Apa yang dimaksud dengan ilmu laduni?

Ilmu laduni adalah ilmu pengetahuan yang datang dari sisi Allah SWT yang diberikan kepada manusia. Ilmu laduni sangat ditentukan dan didasari oleh pengalaman batin yang secara khusus diberikan Allah kepada hamba-Nya yang diinginkan. Dari fenomena itu, ada sebagian orang yang mengganggap sakral keberadaan ilmu laduni, ini karena tidak sembarang orang bisa mendapatkannya.

Apa yang dimaksud dengan ilmu laduni?

Ilmu laduni adalah sebuah ilmu yang diterima tanpa perantara dan media material dari Allah Swt. Terma ini adalah sebuah terma yang diadopsi dari al-Quran dimana Allah Swt berfirman,

“Dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami”

Hal ini dipercaya bahwa para ahli makrifat mengetahui dan memahami sesuatu melalui pengajaran Ilahi dan pemahaman Rabbani bukan melalui perantara dalil-dalil rasional dan bukti-bukti referensial.

Perbedaan antara ilmu laduni dan ilmu yakin adalah bahwa ilmu yakin adalah menyerap cahaya zat dan sifat Ilahi sementara ilmu laduni memahami makna-makna dan kalimat-kalimat dari Allah Swt tanpa perantara manusia.

Ilmu laduni ini terbagi menjadi tiga, wahyu, ilham dan firasat.”

Sebagian ahli makrifat dalam hal ini berkata,

“Manusia sampai pada sebuah maqam dimana ia menjadi jelmaan (mazhar) nama mulia (ya man lâ yusghiluhu sya’n ‘an sya’n) dan manusia seperti itu memiliki ruh kudus dalam dirinya yang telah menempuh perjalanan keempat dari empat perjalanan (asfar al-arba’ah) yaitu manusia sempurna dan penyempurna hamba-hamba Tuhan serta hati alam semesta serta imam keseluruhan. Ruhnya telah terukir dalam ruh qudsi hakikat-hakikat lauh mahfuzh dan menyampaikan apa yang diterima dari sisi Allah kepada makhluk Alah. Makna ini adalah makna yang kita sebut sebagai ilmu para duta Ilahi laduni.

Mengutip Hafizh:

Aku tidak mengeyam pendidikan formal dan juga tidak (belajar) menulis
(namun) Belajar inti persoalan (kemudian) menjadi guru.

Ilmu ladunni terdiri dari dua kata dalam bahasa Arab, yaitu “ilmu” dan “ladunni”. Kata ilmu selalu dibedakan dengan pengetahuan, bahkan dalam bahasa Yunani sekalipun ilmu identik dengan kata episteme (ma’rifiyah), artinya teori pengetahuan dengan pembahasan detail, apa, bagaimana, di mana, dan kapan sesuatu itu terjadi. Namun dalam tujuan pembahasan ilmu ladunni ini tidak dipersoalkan perbedaan antara ilmu dengan pengetahuan. Sebagaimana yang di jelaskan dalam retorika tasauf bahwa ilmu dan pengetahuan (al-Ilm wa al- Ma’rifah) tidak dibedakan, begitu juga dalam ungkapan imam Al-Ghazali, pengetahuan (al-Ma’rifah) adalah ilmu (al-ilm) yang tidak menerima keraguan adanya Zat Allah dan sifat-sifat-nya.

Yang disebut ma’rifat Zat adalah ilmu yang dapat mengetahui tentang wujud Allah, Tunggal, Esa, Zat, sesuatu yang besar, berdiri sendiri, dan tidak ada sesuatu pun yang menyerupainya. Adapun ma’rifat sifat adalah mengetahui bahwa Allah itu Hidup, Kuasa,

Sedangkan kata “ladunni” secara etimologi berasal dari sebuah zharaf makan (keterangan tempat), yaitu kata “ladunn, laday” yang dirangkai dengan dhamir mutakallim wahdah, yaitu Allah swt. “Ladunn” termasuk jenis kata zharaf maka istilah “ladunn” bermakna dari sisi, dan dekat.

Berikut penjelasan terkait dengan ilmu laduni menurut beberapa ahli,

  • Menurut Ibn Sina, ilmu ladunni adalah ilmu yang datang melalui cahaya ilham yang menghasilkan semua ilmu.

  • Menurut Imam Al-Harawi, dalam kitabnya Manazil As-Sairin, ilmu ladunni adalah ilmu yang dilimpahkan oleh Allah ke dalam hati tanpa ada sebab yang dilakukan oleh seseorang hamba dan tanpa menggunakan dalil-dalil, seperti dalam Al-Qur’an surat Al 'Alaq ayat 5

    “Dan Allah mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahui” (Q.S.Al’Alaq : 5).

    Dan beliau berkata bahwa ilmu ladunni ini lebih khusus dari pada ilmu-ilmu lainnya.

  • Menurut Yusuf Qardhawi ilmu ladunni ialah ilmu yang berpijak di atas dalil yang sahih dan datang dari sisi Allah dengan perantaraan lisan para rasulnya.

