Apa yang dimaksud dengan Hakikat Manusia?

hakikat manusia

Pertanyaan mendasar yang sering ditanyakan dalam diri manusia adalah, apakah hakikat manusia itu?

Beberapa ahli filsafat, Socrates misalnya, menyebut manusia sebagai Zoon politicon atau hewan yang bermasyarakat, dan Max Scheller menyebutnya sebagai Das Kranke Tier atau hewan yang sakit yang selalu bermasalah dan gelisah.

Ilmu-ilmu humaniora termasuk ilmu filsafat telah mencoba menjawab pertanyaan mendasar tentang manusia itu, sehingga terdapat banyak rumusan atau pengertian tentang manusia.

Beberapa rumusan atau definisi lain tentang manusia antara lain :

  1. Homo sapiens atau makhluk yang mempunyai budi.
  2. Homo faber atau tool making animal yaitu binatang yang pandai membuat bentuk peralatan dari bahan alam untuk kebutuhan hidupnya.
  3. Homo economicus atau makhluk ekonomi.
  4. Homo religious yaitu makhluk beragama.
  5. Homo laquen atau makhluk yang pandai menciptakan bahasa dan menjelmakan pikiran dan perasaan manusia dalam kata-kata yang tersusun.

Di samping itu masih ada ungkapan lain tentang definisi manusia, di antaranya, manusia sebagai:

  • animal rationale (hewan yang rasional atau berpikir)
  • animal symbolicum (hewan yang menggunakan symbol)
  • animal educandum (hewan yang bisa dididik)

Tiga istilah terakhir tersebut menggunakan kata hewan dalam menjelaskan manusia… Lalu, apakah sejatinya hakikat manusia itu ?

1 Like

Terdapat banyak sekali pendapat terkait dengan apa arti atau makna hakikat manusia itu sendiri. Mulai dari Pandangan Psikoanalitik, Humanistik, Behavioristik, Mekanistik, Organismik hingga Pandangan Kontekstual.

Berikut adalah arti dari manusia dilihat dari beberapa pandangan tersebut.

1. Pandangan Psikoanalitik

Dalam pandangan psikoanalitik diyakini bahwa pada hakikatnya manusia digerakkan oleh dorongan-dorongan dari dalam dirinya yang bersifat instingtif. Hal ini menyebabkan tingkah laku seorang manusia diatur dan dikontrol oleh kekuatan psikologis yang memang ada dalam diri manusia.

Terkait hal ini, diri manusia tidak memegang kendali atau tidak menentukan atas nasibnya seseorang tapi tingkah laku seseorang itu semata-mata diarahkan untuk mememuaskan kebutuhan dan insting biologisnya.

2. Pandangan Humanistik

Para humanis menyatakan bahwa manusia memiliki dorongan-dorongan dari dalam dirinya untuk mengarahkan dirinya mencapai tujuan yang positif. Mereka menganggap manusia itu rasional dan dapat menentukan nasibnya sendiri. Hal ini membuat manusia itu terus berubah dan berkembang untuk menjadi pribadi yang lebih baik dan lebih sempurna.

Manusia dapat pula menjadi anggota kelompok masyarakat dengan tingkah laku yang baik. Mereka juga mengatakan selain adanya dorongan-dorongan tersebut, manusia dalam hidupnya juga digerakkan oleh rasa tanggung jawab sosial dan keinginan mendapatkan sesuatu. Dalam hal ini manusia dianggap sebagai makhluk individu dan juga sebagai makhluk sosial.

3. Pandangan Martin Buber

Martin Buber mengatakan bahwa pada hakikatnya manusia tidak bisa disebut ‘ini’ atau ‘itu’. Menurutnya, manusia adalah sebuah eksistensi atau keberadaan yang memiliki potensi namun dibatasi oleh kesemestaan alam, namun keterbatasan ini hanya bersifat faktual bukan esensial sehingga apa yang akan dilakukannya tidak dapat diprediksi.

