Apa yang dimaksud dengan Identitas Diri atau Self Identity?

Identitas diri adalah identitas yang menyangkut kualitas “eksistensi” dari subjek, yang berarti bahwa subjek memiliki suatu gaya pribadi yang khas. Oleh karena itu, identitas diri berarti mempertahankan suatu gaya keindividualitasan diri sendiri.

Apa yang dimaksud dengan Identitas Diri atau Self Identity ?

Identitas diri (self identity) diungkap Erik Erikson sebagai kesadaran seseorang akan siapa dirinya dan apa yang dipertahankannya. James E.Marcia (1991) melakukan serangkaian penelitian mengenai identitas diri. Dijelaskan bahwa tidak semua individu mengalami krisis identitas. Dan tidak semua individu mengembangkan komitmen pada peran hidupnya atau pada peran- peran yang dimilikinya. Menurut Marcia, ada empat status diri yang dikategorikannya berdasar adanya krisis identitas dan komitmen.

Tabel Tipe Status Diri (Marcia, dalam Rathus & Nevid, 2002)
Identitas diri

Konsep self-identity didefinisikan sebagai sebuah penilaian terintegrasi seorang individu terhadap citra dirinya sendiri sebagai seseorang yang unik, yang membedakan dirinya dengan orang lain (Bernstein DA et al, 1994). Selain itu, secara etimologi, identitas dalam pengertian ini hanya berkaitan dengan identitas personal seorang individu, bukan pengalamannya (Joseph A Bailey, 2003).

Identitas diri adalah proses menjadi seorang individu yang unik dengan peran yang penting dalam hidup (Papalia, 2008), suatu kesadaran akan kesatuan dan kesinambungan pribadi, serta keyakinan yang relatif stabil sepanjang rentang kehidupan (Desmita, 2008), dan merupakan:

  • pengorganisasian dorongan-dorongan (drives),
  • kemampuan-kemampuan (abilities),
  • keyakinan-keyakinan (beliefs), dan
  • pengalaman kedalam citra diri (image of self) yang konsisten yang meliputi
    kemampuan memilih dan mengambil keputusan, baik menyangkut pekerjaan,
    orientasi seksual, dan filsafah hidup (Woolfolk, dalam Yusuf, 2011).

Bila seseorang telah memperoleh identitas, maka ia akan menyadari ciri-ciri khas kepribadiaanya, seperti kesukuan atau ketidaksukuannya, aspirasi, tujuan masa depan yang diantisipasi, perasaan bahwa ia dapat dan harus mengatur orientasi hidupnya (Desmita, 2008).

Erikson merupakan ahli yang pertama kali menyajikan teori yang cukup komprehensif dan provokatif tentang perkembangan identitas diri terutama pada masa remaja. Teori Erikson dikenal juga sebagai “ego psychology” yang menekankan pada konsep bahwa “diri (self)” diatur oleh ego bawah sadar/unconcious ego serta pengaruh yang besar dari kekuatan sosial dan budaya di sekitar individu (Muus, 1996).

Ego bawah sadar ini menyediakan seperangkat cara dan aturan untuk menjaga kesatuan berbagai aspek kepribadian serta memelihara individu dalam keterlibatannya dengan dunia sosial, termasuk menjalankan tugas penting dalam hidup yakni mendapatkan makna dalam hidup.

Pengertian Identitas diri yang dimaksud Erikson dirangkum menjadi beberapa bagian (Erickson, 1989), yakni :

  1. Identitas diri sebagai intisari seluruh kepribadian yang tetap tinggal sama dalam diriseseorang walaupun situasi lingkungan berubah dan diri menjadi tua.

  2. Identitas diri sebagai keserasian peran sosial yang pada prinsipnya dapatberubah dan selalu mengalami proses pertumbuhan.

  3. Identitas diri sebagai “gaya hidupku sendiri” yang berkembang dalamtahap-tahap terdahulu dan menetukan cara-cara bagaimana peran sosial diwujudkan.

  4. Identitas diri sebagai suatu perolehan khusus pada tahap remaja dan akan diperbaharui dan disempurnakan setelah masa remaja.