  • C.A. Qadir dalam bukunya Philosophy and Science in The Islamic World, menjelaskan ilmu ladunni ialah sebagai ilmu rohani dan ilmu tentang hikmah (kebijaksanaan) yang dapat diperoleh melalui perbuatan yang terus-menerus dalam hal kesalehan dan kebaikan.

  • Di kalangan sufi mengatakan bahwa ilmu ladunni ini adalah sandaran para khawwash dari harapan para penempuh jalan spiritual. Mereka mengatakan bahwa ilmu ladunni adalah ilmu yang paling kuat dan paling sarat hikmahnya di antara ilmu-ilmu yang diperoleh melalui proses belajar.

  • Menurut iman Al- Ghazali tokoh sufi yang sangat popular mengatakan, bahwa ilmu ladunni adalah ilmu yang diperoleh seseorang melalui proses perjalanan cahaya ilham setelah kesucian jiwa. Dalam Ihya, diartikan ilmu ladunni sebagai ilmu yang datang dari Tuhan secara langsung ke lubuk hati manusia tanpa sebab,

  • Sedangkan menurut Simuh, dimana ia seorang tokoh di Indonesia yang banyak mengkaji tentang tasauf, setelah mempelajari konsep-konsep ilmu yang dikembangkan Al-Ghazali untuk menguatkan bahwa ilmu ladunni ialah ilmu yang didapat langsung melalui terbukanya tabir alam gaib suatu kemampuan luar biasa yang dalam ajaran tasauf disebut keramat. Sehingga dari itu kaum rasionalis ikut mengagungkan kebenaran dalam ilmu ladunni yang di miliki oleh kaum sufi serta mengatakan “Saya tidak mampu membayangkan ilmu para sufi. Saya tidak mengira ada seorang di alam ini yang berbicara tentang ilmu hakiki melalui berfikir dan merenung tanpa belajar dan berusaha.”

Ladunni dalam pandangan ahli tafsir merujuk pada surat Al-Kahfi ayat 65.

“Lalu mereka bertemu dengan seorang hamba di antara hamba- hamba Kami, yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami”.

Dari ayat ini para ahli tafsir menjelaskan bahwa dasar lahirnya istilah ladunni dari salah seorang ahli tafsir yang bernama Muhammad Mahmud Hijazy. Dia mempunyai pendapat bahwa “milladunna ‘ilman” dalam ayat tersebut adalah masalah-masalah yang sangat rahasia (bibawathini al-umur). ilmu ini cara perolehannya melalui pada kekuatan jiwa, kesucian, dan pancaran sinarnya.

Ilmu Ladunni menurut Al-Ghazali

Dalam khazanah intelektual muslim, nama Al-Ghazali begitu akrab disebutkan dalam berbagai literatur, baik literatur klasik maupun modern. Pemikir besar abad ke 5 H, yang terkenal dengan julukan “hujjah al-Islam” ini tidak pernah sepi dari pembicaraan, baik yang bernada pro maupun kontra. Kemasyhuran namanya disamping karena pemikiran-pemikiran monumentalnya, juga karena petualangan panjangnya dalam upaya mengkaji, menilai dan merumuskan pengetahuan. Dalam kajian filsafat ilmu, upaya ini disebut epistemologi ilmu.

Mempelajari pemikiran epistemologi Al-Ghazali memang agak unik, dalam arti mempelajari corak berfikir beliau yang sebenarnya. Di satu sisi, ia menyangsikan indera, di sisi lain ia meragukan akal. Dari sini jelas bahwa Al-Ghazali tidak mengakui kebenaran ilmu inderawi. Begitu juga keraguannya terhadap akal, bisa dilihat ketika ia membahas tentang ilmu mahsus, dengan mengatakan:

“Mungkin di belakang penetapan akal itu akan datang pertimbangan-pertimbangan lainnya, jika hal ini terjadi besar kemungkinan bahwa yang sudah ditetapkan akal itu akan disalahkan juga seperti ketetapan akal menjalankan yang mahsus”.

Petualangan epistemologi Al-Ghazali dilakukan dengan mempelajari aliran-aliran mutakallimin, bathiniyah, filosof, dan sufi. Ternyata semua ini membawa serangkaian keraguan, yang akhirnya ia baru menemukan ilmu yang diyakininya “benar” melalui paradigma tasauf. Tasauf yang digeluti itu ternyata tidak menyurutkan kebiasaannya dalam hal tulis menulis buku, bahkan ia lebih produktif menuangkan pemikiran-pemikirannya, baik yang membahas persolan- persoalan agama, maupun yang khusus membahas epistemologi. Salah satu karya monumental tentang ilmu pengetahuan yang dikaji dalam pandangan tasaufnya adalah kitab “Risâlah al-Ladunniyyah”.