Dalam pandangan ini manusia berpotensi utuk menjadi ‘baik’ atau ‘jahat’, tergantung kecenderungan mana yang lebih besar dalam diri manusia. Hal ini memungkinkan manusia yang ‘baik’ kadang-kadang juga melakukan ‘kesalahan’.

4. Pandangan Behavioristik

Pada dasarnya kelompok Behavioristik menganggap manusia sebagai makhluk yang reaktif dan tingkah lakunya dikendalikan oleh faktor-faktor dari luar dirinya, yaitu lingkungannya. Lingkungan merupakan faktor dominan yang mengikat hubungan individu. Hubungan ini diatur oleh hukum-hukum belajar, seperti adanya teori conditioning atau teori pembiasaan dan keteladanan. Mereka juga meyakini bahwa baik dan buruk itu adalah karena pengaruh lingkungan. Dari uraian tersebut, dapat diambil poin-point utama terkait dengan hakikat manusia menurut Pandangan Behavioristik antara lain :

  • Manusia pada dasarnya memiliki tenaga dalam yang dapat menggerakkan hidupnya.

  • Dalam diri manusia ada fungsi yang bersifat rasional yang bertanggung jawab atas tingkah laku intelektual dan sosial individu.

  • Manusia pada hakikatnya dalam proses ‘menjadi’, dan terus berkembang.

  • Manusia mampu mengarahkan dirinya ke tujuan yang positif, mampu mengatur dan mengendalikan dirinya dan mampu menentukan nasibnya sendiri.

  • Dalam dinamika kehidupan individu selalu melibatkan dirinya dalam usaha untuk mewujudkan dirinya sendiri, membantu orang lain, dan membuat dunia menjadi lebih baik.

  • Manusia merupakan suatu keberadaan yang berpotensi yang perwujudannya merupakan ketakterdugaan. Namun potensi itu bersifat terbatas.

  • Manusia adalah makhluk Tuhan, yang yang kemungkinan menjadi ‘baik’ atau 'buruk’.

  • Lingkungan adalah penentu tingkah laku manusia dan tingkah laku itu merupakan kemampuan yang dipelajari.

5. Pandangan Mekanistik

Dalam pandangan mekanistik semua benda yang ada di dunia ini termasuk makhluk hidup dipandang sebagai sebagai mesin, dan semua proses termasuk proses psikologi pada akhirnya dapat diredusir menjadi proses fisik dan kimiawi. Lock dan Hume, berdasarkan asumsi ini memandang manusia sebagai robot yang pasif yang digerakkan oleh daya dari luar dirinya.

6. Pandangan Organismik

Pandangan organismik menganggap manusia sebagai suatu keseluruhan (gestalt), yang lebih dari pada hanya penjumlahan dari bagian-bagian. Dalam pandangan ini dunia dianggap sebagai sistem yang hidup seperti halnya tumbuhan dan binatang. Organismik menyatakan bahwa pada hakikatnya manusia bersifat aktif, keutuhan yang terorganisasi dan selalu berubah.

Manusia menjadi sesuatu karena hasil dari apa yang dilakukannya sendiri, karena hasil mempelajari. Menurut penulis pandangan ini mengakui adanya kemampuan aktualisasi diri manusia melalui pengembangan potensi-potensi yang telah ada pada diri manusia.

7. Pandangan Kontekstual

Dalam pandangan kontekstual manusia hanya dapat dipahami dalam konteksnya. Manusia tidak independent, melainkan merupakan bagian dari lingkungannya. Manusia adalah individu yang aktif dan organisme sosial.

Untuk bisa memahami manusia maka pandangan ini megharuskan mengenal perkembangan manusia secara utuh seperti memperhatihan gejala-gejala fisik, psikis, dan juga lingkungannya, serta peristiwa-peristiwa budaya dan historis.

Manusia adalah makhluk bertanya, ia mempunyai hasrat untuk mengetahui segala sesuatu. Atas dorongan hasrat ingin tahunya, manusia tidak hanya bertanya tentang berbagai hal yang ada di luar dirinya, tetapi juga bertanya tentang dirinya sendiri. Dalam rentang ruang dan waktu, manusia telah dan selalu berupaya mengetahui dirinya sendiri. Hakikat manusia dipelajari melalui berbagai pendekatan (common sense, ilmiah, filosofis, religi) dan melalui berbagai sudut pandang (biologi, sosiologi, antropobiologi, psikologi, politik).