  5. Identitas diri sebagai pengalaman subjektif akan kesamaan sertakesinambungan batiniahnya sendiri dalam ruang dan waktu.

  6. Identitas diri sebagai kesinambungan dengan diri sendiri dalam pergaulandengan orang lain.

Dari beberapa keterangan mengenai identitas dapat disimpulkan bahwa identitas merupakan suatu persatuan. Persatuan yang terbentuk dari azas-azas, cara hidup, pandangan-pandangan yang menentukan cara hidup selanjutnya. Persatuan ini merupakan inti pada seseorang yang menentukan cara meninjau diri sendiri dalam pergaulan dan tinjauanya keluar dirinya (Gunarsa, 2003).

Identitas diri adalah mengenal dan menghayati dirinya sebagai pribadi sendiri serta tidak tenggelam dalam peran yang dimainkan, misalnya sebagai anak, teman, pelajar, atupun teman sejawat. Identifikasi diri muncul ketika anak muda memilih nilai dan orang tempat dia memberikan loyalitasnya, bukan sekadar mengikuti pilihan orangtuanya. Orang yang sedang mencari identitasnya adalah orang yang ingin menentukan siapakah atau apakah yang dia inginkan pada masa mendatang.

Istilah pencarian identitas diri sebagai sebuah upaya untuk meneguhkan suatu konsep diri yang bermakna, merangkum semua pengalaman berharga di masa lalu, realitas keyakinan yang terjadi termasuk juga aktivitas yang dilakukan sekarang serta harapan di masa yang akan datang menjadi sebuah kesatuan gambaran tentang „diri‟ yang utuh, berkesinambungan dan unik (Muus, 1996).

Burns (1993) menambahkan bahwa ego yang dimaksud Erikson merupakan,

“Subjek aktif yang berperan sebagai agen pusat pengorganisasian sedangkan “diri” merupakan objek. Ide ini diperluas secara sosial, sehingga identitas diri merupakan hasil yang muncul dari pengalaman dalam kontek skultural".

Erikson sangat memberi penekanan pada pengaruh sosial dalam perkembangan seorang individu. Dalam istilah Erikson yang dimaksud sebagai psikososial adalah kecocokan timbal balik antara individu dengan lingkungannya artinya suatu pihak antara kapasitas individu untuk berhubungan dengan suatu ruang kehidupan yang terdiri atas manusia dan pranata-pranata yang selalu bertambah luas. Di pihak lain, kesiapan manusia dan pranata ini untuk membuatnya menjadi bagian dari suatu keprihatinan budaya yang tengah berlangsung.

Identitas diri muncul sebagai hasil positif dari integrasi bertahap semua proses identifikasi remaja, karena itu Erikson merinci delapan tahap perkembangan manusia yang masing-masing mengandung dua kemungkinan yang saling berlawanan. Setiap tahap menunjukkan perkembangan potensial dan tantangan yang baru yang disebut Erikson sebagai krisis normatif yang merupakan titik balik perkembangan seseorang.

Jika seseorang berhasil melewati suatu tahapan krisis normatif, maka individu akan memperoleh hasil yang positif dan menguntungkan bagi dirinya. Sebaliknya, kegagalan pada suatu tahap akan menyumbangkan potensi negatif dan menjadi penghambat bagi perkembangan selanjutnya.

Definisi Identitas


Menurut Erikson (dalam Corsini, 2002), identitas adalah suatu perasaan tentang menjadi seseorang yang sama, perasaan tersebut melibatkan sensasi fisik dari tubuh, body image, tujuan, nilai-nilai, dan pengalaman yang dimiliki oleh seseorang, suatu perasaan yang berhubungan dengan rasa keunikan dan kemandirian. Marcia (dalam Papalia, 2007) juga telah mendefinisikan identitas sebagai konstruksi diri dan organisasi dinamis atas dorongan, kemampuan, kepercayaan, dan sejarah diri yang berlangsung secara internal. Erikson (dalam Santrock, 2011) berpendapat bahwa identitas merupakan sebuah aspek kunci dari perkembangan remaja. Identitas merupakan potret diri yang terdiri atas banyak bagian seperti identitas karir, identitas politik, identitas agama, identitas intelektual, minat, budaya, kepribadian, dan lain-lain (Santrock, 2011). Identitas juga dapat diartikan sebagai konsep diri yang terdiri dari tujuan, nilai-nilai dan keyakinan seseorang yang memiliki komitmen (Papalia, Olds, & Feldman, 2007)

