Apa yang dimaksud dengan Haji Mabrur?

Haji Mabrur

Secara etimologi, haji artinya pergi ke Ka’bah untuk melaksanakan amalan-amalan tertentu. Atau, haji adalah berziarah ketempat tertentu pada waktu tertentu guna melaksanakan amanat tertentu. Secara terminologi haji berarti mengunjungi Ka’bah untuk beribadah kepada Allah SWT dengan rukun-rukun tertentu dan beberapa syarat tertentu serta beberapa kewajibannya dan mengerjakannya pada waktu tertentu.

Apa yang dimaksud dengan haji mabrur?

Haji merupakan salah satu rukun Islam yang diwajibkan bagi orang yang sudah mampu atau telah memenuhi segala persyaratannya. Pergi haji juga bisa berarti jihad di jalan Allah; mencurahkan harta, tenaga, meninggalkan keluarga dan negara menuju ke Tanah Haram untuk memenuhi panggilan-Nya.

Bahkan di Indonesia orang yang mau berangkat haji harus mengantre terlebih dulu sampai bertahun-tahun karena memang adanya keterbatasan kuota untuk jamaah haji sehingga butuh kesabaran ekstra. Mereka yang pergi haji jelas berharap mendapatkan haji yang mabrur karena balasan haji mabrur adalah surga sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam:

“Tidak ada balasan bagi haji mabrur kecuali surga.” (HR An-Nasa’i)

Perihal mabrur, ada banyak pendapat ulama.

Pertama, haji mabrur adalah haji yang tidak tercampuri kemaksiatan, dan kata “al-mabrur” itu diambil dari kata al-birr yang artinya ketaatan. Dengan kata lain haji mabrur adalah haji yang dijalankan dengan penuh ketaatan sehingga tidak tercampur dengan dosa. Pendapat ini menurut Muhyiddin Syarf an-Nawawi, dipandang sebagai pendapat yang paling sahih.

“Menurut Muhyiddin Syarf an-Nawawi makna hadits “Tidak ada balasan bagi haji mabrur kecuali surga” adalah bahwa ganjaran bagi orang dengan haji mabrur tidak hanya sebatas penghapusan sebagian dosa. Mabrur itu yang mengharuskan ia masuk surga. Imam Nawawi berkata: ‘Yang paling sahih dan masyhur adalah bahwa haji mabrur yang bersih dari dosa itu diambil dari al-birr (kebaikan) yaitu ketaatan”. (Lihat, Jalaluddin as-Suyuthi, Syarhus Suyuthi li Sunan an-Nasa’i, Halb-Maktab al-Mathbu’at al-Islamiyyah, cet ke-2, 1406 H/1986 H, juz, V, h. 112).

Kedua, bahwa haji mabrur adalah haji maqbul (diterima) dan dibalas dengan al-birr (kebaikan) yaitu pahala.

Sedang bukti bahwa haji seseorang itu maqbul atau mabrur adalah ia kembali menjadi lebih baik dari sebelumnya dan tidak mengulangi perbuatan maksiat.

“Ada pendapat yang mengatakan: ‘Haji mabrur adalah haji yang diterima yang dibalas dengan kebaikan yaitu pahala. Sedangkan pertanda diterimanya haji seseorang adalah kembali menjadi lebih baik dari sebelumnya dan tidak mengulangi melakukan kemaksiatan.” (Jalaluddin as-Suyuthi, Syarhus Suyuthi li Sunan an-Nasa’i, juz, V, h. 112).

Ketiga, haji mabrur adalah haji yang tidak ada riya. Keempat, haji mabrur adalah haji yang tidak diiringi kemaksiatan. Jika kita cermati dengan seksama maka pendapat ketiga dan keempat ini pada dasarnya sudah tercakup dalam pendapat sebelumnya.

“Ada ulama yang mengatakan haji mabrur adalah haji yang tidak ada unsur riya` di dalamnya. Ada lagi ulama yang mengatakan bahwa haji mabrur adalah yang tidak diiringi dengan kemaksiatan. Kedua pandangan ini masuk ke dalam kategori pandangan sebelumnya.” (Jalaluddin as-Suyuthi, Syarhus Suyuthi li Sunan an-Nasa’i, juz, V, h. 112).

Antara pendapat satu dan yang lainnya pada dasarnya saling berkait-kelindan dan mendukung satu sama lain. Intinya haji mabrur adalah haji yang dijalankan dengan pelbagai ketentuannya sesempurna mungkin. Demikian sebagaimana disimpulkan al-Qurthubi.

