Apa yang dimaksud dengan Hukum Laut Internasional?

hukum laut internasional

Hukum Laut Internasional adalah kaidah-kaidah hukum yang mengatur hak dan kewenangan suatu negara atas kawasan laut yang berada dibawah yurisdiksi nasionalnya (national jurisdiction).

Apa yang dimaksud dengan Hukum Laut Internasional ?

Definisi hukum laut menurut Albert W. Koers dalam bukunya Konvensi PBB tentang hukum laut terjemahan Rudi M. Rizki dan Wahyuni B adalah :

“Sekumpulan atau serangkaian peraturan yang menyangkut tentang wilayah laut” (Koers, 1994:5).

Dua perkembangan penting setelah berakhirnya Perang Dunia II, adalah :

  1. Penerimaan Umum atas Landas kontinen Zona Ekonomi Eksklusif.

  2. Keputusan-keputusan International Court of Justice dalam perkara Anglo Norwegian Fisheries Case (yaitu mengenai pertimbangan bahwa jalur maritim bukanlah suatu perluasan semua terbatas dari wilayah kekuasaan daratan suatu negara sebagai suatu wilayah tambahan yang berdampingan) dimana demi alasan-alasan ekonomi, keamanan, dan geografis negara pesisir itu berhak untuk melaksanakan hak-hak kedaulatan eksklusif, yang hanya tunduk pada pembatasan-pembatasan seperti hak lintas damai dari kapal-kapal asing (Rudy, 2006 : 2).

Sejak laut dimanfaatkan sebagai jalur pelayaran, perdagangan dan sebagai sumber kehidupan seperti penagkapan ikan, semenjak itu pulalah ahli-ahli hukum mulai memusatkan perhatiannya pada hukum laut. Ahli-ahli hukum berusaha meletakkan konsep-konsep dasar tentang hukum laut, seperti halnya

Summer yang membagi teori-teori tentang lautan secara legalistic dalam empat bagian:

  • Perairan pedalaman
  • Laut Teritorial
  • Zona Tambahan
  • Laut lepas.

Dalam perkembangannya hukum laut melewati beberapa konsepsi yaitu :

  • Konsepsi Cornelius van Bijnkerhoek 1702.
  • Konferensi Liga Bangsa-bangsa di Den Haag tahun 1930.
  • Konsepsi UNCLOS I I958.
  • Konsepsi UNCLOS II 1960.
  • Konsepsi UNCLOS III 1982 (Rudi, 2006 :2-8).

Konferensi PBB mengenai hukum laut yang pertama dan kedua (tahun 1958 dan 1960) belum dapat menyelesaikan beberapa masalah, seperti :

  • Lebar laut teritorial secara tepat.
  • Masalah lintas damai bagi kapal-kapal perang setiap waktu melintasi selat- selat yang merupakan jalan raya maritim internasional dan yang seluruhnya merupakan perairan laut territorial.
  • Hal lintas dan terbang lintas dalam hubungannya dengan perairan kepulauan.
  • Masalah perlindungan dan konservasi spesies-spesies khusus untuk kepentingan ilmiah atau fasilitas kepariwisataan.

Pada tahun 1973 diadakan Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut yang ke III, yang dikenal sebagai United Nations Conference on the Law of the Sea (UNCLOS). Konferensi ini berakhir dengan pengesahan naskah akhir konvensi dan penandatanganannya di Montego Bay, Jamaica pada tanggal 10 Desember 1982 oleh 119 negara dan mencakup hal-hal :

  1. Kodifikasi ketentuan-ketentuan hukum laut yang ada, misalnya kebebasan- kebebasan dilaut lepas dan hak lintas damai dilaut territorial.

  2. Pengembangan hukum laut yang sudah ada, seperti ketentuan mengenai lebar laut territorial menjadi maksimum 12 mil laut dan kriteria landas kontinen.

  3. Penciptaan aturan-aturan baru, seperti asas Negara kepulauan, zona ekonomi eksklusif dan penambangan didasar laut internasional (Rudy, 2006:17-18).

Adapun yang menjadi sasaran utama dalam Konvensi Hukum Laut PBB 1982 ini yaitu :

  • Konvensi akan mendorong pemeliharaan perdamaian dan keamanan internasioanal karena, meskipun banyak klaim yang bertentangan oleh negara-negara pantai, namun secara universal telah disepakati batas-batas mengenai laut territorial, mengenai zona tambahan, mengenai zona ekonomi eksklusif dan mengenai landas kontinen;

  • Kepentingan masyarakat internasional dalam hal kebebasan pelayaran di perairan maritim akan diperlancar oleh adanya kompromi mengenai status zona ekonomi eksklusif, dengan rezim hukum lintas damai melalui laut territorial, dengan rezim hukum lintas transit melalui selat-selat yang digunakan untuk pelayaran internasional, dan dengan rezim hukum lintas alur laut kepulauan.