Dalam hal ini perjalanan ilmiah sang hujjat al-Islam Al-Ghazali ketika mencari ilmu yang sebenarnya dianggap di ridhai di sisi Allah swt, merupakan suatu tindakan dalam mengorbankan keyakinan untuk mendapatkan kebenaran yang sesungguhnya. Seperti beberapa alinea yang tertulis dalam pengantar risalahnya Al-Munqidz min Al-Dhalal, lalu mengatakan :

Sesunguhnya telah sampai kepada kita bahwa umat ini akan terpecah belah menjadi 77 sekte, yang diantaranya hanya satu sekte yang selamat. Allah mahatahu terhadap seluruh sekte-sekte tersebut. Aku masih memiliki kesempatan dari usiaku untuk melihat perselisihan umat. Aku mencari metode yang jelas dan jalan yang lurus. Aku mencari ilmu dan amal, mencari petunjuk jalan akhirat dengan bimbingan para ulama. Aku banyak berpikir mengenai firman-firman Allah dengan penafsiran para fuqaha (orang-orang yang banyak memahami agama). Aku merenungkan berbagai kondisi umat. Aku perhatikan tempat berpijaknya (madzhab) dan berbagai pendangannya, dan akupun pikirkan mengenai hal-hal itu semua sesuai dengan kesanggupanku. Sehingga aku yakin perselisihan mereka seperti lautan yang dalam. Banyak orang tenggelam kedalamnya, dan hanya sekelompok kecil yang selamat. Lalu aku yakin setiap golongan dari mereka mengira bahwa keselamatan adalah dengan mengikuti mereka, dan sesunggunya yang akan binasa ialah orang yang menentang mereka. Namun dari hal itu aku yakin juga bahwa diantara mereka ada orang alim (yang mengetahui) urusan akhirat. Menemuinya sulit dan ketika hadir di hadapan umat sangat mulia. Diantara mereka ada juga orang bodoh dan ketika jauh dari si alim dianggapnya sebagai keuntungan baginya. Lalu diantara mereka ada yang menyerupai ulama, namun tergila-gila dengan dunia dan sangat mencintainya. Dan diantara mereka ada yang memikul ilmu yang berhubungan dengan agama. Dengan ilmunya ia mencari kehormatan dan kedudukan tinggi. Dengan agama ia memperoleh kekayaan dunia. Dan diantara mereka ada juga yang menyerupai ahli ibadah dan mengkomersialkan kebaikan. Baginya tidak ada kecukupan, ilmunya tiada abadi, serta tidak ada sandaran bagi ilmunya. Sehingga dari ini semua aku mengintrospeksi diri (bermuhasabah) dari sifat-sifat tersebut, namun tiada kesanggupan untuknya lalu aku pergi mencari petunjuk dari orang-orang yang telah mendapatkan petunjuk dengan cara mencari kebenaran dan petunjuk dan pergi mencari bimbingan ilmu dalam mempergunakan pemikiran dan cukup lama menanti. Maka akhirnya kebenaran dan petunjuk itu terlihat padaku dari Kitabullah, Sunnah Nabinya, dan kesepakatan dalam (ijma’) umat. Sesungguhnya mengikuti keinginan (hawa nafsu) itu menjadikan sikap menutup mata dari petunjuk (al-rusyd), menyimpang dari kebenaran (al-haqq), dan menjadikan lama tinggal dalam buta hati. Sesudah itu aku mulai dengan pencabutan keinginan dari kalbuku dan berdiri tegak di hadapan perselisihan umat guna mondar-mandir mencari kelompok yang akan selamat sambil berhati- hati terhdap berbagai keinginan buruk.”

Dari kondisi seperti ini timbul suatu istilah epistemologi dalam keilmuan Al-Ghazali untuk mendapatkan kebenaran yang hakiki di sisi Allah swt, melalui empat perihal masalah yaitu : Qalb, Ruh, Nafs, dan Aql.

  1. Qalb (hati)

    Qalb (hati) mempunyai dua makna, yaitu :

    • Segumpal daging yang ada di sisi kiri dada pada bagian dalam daging tersebut terdapat lubang yang berisi darah berwarna hitam yang merupakan pusat dan tempat menetap ruh hewani. Seperti dalam firman Allah swt,

      “Dalam hati mereka ada penyakit lalu ditambah Allah penyakitnya dan bagi mereka siksa yang pedih, disebabkan mereka berdusta”. ( Al-Baqarah :10 ).

    • Cahaya lembut keTuhanan yang bersipat rohani (lathifah rabbaniyyah ruhaniyyah). Cahaya ini mempunyai kaitan benda dengan hati fisik, seperti hubungan antara sifat dengan zat dan sifat dengan yang disifati. Dan cahaya ini merupakan hakikat manusia yang bisa menyerap, mengetahui dan mengenal karena ini pula manusia dapat diajak bicara, dapat tersiksa, tercela dan dapat diperintah. Dalam Al-Qur’an menjelaskan :

      “Ya Tuhan kami, janganlah Engkau jadikan hati kami condong kepada kesesatan sesudah Engkau beri petunjuk kepada kami, dan karuniakanlah kepada kami rahmat dari sisi Engkau; Karena Sesungguhnya Engkau-lah Maha pemberi (karunia)". ( Ali Imran : 8).

