Apa yang dimaksud dengan Inflation Targeting Framework (ITF)?

Inflation Targeting Framework atau ITF

Apa yang dimaksud dengan Inflation Targeting Framework (ITF) ?

Bernanke dan Mishkin (1997) mendefinisikan Inflation Targeting Framework (ITF) sebagai sebuah pendekatan dalam kebijakan moneter yang ditandai dengan pengakuan eksplisit bahwa inflasi adalah tujuan utama dari kebijaka moneter. Fitur terpenting dalam ITF adalah komunikasi dengan publik mengenai rencana dan tujuan kebijakan fiskal serta akuntabilitas bank sentral dalam pencapaian target tersebut.

ITF menunjukkan perubahan strategi kebijakan moneter yang pada umumnya menggunakan pertumbuhan uang sebagai sasaran kebijakan moneter seperti yang terlihat pada era tahun 1970an. Kemudian pada tahun 1980an mulai muncul upaya serius bank sentral beberapa negara untuk mengurangi tingkat inflasi dan meningkatkan independensi. Pada akhirnya Selandia Baru di tahun 1990 memulai pendekatan ITF yang kemudian diikuti oleh beberapa negara seperti Inggris, Kanada, Swedia, Australia dan Finlandia. Maastricht Treaty juga menetapkan stabilitas harga sebagai tujuan utama Bank Sentral Eropa.

Sebagaimana diketahui dalam pendekatan target pertumbuhan uang bank sentral menetapkan target pertumbuhan nominal uang berdasarkan tingkat inflasi yang dikehendaki dalam jangka menengah dengan memperhitungkan faktor lain seperti kemajuan teknologi dan pertumbuhan populasi penduduk. Dalam jangka pendek bank sentral dapat memberi toleransi terjadinya deviasi dari nominal target uang dan target. Seperti dalam masa resesi maka bank sentral dapat meningkatkan uang beredar diatas target untuk menurunkan suku bunga dan menaikkan output perekonomian. Dan sebaliknya saat terjadi booming dalam perekonomian maka bank sentral dapat melakukan hal sebaliknya. Sebagai komunikasi dengan publik Bank sentral dapat menyampaikan kepada publik target dalam jangka menengah dan jangka pendek dan besaran pertumbuhan uang yang akan dicapai (Blanchard, 2009).

Permasalahan dalam penggunaan target pertumbuhan uang sebagai dasar kebijakan moneter adalah terletak pada asumsi bahwa terdapat hubungan yang kuat antara inflasi dan pertumbuhan uang pada jangka menengah. Fakta empiris menunjukkan bahwa hubungan tersebut tidak selalu kuat seperti yang dibayangkan. Penyebabnya adalah terjadinya pergeseran pada money demand seperti misalnya pengaruh dari penggunaan credit card. Money demand turun dengan penggunaan credit card namun tidak dengan inflasi karena transaksi mungkin justru meningkat dengan penggunaan credit card. Ketidakstabilan hubungan partumbuhan uang dan inflasi ini pada akhirnya akan menyulitkan bank sentral yang menggunakan target pertumbuhan uang sebagai dasar kebijakan moneter.

Faktor lain yang mendorong ITF adalah berakhirnya rezim fixed exchange rate pada tahun 1970an. Peralihan ke sistem nilai tukar mengambang membuat bank sentral memiliki keleluasaan dalam menentukan kebijakan moneter dan kemudian mencari target nominal baru menggantikan nilai kurs. Beberapa target nominal seperti pertumbuhan uang, inflasi dan stabilitas harga menjadi pilihan yang dapat dipergunakan oleh bank sentral sebagai jangkar nominal dalam menetapkan kebijakan moneter.

Dorongan untuk menjadikan inflasi sebagai target kebijakan moneter juga disebabkan oleh beberapa perkembangan penting dalam teori ekonomi makro antara lain:

1. Netralitas Uang

Kebijakan moneter hanya dapat mempengaruhi besaran kuantitas seperti output dan pengangguran dalam jangka pendek. Dalam jangka panjang peningkatan nominal uang hanya akan membuat tingkat harga naik secara proporsional. Ketika tingkat harga naik maka peningkatan nominal uang tidak akan berpengaruh kepada output dan tingkat suku bunga. Penelitian juga menunjukkan bahwa tidak ada trade off dalam jangka panjang antara inflasi dan pertumbuhan ekonomi.Sehingga dikatakan bahwa dalam jangka panjang uang bersifat netral dalam perekonomian (Blanchard, 2009).

Kurva Agregat Demand (AD) dan Agregat Supply (AS) pada gambar 2.1 di atas menjelaskan pengaruh ekspansi moneter dengan peningkatan money supply hanya akan meningkatkan tingkat harga, sementara tingkat output tetap. Ketika output berada pada level yang menunjukkan output potensial maka keseimbangan semula ditentukan kurva Agregat Supply (AS) 1 dan Agregat Demand (AD) 2 dengan tingkat harga P1. Jika moneter melakukan ekspansi maka agregat demand akan bergeser ke AD2. Namun kenaikan agregat demand tersebut membuat kurva Agregat Supply bergerak kekiri (AS2) karena kapasitas produksi telah maksimal sehingga tambahan produksi hanya akan meningkatkan biaya produksi. Akhirnya tingkat output kembali pada level Yn dengan tingkat harga meningkat di P2. Demikian seterusnya jika moneter kembali ekspansi maka hanya akan menaikkan tingkat harga ke P3 dengan level output tetap.

2.Inflasi rendah mendorong output jangka panjang

Tidak adanya trade off antara inflasi dan output dipertegas oleh fischer (1993) yang menemukan, dari model regressi data panel, bahwa inflasi yang rendah dan surplus anggaran mendorong pertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang. Hubungan tersebut dapat dilihat melalui jalur investasi dan produktifitas. Inflasi yang tinggi akan menurunkan investasi dan produktifitas. Demikian halnya defisit anggaran akan mengurangi saving yang berikutnya akan mengurangi capital accumulation dan produktifitas.Hasil penelitian tersebut memperkuat fakta non regressi hubungan inflasi dan defisit anggaran dengan output perekonomian. Seperti yang terjadi pada Chile dan Argentina dimana perbaikan kinerja perekonomian dilakukan dengan mengurangi inflasi dan disiplin anggaran.

3. Pentingnya Kredibilitas Kebijakan

Dalam upaya untuk menurunkan tingkat inflasi maka kredibilitas kebijakan dipandang sebagai faktor utama yang dapat mengarahkan agen ekonomi membentuk ekspektasi inflasi kearah yang diinginkan oleh pembuat kebijakan. Penelitian oleh Kydland dan Prescott (1977) menunjukkan kebijakan yang bersifat diskresi seperti kebijakan yang bersifat aktif dalam menangani resesi akan memberikan hasil kinerja perekonomian yang dibawah optimal dengan asumsi agen ekonomi memiliki ekspektasi yang rasional. Sebaliknya kebijakan yang bersifat pasif dengan menggunakan rule akan dapat meningkatkan kinerja perekonomian karena dapat mengarahkan agen ekonomi kepada perilaku yang diharapkan.