  • Kepentingan masyarakat internasional dalam hal pelestarian dan pemanfaatan kekayaan hayati laut akn ditingkatkan dengan melalui pelaksanaan sungguh-sungguh ketentuan konvensi yang berkaitan dengan zona ekonomi eksklusif

  • Ketentuan baru yang penting telah dibuat guna melindungi dan melestarikan lingkungan laut dari pencemaran.

  • Konvensi memuat ketentuan baru mengenai ilmiah kelautan yang mengupayakan keseimbangan yang layak antara kepentingan Negara- negara pantai di zona ekonomi eksklutif serta dilandas kontinen di mana penelitian tersebut dilakukan.

  • Kepentingan masyarakat internasional dalam hal penyelesaian secara damai penyelesaian sengketa internasional akan dilakukan dengan sistem penyelesaian sengketa wajib sebagaimana diatur dalam konversi.

  • Prinsip bahwa kekayaan dasar laut dalam merupakan warisan bersama umat manusia telah dijabarkan dalam lembaga dan persetujuan yang adil dan dapat dilaksanakan.

  • Unsur - unsur kesederajatan internasional dapat dijumpai dalam konvensi seperti pembagian hasil di landas kontinen di luar batas 200 mil, yang memberikan akses kepada negara-negara tidak berpantai dan negara- negara yang keadaan geografisnya tidak menguntungkan untuk menuju sumber-sumber kekayaan hayati di zona ekonomi eksklusif negara-negara tetanggannya, hubungan-hubungan antara nelayan-nelayan jarak jauh, dan pembagian keuntungan dari eksploitasi sumber kekayaan alam di dasar laut (Tunggal, 2010 : 1).

image

Adapun ketentuan-ketentuan dalam UNCLOS yaitu :

a. Laut Teritorial dan Zona Tambahan

Menurut Konvensi Hukum Laut 1982, kedaulatan dari negara pantai menyambung keluar dari wilayah daratan dan perairan pedalamannya atau perairan kepulauannya ke kawasan laut yang disebut Laut Teritorial. Kedaulatan ini menyambung ke ruang udara di atas laut teritorial, demikian pula ke dasar lautan dan tanah dibawahnya, serta negara-negara akan melaksanakan kedaulatannya atas laut territorial dengan memperhatikan ketentuan-ketentuan konvensi ini dan aturan-aturan lain dari hukum laut internasional (Anwar, 1989: 20).

Batas laut teritorial tidak melebihi 12 mil laut diukur dari garis pangkal normal. Untuk negara-negara kepulauan yang mempunyai karang-karang di sekitarnya, garis pangkalnya adalah garis pasang surut dari sisi karang ke arah laut. Bagian ini juga membahas tentang perairan kepulauan, mulut sungai, teluk, instalasi pelabuhan, penetapan garis batas laut teritorial antara negara-negara yang pantainya berhadapan atau berdampingan serta lintas damai (Rudy, 2006: 18).

Zona tambahan, menentukan bahwa Negara pantai dalam zona tersebut boleh melaksanakan pengawasan yang diperlukan guna mencegah pelanggaran undang-undang menyangkut bea cukai, fiscal, imigrasi, dan saniter dalam wilayahnya namun tidak boleh lebih dari 24 mil laut (Rudy, 2006:18).

b. Selat yang digunakan untuk Pelayaran Internasional

Rezim lintas melalui selat-selat yang digunakan untuk pelayaran internasional tak mempengaruhi status hukum perairannya atau pelaksanaan kedaulatan dan yuridiksi oleh negara yang berbatasan dengan selat-selat tersebut terhadap perairan, dasa laut, tanah dibawahnya serta ruang udara diatasnya (Rudy, 2006 :18).

