Apa yang dimaksud dengan ideologi Pancasila ?

Apa yang dimaksud dengan ideologi Pancasila ?

Secara sederhana, Pancasila yakni lima prinsip kehidupan berbangsa dan bernegara, bisa dipahami sebagai pokok-pokok pikiran yang secara sekilas saling terpisah dan berdiri di atas ranah prinsipilnya masing-masing. Hanya saja, posisinya sebagai dasar negara yang dibentuk dalam suasana perjuangan kemerdekaan membuatnya menjadi sakral dan sangat penting bagi kehidupan bangsa Indonesia. Posisi inilah yang membuahkan ragam penafsiran dan akhirnya menjelma ragam perspektif untuk menempatkan Pancasila secara pas dalam lanskap kehidupan berbangsa. Tidak jarang, upaya penempatan Pancasila ini bersifat politis, maupun netral-ilmiah secara positif.

Soekarno sendiri sebagai penggali nilai-nilai dasar negara menempatkan Pancasila sebagai kontrak sosial di satu sisi, dan Weltanschauung (pandangan dunia) di sisi lain. Sebuah pandangan dunia yang menjadi dasar pemikiran, dasar kerohanian, dan dasar filosofis bagi pendirian negara Indonesia. Dalam kaitan ini, Weltanschauung diartikan sebagai pandangan (world view) suatu masyarakat yang terbentuk dari pengalaman bersama dalam batas dan kondisi lingkungan tertentu yang menghasilkan sistem sosiokultural, khususnya nilai-nilai yang bersifat spesifik.

Berlainan dengan Soekarno, para tokoh nasionalis lainnya lebih menempatkan Pancasila sebagai kontrak sosial atau kompromi politik. Alotnya persidangan BPUPKI dan PPKI memperlihatkan hal itu. Sebagai kontrak sosial atau kompromi politik, Pancasila akhirnya hanya dipahami sebagai rangkaian konsensus dari beragam pandangan dan kepentingan. Hal ini yang membuat Pancasila tenggelam dalam perhelatan bangsa, khususnya pada masa revolusi (1945-1949). Saat itu Pancasila kalah populer dengan kata “Daulat Rakyat” atau kedaulatan rakyat, mengingat istilah itu lebih relevan bagi perjuangan nasional serta upaya mempertahankan kemerdekaan dari agresi Belanda. Pancasila sempat muncul kembali pada tahun 1947 melalui terbitnya buku Lahirnja Pantjasila dengan kata pengantar Dr. Radjiman Wedyodiningrat, mantan Ketua BPUPKI yang menyatakan bahwa Soekarno adalah tokoh yang pertama kali mengemukakan dasar negara. Namun, buku itu kalah populer dibanding riuh rendah perjuangan menghadapi agresi Belanda atau debat mengenai bentuk negara, federal ataukah republik.

Diskursus Pancasila mengemukakan lagi pada dekade 1950-an melalui inisiatif sejumlah tokoh untuk melakukan interpretasi ulang atas Pancasila. Saat itu muncullah dua kubu yang terbelah. Pertama, kubu yang menempatkan Pancasila sebagai filsafat sosial atau Weltanschauung bangsa. Kubu ini terinspirasi oleh pidato Soekarno pada 1 Juni 1945. Soekarno sendiri pada saat itu telah mengukuhkan Pancasila tidak hanya sebagai Weltanschauung tetapi lebih sebagai kepribadian dan jati diri bangsa yang orisinal digali dari bumi Indonesia. Tokoh yang mendukung pandangan ini adalah Muhammad Yamin yang menempatkan Pancasila sebagai dasar rohani bangsa. Penempatan Pancasila sebagai Weltanschauung, dasar rohani, jati diri, dan kepribadian bangsa merupakan kondisi yang memungkinkan bagi penempatan Pancasila sebagai konstruksi ideologi tersendiri. Dibutuhkan satu langkah lagi untuk menempatkan Pancasila sebagai ideologi negara yang tunggal yang meniadakan paham-paham yang lain. Seperti tercatat sejarah, ideologisasi Pancasila ini pun terjadi dan Soekarno adalah ideolog tunggal bagi kebenaran mutlak Pancasila.