  2. Ruh

    Ruh memiliki dua makna, yaitu :

    • Jenis yang halus yang bersumber dari rongga hati jasmani, yang menyebar ke seluruh bagian tubuh melalui urat saraf yang memancarkan cahaya-cahaya hidup yang berupa perasaan, penglihatan, pendengaran dan penciuman.yang menyerupai limpahan cahaya dari sebuah lampu yang mengelilingi sudut-sudut rumah.

    • Suatu sipat halus pada diri manusia yang dapat mengetahui segala sesuatu dan dapat menangkap segala pengertian.

  3. Nafsu (Al-Nafs)

    Nafsu (Al-Nafs) memiliki dua makna, yaitu :

    • Nafsu yang menjadi tempat tumpukan kekuatan sifat marah dan syahwat pada diri manusia. Inilah pengertian yang banyak digunakan oleh para ahli tasauf sehingga mengatakan bahwa nafsu itu ialah pusat tempat bertumpuknya sifat-sifat tercela pada manusia dan harus di lawan dan ditundukkan.

    • Sesuatu yang halus yaitu jiwa manusia dan substansinya yang berbeda-beda sesuai dengan kondisinya masing-masing. Seperti apabila nafsu itu telah menjadi tenang pada suatu hal dan bisa terhindar dari kegoncangan dan keraguan disebabkan nafsu syahwat disebut nafsu muthmainnah (nafsu yang tenang). Sebagaimana dalam firman Allah :

      “Hai jiwa yang tenang, Kembalilah kepada Tuhanmu dengan gembira dan mengembirakan”. (al-Fajr : 27- 28).

    Nafsu inilah yang merupaka hakikat manusia yang dapat mengetahui Allah dan seluruh yang harus diketahuinya. Sedangkan nafsu tersebut tidak tunduk secara sempurna tapi kecendrungan mendorong kekuatan syahwat, maka disebut nafsu al-lawwamah. Dan apabila nafsu tersebut dibiarkan berpaling dan menyerah pada keinginan syahwat dan propaganda setan, maka hal seperti ini disebut nafsu amarah.24

  4. Akal (Aql)

    Akal (Aql) memiliki dua makna, yaitu :

    • Sesuatu yang siap menerima pengetahuan teoretik dan mengatur kepandaian berpikir yang tersembunyi.

    • Pengetahuan yang ada pada diri manusia yang dapat menangkap dan mendapatkan segala ilmu.

Menurut Al-Ghazali tempat ilmu itu adalah Qalb yaitu al-lathifah (yang halus) yang mengatur seluruh anggota badan yang turut dan tunduk kepadanya. Dan Qalb ini merupakan memiliki keistimewaan tersendiri sehingga manusia dapat menjadi mulia dan menjadi ahli taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah. Keistimewaannya itu kembali kepada dua hal yaitu ilmu (dapat mengetahui) dan iradah (berkeinginan). Oleh karena itu qalb manusia sebetulnya siap terbuka baginya menerima hakikat kebenaran (ilmu hakikat) tentang segala hal.

Ilmu yaitu kemampuan yang dimiliki manusia untuk mengetahui urusan dunia, urusan akhirat dan berpikir hakikat. Hal-hal ini tidak dapat di indra sehingga hanya manusia yang dapat melakukannya.

Iradah yaitu apabila dengan akal manusia telah dapat menemukan akibat dari suatu masalah dan jalan baik yang berada didalamnya, maka dari inti akalnya itu muncul suatu kerinduan terhadap kemaslahatan, serta menunjukkan sebab-sebab dan keinginan (iradah) untuk meraihnya. Namun itu bukan karena dorongan nafsu syahwat (keinginan yang bersifat seksual dan hedonis) atau nafsu hayawanat (keinginan yang tiada berbeda dengan keinginan binatang, seperti keinginan untuk memenuhi kebutuhan biologis atau seksual).

Menurut Al-Ghazali, hal tersebut telah dijalani oleh para sufi dengan zuhud, yaitu melepaskan keterkaitan hati dengan keinginan-keinginan duniawi, mengosongkan hati dari kesibukan mencarinya, serta perhatian dan seluruh cita-cita hanya kepada Allah. Lalu menghilangkan perhatian terhadap berbagai hal yang bersifat duniawi. Semuanya dilepaskan dari hatinya lalu dihatinya hanya ada cita-cita dekat dengan Allah melalui ibadah. Dari hal ini menurut Al-Ghazali dalam memperpleh ilmu ladunni dapat dilakukan dengan metode tasauf yaitu dengan metode riyadhah.