Negara-negara selat, dengan memperhatikan ketentuan-ketentuan Konvensi, dapat membuat peraturan perundang-undangan mengenai lintas laut transit melalui selat tersebut yang bertalian dengan:

  1. Keselamatan pelayaran dan pengendalian pencemaran;
  2. Pencegahan, pengurangan dan pengendalian pencemaran;
  3. Pencegahan penangkapan ikan, termasuk penyimpanan alat penangkapan ikan dalam palka;
    Memuat atau membongkar komoditi, mata uang atau orang-orang, bertentangan dengan peraturan perundang-undangan bea cukai, fiskal, imigrasi dan kesehatan (Siahaan & Suhendi, 1989:326).

c. Zona Ekonomi Eksklusif

Merupakan suatu wilayah diluar dan berdampingan dengan laut territorial yang tidak melebihi jarak 200 mil laut.

Angka yang dikemukakan mengenai lebarnya zona ekonomi eksklusif adalah 200 mil atau 370,4 km. Dimana angka yang dikemukakan ini tidak menimbulkan kesukaran yang dapat diterima oleh negara-negara berkembang dan juga negara-negara maju. Semenjak dikemukakannya gagasan zona ekonomi, angka 200 mil dari garis pangkal tetap dijadikan pegangan.

Sekiranya lebar laut wilayah 12 mil sudah diterima, seperti kenyataan sekarang ini, sebenarnya lebar zona ekonomi tersebut 200 mil-12 mil = 188 mil. Sebagaimana telah dikemukakan, hak-hak negara pantai atas kedua zona laut tersebut berbeda yaitu kedaulatan penuh atas laut wilayah dan hak-hak berdaulat atas zona ekonomi untuk tujuan eksploitasi sumber-sumber kekayaan yang terdapat didaerah laut tersebut ( Mauna, 2005:365).

Adapun prinsip dari Zona Ekonomi Eksklusif yaitu bila negara pantai mempunyai kedaulatan penuh atas laut wilayahnya dan sumber-sumber kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, terhadap zona ekonomi eksklusif, Pasal 56 Konvensi hanya memberikan hak-hak berdaulat kepada negara pantai untuk keperluan eksplorasi, eksploitasi, konservasi dan pengelolaan sumber kekayaan alam baik hayati maupun non-hayati, dari perairan di atas dasar laut dan dari dasar laut dan tanah di bawahnya dan berkenaan dengan kegiatan lain untuk keperluan eksplorasi ekonomi zona tersebut, seperti produksi energi dari air, arus dan angin (Mauna, 2005:363-340).

d. Landas Kontinen

Landas kontinen suatu Negara meliputi dasar laut dan tanah dibawahnya dari daerah dibawah permukaan laut yang terletak diluar laut teritorialnya sepanjang kelanjutan alamiah diwilayah daratannya hingga pinggiran luar tepian kontinen atau hingga jarak 200 mil laut dari garis pangkal dimana lebar laut territorial diukur dalam hal pinggiran laut tepi kontinen tidak mencapai jarak tersebut berdasarkan Hukum Laut 1982 Pasal 76 KHL 1982.

e. Laut Lepas

Adalah bagian laut yang tidak termasuk dalam zona ekonomi eksklusif, lau territorial atau perairan pedalaman Negara-negara kepulauan. Juga membahas tentang hak pelayaran, imunitas yuridiksional dan kasus-kasus tabrakan atau kecelakaan-kecelakaan pelayaran lainnya.

f. Aturan Pulau

Sebuah pulau adalah suatu wilayah daratan yang terbentuk secara alamiah, yang dikelilingi oleh air yang ada diatas permukaan air pada air pasang. Laut territorial, zona tambahan, zona ekonomi eksklusif dan landas kontinen yang ditetapkan bagi pulau-pulau caranya sama dengan ketentuan-ketentuan Konvensi mengenai hal-hal tersebut dalam kaitannya dengan wilayah daratan lainnya, akan tetapi batu karang yang tidak dapat mendukung kediaman manusia atau kehidupan ekonomi tersendiri tidak mempunyai zona ekonomi eksklusif atau landas kontinen.

g. Laut Tertutup dan Setengah Tertutup

Yaitu suatu teluk, lembah laut atau laut yang dikelilingi oleh dua atau lebih Negara dan dihubungkan dengan laut lainnya atau samudera oleh suatu alur sempit atau yang seluruhnya atau sebagian terdiri dari laut territorial dan zona ekonomi eksklusif dua Negara atau lebih. Negara-negara yang berbatasan dengan suatu laut demikian harus bekerjasama berdasarkan konvensi.