Kedua, kubu yang menempatkan Pancasila dalam pandangan ini adalah hasil dari negoisasi dan kesepakatan politik di antara kaum nasionalis sekular dan nasionalis Islam. Hal ini terlihat dari perdebatan pada 18 Agustus 1945 tentang sila pertama Pancasila, di mana perwakilan dari Indonesia Timur keberatan dengan pencantuman “tujuh kata” (kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya) dalam sila ketuhanan. Sebagai kompromi, sila pertama diganti dengan kalimat “Ketuhanan Yang Maha Esa” sehingga baik muslim maupun non-muslim merasa memiliki sila tersebut. Oleh karena itu, Pancasila akhirnya sebatas kompromi politik, sehinggga tidak bisa ditempatkan sebagai asas politik, filsafat politik, ideologi politik dan bentuk-bentuk lainnya.

Sejarah kemudian mencatat bahwa penunggalan Pancasila sebagai ideologi negara telah membuahkan otoriterisme Orde Lama di bawah Soekarno. Hal ini disebabkan posisi Pancasila sebagai doktrin ideologis yang meniadakan ideologi-ideologi lainnya. Dengan cara ini, segenap tafsiran atas Pancasila beserta sistem politik-ekonomi yang lahir darinya diruntuhkan oleh Orde Baru. Di atas keruntuhan ini, Orde Baru kemudian membangun bangunan Pancasila tersendiri yang secara formal senapas dengan Orde Lama, yakni menempatkan Pancasila sebagai ideologi negara serta doktrin politik kebudayaan komprehensif. Namun, berbeda secara material, artinya dalam bentuk dan praktik pelaksanaannya. Oleh sebab itu, “Simposium Kebangkitan 66” pada 6-9 Mei 1966 merekomendasikan suatu “Gerakan Amal Pantjasila” yang berkeinginan “mewujudkan Pantjasila djadi suatu kenjataan ideologi-ilmiah dan sekaligus djuga kenjataan ideologi-amal jang hidup dan jang tak dapat diganggu-gugat”.

Sekitar tahun 1978, Presiden Soeharto menyatakan:

Pancasila adalah sumber dari segala gagasan kita mengenai wujud masyarakat yang kita anggap baik, yang menjamin kesentosaan kita semua, yang mampu memberikan kesejahteraan lahir batin bagi kita semua.

Keyakinan bahwa Pancasila adalah “sumber dari segala gagasan”, “menjamin kesentosaan”, dan “memberi kesejahteraan” telah menggambarkan bahwa Soeharto menerima kebenaran Pancasila hampir tanpa perlu pembuktian. Pada titik inilah kita menemukan titik puncak ke-Pancasila-an Orde Baru, yakni melalui Pedoman Penghayatan dan Pengalaman Pancasila (P4) yang ditetapkan melalui Ketetapan MPR No. II/MPR/1978 tentang P4. Penetapan P4 sebagai tafsir tunggal Orde Baru atas Pancasila ini dilandasi oleh argumentasi bahwa demi kesejahteraan serta kesentosaan rakyat Indonesian, Pancasila. Dengan demikian, hanya melalui pengalaman Pancasila dalam kehidupan sehari-hari, rakyat Indonesia akan mencapai kesejahteraannya, dan agar mampu mengamalkan, Pancasila harus dihayati.

Metode penghayatan inilah yang diinternalisasikan melalui P4 yang ternyata tak lebih dari upaya indoktrinasi. Oleh karena itu, bisa dikatakan, Orde Lama menempatkan Pancasila sebagai supra-ideologi yang menjadi grand design bagi sitem politik-ekonomi-kebudayaan, sedangkan Orde Baru telah “memasyarakatkan Pancasila, dan mem-Pancasila-kan masyarakat”. Dengan demikian, Orde Baru hendak menjadikan Pancasila tidak hanya sebagai supra-ideologi, tetapi juga living ideology yang menapasi segenap perilaku sehari-hari manusia Indonesia. Hal ini dilakukan tidak hanya melalui penataran P4 kepada semua lini masyarakat, tetapi juga melalui pendidikan mulai dari tingkat SD, dengan Pendidikan Moral Pancasila (PMP) dan Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa (PSPB).