Berdasarkan pemaparan mengenai “diri ( self )” dan “identitas ( identity )”, dapat diambil definisi mengenai identitas diri yaitu suatu pengakuan dan perasaan yakin akan identitas personal individu yang membutuhkan proses berpikir yang cukup lama dan rumit untuk menjadi seorang “aku” yang berbeda dengan orang lain disekitarnya demi mendapatkan arti atau makna untuk kehidupannya sendiri. Identitas diri juga merupakan suatu kesadaran dan kesinambungan diri dalam mengenali dan menerima kekhasan pribadi, peran, komitmen, orientasi dan tujuan hidup sehingga individu tersebut mampu berperilaku sesuai kebutuhan dirinya dan harapan masyarakat.

Menurut Erikson seseorang yang sedang mencari identitas akan berusaha “menjadi seseorang”, yang berarti berusaha mengalami diri sendiri sebagai “AKU” yang bersifat sentral, mandiri, unik, yang mempunyai suatu kesadaran akan kesatuan batinnya, sekaligus juga berarti menjadi “seseorang” yang diterima dan diakui oleh orang banyak. Lebih jauh dijelaskan bahwa orang yang sedang mencari identitas adalah orang yang ingin menentukan “siapakah” atau “apakah” yang diinginkannya pada masa mendatang. Bila mereka telah memperoleh identitas, maka ia akan menyadari ciri-ciri khas kepribadiannya, seperti kesukaan atau ketidaksukaannya, aspirasi, tujuan masa depan yang diantisipasi, perasaan bahwa ia dapat dan harus mengatur orientasi hidupnya. Identitas diri diartikan pula sebagai suatu persatuan yang terbentuk dari asas-asas atau cara hidup, pandangan-pandangan yang menentukan cara hidup selanjutnya( Desmita, 2005).

Menurut Erikson (1968), identitas diri adalah mengenal dan menghayati dirinya sebagai pribadi sendiri serta tidak tenggelam dalam peran yang dimainkan, misalnya sebagai anak, teman, pelajar, atupun teman sejawat. Identifikasi diri muncul ketika anak muda memilih nilai dan orang tempat dirinya memberikan loyalitasnya, bukan sekadar mengikuti pilihan orangtuanya. Orang yang sedang mencari identitasnya adalah orang yang ingin menentukan siapakah atau apakah yang dia inginkan pada masa mendatang.

Erikson (1968) juga menjelaskan bahwa identitas diri merupakan sebuah kondisi psikologis secara keseluruhan yang membuat individu menerima dirinya, memiliki orientasi dan tujuan dalam mengarahkan hidup serta keyakinan internal dalam mempertimbangkan beberapa hal. Kemudian Erikson menyebutkan istilah pencarian identitas diri sebagai sebuah upaya untuk meneguhkan suatu konsep diri yang bermakna, merangkum semua pengalaman berharga di masa lalu, realitas keyakinan yang terjadi termasuk juga aktivitas yang dilakukan sekarang serta harapan di masa yang akan datang menjadi sebuah kesatuan gambaran tentang ‘diri’ yang utuh, berkesinambungan dan unik (dalam Muus, 1996).

Sedangkan menurut Waterman (1984), identitas berarti memiliki gambaran diri yang jelas meliputi sejumlah tujuan yang ingin dicapai, nilai, dan kepercayaan yang dipilih oleh individu tersebut. Komitmen-komitmen ini meningkat sepanjang waktu dan telah dibuat karena tujuan, nilai dan kepercayaan yang ingin dicapai dinilai penting untuk memberikan arah, tujuan dan makna pada hidup (LeFrancois, 1993).

Kemudian Marcia (1993) juga mengatakan bahwa identitas diri merupakan komponen penting yang menunjukkan identitas personal individu. Semakin baik struktur pemahaman diri seseorang berkembang, semakin sadar individu akan keunikan dan kemiripan dengan orang lain, serta semakin sadar akan kekuatan dan kelemahan individu dalam menjalani kehidupan. Sebaliknya, jika kurang berkembang maka individu semakin tergantung pada sumber-sumber eksternal untuk evaluasi diri.