“Al-Qurthubi berkata: ‘Bahwa pelbagai pendapat tentang penjelasan haji mabrur yang telah dikemukakan itu saling berdekatan. Kesimpulannya haji mabrur adalah haji yang dipenuhi seluruh ketentuanya dan dijalankan dengan sesempurna mungkin oleh pelakunya (mukallaf) sebagaimana yang dituntut darinya”. (Jalaluddin as-Suyuthi, Syarhus Suyuthi li Sunan an-Nasa’i, juz, V, h. 112).

Lantas bagaimana dengan tanda atau ciri haji mabrur? Dengan mengacu pada penjelasan di atas, maka salah satu tanda hajinya seseorang mabrur adalah ia menjadi orang yang lebih baik dari sebelumnya, dan tidak mengulangi perbuatan maksiat atau dosa.

Pengertian Haji


Kata haji mempunyai beberapa makna, secara arti kata, lafadz haji berasal dari bahasa arab “ ّحج “berarti bersengaja. الحج menurut bahasa artinya ُدْصَالق) bertujuan atau berkeinginan). Adapun ّالحج menurut syariat adalah bertujuan pada Baitulharam untuk melakukan suatu perbuatan (ibadah) khusus pada waktu yang khusus (yang ditentukan waktunya) (Al-Bassam, 2006). Menurut pengertian etimologi, haji artinya pergi ke Ka’bah untuk melaksanakan amalan-amalan tertentu. Atau, haji adalah berziarah ketempat tertentu pada waktu tertentu guna melaksanakan amanat tertentu (Az-Zuhaili, 2011). Secara terminologi haji berarti mengunjungi Ka’bah untuk beribadah kepada Allah SWT dengan rukun-rukun tertentu dan beberapa syarat tertentu serta beberapa kewajibannya dan mengerjakannya pada waktu tertentu.

Hukum Haji


Haji adalah rukun Islam yang kelima, dan merupakan ibadah dan ritual terakhir yang diwajibkan, dan Allah SWT telah tetapkan ketentuan dan petunjuknya. Karena pensyariatannya turun pada tahun kesembilan Hijriyah menurut pendapat terkuat. Haji merupakan perjalanan tersendiri didalam dunia travelling dan wisata. Seorang muslim dalam perjalanan itu berpindah dari negaranya menuju negeri yang aman. Islam menjadikannya sebagai lambang tauhid kepada Allah SWTdan kesatuan kaum muslimin. Maka diwajibkan atas seorang muslim untuk menghadap ke arah kiblat itu setiap hari dalam shalatnya. Kemudian ia diwajibkan mengelilinginya dengan badannya sekali seumur hidup.

Ibadah haji dilakukan pada waktu, tempat dan cara yang telah ditetapkan Allah SWT. Hal ini menunjukkan adanya penentuan dalam konsep dan pelaksanaan haji untuk keragaman muslim dalam mengabdikan diri terhadap Allah SWT.

Ibadah haji ditekankan kepada muslim yang mampu untuk naik haji tersebut. Sebagaimana firman Allah SWT dalam al-Qur’an surat Ali-Imran : 97

“Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah. Barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Maha kaya (tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam."

Juga mengingat Hadits Nabi Muhammad SAW. Dari Ibnu Umar yang berbunyi:

“Dari Abu Abdurrahman Abdullah bin Umar bin Khattab Radhiyallahu ‘anhuma berkata, Aku pernah mendengar Rasullullah SAW bersabda, “Islam dibangun di atas lima dasar, bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah, dan mendirikan shalat, membayar zakat, mengerjakan haji ke Baitullah, dan berpuasa pada bulan ramadhan.”

Haji Mabrur


Istilah mabrur berasal dari bahasa Arab. Kata dasar dari istilah ini adalah barra yang mengandung empat makna: kebenaran, daratan, jenis tumbuhan, dan menirukan suara. Dari maknanya yang pertama (yaitu kebenaran), kata barra diartikan sebagai “ketaatan, menepati janji, kejujuran dalam cinta”. Dari sini dapat dimaknai bahwa seseorang yang berderajat mabrur adalah:

  • orang yang senantiasa benar [karena selalu berpegang teguh pada kebenaran];

  • orang yang taat [karena ia membenarkan apa pun yang datangnya dari Allah SWT yang ia taati]

  • orang yang menepati janji [karena ia selalu membenarnya ucapan dan janjinya]

  • orang yang berpegang teguh dalam kejujuran. Dari maknanya yang kedua (yaitu daratan), kata barra diartikan sebagai luas, padang pasir, masyarakat manusia. Dari sini dapat dimaknai bahwa hakekat seseorang yang berderajat mabrur adalah orang memiliki kebaikan-kebaikan yang teramat luas terhadap sesama makhluk, yang keluasannya dalam kebaikan menyerupai lautan padang pasir yang tidak bertepi. Dalam istilah Arab disebut at-tawassu’u fi fi’lil khair (memiliki keluasan dalam kebajikan).