Sumber: Syaiful Arif, 2016, Falsafah Kebudayaan Pancasila Nilai dan Kontradiksi Sosialnya, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Sebagaimana kita ketahui bersama, pada saat pemimpin pergerakan kemerdekaan Indonesia berkumpul untuk merancang berdirinya Negara Indonesia Merdeka, mereka menghendaki agar negara yang akan mereka dirikan itu adalah negara yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur. Untuk itu, mereka terlebih dahulu mencari “ Philosophische Gronslag ”, mencari “ Welt anschauung ” yang disetujui bersama dari Negara Indonesia Merdeka yang akan didirikan. Dalam pidato untuk menjawab pertanyaan Ketua Badan Penyelidik Usaha-usaha Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) yang disampaikan pada tanggal 1 Juni 1945, Bung Karno menyampaikan “dasar falsafah negara” atau “ Philosophische Gronslag” atau “ Welt anschauung ”, dan di atas dasar falsafah negara itulah, berdiri Negara Indonesia Merdeka yang bersifat kekeluargaan.

Selanjutnya Pidato Bung Karno tersebut dibahas secara luas dan mendalam yang akhirnya dalam sidang PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945 Pancasila ditetapkan sebagai dasar negara dan tercantum dalam Pembukaan UUD 1945.

Sebagai dasar negara, dan ideologi, Pancasila memiliki sila-sila sebagai berikut berikut ini.

Ketuhanan Yang Maha Esa

Pernyataan penting Pembukaan UUD 1945 menyatakan bahwa Tuhan Yang Maha Esa adalah pencipta, dan manusia adalah ciptaan. Relasi ini kembali ditegaskan dalam pernyataan kemerdekaan karena pernyataan itu penting dalam hidup bangsa yang merdeka. Kemerdekaan hanya bisa bersandar pada refleksi bahwa tidak boleh ada penghambaan oleh manusia satu atas manusia yang lain. Kalau sebuah bangsa berjuang untuk lepas dari penjajahan, maka sekali merdeka, bangsa itu haruslah membangun solidaritas antar manusia, dan pada akhirnya membangun kehidupan bersama yang lebih baik bagi semua.

“… Prinsip Ketuhanan! Bukan saja bangsa Indonesia ber-Tuhan, tetapi masing-masing orang Indonesia hendaknya bertuhan Tuhannya sendiri… marilah kita semuanya ber-Tuhan. Hendaknya negara Indonesia ialah negara yang tiap-tiap orangnya dapat menyembah Tuhannya dengan cara yang leluasa. Segenap rakyat hendaknya ber-Tuhan secara kebudayaan, yakni dengan tiada ‘egoisme-agama’. Dan hendaknya Negara Indonesia satu Negara yang ber-Tuhan . Marilah kita amalkan, jalankan agama… dengan cara yang berkeadaban. Apakah cara yang berkeadaban itu? Ialah hormat menghormati satu sama lain .”

“… sudah saya lihat secara historis, sudah saya lihat dari sejarah kegamaan, pada garis besarnya rakyat Indonesia ini percaya kepada Tuhan. Bahkan Tuhan yang sebagai yang kita kenal di dalam agama-agama kita. Dan formulering Tuhan Yang Maha Esa bisa diterima oleh semua golongan agama di Indonesia ini. Kalau kita mengecualikan elemen agama ini, kita membuat salah satu elemen yang mempersatukan batin bangsa Indonesia dengan cara yang semesra-mesranya.

Penjabaran dari Bung Karno ini bertujuan untuk mendorong interaksi yang kuat dan terus-menerus dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Disadari bahwa keragaman agama dan kepercayaan adalah suatu kenyataan bangsa Indonesia, dan pengakuan akan Tuhan Yang Maha Esa menjadi amat penting untuk mengakui bahwa yang paling penting adalah “manusia”-nya. Tuhan Yang Maha Esa dimuliakan jika manusia satu memuliakan yang lain.

Fondasi ini juga memberikan landasan moral atas hal-hal penting dalam demokrasi yang berdasarkan Pancasila, yaitu partisipasi, pemberdayaan, pemajuan harkat hidup manusia, dan keterbukaan. Landasan moral ini nantinya diterjemahkan dalam pengembangan lembaga perwakilan rakyat dan pranata pemerintahan. Dengan ini, fondasi Ketuhanan Yang Maha Esa juga dapat menjadi rujukan tata pemerintahan untuk menjawab “mengapa terjadi kekerasan?”, “mengapa terjadi ketimpangan sosial?”, “mengapa kelompok politik tidak juga legitimate ?”