Dalam rangka membersihkan qalb dari berbagai kotoran dosa yang melumurinya, serta melepaskan keterkaitannya dengan duniawi. Untuk membersihkannya dapat dilakukan dengan cara riyadhah seperti yang disebut diatas. Jadi inti riyadhah yang dimaksudkan oleh Al-Ghazali ialah bersumber pada tiga teori yaitu :

  1. Takhalli yaitu melepaskan qalb dari sipat-sipat tercela.
    Takhalli, sebagai tahap pertama disini maksudnya dalam mengurus hati, adalah membersihkan hati dari keterikatan pada dunia. Hati, sebagai langkah pertama, harus dikosongkan. Ia disyaratkan terbebas dari kecintaan terhadap dunia, anak, istri, harta dan segala keinginan duniawi. Dunia dan isinya, oleh para sufi, dipandang rendah. Ia bukan hakekat tujuan manusia. Manakala kita meninggalkan dunia ini, harta akan sirna dan lenyap. Hati yang sibuk pada dunia, saat ditinggalkannya, akan dihinggapi kesedihan, kekecewaan, kepedihan dan penderitaan. Untuk melepaskan diri dari segala bentuk kesedihan, manusia harus terlebih dulu melepaskan hatinya dari kecintaan pada dunia.

  2. Tahalli yaitu menghiasi qalb dengan sifat-sifat terpuji.
    Tahalli, sebagai tahap kedua ini adalah upaya pengisian hati yang telah dikosongkan dengan isi yang lain, yaitu Allah (swt). Pada tahap ini, hati harus selalu disibukkan dengan dzikir dan mengingat Allah. Dengan mengingat Allah, akan mendatangkan kedamaian. Tidak ada yang ditakutkan selain lepasnya Allah, dari dalam hatinya. Hilangnya dunia, bagi hati yang telah tahalli, tidak akan mengecewakan. Waktunya sibuk hanya untuk Allah, bersenandung dalam dzikir.

    Pada saat tahalli, lantaran kesibukan dengan mengingat dan berdzikir kepada Allah dalam hatinya, anggota tubuh lainnya tergerak dengan sendirinya ikut bersenandung dzikir. Lidahnya basah dengan lafadz kebesaran Allah yang tidak henti-hentinya didengungkan setiap saat. Tangannya berdzikir untuk kebesaran Tuhannya dalam berbuat. Begitu pula, mata, kaki, dan anggota tubuh yang lain. Pada tahap ini, hati akan merasai ketenangan. Kegelisahannya bukan lagi pada dunia yang menipu. Kesedihannya bukan pada anak dan istri yang tidak akan menyertai kita saat maut menjemput. Kepedihannya bukan pada syahwat badani yang seringkali memperosokkan pada kebinatangan. Tapi hanya kepada Allah. Hatinya sedih jika tidak mengingat Allah dalam setiap detik.

  3. Tajalli yaitu membukakan tabir ketuhanan kedalam qalb nya.
    Setelah tahap pengosongan dan pengisian sebagai tahap ketiga adalah tajalli. Yaitu, tahapan dimana kebahagian sejati telah datang. Ia lenyap dalam wilayah Jalla Jalaluh, Allah swt. Ia lebur bersama Allah dalam kenikmatan yang tidak bisa dilukiskan. Ia bahagia dalam keridhoan- Nya. Pada tahap ini, para sufi menyebutnya sebagai ma’rifah, orang yang sempurna sebagai manusia luhur.

Memperoleh Ilmu Ladunni


Al-Ghazali berpandangan bahwa karena ilmu ladunni itu datang dari Allah swt secara langsung kedalam jiwa manusia, yakni jiwa sempurna, seperti firman-Nya

“Dan jiwa serta penyempurnaannya” (Q.S. Asy-Syams : 7)

Sehingga metode untuk mendapatkan ilmu laduni adalah sebagai berikut :.

  1. Melalui pencarian seluruh ilmu dan pengambilan bagian yang paling sempurna dari sejumlah besar yang ada

    Kalau dikaji secara sepintas, metode ini tidak layak sebagai metode untuk memperoleh ilmu laduuni. Namun, bila dikaji secara mendalam, Al-Ghazali menjelaskan bahwa sebagian ilmu yang diperoleh manusia adalah ilmu yang sempurna. Dan maksud ilmu yang sempurna disini ialah ilmu tentang hakikat. Sementara maksud Al-Ghazali ilmu hakikat ini merupakan salah satu bentuk dari ilmu ladunni. Oleh karena itu, upaya untuk mendapatkan sebagian ilmu yang sempurna itu, merupakan metode memperoleh ilmu ladunni.

  2. Melalui Metode Riyadhah dan Muraqabah

    Melalui metode riyadhah dan muraqabah. Riyadhah yang diamaksud Al- Ghazali ialah latihan kejiwaan, sedangkan muraqabah adalah upaya manusia untuk mendekatkan diri kepada Allah swt. Namun latihan kejiwaan (riyadhah) diantaranya Takhalli, Tahalli, Tajalli, harus dilakukan dengan baik dan sungguh-sungguh. Begitu juga muraqabah harus dilakukan secara benar, dengan hal yang tidak menyimpang. Dari hal ini kita menilai kedua nya harus disertai dengan ilmu yang memadai tentang hal itu. Sebagaimana dalam sebuah hadis menjelaskan :

    “Barang siapa yang mengikhlaskan dirinya kepada Allah selama empat puluh subuh, maka Allah akan memperlihatkan dari qalbunya sumber- sumber hikmah melalui lisannya”.

