Apa yang dimaksud dengan Inner Beauty dalam pandangan Islam ?

kecantikan dalam

Inner beauty adalah kecantikan dalam yang terpantul keluar dalam wujud sikap-sikap positif. Kecantikan berarti suasana batin yang mendorong seseorang menerima sesuatu dengan sepenuh hati, karena telah tertanam rasa suka dalam jiwa”.

Apa yang dimaksud dengan Inner Beauty dalam pandangan Islam ?

Al-Qur’an menggunakan berbagai macam kata untuk mengungkapkan kecantikan, di antaranya Al-Jamal, Al-Husn, Al-Bahjah dan Al-Jinah.

Al-Qur’an menggunakan kata Al-Jamal sebanyak delapan kali yang semuanya berbicara dalam konteks akhlak, kecuali dalam Surat An-Nahl ayat 6 :

“Dan kamu memperoleh pandangan yang indah padanya, ketika kamu membawanya kembali ke kandang dan ketika kamu melepaskannya ke tempat penggembalaan”. (Q.S. An-Nahl : 6)

Sementara yang lain terdapat dalam Surat Yusuf ayat 18 dan 83 yang berbicara tentang “kesabaran yang baik”. Dalam Surat Al- Hijr ayat 85 yang berbicara tentang “cara memaafkan yang baik”. Dalam Surat Al-Ahzab ayat 28 dan 49 yang berbicara tentang “cara menceraikan yang baik”. Dalam Surat Al-Ma’arif ayat 5 yang berbicara tentang “perintah untuk bersabar dengan baik”. Semuanya berbicara dalam konteks akhlak.

Kata Al-Husn banyak sekali dijumpai dalam Al-Qur’an dengan bentuk kata yang berbeda-beda. Kata tersebut dipakai untuk menunjukkan kebaikan rupa maupun perilaku. Namun kecantikan fisik yang mencakup kecantikan raut muka dan tubuh tidak tersebut dalam Al-Qur’an, kecuali hanya dua kali saja.

  • Pertama, manakala Allah SWT mengingatkan Rasul-Nya agar tidak terlena oleh fenomena luar dari orang-orang munafik. Dan apa yang tampak di mata dalam banyak hal tidak mengisyaratkan kebenaran. Allah SWT berfirman dalam Surat Al-Munafiqun ayat 4 :

    Dan apabila kamu melihat mereka, tubuh-tubuh mereka menjadikan kamu kagum. Dan jika mereka berkata kamu mendengarkan perkataan mereka. Mereka adalah seakan-akan kayu yang tersandar. Mereka mengira bahwa tiap-tiap teriakan yang keras ditujukan kepada mereka. Mereka itulah musuh (yang sebenarnya) maka waspadalah terhadap mereka; semoga Allah membinasakan mereka. Bagaimanakah mereka sampai dipalingkan (dari kebenaran)?”. (Q.S. Al-Munafiqun : 4)

  • Kedua, adalah tatkala Allah berbicara pada Rasul-Nya dalam Surat Al- Ahzab ayat 52. Allah berfirman :

    “Tidak halal bagimu mengawini perempuan-perempuan sesudah itu dan tidak boleh (pula) menggantikan mereka dengan istri-istri (yang lain) meskipun kecantikannya menarik hatimu kecuali perempuan-perempuan (hamba sahaya) yang kamu miliki. Dan Allah Maha Mengawasi segala sesuatu”. (Q.S. Al-Ahzab : 52)

    Maksud dari kata husnuhunna di sini adalah keelokan wanita, keindahan raut muka atau tindakan tubuh secara umum.

    Namun tatkala Allah menyebutkan kecantikan dalam Al-Qur’an, sesungguhnya Allah menyebutkan sifat bidadari surga :

    Di dalam surga-surga itu ada bidadari-bidadari yang baik-baik lagi cantik-cantik”. (Q.S. Al-Rahman : 70)

    Meskipun begitu kata “yang baik-baik” didahulukan daripada kata “yang cantik-cantik”. Hal ini menjadi pelajaran bagi kita, bahwa wanita yang baik (yang memiliki sifat-sifat terpuji) lebih utama dari wanita yang hanya memiliki kecantikan fisik saja.