h. Aturan akses Negara Tidak Berpantai Ke dan Dari Laut serta Kebebasan Transit

Yaitu aturan yang memberikan kebebasan transit kepada negara tak berpantai yang ditetapkan dengan perjanjian (Rudy, 2006:20).
Rejim ini berkaitan dengan hak negara-negara tersebut untuk ikut memanfaatkan sumber kekayaan alam yang terkandung dalam Zona Ekonomi Eksklusif dan Kawasan dasar laut internasional. Sesuai ketentuan-ketentuan dalam konvensi, pelaksanaan hak akses negara tidak berpanatai serta kebebasan transit melalui wilayah negara transit dan Zona Ekonomi Eksklusif perlu diatur dengan perjanjian bilateral subregional dan regional (Siahaan & Suhendi, 1989:330).

i. Kawasan Dasar Laut Internasional

Yaitu peraturan-peraturan mengenai penambangan sumber daya alam didasar laut.

j. Perlindungan dan Pelestarian Lingkungan Laut.

Memuat peraturan-peraturan pelestarian lingkungan laut dan pencegahan pencemaran lautan.

k. Riset Alamiah Pengembangan dan Alih Teknologi Kelautan, Penyelesaian Sengketa dan Ketentuan Penutup

Yaitu bagian yang mengatur mengenai riset kelautan bagi tujuan damai, memajukan teknologi kelautan, penyelesaian sengketa melalui Mahkamah Internasional dan prinsip itikad baik negara penandatangan Konvensi ( Rudy : 2006:18-19).

Dalam UNCLOS 1982 di kenal 8 zona pengaturan (regime) yang berlaku di laut, yaitu :

  1. Perairan Pedalaman (internal waters)
  2. Perairan kepulauan (archipelagic waters)
  3. Laut teritorial (territorial waters)
  4. Zona tambahan (contiguous zone)
  5. Zona ekonomi eksklusif (exclusive economic zone )
  6. Landas kontinen (continental shelf)
  7. Laut lepas (high seas)
  8. Kawasan dasar laut internasional (international seabed area) (Tunggal, 2010:39-40).

Pengertian & Perkembangan Hukum Laut Internasional


Pemakaian istilah hukum laut, baik nasional maupun internasional, tanpa penjelasan akan menimbulkan keragu-raguan, karena dalam perpustakaan hukum Belanda, istilah Zeerecht atau hukum laut biasa dipakai dalam arti yang lebih sempit. W.L.P.A Moelengraaf, H.F.A Vollmar, dan F.G Scheltemadalam Het Nieuwe Zeerehct, mempelajari hukum laut dalam bidang peraturan-peraturan hukum yang berhubungan dengan pelayaran kapal di laut, khususnya tentang pengangkutan barang atau orang dengan kapal laut. Pada intinya, kebanyakan para ahli mempelajari hukum laut dalam lingkungan hukum perdata, tidak meliputi hukum publik. Dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi saat ini pengaturan laut tidak hanya ditinjau dari aspek hukum perdatanya saja, tetapi justru lebih ditekankan pada aspek publik, mengingat aspek perdata hanya sebagian kecil dari persoalan hukum laut saat ini.

Hukum laut menjadi sangat luas pengaturannya, tidak hanya mempelajari pengaturan dalam bidang peraturan-peraturan hukum yang berhubungan dengan pelayaran kapal di laut, khususnya tentang pengangkutan barang atau orang dengan kapal laut saja, tetapi juga mengatur semua bidang yang berhubungan dengan laut termasuk juga pengaturan negara-negara dalam hal pemanfaatan laut.

Menurut Victor Situmorang, yang dimaksud dengan hukum laut adalah:

Suatu kumpulan dari peraturan-peraturan dan ketentuan-ketentuan yang mengatur lalu lintas laut. Maksud dan arti ini tentunya tidak tegas karena ―lalu lintas laut‖ bukan hanya mengenal hubungan antara warga negara dengan negara, melainkan juga hubungan berbagai negara yang satu dengan negara yang lain.

Sedangkan menurut Mochtar Kusumaatmadja hukum laut internasional adalah:

asas-asas atau kaedah-kaedah yang mengatur hubungan atau persoalan yang melintasi batas-batas negara-negara yang berkenaan dengan laut, baik yang berada di dalam wilayah maupun di luar wilayah atau laut bebas, baik dalam aktivitas pemanfaatannya maupun akibat negatif dari pemanfaatannya.

