Apa yang dimaksud dengan Hisab Awal Bulan ?

Hisab

Penentuan awal puasa dan hari raya Idul fitri sering terjadi perselisihan karena adanya perbedaan metode penentuan awal bulan, yaitu metode Hisab dan Rukyat. Apa yang dimaksud dengan Hisab Awal Bulan ?

Kata-kata hisab yang digunakan dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa Arab al-hisab. Kata kerja lampau dari kata ini adalah hasiba (hasiba, yahsibu atau yahsabu, husbanan atau mahsabatan). Dalam bahasa Arab, kata al-hisab ini mengandung beberapa pengertian, diantaranya: kumpulan orang banyak (al-jam’u al-kasir), yang mencukupi (al-kafi) dan hitungan atau perhitungan (al-addu atau al-muhasabat). Pengertian yang terakhir ini yang banyak diserap dan digunakan dalam bahasa Indonesia apabila menyebutkan kata “hisab” (al-hisab).

Berdasarkan pada pengertian menurut bahasa tersebut maka kata al-hisab menurut istilah, yakni sebagai suatu disiplin ilmu (ilmu al-hisab) diartikan dengan “ilmu pengetahuan yang membahas tentang seluk beluk perhitungan”. Kata al-hisab dalam pengertian ini, dalam bahasa Inggris dikenal dengan istilah arithmetic.

Dalam sistem ini dapat memperkirakan awal bulan jauh dari sebelumnya, sebab tidak tergantung pada munculnya hilal (bulan) pada saat matahari terbenam menjelang masuk tanggal satu bulan baru. Pada mulanya, hisab digunakan sebagai alat bantu untuk menentukan posisi hilal, yaitu alat bantu untuk pelaksanaan ru’ya al- hilal (sebelum dilakukan ru’yah al-hilal). Namun dalam perkembangan selanjutnya, hisab digunakan untuk memperkirakan posisi hilal saat melakukan ru’yah di ufuq sebelah barat pada saat matahari terbenam, bahkan hisab dijadikan penentuan awal bulan secara sistematis ada suatu tahun.

Sistem hisab adalah penentuan awal bulan Qomariyah yang didasarkan kepada perhitungan peredaran bulan mengelilingi bumi. Sistem ini dapat menetapkan awal bulan jauh dari sebelumnya, sebab tidak tergantung kepada telihatnya hilal pada saat matahari terbenam menjelang masuknya tanggal satu. Walaupun sistem ini diperselisihkan kebolehan penggunaannya dalam menetapkan awal bulan yang ada kaitannya dengan pelaksanaan ibadah (awal dan akhir puasa Ramadhan), namun sistem ini adalah mutlak diperlukan dalam menetapkan awal-awal bulan untuk kepentingan penyusunan kalender.

Metode dan Aliran Hisab Awal Bulan.

Dalam segi tingkat akurasinya, perkembangan metode-metode dan aliran hisab awal bulan secara umum dapat diklasifikasikan menjadi tiga yaitu

Hisab Urfi

Hisab ini dinamakan hisab urfi karena kegiatan perhitungannya dilandaskan kepada kaidah-kaidah yang bersifat tradisional atau kebiasaan yaitu dibuatnya anggaran-anggaran dalam menentukan perhitungan masuknya awal bulan itu. Anggaran yang dipakai didasarkan pada rata-rata bumi mengelilingi matahari untuk kalender Masehi, atau peredaran bulan mengelilingi bumi untuk kalender Hijriyah dan Jawa-Islam.

Hisab urfi mempunyai anggaran yang tetap dan beraturan yaitu untuk bulan Januari 31 hari, Pebruari 28 atau 29 hari, Maret 31 hari, April 30 hari begitu seterusnya (untuk kalender Masehi). Demikian juga Muharram 30 hari, Shafar 29 hari, Rabi‟ul awwal 30 hari dan seterusnya secara bergantian, kecuali untuk tahun kabisat yang terjadi 11 kali setiap 30 tahun, bulan Dzulhijjah dihitung 30 hari (untuk kalender Hijriyah). Suro 30 hari, Sapar 29 hari, Mulud 30 hari dan begitu seterusnya secara bergantian, kecuali untuk tahun kabisat yang terjadi 3 kali setiap 8 tahun, bulan Besar dihitung 30 hari (untuk kalender Jawa-Islam).

Sedangkan tahun-tahun dalam setiap windu diberi lambing dengan huruf arab abjadiyah. Berturut-turut sebagai berikut: Alip, Ehe, Jimawal, Ze, Dal, Be, Wawu, Jimakir.