Dari pemaknaan atas kata barra di atas, maka ulama berpendapat bahwa Bir Al-Hajj atau kebajikan haji sebagai modal terbentuknya kemabruran haji adalah:

  • Niat yang benar, niat mulia, niat yang jernih, kehendak agung, arah yang selamat, pikiran dan pandangan yang tidak kabur, niat dan amalan yang ikhlas semata karena Allah SWT serta terhindar dari riya’, ujub, pamer dan sejenisnya seperti ingin gengsinya naik karena menyandang gelar haji.

  • Haji yang dilakukan tidak bertentangan dengan tatacara haji yang pernah dituntunkan Rasulullah SAW. Seluruh proses, urut-urutan, cara ibadah, dan doa-doa yang dibaca sewaktu menjalankan ibadah haji hendaknya mengikuti cara yang dicontohkan Nabi SAW. “Ikutilah cara berhajiku…,” sabda Rasulullah SAW dalam hadits riwayat Muslim, Ahmad, Abu Daud dan An-Nasai.

  • Haji yang mabrur adalah haji yang dibiayai dengan harta yang halal. Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Thabrani, Rasulullah SAW menegaskan, “Jika seseorang pergi menunaikan haji dengan biaya dari harta yang halal, kemudian ia mengucapkan labbaikallaahumma labbaik (ya Allah, inilah aku datang memenuhi panggilan-Mu), akan berkata penyeru dari langit, ‘Allah menyambut dan menerima kedatanganmu dan semoga kamu berbahagia; perbekalanmu halal, pengangkutanmu juga halal, maka hajimu mabrur, tidak dicampuri dosa. Jika ia pergi dengan harta yang haram, dan ia mengucapkan labbaik, maka penyeru dari langit mengatakan, ‘Tidak diterima kunjunganmu dan engkau tidak berbahagia. Bekalmu haram, pembelanjaanmu juga haram, maka hajimu ma’zur (mendatangkan dosa), tidak diterima.”

  • Berbuat baik kepada sesama makhluk Allah SWT. Ketika Rasulullah SAW ditanya oleh Sahabat beliau tentang Al-Birr (kebajikan), beliau menjawab, “Al-birru khusnul huluq” (Al-Birr itu adalah akhlak yang bagus). Di saat lain ketika ditanya hal serupa, beliau menjawab, “Birr Al-Hajj adalah ith’aamuth-thaaam wa thayyibul kalaam” (memberikan makanan dan bagusnya ucapan). Ulama menegaskan termasuk dalam khusnul huluq adalah nafkah yang halal, keadaan diri yang senantiasa penuh adab (beradab), serta mewajibkan diri menetapi peraturan, dan kebaikan-kebaikannya sangat luas, ibarat lautan padang pasir yang tidak bertepi.

  • Menjauhi segala perbuatan dosa seperti rafats (kotor, keji, saru, mesum, birahi, tidak senonoh), fusuq (keluar dari jalan yang haq, sesat), dan jidal (perdebatan yang sia-sia, adu-mulut, pertengkaran, mau benarnya sendiri).

  • Yang paling agung dari Bir Al-Hajj adalah senantiasa berdzikir (dengan lebih banyak dan lebih dahsyat), menyebut-nyebut asma, kesucian dan keagungan Allah di sembarang tempat dan waktu, melebihi puji-pujian yang diberikan kepada nenek moyang atau orang-orang terdahulu.

  • Melanggengkan amal setelah pulang dari Tanah Suci. Haji mabrur akan selalu mengulang dan mengulang kebaikankebaikan yang pernah dilakukan, serta tidak kembali melakukan kemaksiatan. Jadi tugas haji mabrur adalah tidak sebatas beramal saleh saja, tetapi menjaga semua amalnya agar tetap lestari, bahkan meningkat, dan terhindar dari apa saja yang dapat merusak dan menggugurkan pahalanya. Musyrik, riya’, amal yang tidak sesuai tuntunan agama, merasa paling berjasa di hadapan Allah, mengganggu sesama makhluk, menentang dan meremehkan ajaran Allah, semuanya dapat membatalkan amal dan kemabruran.

Mabrur takwilnya adalah sebagai berikut :

  1. mim م : makhluk berakal (manusia)
  2. ba ب : beserta
  3. ro ر : Tuhan Maha pengatur (Allah)
  4. waw و : tunduk/nurut
  5. ro ر : pengaturan

Mabrur adalah Orang (manusia) yang beserta Allah dan tunduk mengikuti pengaturan-Nya.

Jadi Haji Mabrur adalah …??

Mursyid Syech Muhammad Zuhri