Berdasarkan pengertian-pengertian tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa hukum laut internasional adalah keseluruhan kaedah peraturan yang mengatur tentang laut, bagian-bagian laut (zona-zona laut) dan pemanfaatannya. Sejarah perkembangan hukum laut internasional mula-mula muncul di benua Eropa yaitu sebelum Imperium Roma dalam puncak kejayaannya menguasai seluruh tepi lautan tengah (Mediterania). Kerajaan-kerajaan Yunani, Phoechia, dan Rhodes mengklaim kekuasaan atas laut dengan pemilik kerajaan atas laut. Peraturan hukum laut Rhodes yang berasal dari abad ke-2 dan ke-3 sebelum Masehi, berpengaruh pula terhadap orang-orang Yunani dan Romawi. Pada masa kerajaan Imperium Roma seluruh laut tengah (Mediterania) berada di bawah kekuasaannya.

Persoalan kelautan pada masa itu tidaklah memerlukan pengaturan karena tidak ada pihak lain yang menentang dan menggugat kekuasaan mutlak Roma atas laut tengah. Dasar pemikiran penguasaan Romawi atas laut pada waktu itu, karena laut merupakan suatu res communis omnium, atau hak bersama umat manusia, hal ini menjadi asas yang digunakan dalam mengatasi persoalan kelautan dan merupakan suatu konsepsi penggunaan laut bebas atau terbuka bagi setiap orang.

Asas res communis omnium, mula-mula digunakan dalam arti hak bersama umat manusia untuk menggunakan laut sebagai sarana pelayaran yang bebas dari gangguan perompak (bajak laut), akan tetapi penggunaan laut semakin berkembang seperti untuk menangkap ikan, asas ini juga dijadikan dasar kebebasan dalam menangkap ikan. Disamping itu pada masa Romawi di kenal pula pemikiran yang menganggap laut sebagai res nullius, yaitu menganggap laut dapat dimiliki oleh siapapun, sehingga siapapun dapat menguasai, menduduki dan memilikinya.

Perkembangan hukum laut ini semakin pesat setelah runtuhnya Imperium Roma, karena beberapa negara sekitar laut tengah menuntut pembagian laut yang berbatasan dengan pantainya dengan alasan yang bermacam-macam. Seperti Venetia mengklaim sebagian besar dari laut Adriatik, Genoa mengklaim kekuasaan atas laut Liguria dan Pisa yang mengklaim laut Thyrenia. Oleh karena itu pendapat bahwa laut merupakan hak bersama umat manusia tidak disetujui atau didukung lagi oleh masyarakat internasional. Kemudian masyarakat internasional sepakat untuk diadakan pembagian terhadap wilayah-wilayah laut agar tidak terjadi masalah terhadap pemanfaatan laut.

Masyarakat Internasional menyadari bahwa untuk mengantisipasi berbagai masalah yang berkenaan dengan laut, tidaklah cukup diatur dengan konsepsi konferensi Den Haag 1930 yang diprakarsasi oleh Liga Bangsa-Bangsa (LBB) saja. Oleh karena itu diadakan konferensi yang melengkapi konferensi Den Haag 1930, yaitu Konferensi Jenewa 1958 yang diadakan pada tanggal 24 Februari sampai tanggal 27 April 1988 dan dihadiri oleh 86 negara. Dalam Konferensi ini menghasilkan empat konvensi, yaitu:

  1. Konvensi I tentang Laut Teritorial dan Zona Tambahan (Convention on the Territorial Sea and Contiguous Zone);
  2. Konvensi II tentang Laut bebas (Convention on the High Seas);
  3. Konvensi III tentang Perikanan dan Perlindungan Hayati Laut bebas (Convention on Fishing and Conservation Resources of the High Seas);
  4. Konvensi IV tentang Landas Kontinen (Convention on the Continental Shelf).

Dalam konferensi ini berhasil merumuskan empat konvensi tersebut, tetapi tidak menentukan bagaimana penetapan lebar wilayah laut teritorialnya sehingga masing-masing negara menetapkan lebar laut teritorial dengan caranya masingmasing. Untuk melengkapi pengaturan Konvensi Jenewa 1958, PBB kembali menyelenggarakan Konferensi Internasional mengenai hukum laut pada tahun 1982. Konferensi Hukum Laut 1982 melengkapi pengaturan terhadap penentuan batas-batas atau lebar wilayah laut teritorial masing-masing. Konferensi Hukum Laut1982 diadakan di Chili pada tahun 1973 tetapi baru terlaksana tahun 1972 di Ibu Kota Venezuela, Caracas. Konferensi Hukum Laut merupakan konferensi terbesar selama abad XX karena dihadiri oleh 160 negara peserta dan sekitar 5000 delegasi yang berlatar belakang disiplin ilmu, serta memakan waktu terlama yaitu selama 9 tahun (dari tahun 1973 hingga tahun 1982). Konferensi Hukum Laut 1982 menghasilkan United Nations Convention on the Law of the Sea 1982 (UNCLOS) yang dikenal dengan Konvensi Hukum Laut 1982 (KHL 1982). Konvensi tersebut merupakan konvensi dengan pengaturan yang paling lengkap dan telah berhasil disepakati oleh negara-negara. Hal ini terbukti sejak tahun 1994 berlakunya konvensi, pada tahun 1999 telah diratifikasi oleh 130 negara yang kemudian dijadikan sumber hukum laut internasional.

