka itu tidak beriman. Q.S. al-An’am: 12

  3. Bermakna isyarat terhadap apa yang tersirat di dalam jiwa manusia, seperti:

    Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, di muka dan di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah. Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. Dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia. Q.S. al-Ra’d: 11,

    Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya, Q.S. Qaf: 16

  4. Bermakna satu asal keturunan manusia, seperti dalam firman-Nya:

    Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu. Q.S. al-Nisa’: 1

  5. Dalam hubungannya dengan makna substansi manusia yang dijabarkan dengan bentuk penyebutan nafsu-nafsu seperti nafsu ammarah, nafsu lawwamah dan nafsu mutmainnah, sebagaimana firman Allah sebagai berikut:

    Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyanyang. Q.S. Yusuf: 53,

    Hai jiwa yang tenang. Q.S. al-Fajr: 27,

Jıwa menurut para fılosof muslım

Berbicara tentang jiwa dalam pandangan filosof Muslim adalah pembahasan yang panjang, sebab itu dalam bahasan ini penulis hanya akan membatasi pada pandangan filosof Muslim tentang beberapa aspek yang berkaitan dengan jiwa.

Mahiyat al-nafs (Makna dan esensi jiwa)

Beberapa filosof Muslim seperti Al-Farabi, Ibnu Sina, Ibnu Miskawaih, Al- Kindi, Ibnu Bajjah berpendapat hampir sama tentang makna jiwa. Mereka berpendapat bahwa jiwa adalah jauhar (substansi) rohani sebagai form bagi jasad. Hubungan kesatuan jiwa dengan badan merupakan kesatuan secara accident, artinya keduanya tidak dapat dibagi-bagi, tetapi keduanya berdiri sendiri dan mempunyai susbtansi yang berbeda, sehingga binasanya jasad tidak membawa binasa pada jiwa.

Menurut Sirajuddin Zar, filosof Muslim membahas jiwa mendasarkannya pada filsafat jiwa yang dikemukakan para filosof Yunani, kemudian mereka menyelaraskannya dengan ajaran Islam. Hal itu karena adanya ayat al-Quran yang menjadi tembok penghalang dalam menyingkap tabir hakekat ruh, di mana hanya Allah swt semata yang mengetahui urusan ruh.

Jika ini benar, maka bisa dikatakan, di balik kesuksesan besar yang telah dicapai para filosof Muslim dalam dunia filsafat, ada kegagalan besar yang telah dilakukan dalam memahami Islam sebagai ajaran yang universal, komprehensif dan integral, dan gagal membangun batu bata ilmu dengan pondasi utamanya al-Quran dan sunnah Nabi. Implikasinya, ketika Barat mengadopsi filsafat para filosof Muslim, mereka menerima filsafat tapi terlepas dari nilai Islam yang seharusnya ada, akibatnya mereka kehilangan nilai spiritual. Kenyataan inilah yang disadari oleh al-Gazali sehingga meluncurkan buku Tahafut al-Falasifah sebagai upaya pelurusan filsafat.

Kekekalan Jiwa.

Semua filosof muslim yang mengatakan bahwa jiwa adalah substansi ruhani yang berdiri sendiri, juga meyakini bahwa jiwa memiliki kekekalan dan tidak hancur. Ibnu Thufail mengatakan bahwa, setelah badan hancur atau mengalami kematian, jiwa lepas dari badan, selanjutnya jiwa yang pernah mengenal Allah selama berada dalam jasad akan hidup dan kekal.

Keabadian jiwa bukanlah keabadian yang haqiqi sebagaimana keabadian dan kekekalan yang Maha Kekal. Keabadian jiwa menurut Ibnu Sina sebagai sesuatu yang mempunyai awal tetapi tidak mempunyai akhir. Ini berarti kekekalan jiwa adalah kekekalan karena dikekalkan Allah pada akhirnya yang tidak berujung, sedangkan awalnya adalah baru dan dicipta. Atau jiwa punya akhir tidak punya awal. Lebih rinci Ibnu Sina sendiri mengakui bahwa jiwa memiliki temporalitas, tanda temporalitasnya adalah ketidaktentuannya dan ketidakpastiannya kecuali dengan perantaraan tubuh. Jiwa tidak mungkin digambarkan sebelum adanya tubuh.

Dalam membuktikan kekalnya jiwa, Ibnu Sina mengemukakan tiga dalil;

  1. Dalil al-infisal (bukti perpisahan). Perpaduan jiwa dan jasad bersifat aksiden, keduanya memiliki substansi tersendiri, dan jika jasad mati atau hancur, jiwa tetap dan kekal. Sementara jasad bergantung kepada jiwa untuk bisa hidup.