Dimensi Identitas


Menurut Erikson (dalam Santrock, 2003) identitas melibatkan tujuh dimensi, antara lain:

  1. Genetik
    Hal ini bekaitan dengan suatu sifat yang diwariskan oleh orang tua pada anaknya. Orang tua sangat mempengaruhi sifat yang akan dimiliki anaknya di kemudian hari. Sifat inilah yang akan memberikan sesuatu yang berbeda antara individu satu dengan individu lainnya, terutama di dalam menjalankan kehidupannya.

  2. Adaptif
    Identitas adalah penyesuaian remaja mengenai keterampilan-keterampilan khusus, dan bagaimana remaja tersebut dapat menyesuaikan diri dengan masyarakat di lingkungan tempat tinggalnya. Sejauh mana keterampilan atau kemampuannya tersebut dapat diterima oleh masyarakat dilingkungan tempat tinggalnya ataukah masyarakat tidak menerima keterampilan yang dimilikinya.

  3. Struktural
    Hal ini terkait dengan perencanaan masa depan yang telah disusun oleh remaja, atau dengan kata lain remaja telah mempersiapkan kehidupan di masa depannya. Namun bukan berarti tidak ada hambatan dalam menjalankan rencana masa depannya ini. Seringkali apa yang telah direncanakan tidak berjalan sesuai dengan yang diharapkan bisa jadi rencana tersebut mengalami suatu kemunduran (deficit structural) atau bahkan bisa tidak sama sekali terwujud.

  4. Dinamis
    Proses ini muncul dari identifikasi masa kecil individu dengan orang dewasa yang kemudian dapat membentuk suatu identitas yang baru di masa depannya ataukah sebaliknya, proses identifikasi tersebut tidak berpengaruh pada identitasnya melainkan yang berpengaruh adalah pemberian peran dari masyarakat terhadap remaja.

  5. Subjektif atau berdasarkan pengalaman
    Individu yang mempunyai pengalaman akan berbeda dengan individu yang sama sekali belum memiliki pengalaman. Erikson (dalam Santrock, 2003) menjelaskan bahwa individu yang telah memiliki pengalaman sebelumnya, individu tersebut akan merasakan suatu kepastian dalam dirinya. Dengan adanya pengalaman maka akan banyak alternatif yang dapat kita jadikan pedoman untuk melangkah dengan lebih yakin ke arah depan atau semakin banyak pengalaman maka akan semakin timbul antisipasi dalam melakukan berbagai hal yang belum kita ketahui secara pasti konsekuensinya.

  6. Timbal balik psikososial
    Erikson (dalam Santrock, 2003) menekankan hubungan timbal balik antara remaja dengan dunia dan masyarakat sosialnya. Perkembangan identitas tidak hanya terbentuk oleh diri kita sendiri melainkan melibatkan hubungan dengan orang lain, komunitas dan masyarakat.

  7. Status eksistensial
    Erikson (dalam Santrock, 2003) berpendapat bahwa remaja mencari arti dalam hidupnya sekaligus arti dari hidup secara umum. Dalam hal ini remaja ingin merasakan apa yang dinamakan dengan makna hidup, ingin diakui keberadaanya di dalam masyarakat dengan peran sosial yang dijalankan serta keterampilan yang dimilikinya.

Identitas diri adalah proses menjadi seorang individu yang unik dengan peran yang penting dalam hidup (Papalia, 2008), suatu kesadaran akan kesatuan dan kesinambungan pribadi, serta keyakinan yang relatif stabil sepanjang rentang kehidupan (Desmita, 2008), dan merupakan pengorganisasian dorongan-dorongan (drives), kemampuan-kemampuan (abilities), keyakinan-keyakinan (beliefs), dan pengalaman kedalam citra diri (image of self) yang konsisten yang meliputi kemampuan memilih dan mengambil keputusan, baik menyangkut pekerjaan, orientasi seksual, dan filsafah hidup (Woolfolk, dalam Yusuf, 2011).