Dalam kehidupannya yang riil manusia menunjukkan keragaman dalam berbagai hal, baik tampilan fisiknya, strata sosialnya, kebiasaannya, bahkan sebagaimana dikemukakan di atas, pengetahuan tentang manusia pun bersifat ragam sesuai pendekatan dan sudut pandang dalam melakukan studinya. Alasannya bukankah karena mereka semua adalah manusia maka harus diakui kesamaannya sebagai manusia? (M.I. Soelaiman, 1988).

Berbagai kesamaan yang menjadi karakteristik esensial setiap manusia ini disebut pula sebagai hakikat manusia, sebab dengan karakteristik esensialnya itulah manusia mempunyai martabat khusus sebagai manusia yang berbeda dari yang lainnya.

Contoh: manusia adalah animal rasional, animal symbolicum, homo feber, homo sapiens, homo sicius , dan sebagainya.

Mencari pengertian hakikat manusia merupakan tugas metafisika , lebih spesifik lagi adalah tugas antropologi (filsafat antropologi). Filsafat antropologi berupaya mengungkapkan konsep atau gagasan-gagasan yang sifatnya mendasar tentang manusia, berupaya menemukan karakteristik yang sifatnya mendasar tentang manusia, berupaya menemukan karakteristik yang secara prinsipil (bukan gradual) membedakan manusia dari makhluk lainnya. Antara lain berkenaan dengan:

  1. Asal-usul keberadaan manusia, yang mempertanyakan apakah ber-ada-nya manusia di dunia ini hanya kebetulan saja sebagai hasil evolusi atau hasil ciptaan Tuhan?

  2. Struktur metafisika manusia, apakah yang esensial dari manusia itu badannya atau jiwanya atau badan dan jiwa;

  1. Berbagai karakteristik dan makna eksistensi manusia di dunia, antara lain berkenaan dengan individualitas, sosialitas.

Berdasarkan uraian di atas, dapat kita simpulkan bahwa pengertian hakikat manusia adalah seperangkat gagasan atau konsep yang mendasar tentang manusia dan makna eksistensi manusia di dunia.

Pengertian hakikat manusia berkenaan dengan “prinsip adanya” (principe de’etre) manusia. Dengan kata lain, pengertian hakikat manusia adalah seperangkat gagasan tentang “sesuatu yang olehnya” manusia memiliki karakteristik khas yang memiliki sesuatu martabat khusus” (Louis Leahy, 1985).

Aspek-aspek hakikat manusia, antara lain berkenaan dengan asal-usulnya (contoh: manusia sebagai makhluk Tuhan), struktur metafisikanya (contoh: manusia sebagai kesatuan badan-ruh), serta karakteristik dan makna eksistensi manusia di dunia (contoh: manusia sebagai makhluk individual, sebagai makhluk sosial, sebagai makhluk berbudaya, sebagai makhluk susila, dan sebagai makhluk beragama).

Menurut kaum eksistensialis (dalam Tirta Raharja dan La Sulo, 1985) wujud sifat hakekat manusia melputi:

1. Kemampuan Menyadari Diri

Manusia itu berbeda dengan makhluk lain, karena manusia mampu mengambil jarak dengan obyeknya termasuk mengambil jarak terhadap dirinya sendiri. Dia bisa mengambil jarak terhadap obyek di luar maupun ke dalam diri sendiri. Pengambilan jarak terhadap obyek di luar memungkinkan manusia menegmbangkan aspek sosialnya. Sedangkan pengambilan jarak terhadap diri sendiri, memungkinkaan manusia mengembangkan aspek individualnya.