Kemanusiaan yang Adil dan Beradab


Bung Karno dan Bung Hatta mengakui bahwa Indonesia telah mempunyai akar demokrasi. Sejarah Indonesia menyediakan banyak rujukan bagaimana demokrasi itu berkembang, dan terus dikelola dalam pranata masyarakat. Namun, para proklamator ini mengingatkan, bahwa pada akhirnya, “manusia” adalah penting. Adalah menjadi ironi seandainya Indonesia merdeka, tetapi dalam proses kehidupan internasional, Indonesia terlibat langsung atau tidak langsung sehingga membuat bangsa lain hidup dalam kesengsaraan.

Lebih dulu saya mau menerangkan kepada saudara-saudara bahwa dengan sengaja kita selalu memakai perkataan kemanusiaan dalam perikemanusiaan. Kemanusiaan adalah alam manusia ini . De mensheid . Perikemanusiaan adalah jiwa yang merasakan bahwa antara manusia dengan lain manusia ada hubungannya, jiwa yang hendak mengangkat membedakan jiwa manusia itu lebih tinggi daripada jiwa binatang …”

“… Di satu pihak terjadinya negara-negara nasional dan bangsa-bangsa, di lain pihak perhubungan yang makin rapat antara manusia dan manusia dan antara bangsa dan bangsa. Saudara-saudara sehingga jikalau kita mau berdiri sendiri sebagai bangsa tak mungkinlah, dunia telah menjadi demikian. Maka oleh karena itu kitapun di dalam Republik Indonesia ini yakin di dalam tekad kita ini tidak hanya ingin mengadakan satu bangsa Indonesia yang hidup dalam masyarakat adil dan maksmur. Tidak. Tapi kita di samping itu bekerja keras pula untuk kebahagiaan seluruh ummat manusia… Bahkan kita yakin masyarakat adil dan makmur tak mungkin kita dirikan hanya di dalam lingkungan bangsa Indonesia saja. Masyarakat adil dan makmur pada sistemnya adalah sebagian daripada masyarakat adil dan makmur yang mengenai seluruh kemanusiaan …” “… nasionalisme yang hidup di dalam suasana perikemanusiaan: nasionalisme yang mencari usaha agar segala ummat manusia ini akhirnya nanti hidup dalam satu keluarga besar yang sama bahagianya .”

Apakah pernyataan di atas menjadi utopia. Sejarah menunjukkan tidak. Dalam riwayat 20 tahun pertama, Indonesia yang belum lagi makmur, mengupayakan bantuan terhadap negeri seperti India dan Mesir, dan pada akhirnya bersama-sama mengupayakan terselenggaranya Konferensi Asia-Afrika pada tahun 1955. Upaya nyata ini amat penting untuk memperkuat legitimasi kemerdekaan Indonesia itu sendiri. Bangsa yang merdeka tahu bagaimana menghargai kemerdekaan itu menjadi perwujudan kesejahteraan sosial.

Persatuan Indonesia

Prinsip kebangsaan Indonesia mempunyai fondasi yang kuat, yaitu Sumpah Pemuda, 28 Oktober 1928. Ketika diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945, konstitusi Republik Indonesia dirujukkan untuk mewujudkan demokrasi Pancasila—meski prosesnya amat sulit. Ketimpangan sosial dan ketimpangan politik membuat demokrasi yang berdasarkan Pancasila direduksi hanya menjadi alat.

Dalam kaitan itu Bung Karno menegaskan bahwa yang menjadi alat adalah negara, sedangkan kebangsaan adalah fondasi— bukan sebaliknya.

Kalau umpamanya sila kebangsaan dibuang, umpama, apa yang menjadi pengikat rakyat Indonesia yang 82 juta sekarang nantinya lebih. Apa? Ketuhanan Yang Maha Esa? Ya, bisa! Cita-cita untuk keadilan sosial? Ya, bisa! Tapi dalam realisasinya, Saudara-saudara, realisasi yang segi negatif menentang imperialisme, realisasi yang segi positif menyelenggarakan masyarakat yang adil dan makmur itu, kalau tidak ada binding kebangsaan itu, kita tidak akan bisa kuat. Menentang imperialisme sebagai segi negatif – penentangan ialah negatif hanya bisa dengan cara yang kuat kalau segenap bangsa Indonesia menentang dengan rasa itu tadi: Kami ingin merdeka, kami adalah satu bangsa, kami adalah satu rakyat yang menderita bersama-sama akibat daripada penjajahanmu. Jikalau rasa kebangsaan ini tidak ada, barangkali kita belum bisa sampai sekarang ini mendirikan negara yang merdeka.