Allah tidak menetapkan keindahan lahiriah dan fisik sebagai standar untuk menilai manusia. Tentang hal ini Rasulullah SAW bersabda :

“Sesungguhnya Allah tidak melihat pada rupamu dan hartamu tetapi dia melihat amal perbuatanmu dan hatimu”. (HR. Ibnu Majah)

Isi hadits di atas sangat jelas menerangkan bahwa kecantikan lahiriah tidak ada harganya di mata Allah jika tidak disertai kecantikan hati, kedudukan dan jabatan yang tinggi serta harta benda yang melimpah tidak ada nilainya di hadapan Allah jika tanpa disertai akhlak dan amal perbuatan yang mulia. Sesungguhnya Allah telah menentukan standar lain untuk memuliakan hambanya yaitu orang yang bertaqwa yang mempunyai kemuliaan hati dan keluhuran akhlak.

Bagi Allah yang Maha Bijaksana, hati merupakan inti kepribadian manusia yang pantas untuk dijadikan petunjuk tentang diri seseorang. Jika hati seseorang baik, bersih dan hidup, maka baiklah pribadinya. Sebaliknya bila hati itu rusak, kotor bahkan berpenyakit, maka buruklah pribadi manusia yang memilikinya. Sebagaimana sabda Rasulullah yang artinya :

“Sungguhnya dalam hati manusia itu ada segumpal darah, jika sehat, sehatlah seluruh tubuhnya. Jika rusak, rusaklah seluruh tubuhnya. Segumpal darah itu hati”.

Menyimak hadits di atas, membuat mereka yang berwajah pas-pasan termotivasi untuk mempercantik diri dengan biaya murah, yaitu dengan mempercantik hati, yang terpenting adalah adanya kemauan dan kesungguhan. Dalam Al-Qur’an Allah SWT berfirman :

Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertaqwa di antara kamu”. (Q.S. Al-Hujurat : 13)

Alangkah indahnya ayat tersebut, bagi Allah segala perangkat atau atribut dunia, baik kebangsaan, kesarjanaan, kekayaan dan kedudukan tidaklah berarti. Cukuplah seseorang itu melakukan “make up” bagi hatinya dengan taqwa. Niscaya dengan demikian ia akan mampu merebut posisi penting di hadapan Allah SWT.

Dalam sebuah hadits Rasulullah SAW memerintahkan kepada seluruh umatnya agar selalu bertaqwa dimanapun berada dan bergaul dengan sesamanya dengan akhlak yang baik. Sebagaimana sabda beliau :

“Bertaqwalah kepada Allah dimanapun berada dan ikutilah keburukan itu dengan kebaikan, niscaya ia akan menghapuskannya. Dan pergaulilah manusia dengan akhlak yang baik”. (H.R. Tirmidzi)

Demikianlah komitmen Nabi Muhammad sebagai Rasul penyeru kebajikan. Akhlak terpuji atau budi pekerti luhur (positive attitudes) yang melekat pada diri beliau telah mengantarkannya mencapai derajat kemuliaan di hadapan-Nya. Juga di tengah-tengah umat manusia, karena sesungguhnya Rasulullah diutus di dunia ini adalah untuk menyempurnakan akhlak sebagaimana sabdanya :

“Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak yang bagus”. (HR. Ahmad Bin Hambal)

Selain diperintah untuk bertaqwa dan berhias dengan akhlak yang baik, manusia juga diperintah untuk menuntut ilmu dan mengembangkan akal demi menggapai ilmu pengetahuan. Sebagaimana yang ditegaskan oleh Rasulullah SAW :

“Menuntut ilmu itu wajib bagi setiap muslim”. (HR. Ibnu Majah)

Perintah untuk menuntut ilmu tersebut tidak hanya ditujukan kepada kaum pria saja tetapi juga kepada kaum wanita. Sejak hari pertama perjalanan Islam, wanita muslimah pada masyarakat Islam pada saat itu telah mengenal kedudukan ilmu. Mereka sadar betul kedudukan wanita sama dengan kedudukan pria dalam menuntut ilmu. Sehingga pada suatu ketika ada beberapa wanita yang datang kepada Nabi Muhammad SAW dan berkata :

“Ya Rasulullah, kami tidak mendapatkan peluang untuk belajar di majlismu yang dipenuhi kaum laki-laki, maka berilah kami kesempatan agar kami dapat belajar darimu pada kesempatan itu”.

