Apa yang dimaksud dengan Hukum Acara Pidana?

Hukum acara pidana adalah hukum yang mengatur tentang cara bagaimana atau menyelenggarakan Hukum Pidana Material, sehingga memperoleh keputusan Hakim dan cara bagaimana isi keputusan itu harus dilaksanakan.

Apa yang dimaksud dengan Hukum Acara Pidana ?

Berikut ini beberapa definisi yang dirumuskan oleh beberapa sarjana, sebagai berikut:

  1. J de Bosch Kemper:
    Hukum acara pidana adalah sejumlah asas-asas dan peraturan- peraturan undang-undang yang mengatur wewenang negara untuk menghukum bilamana undang-undang pidana dilanggar.

  2. Simons:
    Hukum Acara pidana bertugas mengatur cara-cara negara dengan alat perlengkapannya mempergunakan wewenangnya untuk memidana dan menjatuhkan pidana.

  3. Wirjono Prodjodikoro:
    Hukum acara pidana ialah peraturan yang mengatur cara bagaimana badan pemerintah berhak menuntut jika terjadi suatu tindak pidana, cara bagaimana akan didapat suatu putusan pengadilan yang menjatuhkan suatu hukuman dapat dilaksanakan.

  4. Sudarto:
    Hukum acara pidana ialah aturan-aturan yang memberikan petunjuk apa yang harus dilakukan oleh aparat penegak hukum dan pihak- pihak lain atau orang-orang lain yang terlibat di dalamnya, apabila ada persangkaan bahwa hukum pidana dilanggar.

  5. A. Minkenhof:
    Hukum acara pidana mempunyai peraturan mengenai yang terjadi antara saat timbulnya dugaan bahwa suatu delik telah dilakukan dan dilaksanakannya pidana yang dijatuhkan kepada terdakwa.

  6. J.M. van Bemmelen:
    Ilmu hukum acara pidana mempelajari peraturan-peraturan yang diciptakan oleh negara, karena adanya terjadi pelanggaran undang- undang pidana:

    1. Negara melalui alat-alatnya menyidik kebenaran.
    2. Sedapat mungkin menyidik pelaku perbuatan itu.
    3. Mengambil tindakan-tindakan yang perlu guna menangkap si pembuat dan kalau perlu menahannya.
    4. Mengumpulkan bahan-bahan bukti yang telah diperoleh pada penyidikan kebenaran guna dilimpahkan kepada hakim dan membawa terdakwa ke depan hakim tersebut.
    5. Hakim memberi keputusan tentang terbukti tidaknya perbuatan yang dituduhkan kepada terdakwa dan untuk itu menjatuhkan pidana atau tindakan tata tertib.
    6. Upaya hukum untuk melawan keputusan tersebut.
    7. Akhirnya melaksanakan keputusan tentang pidana dan tindakan tata tertib.
  7. Moeljatno:
    Hukum acara pidana adalah bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku di suatu negara, yang memberikan dasar-dasar dan aturan- aturan yang menentukan dengan cara apa dan prosedur macam apa, ancaman pidana yang ada pada suatu perbuatan pidana dapat dilaksanakan apabila ada sangkaan bahwa orang telah melakukan delik tersebut.

  8. Bambang Poernomo:
    Pengertian hukum acara pidana ada tingkatan, yaitu:

    1. Pengertian sempit, yaitu peraturan hukum tentang penyelidikan, penyidikan, penuntutan, pemeriksaan sidang sampai putusan pengadilan, dan eksekusi putusan hakim.
    2. Pengertian yang luas, diartikan bahwa disamping memuat peraturan hukum tentang penyelidikan, penyidikan, penuntutan, pemeriksaan sidang sampai putusan pengadilan, eksekusi putusan hakim, juga termasuk peraturan hukum tentang susunan peradilan, wewenang pengadilan, serta peraturan-peraturan kehakiman lainnya sekadar peraturan itu ada kaitannya dengan urusan perkara pidana.
    3. Pengertian yang makin diperluas, yaitu mengatur tentang alternatif jenis pidana, ukuran memperingan atau memperberat pidana, dan cara menyelenggarakan pidana sejak awal sampai selesai menjalani pidana sebagai pedoman pelaksanaan pidana.

Hukum acara pidana berfungsi untuk melaksanakan atau menegakkan hukum pidana. Hukum Pidana yang berlaku di Indonesia adalah Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch Indie yang menurut Undang-Undang No.1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana jo Undang-Undang No.73 Tahun 1958 tentang Menyatakan Berlakunya Undang-Undang No.1 Tahun 1946 Tentang Peraturan Hukum Pidana Untuk Seluruh Wilayah Republik Indonesia dan Mengubah Kitab Undang- undang Hukum Pidana, dianggap sebagai Kitab Udang-undang Hukum Pidana.