Sistem ini sebenarnya sangat mudah untuk dipergunakan dalam penyusunan kalender, karena dalam perubahan jumlah hari tiap bulan dan tahun adalah tetap dan beraturan, sehingga penetapan jauh kedepan hasilnya tidak jauh berbeda dan dapat diperhitungkan dengan mudah tanpa melihat data peredaran bulan dan matahari yang sebenarnya. Akan tetapi karena sistem ini dianggap tidak sesuai dengan yang dikehendaki oleh syara’, maka umat Islam tidak mempergunakan untuk memperoleh awal bulan Qamariyah secara taksiran dalam rangka memudahkan pencarian data dan peredaran bulan dan matahari yang sebenarnya.

Hisab Hakiki.

Hisab hakiki ini digunakan dalam penentuan awal bulan dalam kalender Hijriyah. Hisab ini dinamakan hisab hakiki karena penentuan tanggal satu setiap bulannnya didasarkan kepada peredaran bulan dan bumi yang sebenarnya. Menurut sistem ini umur tiap bulan tidaklah tetap dan juga tidak beraturan, melainkan kadang- kadang dua bulan berturut-turut umurnya 29 hari atau 30 hari, atau kadang-kadang pula bergantian seperti menurut perhitungan hisab urfi.

Dalam praktek perhitungannya, sistem ini mempergunakan data sebenarnya dari gerakan bulan dan bumi serta mempergunakan kaidah-kaidah ilmu ukur segitiga bola. Sistem hisab hakiki dianggap lebih sesuai dengan yang dimaksud oleh syara‟ sebab dalam prakteknya sistem ini memperhitungkan kapan hilal akan muncul atau wujud. Sehingga sistem hisab inilah yang dipergunakan orang dalam menentukan awal bulan yang ada kaitannya dengan pelaksanaan ibadah.

Dilihat dari perkembangan selanjutnya sistem hisab hakiki dapat dikelompokkan menjadi tiga diantaranya yaitu:

  1. Hisab hakiki taqribi.

    Sistem ini mempergunakan data bulan dan matahari berdasarkan data dan tabel Ulugh Beik dengan proses perhitungan yang sederhana. Hisab ini hanya dengan cara penambahan, pengurangan, perkalian dan pembagian tanpa mempergunakan ilmu ukur segitiga bola. Metode koreksinya tidak begitu halus. Demikian juga metode penentuan tinggi hilal sangat sederhana dengan cara membagi dua waktu antara waktu ijtima‟ dengan waktu terbenam matahari.

    Sebagai konsekuensinya adalah apabila ijma‟ terjadi sebelum matahari terbenam pasti hilal sudah berada diatas ufuq. Hisab ini belum memberikan informasi tentang azimuth bulan maupun matahari dan diperlukan banyak koreksi untuk menetukan dengan akurat melalui beberapa perhitungan tambahan.

    Secara fisik metode ini masih mempergunakan ilmu astronomi Ptolomeus yang masih menganut prinsip geosentris yang sudah ditumbangkan oleh Galileo Galilei dan digantikan dengan prinsip heliosentris oleh Copernicus.

    Termasuk sistem ini adalah metode hisab dalam kitab Sullamun Nayyiroin oleh Muhammad Mansur al-Batawi, Al-Qawaidul Falakiyah oleh Abdul Fattah at- Turky, Jadawilul Falakiyah oleh Qusyairi al-Pasuruani dan beberapa kitab yang membahas tentang hisab.

  2. Hisab hakiki tahqiqi.

    Metode ini dicangkok dari kitab Al-Mathal’us Said Fi Hisabil Kawakib Ala Rasydil Jadid yang bermuara dari sistem astronomi serta matematika modern yang secara asal muasal berasal dari hisab astronom-astronom muslim jaman dulu yang dikembangkan oleh astronom-astronom modern (Barat) berdasarkan penelitian baru.

    Inti dari sistem ini adalah menghitung atau menentukan posisi matahari,
    bulan dan titik simpul orbit bulan dengan orbit matahari dalam sistem kooordinat ekliptika. Artinya sistem ini mempergunakan tabel-tabel yang sudah dikoreksi dan mempergunakan perhitungan yang relatif lebih rumit daripada kelompok hisab hakiki taqribi serta memakai ilmu ukur segitiga bola.

    Termasuk sistem ini adalah metode hisab dalam buku Al-Mathla‟us Said Fi Hisabil Kawakib Ala Rasydil Jadid oleh Syeh Husain Zaid al-Misra, Al-Manahijul Hamidiyah oleh Syeh Abdul Hamid Mursyi al-Syafi‟i, dan Munthaha Nataijul Aqwal oleh Muhammad Hasan Asy’ari al-Pasuruani.