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Identitas


Soetijiningsih (2004) mengemukakan beberapa faktor yang dapat mempengaruhi perkembangan identitas seseorang, yaitu;

  1. Keluarga
    Orang tua adalah sosok yang penting dalam perkembangan identitas remaja (Santrock, 2003). Salah satu faktor yang berkaitan dengan perkembangan identitas remaja adalah iklim keluarga. Iklim keluarga yang sehat, yaitu interaksi sosioemosional diantara anggota keluarga (ibu-ayah, orang tua-anak, dan anak- anak) sikap dan perlakuan orang tua terhadap anak berjalan dengan harmonis dan penuh kasih sayang, remaja akan mampu mengembangkan identitasnya secara realistik dan stabil (stabil). Sebaliknya, dengan iklim keluarga yang kurang sehat, ramaja akan mengalami kegagalan dalam mencapai identitasnya secara matang, mereka akan mengalami kebingungan, konflik atau frustasi.

  2. Reference group
    Reference group merupakan kelompok-kelompok yang terbentuk ketika memasuki masa remaja. Pada umumnya remaja menjadi anggota kelompok usia sebaya (peer group) (Seotijiningsih. 2004). Misalnya kelompok agama atau kelompok yang berdasarkan kesamaan minat tertentu. Teman sebaya merupakan kelompok acuan bagi seorang anak untuk mengidentifikasi dirinya dan untuk mengikuti standar kelompok. Sejak seorang remaja menjadi bagian dari kelompok teman sebaya tersebut, identitas dirinya sudah mulai terbentuk, karena teman sebaya membantu remaja untuk memahami identitas diri (jati/diri) sebagai suatu hal yang sangat penting. Melalui kelompok tersebut remaja dapat memperoleh nilai-nilai dan peran yang dapat menjadi acuan bagi dirinya.

  3. Significant other
    Yaitu merupakan seorang yang sangat berarti, seperti sahabat, guru, kakak, bintang olahraga atau bintang film atau siapapun yang dikagumi. Orang- orang tersebut menjadi tokoh ideal (idola) karena mempunyai nilai-nilai ideal bagi remaja dan mempunyai pengaruh yang cukup besar bagi perkembangan identitas diri, karena pada saat ini remaja giat-giatnya mencari model. Tokoh ideal tersebut dijadikan model atau contoh dalam proses identifikasi. Remaja cenderung akan menganut dan menginternalisasikan nilai-nilai yang ada pada idolanya tersebut ke dalam dirinya. Sehingga remaja sering berperilaku seperti tokoh idealnya dengan meniru sikap maupun perilakunya dan bahkan merasa seolah-olah menjadi seperti mereka (Seotjiningsih, 2004).

Perkembangan Status Identitas


Menurut Marcia, pembentukan identitas diri memerlukan adanya dua elemen penting, yaitu eksplorasi (krisis) dan komitmen. Eksplorasi menunjuk pada suatu masa di mana seseorang berusaha menjelajahi berbagai alternatif pilihan yang ada, serta menetapkan dan memberikan perhatian terhadap alternatif tersebut.

Sedangkan komitmen merujuk pada usaha membuat keputusan mengenai pekerjaan atau ideologi, serta menentukan berbagai strategi untuk merealisasikan keputusan tersebut. Seseorang dikatakan memiliki komitmen bila elemen identitasnya berfungsi mengarahkan tindakannya, dan selanjutnya tidak membuat perubahan yang berarti terhadap elemen identitas tersebut.

Aspek-Aspek Status Identitas


Dalam studi empirik tentang perkembangan identitas, Marcia membagi aspek-aspek identitas yaitu :

  1. Aspek pekerjaan, merupakan kesadaran remaja akan keberadaan dirinya berkaitan dengan kemampuan menyelesaikan konflik dalam memilih pekerjaan.

  2. Aspek keyakinan agama, merupakan kesadaran remaja akan keberadaan dirinya berkaitan dengan kemampuan menyelesaikan konflik dalam keyakinan agama.

  3. Aspek politik, merupakan kesadaran remaja akan keberadaan dirinya berkaitan dengan kemampuan menyelesaikan konflik dalam menganut paham politik tertentu.