Di dalam Pasal 103 KUHP dikatakan sebagai berikut:

“Ketentuan-ketentuan dalam Bab I sampai dengan Bab VIII buku ini juga berlaku bagi perbuatan-perbuatan yang oleh ketentuan perundang-undangan lainnya diancam dengan pidana, kecuali jika oleh undang-undang ditentukan lain.”

Ketentuan Pasal 103 KUHP tersebut memunginkan Pembentuk Undang-Undang mengundangkan peraturan perundang-undangan hukum pidana di luar kodifikasi hukum pidana (KUHP) sehingga kemudian memunculkan adanya:

  1. Undang-Undang No.7/Drt/1955 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi;
  2. Undang-Undang No.7 Tahun 1974 tentang Penertiban Perjudian;
  3. Undang-Undang No.22 Tahun 1997 tentang Narkotika;
  4. Undang-Undang No.15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No.1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme Menjadi Undang-Undang; dan sebagainya.

Di dalam beberapa Undang-Undang Hukum Pidana di luar KUHP terdapat ketentuan-ketentuan hukum pidana yang bersifat khusus yang merupakan penyimpangan dari asas-asas yang bersifat umum, seperti ketentuan Pasal 27 ayat (1) UU No.7/Drt/1955 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi yang berbunyi sebagai berikut:

“Jika ada hal-hal yang dirasa sangat memberatkan si tersangka dan kepentingan-kepentingan, yang dilindungi oleh ketentuan- ketentuan yang disangka telah dilanggar, memerlukan tindakan- tindakan dengan segera, maka Jaksa berwenang dalam segala perkara mengenai tindak pidana ekoniomi, kecuali yang tersebut Pasal 6 ayat (3), selama pemeriksaan di muka pengadilan belum dimulai, untuk memerintahkan kepada si tersangka sebagai tindakan sementara:

  • penutupan sebagian atau seluruh perusahaan si tersangka, di mana tindak pidana ekonomi itu disangka telah dilakukan;
  • penempatan perusahaan si tersangka, di mana tindak pidana ekonomi itu disangka telah dilakukan, di bawah pengampuan;
  • pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau pencabutan seluruh atatu sebagian keuntungan yang telah atau dapat diberikan oleh Pemerintah kepada si tersangka berhubung dengan perusahaan itu;
  • supaya si tersangka tidak melakukan perbuatan-perbuatan tertentu;
  • supaya tersangka berusaha supaya barang-barang tersebut dalam perintah itu yang dapat disita, dikumpulkan dan disimpan di tempat yang ditunjuk dalam perintah itu.”

Di dalam beberapa Undang-Undang Hukum Pidana di luar KUHP terdapat pula ketentuan-ketentuan hukum acara pidana yang bersifat khusus yang merupakan penyimpangan dari asas-asas yang bersifat umum, seperti ketentuan mengenai sistem pembuktian terbalik (shifting burden of proof) yang merupakan penyimpangan atas asas praduga tidak bersalah (presumption of innocence principle).

Dengan diundangkannya Undang-Undang No.8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana atau disebut juga sebagai Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), ketentuan-ketentuan khusus hukum acara pidana yang terdapat di dalam Undang-Undang Hukum Pidana Khusus di luar KUHP tersebut tetap berlaku sampai sekarang sebagaimana ditetapkan di dalam Pasal 284 ayat (2) KUHAP yang berbunyi, sebagai berikut:

“Dalam waktu dua tahun setelah undang-undang ini diundangkan, maka terhadap semua perkara diberlakukan ketentuan undang- undang ini, dengan pengecualian untuk sementara mengenai ketentuan khusus acara pidana sebagaimana tersebut pada undang-undang tertentu, sampai ada perubahan dan atau dinyatakat tidak berlaku lagi.”

Pasal 284 ayat (2) KUHAP mempunyai fungsi yang sama dengan Pasal 103 KUHP. Apabila Pasal 103 KUHP menjembatani hukum pidana kodifikasi dengan hukum pidana di luar kodifikasi, maka Pasal 284 ayat (1) KUHAP menjembatani hukum acara pidana kodifikasi dengan hukum acara pidana di luar kodifikasi.