  3. Hisab haqiqi konteporer

    Metode ini menggunakan hasil penelitian terakhir dan menggunakan matematika yang telah dikembangkan. Metodenya sama dengan metode hisab hakiki tahqiqi hanya saja sistem koreksinya lebih teliti dan kompleks sesuai dengan kemajuan sains dan teknologi. Rumus-rumusnya lebih disederhanakan sehingga untuk menghitungnya dapat digunakan kalkulator atau komputer.

    Termasuk kelompok ini adalah metode hisab yang dipakai dalam New Comb oleh Bidron Hadi yogyakarta, Almanak Nautika yang dikeluarkan oleh TNI AL Jakarta, Astronomical Tables of Sun, Moon and Planets oleh Jean Meeus Belgia, Islamic Calender oleh Muhammad Ilyas Malasyia dan Ephemeris Hisab dan Rukyat oleh Badan Hisab Rukyah Departemen Agama RI.

Pada dasarnya kriteria yang banyak dipedomani oleh ahli hisab Indonesia adalah kriteria ijtimak Qabla Ghurub dan kriteria ijtimak dan posisi hilal di atas ufuk. Oleh karena itu, komponen dasar yang perlu dihitung ialah saat terjadinya ijtimak, saat matahari terbenam dan ketinggian hilal pada saat matahari. Ketinggian hilal pada saat matahari terbenam digunakan apabila kriteria yang dipedomani ialah ijtimak dan posisi hilal di atas ufuk, sedangkan jika kriteria yang dipedomani adalah ijtimak qabla ghurub, maka cukup dengan menghitung saat terjadinya ijtimak dan saat matahari terbenam.

Disamping terbagi menjadi beberapa metode di atas, hisab hakiki juga terbagi menjadi beberapa aliran dalam menentukan masuknya awal bulan yaitu:

  • Aliran yang berpedoman kepada ijtima’ qablal ghurub.

    Aliran ini menetapkan bahwa jika ijtima’ terjadi sebelum matahari terbenam, maka malam harinya sudah dianggap bulan baru, sedang jika ijtima‟ terjadi setelah matahari terbenam maka malam itu dan keesokan harinya ditetapkan sebagai tanggal 30 bulan yang sedang berlangsung.

    Sistem ini sama sekali tidak mempersoalkan rukyat. Juga tidak memperhitungkan posisi hilal dari ufuk. Asal sebelum matahari terbenam sudah terjadi ijtima‟, walaupun hilal masih di bawah ufuk, maka malam hari itu berarti sudah termasuk bulan baru. Sistem ini lebih menitik beratkan kepada penggunaan astronomi murni. Dalam ilmu astronomi dikatakan bahwa bulan baru itu terjadi sejak matahari dan bulan dalam keadaan konjungsi (ijtima). Sistem ini menghubungkan ijtima dengan saat terbenam matahari, sebab mempunyai anggapan bahwa hari menurut Islam adalah dimulai dari terbenam matahari sampai terbenam matahari berikutnya.

    Malam mendahului siang. Jadi logikanya menurut sistem ini, bahwa ijtima‟ adalah pemisah diantara dua bulan Qamariyah, namun oleh karena hari menurut Islam dimulai sejak terbenam matahari, maka kalau ijtima‟ terjadi sebelum terbenam matahari, malam itu sudah dianggap masuk bulan baru dan kalau ijtima‟ terjadi setelah terbenam matahari maka malam itu masih merupakan bagian dari bulan yang sedang berlangsung.

  • Aliran yang berpedoman kepada ijtima qablal fajri.

    Seperti apa yang disinyalir oleh beberapa ahli bahwa akhir-akhir ini timbul suatu pendapat baru yang menghendaki permulaan bulan Qamariyah ditentukan oleh kejadian ijtima‟ sebelum terbit fajar. Alasannya karena saat terjadi ijtima‟ tidak ada sangkut pautnya dengan kejadian matahari terbenam dan tidak ada dalil yang kuat bahwa batas hari adalah saat matahari terbenam.

    Menurut sistem ini, jika ijtima terjadi sebelum terbit fajar, maka malam itu sudah masuk awal bulan baru, walaupun pada saat matahari terbenam pada malam itu belum terjadi ijtima‟. Jika kita perhatikan, pendapat ini semata-mata berpegang pada astronomi murni dan menentukan saat terbitnya fajar sebagai permulaan hari. Pendapat ini mengambil pengertian dari perintah dimulainya berpuasa secara harian.