2. Kemampuan Bereksistensi

Kemampuan mengambil jarak dengan obyekya, berarti manusia mampu menembus atau menerobos dan mengatasi batas-batas yang membelenggu dirinya. Kemampuan menerobos ini bukan hanya dalam kaitannya dengan soal ruang melainkan juga soal waktu. Manusia tidak terbelenggu oleh ruang (di ruang ini atau di sini), dia juga tidak terbelenggu oleh waktu (waktu ini atau sekarang ini), tetapi mampu menembus ke masa depan atau ke masa lampau. Kemampuan menempatkan diri dan menembus inilah yang disebut kemampuan bereksistensi. Justru karena mampu bereksistensi inilah, maka dalam dirinya terdapat unsur kebebasan.

3. Kata hati

Kata hati adalah kemampuan membuat keputusan tentang yang baik dan yang buruk bagi manusia sebagai manusia. Orang yang tidak memiliki pertimbangan dan kemampuan untuk mengambil keputusan tentang yang baik atau yang buruk, atau pun kemampuannya dalam mengambil keputusan tersebut dari sudut pandang tertentu saja, misalnya dari sudut kepentingannya sendiri dikatakan bahwa kata hatinya tidak cukup tajam. Manusia memiliki pengertian yang menyertai tentang apa yang akan, yang sedang dan yang telah dibuatnya, bahkan mengerti pula akibat keputusannya baik atau buruk bagi manusia sebagai manusia.

4. Tanggung jawab

Kesediaan untuk menanggung akibat dari perbuatan yang menuntut jawab. Wujud tanggung jawab bermacam-macam. Ada tanggung jawab kepada diri sendiri, kepada masyarakat dan kepada Tuhan. Tanggung jawab kepada diri sendiri berarti menanggung tuntutan kata hati, misalnya dalam bentuk penyesalan yang mendalam.

Tanggung jawab kepada masyarakat berarti menanggung tuntutan norma- norma social, yang berarti siap menanggung sangsi social manakala tanggung jawab social itu tidak dilaksanakan. Tanggung jawab kepada Tuhan berarti menanggung tuntutannorma-norma agama, seperti siap menanggung perasaan berdosa, terkutuk dsb.

5. Rasa Kebebasan

Perasaan yang dimiliki oleh manusia untuk tidak terikat oleh sesuatu, selain terikat (sesuai) dengan tuntutan kodrat manusia. Manusia bebas berbuat sepanjang tidak bertentangan (sesuai) dengan tuntutan kodratnya sebagai manusia. Orang hanya mungkin merasakan adanya kebebasan batin apabila ikatan-ikatan yang ada telah menyatu dengan dirinya, dan menjiwai segenap perbuatannya.

6. Kewajiban dan Hak

Dua macam gejala yang timbul sebagai manifestasi dari manusia sebagai makhluk sosial. Keduanya tidak bisa dilepaskan satu sama lain, karena yang satu mengandaikan yang lain. Hak tak ada tanpa kewajiban, dan sebaliknya. Dalam kenyataan sehari-hari, hak sering diasosiasikan dengan sesuatu yang menyenangkan, sedangkan kewajiban sering diasosiasikan dengan beban. Ternyata, kewajiban itu suatu keniscayaan, artinya, selama seseorang menyebut dirinya manusia dan mau dipandang sebagai manusia, maka wajib itu menjadi suatu keniscayaan, karena jika mengelaknya berarti dia mengingkari kemanusiaannya sebagai makhluk sosial.

7. Kemampuan Menghayati Kebahagiaan

Kebahagiaan manusia itu tidak terletak pada keadaannya sendiri secara factual, atau pun pada rangkaian prosesnya, maupun pada perasaan yang diakibatkannya, tetapi terletak pada kesanggupannya atau kemampuannya menghayati semuanya itu dengan keheningan jiwa, dan mendudukkan hal-hal tersebut dalam rangkaian atau ikatan tiga hal, yaitu; usaha, norma-norma dan takdir.