  2. Dalil al-basathah (bukti keluasan). Jiwa adalah jauhar (substansi) ruhani yang luas. Dengan keluasannya ia selalu hidup dan tidak mati. Karenanya jiwa dinamakan juga jauhar basith (hidup selalu).

  3. Dalil al-musyabahah (bukti persamaan). Dalil ini bersifat metafisika. Jiwa manusia, sesuai filsafat emanasi, bersumber dari akal fa’al (akal kesepuluh) sebagai pemberi segala bentuk. Karena akal Sepuluh adalah merupakan esensi yang berfikir, azali dan kekal maka jiwa sebagai ma’lul (akibat)-nya juga akan kekal sebagaimana ‘illat (sebab)-nya.

Mencermati pemikiran di atas, tampaknya kekekalan jiwa yang dikemukakan Ibnu Sina dan yang sepaham dengannya terinspirasi dengan konsep jaza’ (balasan perbuatan) yang disebutkan dalam Al-Qur’an. Bahwa manusia akan mendapatkan balasan dari perbuatannya di dunia, jika ia beriman dan beramal shaleh balasannya syurga dan akan kekal di dalamnya, jika ia kafir, fasiq dan munafiq balasannya neraka dan ia akan kekal di dalamnya.

Hanya saja terjadi kontradiksi antara teks-teks al-Quran dengan pendapat para filosof yang memahami bahwa tubuh akan hancur dan binasa, dan menolak kebangkitan jasad di akhirat kelak, karena yang akan merasakan bahagia dan penderitaan hanyalah jiwa. Sebab itu harus dicari titik temunya.

Bahasa kekekalan dalam al-Quran bukanlah kekekalan jiwa semata, tetapi kekekalan diri manusia dengan tubuh yang sempurna. Punya fisik, tulang, daging dan kulit, serta jiwa dan kemampuan untuk berbicara. Hal tersebut diperkuat dengan ayat-ayat dan hadits yang menyebutkan terjadinya komunikasi di akhirat. Demikian pula ayat yang menyebutkan bahwa orang-orang yang mengingkari ayat Allah akan dibakar di Neraka, setiap kali kulitnya matang akan diganti dengan kulit yang baru supaya ia bisa merasakan pedihnya siksaan Neraka, membuktikan bahwa bukan hanya jiwa yang mendapatkan kekekalan balasan tetapi diri manusia secara utuh.

Jiwa manusia merupakan hakekat manusia yang sesungguhnya.

Jasad tidak lebih dari wadah yang bergerak karena adanya jiwa, jasad bersifat sementara, dan akan mengalami kehancurannya pada batas masa yang telah ditentukan di dunia. Hanya saja kehancuran jasad di dunia bukan berarti ketiadaan sama sekali, tetapi ia hancur kembali ke asalnya yaitu tanah. Sedangkan jiwa sebagai substansi ruhani adalah inti manusia yang akan kembali kepada Allah untuk mempertanggung jawabkan segala perbuatannya selama ia berada di dalam jasad di dunia. Supaya jiwa bisa merasakan balasan perbuatannya dengan sempurna, Allah membangkitkan kembali jasad dan menyatukan jiwa dengannya. Karena jiwa tidak bisa merasakan kenikmatan dan kesengsaraan kecuali ketika ia berada di dalam jasad, sebab itu, jasad dibutuhkan untuk menyempurnakan balasan bagi jiwa.

Jasad memiliki kekekalan sebagaimana jiwa memiliki kekekalan. Adapun kekekalan keduanya adalah di akhirat, negeri yang tiada berakhir (khalidina fiha). Demikian pula jiwa memiliki sifat hudus (temporal) di mana ia ada setelah ada di dalam jasad, sebagaimana juga jasad memiliki sifat hudus karena ia akan hancur di dunia. Tetapi hudus (kehancuran)-nya jasad bukan hilang dalam ketiadaan, ia hanya kembali ke inti asalnya yaitu tanah. Kelak akan dibangkitkan kembali di akhirat, di mana ia akan mengalami keabadian bersama jiwa, yang tidak pernah mati sejak adanya dalam alam wujud.

Perbandingannya, kekekalan jiwa sejak adanya di alam wujud ia tidak lagi rusak dan hancur, berbeda dengan jasad yang mengalami “stagnasi” yaitu kehancuran dan kembali ke inti asalnya. Tetapi Allah sebagai Yang Maha Kekal, pemilik kekekalan dan kebaruan membangkitkan kembali (berarti tidak hilang dalam ketiadaan) dan mempertemukan keduanya dalam satu kesatuan dan bersama dalam kekekalan akhirat, berpadu mendapatkan balasan.