Kemudian Rasulullah menjawab :

“Bagianmu adalah di rumah Si Anu”.

Maka beliau datang kepada mereka (kaum wanita) pada hari dan tempat yang telah dijanjikan dan beliau mengajar mereka

Dari riwayat di atas terlihat, bahwa setiap muslim baik laki-laki maupun perempuan wajib mengisi hidupnya dengan pengetahuan, tidak terbatas pada baca tulis, melainkan dengan ilmu. Khususnya bagi wanita, Nabi menandaskan bahwa mereka hendaknya diberikan pelajaran-pelajaran lain sebanyak mungkin, selama tidak keluar dari kodratnya, hal tersebut sangat dianjurkan oleh agama.

Setelah mempelajari semuanya, wanita mesti kembali memperhatikan kewajiban pokoknya mengurus rumah tangga dan mendidik putra-putrinya. Dengan seperangkat ilmu itulah wanita membenahi kepribadiannya. Dengan ilmu pula wanita memperoleh derajat kemuliaan di sisi Tuhannya. Juga di mata manusia lainnya. Derajat tersebut seperti yang dijanjikan oleh-Nya sebagai berikut :

“Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat”. (Q.S. Al-Mujadilah : 11)

Dan firman-Nya :

“Katakan, adakah sama orang-orang yang berilmu dengan orang-orang yang tidak berilmu ?” (Q.S. Az-Zumar : 9)

Demikianlah keutamaan ilmu dalam pandangan Islam. Manfaatnya bukan menjadi dominasi pemiliknya, melainkan juga bagi orang lain yang belum mempunyai pengetahuan, yang belajar darinya. Allah SWT berfirman :

“Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu mengetahuinya”. (Q.S. An-Nahl : 43)

Selain diperintah untuk menjaga hati, berakhlak mulia dan menuntut ilmu serta berusaha untuk memperluas wawasan, kaum wanita juga dianjurkan untuk memelihara ruh dan jiwanya.

Dengan mencermati ayat-ayat Al-Qur’an dan hadits-hadits Nabi tersebut di atas, kiranya cukup jelas bahwa Islam sangat menekankan arti penting kecantikan hakiki, yaitu kecantikan yang memiliki makna lebih luas dan mendalam, bukan sekedar pesona jasmani. Kecantikan itu adalah ketaqwaan, kebersihan hati dan jiwa, tingkah laku/sifat positif dan keluasan cakrawala berfikir. Adapun wanita yang memiliki kecantikan hakiki adalah wanita yang disebut wanita shalihah, wanita yang mampu menghadirkan pesona dan kebahagiaan hati yang menjadi perhiasan dunia. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW :

“Sesungguhnya dunia seluruhnya adalah perhiasan dan sebaik-baik perhiasan dunia adalah wanita shalihah”. (HR. Ibnu Majah)

Dengan demikian jelas bahwa Islamlah penganjur inner beauty dan bahkan mempeloporinya. Islam menganjurkan kepada para wanita agar memiliki “inner beauty” dengan cara menuntut ilmu dan berusaha memperluas wawasannya, membersihkan jiwa dan hatinya serta berhias dengan keluhuran tingkah laku.

Referensi
  • Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, Juz II, (Semarang : Thoha Putra, t.th).
  • Abu Al-Ghifari, Wanita Bukan Makhluk Penggoda, (Bandung : Mujahid Press, 2003).
  • At-Tirmidzi, Sunan At-Tirmidzi, Juz III, (Beirut : Dar Al-Fikr, t.th).
  • Imam Ahmad bin Hambal, Musnad Imam Ahmad bin Hambal, Juz II, (t.tp : Dar Al- Fikr, t.th).
  • Muhamad Ali Hasyimi, Kepribadian Wanita Muslimah Menurut Al-Qur’an dan As- Sunnah, (Jakarta : Akademika Pressindo, 1997).