  3. Melalui Metode Tafakur

    Tafakur yang dimaksudkan oleh Al-Ghazali ialah jiwa dalam kehidupannya selalu belajar dari pengalaman empiris berupa realitas alam, baik yang terlihat dalam diri manusia, binatang, tumbuhan, alam, dan segala makhluk ciptaannya. Dan jika kemudian dari data-data empiris tersebut diolah dalam proses berfikir, niscaya ilmu yang ia peroleh tersebut akan lebih berkembang dan bertambah luas. Dan metode ini dianggap penting dilakukan manusia yang ingin mendapatkan ilmu ladunni. Dalam hal ini, apabila jiwa itu belajar dan mengolah ilmu, kemudian memikirkan (tafakur) atau menganalisis data-data keilmuan yang ia dapatkan dengan syarat-syarat bertafakur lalu baginya akan dibukakan pintu kegaiban.

    Untuk menguatkan pendapat ini, Al-Ghazali mengungkapkan hadis Rasulullah :

    “Bertafakkur barang suatu saat adalah lebih baik dari pada ibadah setahun .”

    Tujuan Al-Ghazali dalam memahami hadis ini ialah befikir teratur dengan syarat-syarat berfikir yang baik. Dalam menjelaskan metode tafakur ini, Al-Ghazali menyatukan dengan metode ta’allum rabbani, seperti yang telah penulis sebutkan diatas. Bahwa kaitannya dengan ta’allaum rabbani, metode tafakur merupakan cara kedua setelah ta’allum.

    Sebenarnya ta’allum dan tafakur adalah berbeda. Namun ta’allum berlangsung secara ekstern melalui proses balajar yang dilakukan secara lahiriah, sedangkan tafakur berlangsung secara intern dengan proses pembelajaran dari dalam diri manusia melalui aktivitas berfikir, yang menggunakan perjalanan batiniah (jiwa) manusia. Lebih jelas lagi kalau ta’allum berasal dari aspek lahir manusia, tafakur berasal dari batin (jiwa) manusia. Dari perbedaan tersebut, Al- Ghazali mengakui bahwa tingkat kevaliditasan metode tafakur lebih tinggi ketimbang metode ta’allum.

  4. Metode Pengilhaman

    Ilham adalah ilmu yang di dapat tanpa jalan mengkaji dan mencari dalilnya atau hembusan dalam hati. Ilham ini ialah kelanjutan dari wahyu. Sebab wahyu menjelaskan perkara gaib, sementara ilham memerincinya. Jadi ilmu yang diperoleh dari wahyu disebut ilmu kenabian, sedangkan ilmu yang diperoleh dari pengilhaman dinamakan ilmu ladunni, yaitu ilmu yang dalam perolehannya tidak ada perantara yang menghubungkan antara jiwa dan pencipta. Ia semata-mata seperti pancaran cahaya dari lampu kegaiban yang diarahkan pada kalbu yang jernih, kosong, dan lembut. Dalam penjelasan jiwa universal (an-nafs al-kulli), Al-Ghazali mengaitkannya dengan akal universal (al-‘aql al-kulli).

    Akal universal lebih mulia, lebih sempurna, lebih kuat dan lebih dekat kapada Pencipta Yang Mahatinggi dari pada jiwa universal. Tapi jiwa universal ini lebih agung, lebih lembut, dan lebih mulia dari pada makhluk-makhluk lain. Dari pelimpahan akal universal inilah dihasilkan ilham. Dan adapun wahyu ialah perhiasan para nabi, sedangkan ilham merupakan perhiasan para wali. Adapun perumpamaan wahyu, sebagaimana jiwa tanpa akal, seperti wali tanpa nabi. Demikian pula, ilham tanpa wahyu, akan menjadi lemah dibandingkan wahyu dan lebih kuat dibanding mimpi yang benar. Dalam metode ini Al-Ghazali menjelaskan bahwa manusia dapat memperoleh ilmu ladunni melalui metode atau pendekatan kepada Tuhan sehingga Tuhan menurunkan ilham kepada orang-orang yang telah berupaya untuk memperolehnya. Dan ilmu ladunni diberikan kepada pemilik kenabian dan kewalian, sebagaimana diberikan kepada Nabi Khidir ketika Allah swt, berfirman

    “Lalu mereka bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba Kami, yang telah Kami berikan kepadanya rahmat dari sisi Kami, dan yang telah Kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami“ (Q.S. Al- Kahfi :65)

    Lalu Allah jelaskan pula lewat firman lain Q.S. An.Nisaa : 113

    “Allah telah menurunkan kitab dan Hikmah kepadamu, dan telah mengajarkan kepadamu apa yang belum kamu ketahui. dan adalah karunia Allah sangat besar atasmu”.