Pertemuan dua substansi yang berbeda, jiwa sebagai substansi ruhani dan jasad adalah substansi “materi” bertemu dan menyatu dalam kesatuan kekal, melahirkan substansi inti.

Quwat al-nafs (Daya jiwa)

Menurut Ibn Sina, Jiwa dapat dibagi ke dalam tiga tingkatan atau fakultas. yaitu; Al-nabatiyah (jiwa vegetatif), hayawaniyah (jiwa binatang), dan insaniyah (jiwa kemanusiaan). Perlu diketahui bahwa klasifikasi ini bukanlah ide murni Ibnu Sina atau filosof Muslim lainnya, tetapi rembesan pemikiran Aristoteles yang telah ada sebelumnya.

  1. Jiwa vegetatif mempunyai tiga daya; makan, tumbuh dan berkembang biak.

  2. Jiwa binatang yang mempunyai dua daya; daya penggerak (al-muharrikah), dan daya tangkap (al-mudrikah), baik daya tangkap dari luar dengan panca indra maupun daya tangkap dari dalam dengan indra-indra batin.

  3. Jiwa manusia yang mempunyai dua daya; praktis (al-‘amilah) dan teoritis (al- ‘aqilah).

Menurut Ikhwan al-Shafa, daya jiwa vegetatif dimiliki semua makhluk hidup, baik manusia, hewan dan tumbuh-tumbuhan, karena semua makhluk memiliki keinginan untuk makan, tumbuh dan berkembang biak. Sedangkan daya jiwa binatang hanya dimiliki manusia dan hewan. Adapun daya jiwa yang ketiga hanya dimiliki oleh manusia yang menyebabkan mereka bisa berfikir dan berbicara.

Al- Farabi mengklasifikasikan daya jiwa dengan lebih simpel; daya al-Muharrikah (gerak) untuk jenis jiwa pertama, daya al-Mudrikah, yang mendorong untuk merasa dan berimajinasi, daya ini termasuk jenis jiwa yang kedua, dan daya al-natiqah (berfikir). Daya ini mendorong untuk berfikir secara teoritis dan praktis,22 ini untuk tingkatan jiwa yang ketiga. Tampaknya Ibnu Sina, Ikhwan Al-Shafa, dan Al-Farabi memiliki pandangan yang sama tentang daya jiwa.

Berbeda dari ketiga filosof Muslim di atas, Al-Kindi mengklasifikasi daya jiwa ke dalam tiga bagian. Pertama, daya bernafsu (al-quwwat al-syahwaniyat) yang terletak di perut. Kedua, daya marah (al-quwwat al-gadhabiyat) yang terletak di dada. Ketiga, daya pikir (al-quwwat al-‘aqliyat) yang terletak di kepala.

Dari pendapat para filosof Muslim di atas, tampaknya klasifikasi Al-Kindi lebih mudah dipahami dan lebih dekat dengan apa yang dibahasakan Tuhan dalam al-Quran. Al-Kindi menyebutkan, bahwa al-nafs mempunyai tiga daya, yaitu daya nalar atau berfikir (kekuatan akal), daya pemarah atau berang dan daya hasrat atau nafsu.

Al-Qur’an menginformasikan bahwa sesungguhnya manusia berasal dari jiwa yang satu, tetapi terjadi pertarungan dan konfrontasi antara kekuatan-kekuatan jiwa; yakni kekuatan syahwat, kekuatan kemarahan dan kekuatan akal. Jika pertarungan itu dikuasai kekuatan syahwat maka ia akan menggiring manusia pada al-nafs al-ammarah. Jika kekuatan kemarahan yang unggul, maka ia akan mengendalikan jiwa manusia dalam al-nafs al-lawwamah, dan jika kekuatan akal mampu mengalahkan dua kekuatan lainnya maka, manusia akan dibawa menuju al- nafs al-mutmainnah.

Sumber : Mubassyirah Bakry, Konsep al-nafs (jıwa) dalam fılsafat Islam

Referensi
  • Abu al-Husain Ahmad ibn Faris ibn Zakariya’, Mu‘jam Maqayis al-Lughah, Juz V (tt: Dar al-Fikr, tt.).
  • Amir al-Najjar, al-Ilm al-Nafsi al-Shufiyyah, diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Hasan Abrori dengan Judul Ilmu Jiwa dalam Tasawuf (Jakarta: Pustaka Azzam, 2001).
  • Sirajuddin Zar, Filsafat Islam; Filosof dan Filsafatnya (Jakarta: Rajawali Pers, 2004).
  • Samih ‘Athif al-Zain, Ilm al-Nafs; Ma’rifah al-Nafs al-Insaniyah fi al-Kitab wa al-Sunnah
  • (Beirut: Dar al-Kitab al-Lubnani, 1991).