Identitas Diri (Self Identity)

Berdasarkan pemaparan mengenai “diri (self) ” dan “identitas (identity) ”, dapat diambil definisi mengenai identitas diri yaitu suatu pengakuan dan perasaan yakin akan identitas personal individu yang membutuhkan proses berpikir yang cukup lama dan rumit untuk menjadi seorang “aku” yang berbeda dengan orang lain disekitarnya demi mendapatkan arti atau makna untuk kehidupannya sendiri. Identitas diri juga merupakan suatu kesadaran dan kesinambungan diri dalam mengenali dan menerima kekhasan pribadi, peran, komitmen, orientasi dan tujuan hidup sehingga individu tersebut mampu berperilaku sesuai kebutuhan dirinya dan harapan masyarakat.

Menurut Erikson seseorang yang sedang mencari identitas akan berusaha “menjadi seseorang”, yang berarti berusaha mengalami diri sendiri sebagai “AKU” yang bersifat sentral, mandiri, unik, yang mempunyai suatu kesadaran akan kesatuan batinnya, sekaligus juga berarti menjadi “seseorang” yang diterima dan diakui oleh orang banyak. Lebih jauh dijelaskan bahwa orang yang sedang mencari identitas adalah orang yang ingin menentukan “siapakah” atau “apakah” yang diinginkannya pada masa mendatang. Bila mereka telah memperoleh identitas, maka ia akan menyadari ciri-ciri khas kepribadiannya, seperti kesukaan atau ketidaksukaannya, aspirasi, tujuan masa depan yang diantisipasi, perasaan bahwa ia dapat dan harus mengatur orientasi hidupnya. Identitas diri diartikan pula sebagai suatu persatuan yang terbentuk dari asas-asas atau cara hidup, pandangan-pandangan yang menentukan cara hidup selanjutnya( Desmita, 2005).

Menurut Erikson (1968), identitas diri adalah mengenal dan menghayati dirinya sebagai pribadi sendiri serta tidak tenggelam dalam peran yang dimainkan, misalnya sebagai anak, teman, pelajar, atupun teman sejawat. Identifikasi diri muncul ketika anak muda memilih nilai dan orang tempat dirinya memberikan loyalitasnya, bukan sekadar mengikuti pilihan orangtuanya. Orang yang sedang mencari identitasnya adalah orang yang ingin menentukan siapakah atau apakah yang dia inginkan pada masa mendatang.

Erikson (1968) juga menjelaskan bahwa identitas diri merupakan sebuah kondisi psikologis secara keseluruhan yang membuat individu menerima dirinya, memiliki orientasi dan tujuan dalam mengarahkan hidup serta keyakinan internal dalam mempertimbangkan beberapa hal. Kemudian Erikson menyebutkan istilah pencarian identitas diri sebagai sebuah upaya untuk meneguhkan suatu konsep diri yang bermakna, merangkum semua pengalaman berharga di masa lalu, realitas keyakinan yang terjadi termasuk juga aktivitas yang dilakukan sekarang serta harapan di masa yang akan datang menjadi sebuah kesatuan gambaran tentang ‘diri’ yang utuh, berkesinambungan dan unik (dalam Muus, 1996).

Sedangkan menurut Waterman (1984), identitas berarti memiliki gambaran diri yang jelas meliputi sejumlah tujuan yang ingin dicapai, nilai, dan kepercayaan yang dipilih oleh individu tersebut. Komitmen-komitmen ini meningkat sepanjang waktu dan telah dibuat karena tujuan, nilai dan kepercayaan yang ingin dicapai dinilai penting untuk memberikan arah, tujuan dan makna pada hidup (LeFrancois, 1993).

Kemudian Marcia (1993) juga mengatakan bahwa identitas diri merupakan komponen penting yang menunjukkan identitas personal individu. Semakin baik struktur pemahaman diri seseorang berkembang, semakin sadar individu akan keunikan dan kemiripan dengan orang lain, serta semakin sadar akan kekuatan dan kelemahan individu dalam menjalani kehidupan. Sebaliknya, jika kurang berkembang maka individu semakin tergantung pada sumber-sumber eksternal untuk evaluasi diri.