  5. Metode Tazkiyat an-nafs

    Secara etimologi kata tazkiyat berasal dari bahasa Arab, yaitu isim mashdar dari kata zakka, yang berarti pembersihan atau penyucian. Sementara itu kata an-nafs umumnya diartikan sebagai jiwa. Dan secara terminologi Al- Ghazali mengartikan tazkiyat an-nafs ialah merupakan jenis ilmu terpuji yang wajib diamalkan oleh setiap muslim. Lalu metode ini merupakan proses penyucian jiwa manusia melalui tahapan takhalli dan tahalli. Takhalli adalah pengosongan atau pembersihan jiwa manusia dari akhlak atau perilaku tercela, misalnya tamak, akses seksual, kejahatan lidah, (seperti melaknat, janji palsu, berbohong, fitnah dan mengumpat).41 Adapun tahalli yang dimaksud Al-Ghazali adalah pengisian jiwa dengan akhlak terpuji. Proses tahalli ini berlangsung secara berangsur-angsur melalui beberapa maqam, yaitu tobat, sabar, syukur, harap dan takut, zuhud, ikhlas, waspada (muhasabah) dan mawas diri, tawakal, cinta (mahabbah), rindu atau syauq, dan rida. Metode ini merupakan konsekuensi logis dari pemahaman Al-Ghazali tentang metode pertama dan keempat. Bagaimanapun Al-Ghazali memandang bahwa ilmu yang sempurna lahir dari jiwa yang telah mengalami penyempurnaan (taswiyyah), sebagaimana firman Allah pada Surat As-Syams ayat 7.

    Tazkiyat an-nafs dikonsepsikan Al-Ghazali dengan didasari oleh asumsi bahwa jiwa manusia ibarat cermin, sedangkan ilmu ibarat gambar-gambar dari objek material. Adapun tujuan mengetahui ibarat cermin ini yang menangkap gambar-gambar tersebut ialah banyaknya gambar yang tertangkap dan jelasnya tangkapan bergantung pada kadar kebersihan cermin. Dengan demikian, kesucian jiwa merupakan syarat mutlak bagi masuknya hakikat-hakikat atau ilmu ladunni ke dalam jiwa dan jiwa yang suci akan mudah menerima ilmu ladunni dari Tuhan, sedangkan jiwa kotor justru menghalangi masuknya ilmu ladunni. Oleh karena itu tazkiyat an-nafs mempunyai kedudukan yang sangat penting dalam perolehan ilmu ladunni.

  6. Metode Zikir

    Al-Ghazali memandang pentingnya zikir untuk mendapatkan ilmu ladunni yang didasarkan atas argumentasi tentang peranan zikir itu sendiri terhadap hati. Lalu dalam risalah Al- Ghazali menjelaskan

    Jadilkanlah qalbu sebagai kiblat lisan anda, dan peliharalah rasa malu di saat beribadah dan rasa takut kepada Tuhan ketika berzikir. Sadarilah, bahwa Allah mengetahui rahasia qalbu anda, lalu dia melihat fakta perbuatan anda dan mendengar bisikan anda. Karena itu, cucilah qalbu anda dengan kesedihan dan nyalakan didalamnya api ketakutan. Dan apabila hilang tabir kelalaian dari qalbu anda, zikir anda kepada-Nya akan ada bersama zikir-Nya kepada anda.

    Di dalam al-Qur’an surat Al-Ankabut ayat 45.

    “Sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadat-ibadat yang lain). dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan”.

    Al-Ghazali melihat bahwa zikir kepada Allah merupakan hiasan bagi kaum sufi setelah mereka berhasil menghilangkan rintangan jiwa dan membersihkannya dari perilaku atau akhlak buruk dan sifat-sifat yang tidak baik. Setelah itu jiwa mereka benar-benar sampai pada pengosongan hati dari selain Allah serta menghiasinya dengan zikir. Syarat utama dari orang yang menempuh jalan Allah ialah membersihkan hati secara menyeluruh dari selain Allah, sedangkan kuncinya adalah menenggelamkan hati secara keseluruhan dengan zikri kepada Allah.

    Al-Ghazali juga memandang bahwa zikir merupakan prinsip awal dari seorang yang berjalan menuju Tuhan. Zikir yang diperbanyak lewat hati dan lisannya secara total mengalir ke seluruh anggota tubuhnya sampai kejantung hatinya. Sehingga Al-Ghazali meyakini zikir akan membuka tabir alam malakut yakni dengan datangnya malaikat. Sehingga Al-Ghazali melihat bahwa zikir sangat berpungsi untuk mendatangkan ilham, karena ruang gerak setan menjadi terhalangi oleh zikir kepada Allah sehinga setan pergi menjauh dari hati manusia, dan saat itulah malaikat memberikan ilham kedalam hati. Jadi dalam pandangan Al-Ghazali, zikir merupakan metode untuk menghilangkan waswas dan mendatangkan ilham dalam hati manusia.