Berbicara tentang hakekat manusia membawa kita berhadapan dengan pertanyaan sentral dan mendasar tentang manusia, yakni apakah dan siapakah manusia itu? Untuk menjawab pertanyaan tersebut telah banyak upaya dilakukan, namun rupa-rupanya jawaban-jawaban itu secara dialektis melahirkan pertanyaan baru, sehingga upaya pemahaman manusia masih merupkan pokok yang problematis. Dengan ungkapan lain, manusia masih merupakan misteri bagi dirinya sendiri. Informasi penting sekitar kemesterian manusia dapat dilihat dalam buku berjudul Manusia, Sebuah Misteri, karya dari Louis Leahy (1989).

Dalam beberapa sumber pustaka dapat ditemukan berbagai rumusan tentang manusia. Manusia adalah makhluk yang pandai bertanya, bahkan ia mempertanyakan dirinya sendiri, keberadaannya dan dunia seluruhnya. Binatang tidak mampu berbuat demikian dan itulah salah satu alasan mengapa manusia menjulang tinggi di atas binatang. Manusia yang bertanya tahu tentang keberadaannya dan ia pun menyadari juga dirinya sebagai penanya. Jadi, dia mencari dan dalam pencariannya ia mengandaikan bahwa ada sesuatu yang bisa ditemukan, yaitu kemungkinan-kemungkinannya, termasuk kemampuannya mencari makna kehidupannya (der Weij, 1991).

Drijarkara dalam bukunya Filsafat Manusia (1969) mengatakan bahwa manusia adalah makhluk yang berhadapan dengan dirinya sendiri. Tidak hanya berhadapan, tetapi juga menghadapi, dalam arti mirip dengan menghadapi soal, menghadapi kesukaran dsb. Jadi, dia melakukan, mengolah diri sendiri, mengangkat dan merendahkan diri sendiri dsb. Dia bisa bersatu dengan dirinya sendiri, dia juga bisa mengambil jarak dengan dirinya sendiri.

Bersama dengan itu, manusia juga makhluk yang berada dan menghadapi alam kodrat. Dia merupakan kesatuan dengan alam, tetapi juga berjarak dengannya. Dia bisa memandangnya, bisa mempunyai pendapat-pendapat terhadapnya, bisa merubah dan mengolahnya. Hewan juga berada dalam alam, tetapi tidak berhadapan dengan alam, tidak mempunyai distansi. Perhatikan hewan, dia tidak bisa memperbaiki alam, tidak bisa menyerang alam dengan teknik.

Lebih lanjut Drijarkara mengatakan bahwa manusia itu selalu hidup dan merubah dirinya dalam arus situasi konkrit. Dia tidak hanya berubah dalam tetapi juga karena dirubah oleh situasi itu. Namun, dalam berubah-ubah itu, dia tetap sendiri. Manusia selalu terlibat dalam situasi, situasi itu berubah dan merubah manusia. Dengan ini dia menyejarah.

Ilmu-ilmu kemanusiaan termasuk ilmu filsafat telah mencoba menjawab pertanyaan mendasar tentang manusia itu, sehingga dapat dibayangkan betapa banyak rumusan pengertian tentang manusia. Selain yang telah disebutkan di atas, beberapa rumusan atau definisi lain tentang manusia adalah sebagai berikut: homo sapiens, homo faber, homo economicus, dan homo religiosus. Dengan ungkapan yang berbeda kita mengenal definisi tentang manusia, di antaranya, manusia sebagai: animal rationale, animal symbolicum dan animal educandum .

Banyaknya definisi tentang manusia, membuktikan bahwa manusia adalah makhluk multi dimensional, manusia memiliki banyak wajah. Lalu, wajah yang manakah yang mau kita ikuti? Apakah wajah manusia menurut kacamata seorang biolog? Apakah wajah manusia menurut kacamata seorang psikolog? Apakah wajah manusia menurut kacamata seorang antropolog? Atau yang lainnya? (Poespowardojo, 1978)

Berdasarkan fakta tersebut, maka ada yang mencoba membuat polarisasi pemikiran tentang manusia sebagaimana akan terlihat pada uraian di bawah ini, yakni pola pemikiran biologis, pola pemikiran psikologis, pola pemikiran sosial-budaya, dan pola pemikiran teologis (lihat Basis Edisi Oktober 1980).