Barangkali paling-palingnya menjadi negara- negara yang kecil, kruimel staten .” “ Inilah arti daripada Negara Nasional Indonesia. Maka oleh karena itu, saudara- saudara, jikalau kita menghendaki negara kita ini kuat, dan sudah barang tentu kita menghendaki negara kita ini kuat, oleh karena kita memerlukan negara ini sebagai alat perjuangan untuk merealisasikan satu masyarakat adil dan makmur, kita harus dasarkan negara ini antara lain di atas paham kebangsaan .”

Kerakyatan Yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/ Perwakilan


Demokrasi yang berdasarkan Pancasila adalah proses yang melibatkan seluruh proses sejarah kebangsaan Indonesia, dan menjadi proses penting kenegaraan Indonesia. Proses, dan bukan alat, itulah yang ditekankan oleh seluruh konstruksi dan pranata kenegaraan, mulai dari UUD 1945, kebijakan publik yang menyentuh masalah interaksi antara kelompok etnis dan sosial-politik, yang menyelenggarakan kesejahteraan, dan yang menjadi inti “musyawarah” dalam demokrasi Pancasila.

“… Demokrasi bagi kita sebenarnya bukan sekadar satu alat teknis, tetapi satu alam jiwa pemikiran dan perasaan kita. Tetapi kita harus bisa meletakkan alam jiwa dan pemikiran kita itu di atas kepribadian kita sendiri, di atas penyelenggaraan cita-cita satu masyarakat yang adil dan makmur …”

Tetapi di dalam cara pemikiran kita atau lebih tegas lagi di dalam cara keyakinan dan kepercayaan kita, kedaulatan rakyat bukan sekadar alat saja. Kita berpikir dan merasa bukan sekadar hanya tehnis, tetapi juga secara kejiwaan, secara psychologis nasional dan secara kekeluargaan .

Di dalam alam pikiran dan perasaan yang demikian itu maka demokrasi, bagi kita bukan sekadar satu alat tehnis saja, tetapi satu “ geloof ”, satu kepercayaan dalam usaha mencapai bentuk masyarakat sebagai yang kita cita-citakan .”27

Bung Hatta juga memberi penjelasan sebagai berikut:

“… Kedaulatan rakyat adalah pemerintahan rakyat yang dijalankan menurut peraturan yang telah dimufakati dengan bermusyawarah. Apabila ia dilakukan oleh rakyat dengan tiada menurut peraturannya, melainkan sesuka- sukanya, sehingga tiap-tiap golongan rakyat bertindak dengan semau-maunya saja maka pemerintahan rakyat itu menjadi anarchi. Anarchi artinya tidak punya aturan, jadinya bukan pemerintahan lagi. …”

“… Juga rakyat bertanggung jawab caranya menentukan nasibnya. Kalau rakyat tidak mempunyai keinsyafan politik, rasa tanggung jawab sangat kurang padanya. Dan bagaimanakah rakyat dapat melakukan kedaulatannya, apabila ia tidak mengerti akan tanggung jawab? Rakyat yang semacam itu mudah sekali mengutus ke dalam Dewan Perwakilan Rakyat anggota sebenarnya bukan jadi wakilnya.

Rakyat harus tahu menimbang siapa yang harus diutusnya ke dalam Dewan Perwakilan Rakyat. Rakyat yang tidak mempunyai keinsyafan politik mudah tertipu dengan semboyan kosong… Kedaulatan rakyat menimbulkan pimpinan negara yang berdasar kepada permusyawaratan. Permusyawaratan dengan mengadu keyakinan banyak memakan tempo dan membuang waktu, sebab itu sering dicela. Akan tetapi permusyawaratan yang dilakukan dengan harga-menghargai pendirian masing-masing, membentuk karakter dan memperdalam keyakinan. Ini adalah keuntungan besar! Pada sistemnya, rakyat yang sudah mempunyai keinsyafan dan kecerdasan politik hanya mau dipimpin dengan tindakan yang meyakinkan .”