Metode-metode untuk memperoleh ilmu ladunni ini pada dasarnya dalam upaya memperoleh ilham, karena perolehan ilham lebih mengambarkan proses penerimaan ilmu dari tuhan kepada manusia melalui hati. Al-Ghazali memaksudkan bahwa manusia dapat memperoleh ilmu ladunni melalui metode atau pendekatan-pendekatan yang tersebut diatas sehingga Tuhan akan menurunkan ilham kepada orang-orang yang telah berupaya untuk memperolehnya.

Selain itu, dalam dunia tasauf, untuk mempunyai ilmu ladunni atas kehendak Allah, terlebih dahulu harus menjadi seorang Sufi. Dan jalan menuju Sufi yang benar dalam pandangan Allah harus mengamalkan beberapa amalan kebaikan diantaranya :

  1. Dzikrullah, baik lisan maupun hati.
  2. Ma’rifatullah
  3. Mengenal Asma Allah dan sifat-sifatnya baik yang wajib maupun yang mustahil.
  4. Suci lahir batin.
  5. Menyandarkan diri kepada Allah.
  6. Muraqabah, (selalu merasa dilihat Allah).
  7. Cinta atau mahabbah kepada Allah.
  8. Ikhlas beribadah dan beramal
  9. Sabar
  10. Takwa (menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangannya).
  11. Wara (meninggalkan diri dari perbuatan yang subhat).
  12. Zuhud (berpalingnya kehendak atau keinginan dari sesuatu ke sesuatu yang lebih baik dari padanya).
  13. Qana’ah (menerima katentuan dari Allah).
  14. Tawakkal.
  15. Suka bersyukur kepada Allah (baik senang maupun susah).
  16. Memerangi hawa nafsu.
  17. Ingin selalu bertemu dengan Allah.
  18. Tawadlu’.
  19. Berdoa.
  20. Terhindar dari bahaya riya.

Ciri-ciri orang yang mendapatkan ilmu ladunni

Ladunni adalah hidayah dari Allah. Apabila itu terjadi pada diri nabi atau rasul maka yang sedemikian disebut mukjizat. Dan apabila ladunni ini diperoleh orang yang tergolong wali (kekasih Allah) maka itu merupakan bagian dari karamah. Sedangkan ladunni yang dimiliki orang mukmin karena keimanan dan ketakwaannya kepada Allah swt, maka yang sedemikian ini disebut ma’unah (pertolongan yang tidak disangka-sangka datangnya).

Selanjutnya dalam ladunni ini ada orang yang memilikinya tetapi tidak beriman atau kafir, munafik. Hal ini disebut dengan istidraj (seolah dijunjung dan mendapat penghormatan Allah, untuk menguji manusia dalam hal keimanan dan ketakwaannya).

Maka dari sedemikian rupa dijelaskan bahwa dalam mengikuti pemikiran Al-Ghazali terhadap orang yang sampai pada mertabat ilmu ladunni mempunyai ciri-ciri sebagai berikut :

  1. Tidak butuh banyak usaha belajar untuk menghasilkan ilmu
  2. Tidak menemukan kesulitan dalam belajar.
  3. Belajar sedikit tapi hasilnya banyak.
  4. Capeknya sedikit dan istirahatnya lama.

Dan ditinjau dari sifat dan watak seseorang yang memiliki ilmu adalah harus bersifat rendah hati, rendah diri dan tidak pernah menonjolkan kekuatan batinnya, serta jauh dari sifat takabur, menghindarkan diri dari sifat tercela, seperti marah, dengki, kikir, bakhil, riya’, dendam dan sebagainya.

Referensi
  • A. Busyairi Harits, M.Ag. Ilmu Ladunni dalam Prespektif Teori Belajar Modern, Pustaka Pelajar, Cet : ke II, Yogyakarta : 2005.
  • Dr. M. Solihin, M.Ag. Epistemologi Ilmu dalam Sudut Pandang Al-Ghazali, CV Pustaka Setia, Cet-I, Bandung : 2001.
  • Al-Ghazali, Risalah Al-Ghazali terjemahan dari buku aslinya berbahasa Arab Majmu’ah Rasa’il al-Imam al-Ghazali, jilid 2-6, cet-I, Pustaka Hidayah, Bandung,: 2010.
  • Al-Ghazali, Ihya’ Ulum Ad-Din, Jilid III, Dar Al-Ihya wa Al-Kutub Al-‘Arabiyah, Indonesia.
  • Simuh, Sufisme Jawa, Yayasan Bentang Budaya, Yogyakarta : 1999.
  • Al-Ghazali, Risaltu al-Ladunniyah (dalam Majmu’atu ar-Risalah), Dar al-kutub al- “ilmiyah, Beirut, 1988.
  • Imam Al-Ghazali, Ilmu Ladunni terjemahan dari Al-Risalat Al-Laduniyah, Hikmah, Jakarta Selatan : 2004, Cet, IV.
  • Al-Ghazali, Membawa Hati Menuju Ilahi (Rahasia Hidup Selamat Sampai di Akhirat), Pustaka Hidayah, Bandung : 2009.
  • Imam Al-Ghazali, Keajaiban Hati, Pustaka Nasional PT LTD, Singapura : 1965.