    Sebagaimana firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 187:

    Artinya: “Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu; mereka adalah pakaian bagimu, dan kamupun adalah pakaian bagi mereka. Allah mengetahui bahwasanya kamu tidak dapat menahan nafsumu, karena itu Allah mengampuni kamu dan memberi ma’af kepadamu. Maka sekarang campurilah mereka dan ikutilah apa yang telah ditetapkan Allah untukmu, dan Makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, Yaitu fajar. kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri’tikaf dalam mesjid. Itulah larangan Allah, Maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa.

  • Aliran yang berpedoman kepada posisi hilal di atas ufuk hakiki

    Menurut aliran ini untuk masuknya tanggal satu bulan Qamariyah, posisi hilal harus sudah berada di atas ufuk hakiki. Dimaksud dengan ufuk hakiki, adalah bidang datar yang melalui titik pusat bumi dan tegak lurus pada garis vertikal dari si peninjau. Sistem ini tidak memperhitungkan pengaruh tinggi tempat si peninjau.

    Demikian pula jari-jari bulan, parallaks dan refraksi tidak turut diperhitungkan. Sistem ini memperhitungkan posisi bulan tidak untuk dilihat. Lain halnya dengan perhitungan matahari terbenam, aliran ini memperhitungkan unsur- unsur di atas, sebab mereka mempergunakan pengertian terbenam matahari seperti apa yang dilihat atau menurut istilah mar‟i.

    Ringkasnya, sistem ini berpendapat bahwa jika setelah terjadi ijtima‟, hilal sudah wujud di atas ufuk hakiki pada saat terbenam matahari, maka malamnya sudah dianggap bulan baru, sebaliknya jika pada saat terbenam matahari hilal masih berada dibawah ufuk hakiki maka malam itu belum dianggap sebagi bulan baru.

  • Aliran yang berpedoman kepada posisi hilal di atas ufuk hissi.

    Aliran ini berpendapat, jika pada saat matahari terbenam setelah ijtima‟, hilal sudah wujud di atas ufuk hissi, maka malam itu sudah termasuk tanggal satu bulan baru. Dimaksud dengan ufuk hissi adalah bidang datar yang melalui mata si peninjau dan sejajar dengan ufuk hakiki. Aliran yang berpegang pada ufuk hissi menentukan ketinggian hilal diukur dari atas permukaan bumi sedangkan yang berpegang kepada ufuk hakiki mengukur ketinggian itu dari titik pusat bumi.

    Sistem yang berpedoman pada ufuk hissi ini nampaknya kurang populer sehingga banyak para ahli yang mengabaikan perhitungan ini. Namun jika kita lihat keputusan seminar hisab yang diadakan di Yogyakarta tahun 1970, sistem ini termasuk salah satu sistem yang diakui eksistensinya, sekalipun lebih jauh tidak disebutkan siapa-siapa saja yang berpegang kepada sistem ufuk hissi ini.

  • Aliran yang berpedoman kepada posisi hilal di atas ufuk mar’i.

    Sistem ini pada dasarnya sama seperti sistem hisab yang berpedoman kepada ufuk hakiki dan hissi, yaitu memperhitungkan posisi hilal pada saat terbenam matahari setelah terjadi ijtima‟. Hanya saja sistem ini tidak cukup sampai di sana. Setelah diperoleh nilai ketinggian hilal dari ufuk hakiki kemudian ditambahkan koreksi-koreksi terhadap nilai ketinggian itu. Koreksi-koreksi tersebut adalah kerendahan ufuk, refraksi, semi diameter (jari-jari) dan parallaks (beda lihat).

  • Aliran yang berpedoman kepada posisi hilal yang mungkin dapat di rukyah (imkanur rukyah).

    Untuk menetapkan masuknya awal bulan baru, aliran ini mengemukakan, bahwa pada saat matahari terbenam setelah terjadi ijtima‟, hilal harus mempunyai posisi sedemikian rupa sehingga memungkinkan untuk dapat dilihat. Para ahli yang termasuk golongan ini tidak sependapat tentang berapa ukuran ketinggian hilal yang mungkin dapat dilakukan rukyat bil fi’li. Ada yang mengatakan 80, 70, 60, 50, dan lain sebagainya.

    Disamping ukuran ketinggian sebagai syarat untuk dapat terlihatnya hilal, adapula yang menentukan unsur lainnya. Dalam konferensi internasional tentang penentuan awal bulan Qamariyah yang diadakan di Turki tahun 1978 dinyatakan bahwa untuk dapat terlihatnya hilal ada dua syarat yang harus dipenuhi, yaitu ketinggian hilal di atas tidak kurang dari 50 dan sudut pandang (angular distance) antara hilal dan matahari tidak kurang dari 80.