Keadilan Sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia


Dalam jangka panjang, sebuah bangsa harus membangun kemandirian dan pemberdayaan diri. Tantangan dunia terus berkembang sehingga mengharuskan suatu bangsa untuk terus mengevaluasi diri, sebab sering kali tantangan dunia tadi memojokkan suatu bangsa sampai bertekuk lutut. Untuk ini, keadilan sosial menjadi syarat penting kemandirian dan pemberdayaan diri.

Kita menghendaki satu masyar akat adil dan makmur, masyarakat yang tidak ada hisap menghisap satu sama lain. Itu adalah “doel” daripada pergerakan kita, daripada perjuangan kita. Alat kita untuk merealisasikan ini adalah negar a .”29 “ M aka oleh karena itu, jikalau kita memang betul-betul mengerti, mengingat, mencinta rakyat Indonesia, marilah kita terima prinsip sociale rechtvaardigheid , yaitu bukan saja persamaan politiek, saudara-saudara, tetapi pun di atas lapangan ekonomi kita harus mengadakan persamaan, artinya kesejahteraan bersama yang sebaik-baiknya .”30

Demikian juga dengan kedaulatan rakyat yang dalam praktik hidup berlaku sebagai pemerintah rakyat. Syarat bagi segala kekuasaan ialah keadilan, yang dengan sendirinya harus membawa kesejahteraan bagi segala orang. Manakala pemerintahan rakyat tidak membawa keadilan dan kesejahteraan, melainkan menimbulkan kezaliman dan pencideraan, kekuasaan itu tidak bisa kekal.

Dari hal-hal yang kami kemukakan di atas dapat disimpulkan bahwa berbeda dengan ideologi yang berasal dari Eropa—baik yang didasarkan kepada kotrak seluruh individu dalam masyarakat ( contract sociale dari Hobbes, John Locke, Rousseau), teori golongan dari negara (class theory -nya Marx, Engels, dan Lenin), ataupun negara integralistik (dari Spinoza, Hegel, dan Adam Muller)—Pancasila adalah produk dari suatu proses. Proses tersebut adalah hasil gerakan perjuangan rakyat Indonesia untuk mencapai Indonesia Merdeka yang terjadi pada masa kebangkitan nasional dan didasarkan kepada pandangan ontologis tentang hakikat manusia sebagai subjek pendukung negara. Negara terbentuk atas kodrat manusia sebagai individu dan makhluk sosial. Karena itu, negara mengatasi semua golongan yang ada dalam masyarakat, negara tidak memihak pada salah satu golongan yang ada dalam masyarakat. Negara adalah masyarakat itu sendiri. Pancasila juga merupakan konsep pemikiran para pendiri negara, yang merupakan norma dasar bagi sistem hukum Indonesia dan merupakan hasil karya yang khas bangsa Indonesia, yang secara antropologis merupakan “local genius” bangsa Indonesia.

Sumber : Subiakto Tjakrawerdaja Soenarto Soedarno, P. Setia Lenggono, Demokrasi Pancasila: Sebuah Risalah, Universitas Trilogi Jakarta, 2016

Menurut Syafiie (2001), ideologi adalah “sistem pedoman hidup yang menjadi cita-cita untuk dicapai oleh sebagian besar individu dalam masyarakat yang bersifat khusus, disusun secara sadar oleh tokoh pemikir negara serta kemudian menyebarluaskannya dengan resmi. Menurut Sutrisno (2006), istilah ideologi pertama diciptakan oleh Desstutt de Tracy tahun 1976 di Perancis, telah terjadi pergeseran arti begitu rupa sehingga ideologi dewasa ini merupakan istilah dengan pengertian yang kompleks.

Menurut Syamsudin (2009:98), ideologi secara etimologis ideologi berasal dari kata idea dan logos. Idea berarti gagasan, konsep, pengertian dasar, cita-cita. Kata idea berasal dari bahasa Yunani ideos yang berarti bentuk atau idean yang berarti melihat, sedangkan logos berarti ilmu. Dengan demikian ideologi berarti ilmu pengertian-pengertian dasar ide-ide (the scince of ideas) atau ajaran tentang pengertian-pengertian dasar. Ide dapat di artikan cita-cita yang bersifat tetap dan yang harus dicapai.

Menurut W. White sebagaimana dikutip Kansil (2005), ideologi ialah soal cita-cita mengenai berbagai macam masalah politik dan ekonomi filsafat sosial yang sering dilaksanakan bagi suatu rencana yang sistematis tentang cita-cita yang dijalankan oleh kelompok atau lapisan masyarakat.