Selanjutnya di dalam Penjelasan Pasal 10 ayat (1) Undang-Undang No.14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman jo Undang-Undang No.35 Tahun 1999 tentang Perubahan atas Undang-Undang No.14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaaan Kehakiman dikatakan sebagai berikut:

“Perbedaan dalam empat lingkungan peradilan ini tidak menutup kemungkinan adanya pengkhususan (differensiasi/spesialisasi) dalam masing-masing lingkungan, misalnya dalam Peradilan Umum dapat diadakan pengkhusususan berupa Pengadilan Lalu Lintas, Pengadilan Anak, Pengadilan Ekonomi dan sebagainya dengan Undang-Undang.”

Ketentuan tersebut di atas menjadi landasan dari diundangkannya beberapa Undang-Undang Hukum Acara Pidana Khusus, sebagai berikut:

  1. Undang-Undang No.3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak;
  2. Undang-Undang No.26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hal Asasi Manusia;
  3. Undang-Undang No.30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Hukum Acara Pidana merupakan hukum formil yang berguna untuk mempertahankan hukum materiil yaitu hukum pidana. Agar hukum pidana dapat benar-benar dijalankan maka hukum acara pidana yang mempertahankan berlakunya hukum pidana. Hal itu juga yang dikatakan oleh A. Chanur Arrasjid bahwa:

“Hukum formil adalah hukum yang mengatur cara mempertahankan atau menjalankan peraturan-peraturan hukum materiil.”

Abdoel Djamali juga sependapat dengan Chanur Arrasjid mengatakan

“Hukum acara atau hukum formal adalah peraturan hukum yang mengatur tentang cara bagaimana mempertahankan dan menjalankan peraturan hukum material. Fungsinya menyelesaikan masalah yang memenuhi norma-norma larangan hukum material melalui suatu proses dengan berpedomankan kepada peraturan yang dicantumkan dalam hukum acara.”

Hukum acara pidana diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana tidak memberikan pengertian hukum acara pidana, namun pengertian hukum acara pidana bisa didapatkan dari doktrin.

Beberapa ahli hukum memberikan pengertian tersebut. Van Bemmelen sebagaimana dikutip Mohammmad Taufik Makarao dan Suhasril mengatakan bahwa:

“Ilmu Hukum Acara Pidana mempelajari peraturan-peraturan yang diciptakan oleh negara, karena adanya dugaaan terjadi pelanggaran undang-undang pidana.

  1. Negara melalui alat-alatnya menyidik kebenaran.
  2. Sedapat mungkin menyidik pelaku perbuatan itu.
  3. Mengambil tindakan-tindakan yang perlu guna menangkap si pelaku dan kalau perlu menahannya.
  4. Mengumpulkan bahan-bahan bukti (bewijsmateriaal) yang telah diperoleh pada penyidikan kebenaran guna dilimpahkan kepada hakim dan membawa Terdakwa ke depan hakim tersebut.
  5. Hakim memberi keputusan tentang terbukti tidaknya perbuatan yang dituduhkan kepada Terdakwa dan untuk itu menjatuhkan pidana atau tindakan tata tertib.
  6. Upaya hukum untuk melawan keputusan tersebut.
  7. Akhirnya, melaksanakan keputusan tentang pidana dan tindakan tata tertib.”

Penjelasan mengenai hukum acara pidana juga dikemukakan oleh Kusumadi Pudjosewojo bahwa:

“Hukum pidana beserta hukum acara pidana ada yang menggolongkan ke dalam hukum publik, karena melindungi tata tertib masyarakat."

Perbedaannya dengan Hukum Pidana adalah Hukum Pidana merupakan peraturan yang menentukan tentang perbuatan yang tergolong perbuatan pidana. Syarat-syarat umum yang harus dipenuhi agar suatu perbuatan dapat dikenakan sanksi pidana, pelaku perbuatan pidana dapat dihukum dan macam- macam hukuman yang dapat dijatuhkan kepada pelaku perbuatan pidana.

Hukum Acara Pidana disebut Hukum Pidana Formil (Formeel Strafrech), sedang Hukum Pidana disebut sebagai Hukum Pidana Materiil (Materieel Strafrecht). Jadi, Kedua hukum tersebut mempunyai hubungan yang sangat erat.

Hukum acara pidana juga memiliki tugas penting yang sejalan dengan tujuan hukum acara pidana. Hibnu Nugroho mengatakan bahwa:

“Tugas penting yang diemban oleh hukum acara pidana adalah memberikan bingkai yang menjadi garis merah kepada para penegak hukum dalam melaksanakan tugasnya agar tidak melampaui batas kewenangannnya, mengingat setiap pelaksanaan suatu penegakan hukum akan berkaitan langsung dengan pelanggaran HAM, terutama HAM bagi tersangka/Terdakwa.”