Sumber Hukum Laut Internasional


Sumber hukum dapat diartikan sebagai asal muasal dan tempat mengalir keluarnya hukum yang dapat digunakan sebagai tolak ukur, kriteria, dan sarana untuk menentukan isi, substansi, materi, dan keabsahan. Sumber hukum laut internasional tidak lepas dari hukum internasional umum. Karena hukum laut internasional merupakan cabang dari hukum internasional umum. Sumber hukum internasional (dalam arti formil) dapat ditemukan dalam Pasal 38 ayat (1) Statuta Mahkamah Internasional, yaitu:

  1. Perjanjian-perjanjian internasional;
  2. Kebiasaan internasional;
  3. Asas hukum umum yang diakui oleh bangsabangsa yang beradab;
  4. Putusan-putusan pengadilan dan pendapat sarjana yang terkemuka (doktrin);
  5. Putusan-putusan organisasi internasional (sumber di luar Pasal 38 ayat (1) Statuta Mahkamah Internasional yang merupakan perkembangan hukum internasional).

Hukum laut internasional sebagai cabang dari hukum internasional umum, maka sumber hukum laut internasional sama seperti sumber hukum internasional umum, hanya saja pada hukum laut internasional, kebiasaan internasional tidak lagi menjadi sumber hukum, karena masalah-masalah yang tidak diatur dalam konvensi ini tetap tunduk pada ketentuan dan asas hukum internasional umum. Maka apabila terdapat hal-hal yang belum diatur dalam Konvensi Hukum Laut 1982 akan berlaku asas-asas hukum internasional umum.

Subjek Hukum Laut Internasional


Pada umumnya subjek hukum adalah setiap pendukung hak dan kewajiban menurut hukum dan setiap pemilik atau pemegang kepentingan yang mempunyai kapasitas untuk melakukan perbuatan hukum. Subjek hukum internasional menurut J.G Starke diartikan sebagai:

  1. Pemegang hak dan kewajiban menurut hukum internasional;
  2. Pemegang hak istimewa (privilege) untuk mengajukan tuntutan di muka pengadilan internasional; dan
  3. Pemilik kepentingankepentingan yang telah ditetapkan oleh ketentuan hukum internasional.

Berdasarkan pengertian tersebut dalam hukum nasional (perdata) yang menjadi subjek hukum adalah manusia dan sesuatu yang berdasarkan aturan hokum dianggap mampu melakukan perbuatan hukum (seperti manusia) yaitu badan hukum. Pengertian subjek hukum internasional berbeda dengan subjek hukum nasional, karena hukum internasional digunakan untuk mengatur kehidupan masyarakat internasional yang terdiri atas negara-negara yang merdeka, organisasi internasional, juga kesatuan-kesatuan lain bukan negara, dimana diantara lain selalu saling berinteraksi satu sama lainnya. Maka yang menjadi subjek hukum internasional adalah:

  1. Negara;
  2. Tahta suci vatikan;
  3. Palang Merah Internasional;
  4. Organisasi Internasional;
  5. Organisasi Pembebasan;
  6. Pihak Berperang (belligerent);
  7. Individu.

Hukum laut internasional merupakan bagian dari hukum internasional, maka subjek hukum laut internasional adalah:

  1. Negara, baik berpantai maupun tak berpantai;
  2. Organisasi Internasional, meliputi organisasi internasional universal antara lain PBB dan badan-badan khususnya contohnya International Maritime Organization (IMO), dan organisasi regional;
  3. Pihak Berperang (belligerent), terutama pihak yang dapat menguasai bagian wilayah yang berpantai;
  4. Individu (dalam arti terbatas). Dalam hal ini pembajak kapal laut dapat menjadi subjek hukum internasional karena melanggar Konvensi Hukum Laut 1982, dan Konvensi Roma 1988.