Negara Indonesia telah memiliki suatu ideologi negara bernama Pancasila. Pancasila menurut Darmodhiharjo (1991:230), yaitu merupakan lima dasar atau lima asas adalah nama dari Dasar Negara Republik Indonesia. Istilah pancasila sudah dikenal sejak zaman Majapahit pada abad XIV, yaitu terdapat dalam buku Negara kertagama karangan Prapanca dan buku Sutasoma karangan Tantular.

Pengertian Pancasila


Ditinjau dari sejarahnya istilah “Pancasila” pertama kali disampaikan oleh Ir.Soekarno pada saat mengusulkan dasar Negara Indonesia. Selanjutnya, pancasila dikenal saat ini adalah ideologi Negara Indonesia yang tertuang di dalam pembukaan UUD 1945 pada alinea keempat.

Hakikat pancasila adalah pandangan hidup bangsa dan sebagai dasar negara Indonesia. Pancasila sebagai dasar negara dan pandangan hidup memiliki status yang resmi yaitu tercantum pada alinea IV dalam Undang-Undang 1945. Menurut Widjaja (1995), pancasila sebagai pandangan hidup bangsa yang berisikan konsep dasar mengenai kehidupan yang dicita-citakan dan pikiran-pikiran serta gagasan-gagasan yang dianggap baik oleh bangsa. Pandangan hidup merupakan kristalisasi nilai-nilai yang diyakini kebenaran, ketepatan, dan kemanfaatannya. Itulah yang menimbulkan tekad untuk mewujudkan dalam bentuk sikap, tingkah laku, dan perbuatan. Nilai sebagai hasil pemikiran yang sedalam-dalamnya tentang kehidupan yang dianggap paling baik bagi bangsa Indonesia adalah pancasila, baik sebagai falsafah maupun pandangan hidup. Nilai-nilai pancasila dijadikan dasar dan motivasi dalam segala sikap, tingkah laku, dan perbuatan dalam hidup masyarakat, berbangsa, dan bernegara untuk mencapai tujuan nasional. Pancasila merupakan satu kesatuan yang bulat dan utuh dari kelima sila lainnya.

Pancasila sebagai ideologi bangsa dalam berbagai bidang dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa maupun bernegara. Dengan kata lain, seluruh tatanan kehidupan masyarakat, bangsa dan negara Indonesia menggunakan pancasila sebagai dasar moral atau norma dan tolak ukur tentang baik buruk dan benar salahnya sikap, perbuatan dan tingkah laku bangsa Indonesia. Pancasila merupakan jiwa seluruh rakyat Indonesia, kepribadian bangsa Indonesia, pandangan hidup bangsa Indonesia dan pancasila menjadi tujuan hidup bangsa Indonesia.

Pancasila bagi bangsa Indonesia merupakan pandangan hidup kesadaran dan cita-cita moral yang meliputi kejiwaan dan watak yang sudah berurat akar dalam kebudayaan bangsa Indonesia. Pancasila sudah mengakar dalam kepribadian bangsa, maka dapat diterima sebagai dasar negara yang mengatur hidup ketatanegaraan. Menurut Kaelan (2009: 46), pancasil mempunyai peranan dan fungsi dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, seperti pancasila sebagai jati diri bangsa, pancasila sebagai ideologi bangsa dan negara Indonesia, pancasila sebagai dasar filsafat negara, pancasila sebagai asas persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia.

Pancasila sebagai dasar negara, maka mengamalkan dan mengamankan pancasila sebagai dasar negara mempunyai sifat impreatif dan memaksa, artinya setiap warga negara Indonesia harus tunduk dan taat kepadanya. Artinya siapa saja yang melanggar hukum harus ditindak menurut hukum yang berlaku di negara Indonesia. Sedangkan menurut Kansil (2005), pengamalan pancasila adalah pengalaman pancasila sebagai welltaunschuang yaitu pelaksanaan pancasila dalam kehidupan sehari-hari tidak disertai sanksi-sanksi hukum tetapi mempunyai sifat mengikat, artinya setiap masyarakat Indonesia terikat dengan cita-cita yang terkandung di dalamnya sepanjang tidak melanggar peraturan perundang-undangan yang berlaku.