Dari uraian diatas dapat dimengerti bahwa Hukum Acara Pidana tidak semata-mata menerapkan Hukum Pidana. Akan tetapi lebih menitikberatkan pada proses dari pertanggungjawaban seseorang atau sekelompok orang yang diduga dan/atau didakwa telah melakukan perbuatan pidana.

Suatu aturan hukum yang dibuat pasti memiliki tujuan. Tujuan Hukum Acara Pidana sangat erat hubungannya dengan tujuan Hukum Pidana. Tujuan Hukum Acara Pidana adalah untuk mencari dan mendapatkan atau setidaknya mendekati kebenaran materil, yaitu kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan menerapkan ketentuan hukum acara pidana secara jujur dan tepat dengan tujuan untuk mencari siapakah pelaku yang tepat didakwakan melakukan suatu pelanggaran hukum dan untuk selanjutnya meminta pemeriksaan dan putusan dari pengadilan guna menemukan apakah terbukti bahwa tindak pidana telah dilakukan dan apakah orang yang didakwa itu dapat dipersalahkan.

Hukum Pidana memuat tentang rincian perbuatan yang termasuk perbuatan pidana, pelaku perbuatan pidana yang dapat dihukum, dan macam- macam hukuman yang dapat dijatuhkan kepada pelanggar hukum pidana. Sebaliknya Hukum Acara Pidana mengatur bagaimana proses yang ahrus dilalui aparat penegak hukum dalam rangka mempertahankan hukum pidana materiil terhadap pelanggarnya.

Dari penjelasan tersebut dapat diketahui bahwa kedua hukum tersebut saling melengkapi, karena tanpa hukum pidana, hukum acara pidana tidak berfungsi. Sebaliknya tanpa hukum acara pidana, hukum pidana juga tidak dapat dijalankan (tidak berfungsi sesuai dengan tujuan).
Fungsi dari Hukum Acara Pidana adalah mendapatkan kebenaran materiil, putusan hakim, dan pelaksanaan keputusan hakim. Menurut Yulies Tiena Masriani mengatakan bahwa:
“Fungsi Hukum Acara Pidana adalah mendapatkan kebenaran materiil, putusan hakim dan pelaksanaan keputusan hakim.”

Kebenaran materiil yang merupakan kebenaran yang senyatanya didapatkan dengan pembuktian. Pembuktian merupakan ketentuan yang membatasi sidang pengadilan dalam usahanya mencari dan mempertahankan kebenaran. Keseluruhan pihak baik hakim, Terdakwa maupun penasihat hukum terikat pada ketentuan tata cara dan penilaian alat bukti yang ditentukan oleh undang-undang.

Selain itu hukum acara pidana memiliki beberapa fungsi, antara lain adalah fungsi represif dan fungsi preventif. Fungsi represif dalam hukum acara pidana adalah adanya upaya untuk menegakkan ketentuan pidana dan melaksanakan hukum pidana. Penegakan ketentuan pidana berarti pemberian sanksi yang tegas sesuai dengan ketentuan dalam hukum pidana terhadap suatu perbuatan pidana. Sementara fungsi preventif dalam hukum acara pidana adalah fungsi pencegahan dan upaya untuk mengurangi tingkat kejahatan. Fungsi preventif dalam hukum acara pidana ini dapat berjalan dengan baik apabila seluruh proses hukum acara pidaana dapat diselenggarakan dengan baik pula agar dapat mencegah terjadinya perbuatan pidana yang sama dalam masyarakat.

Referensi
  • Mohammad Taufik Makarao dan Suhasril, Hukum Acara Pidana Dalam Teori Dan Praktek, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2004.
  • Kusumadi Pudjosewojo, Pedoman Pelajaran Tata Hukum, Sinar Grafika, Jakarta, 2004.
  • Hibnu Nugroho, Integralisasi Penyidikan Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia, Media Prima Aksara, Jakarta, 2012.
  • Sangatta, 2013, Hukum Acara Pidana, http://www. http://statushukum.com.
  • Yulies Tiena Masriani, Pengantar Hukum Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta, 2008.
  • A. Chanur Arrasjid, 2008, Dasar-Dasar Ilmu Hukum, Sinar Grafika, Jakarta.
  • R. Abdoel Djamali, Pengantar Hukum Indonesia Edisi Revisi, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2010.