Referensi

http://digilib.uinsby.ac.id/11373/5/babii.pdf

Identitas diri adalah perasaan subjektif tentang diri yang konsisten dan berkembang dari waktu ke waktu yang melalui proses eksplorasi dan komitmen (Husni & Eko, 2013). Menurut Chaplin (2011), identitas diri merupakan diri atau aku sebagai individu atau sebagai makhluk sadar akan dirinya sebagai aku meliputi sifat karakteristik yang pokok.

Berzonsky (dalam Sunarni, 2015) mengembangkan tiga model pembentukan identitas diri sosial-kognitif yang terdiri dari: informative, normatif dan penolakan. Ketiga model ini dikembangkan berdasarkan perbedaan prioses sosial dan kognitif yang dilakukan oleh individu dalam mengatasi konflik identitas dan pengambilan keputusan.

Sedangkan menurut Woolfolk (dalam Yusuf, 2006), identitas diri merujuk kepada perorganisaian atau pengaturan dorongan-dorongan, kemampuan-kemampuan dan keyakinan-keyakinan ke dalam citra diri secara konsisten yang meliputi kemampuan memilih dan mengambil keputusan baik menyangkut pekerjaan, orientasi seksual dan filsafat hidup.

Menurut Marcia (1996), identitas diri terdiri atas identitas-identitas status yang didalamnya terdapat krisis dan komitmen. Krisis dalam hal ini merupakan periode perkembangan identitas ketika individu mengeksplorasi alternative, sedangkan komitmen merupakan investasi pribadi dalam identitas.

Aspek-aspek Identitas Diri

Adapun apek identitas diri menurut Marcia mencakup 4 konsep status identitas. Keempat status identitas tersebut (Marcia, 1966) adalah:

  1. Achievement Identity
    Seorang individu dikatakan telah memiliki identitas, jika dirinya telah mengalami krisis dan ia dengan penuh tekad mampu menghadapinya dengan baik. Justru dengan adanya krisis akan mendorong dirinya untuk membuktikan bahwa dirinya mampu menyelesaikannya dengan baik. Walaupun kenyataannya ia harus mengalami kegagalan, tetapi bukanlah akhir dari upaya untuk mewujudkan protes dirinya.

  2. Foreclosure Identity
    Identitas itu ditandai dengan tidak adanya suatu krisis, tetapi ia memiliki komitmen atau tekad. Sehingga individu seringkali berangan-angan tentang apa yang ingin dicapai dalam hidupnya, tetapi seringkali tidak sesuai dengan kenyataan yang dihadapainya. Akibatnya, ketika individu dihadapkan pada masalah realitas, tidak mampu menghadapi dengan baik. Bahkan kadang-kadang melakukan mekanisme pertahanan diri seperti ; rasionalisasi, regresi pembentukan reaksi dan sebagainya.

  3. Moratorium Identity
    Identitas ini ditandai dengan adanya krisis, tetapi ia tidak memiliki kemauan kuat (tekad) untuk menyelesaikannya masalah krisis tersebut. Ada dua kemungkinan tipe individu ini, yaitu:

    • Individu yang menyadari adanya suatu krisis yang harus diselesaikan, tetapi ia tidak mau menyelesaikannya.

    • Orang yang memang tidak menyadari tugasnya, namun juga tidak memiliki komitmen.

  4. Diffusion Identity

Orang tipe ini, yaitu orang mengalami kebingungan dalam mencapai identitas. Ia tidak memiliki krisis dan juga tidak memiliki tekad untuk menyelesaikannya (Marcia, 1966).

Faktor Pembentuk Identitas Diri

Pembentukan identitas diri merupakan proses yang panjang, kompleks, dan sifatnya berlanjut dari masa lalu, sekarang dan yang akan datang dari kehidupan individu, selanjutnya hal ini akan membentuk kerangka berfikir untuk mengorganisasikan dan mengintegrasikan perilaku dalam berbagai ranah kehidupan.

Berkaitan dengan pembentukan identitas, Yoder (dalam Muttaqin & Ekwarni, 2016) menjelaskan bahwa pembentukan identitad tergantung kesempatan, harapan, dan kebebasan yang dimiliki individu. Individu harus sadar bahwa mereka memiliki kesempatan untuk mengeksplorasi dan mengevaluasi altenatif identitas.