Ginjal adalah organ yang berfungsi mengatur keseimbangan cairan tubuh dengan cara membuang sampah-sampah sisa metabolisme dan menahan zat-zat yang dibutuhkan tubuh. Fungsi ini amat penting bagi tubuh untuk menjaga homeostasis. Homeostasis amat penting dijaga karena sel-sel tubuh hanya bisa berfungsi pada keadaan cairan tertentu.
Walupun begitu, ginjal tidak selalu bisa mengatur keadaan cairan tubuh dalam kondisi normal. Pada keadaan minimal, ginjal harus mengeluarkan minimal 0,5 l air per hari untuk kebutuhan pembuangan racun. Hal ini tetap harus dilakukan walaupun tubuh berada dalam kondisi dehidrasi berat.
Secara singkat, kerja ginjal bisa diuraikan menjadi:
-
Mempertahankan keseimbangan kadar air (H2O) tubuh.
-
Mempertahankan keseimbangan osmolaritas cairan tubuh.
-
Mengatur jumlah dan konsentrasi dari kebanyakan ion di cairan ekstraselular. Ion-ion ini mencakup Na+, Cl-, K+,Mg2+, SO42-, H+, HCO3-, Ca2+, dan PO 2-. Kesemua ion ini amat penting dijaga konsentrasinya dalam kelangsungan hidup organisme.
-
Mengatur volume plasma.
-
Membantu mempertahankan kadar asam-basa cairan tubuh dengan mengatur ekskresi H+ dan HCO3-.
-
Membuang sampah-sampah sisa metabolisme yang beracun bagi tubuh, terutama bagi otak.
-
Membuang berbagai komponen asing seperti obat, bahan aditif makanan, pestisida, dan bahan exogen non-nutritif lain yang masuk ke tubuh.
-
Memproduksi erythropoietin.
-
Memproduksi rennin untuk menahan garam.
-
Mengubah vitamin D ke bentuk aktifnya.
Sistem ekskresi sendiri terdiri atas 2 buah ginjal dan saluran keluar urin. Ginjal sendiri mendapatkan darah yang harus disaring dari arteri yang masuk ke medialnya. Ginjal lalu akan mengambil zat-zat yang berbahaya dari darah dan mengubahnya menjadi urin. Urin lalu akan dikumpulkan dan dialirkan ke ureter. Dari ureter, urin akan ditampung terlebih dahulu di ke kandung kemih. Bila orang tersebut merasakan keinginan micturisi dan keadaan memungkinkan, maka urin yang ditampung di kandung kemih akan dikeluarkan lewat urethra.
Unit fungsional ginjal terkecil yang mampu menghasilkan urin disebut nefron. Tiap ginjal bisa tersusun atas 1 juta nefron yang saling disatukan oleh jaringan ikat. Susunan nefron-nefron ini membagi ginjal menjadi 2 bagian, yaitu cortex dan medulla. Nefron sendiri terdiri atas glomerulus dan tubulus.Glomerulus tersusun atas pembuluh darah-pembuluh darah yang membentuk suatu untaian di kapsula Bowman. Glomerulus berasal dari arteri ginjal. Arteri ini awalnya terbagi menjadi banyak afferent arterioles yang masing-masing menuju 1 nefron dan menjadi glomrulus. Glomerulus akan berakhir di efferent arterioles. Arteriol terakhir tersebut lalu menjadi kapiler yang berfungsi memberi pasokan oksigen dan energi bagi ginjal. Kapiler ini sekaligus berfungsi menerima zat-zat reabsorbsi dan membuang zat-zat sekresi ginjal.
Tubulus ginjal tersusun atas sel-sel epitel kuboid selapis. Tubulus ini dimulai dari kapsula Bowman lalu menjadi tubulus kontortus proximal, lengkung Henle, tubulus kontortus distal, dan berakhir di tubulus pengumpul. Seluruh bagian tubulus kontortus berada di korteks, sementara lengkung Henle ada di Medulla. Jalur naik dari tubulus kontortus distal akan lewat di antara afferent dan efferent arterioles. Struktur ini disebut juxtaglomerular apparatus.
Nefron ginjal sendiri terbagi atas 2 jenis, nefron crtical yang lengkung Henlenya hanya sedikit masuk medulla dan memiliki kapiler peritubular , dan nefron juxtamedullary yang lengkung Henlenya panjang ke dalam medulla dan memiliki vasa recta. Vasa Recta dalah susunan kapiler yang memanjang mengikuti bentuk tubulus dan lengkung Henle. Secara makroskopis, korteks ginjal akan terlihat berbintik-bintik karena adanya glomerulus, sementara medulla akan terlihat bergaris-garis karena adanya lengkung Henle dan tubulus collectus.
Tiga proses utama akan terjadi di nefron dalam pembentukan urin, yaitu filtrasi, reabsorsi, dan sekresi. Filtrasi akan mengambil 20% plasma yang masuk glomerulus tanpa menyeleksinya. Kurang lebih akan didapat 125 ml filtrat/menit atau 180 l/hari. Dari jumlah itu, 178,5 l/hari akan direabsorbsi. Maka rata-rata urin orang normal adalah 1,5 l/hari.
Penyakit Ginjal Kronik
1. Batasan dan Definisi
Penyakit ginjal kronik adalah suatu proses patofisiologis dengan etiologi yang beragam, mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang progresif, dan pada umumnya berakhir dengan gagal ginjal. Selanjutnya, gagal ginjal adalah suatu keadaan klinis yang ditandai dengan penurunan fungsi ginjal yang ireversibel, pada suatu derajat yang memerlukan tetapi pegganti ginjal yang tetap, berupa dialisis atau transplantasi ginjal. Uremia adalah suatu sindrom klinik dan laboratorik yang terjadi pada semua organ, akibat pentiriman fungsi ginjal pada penyakit ginjal kronik.[1]
Kriteria penyakit ginjal kronik adalah:[2]
-
Kerusakan ginjal yang terjadi lebih dari 3 bulan, berupa kelainan struktural atau fungsional, dengan atau tanpa penurunan laju filtrasi glomerulus (LFG), dengan manifestasi klinis.
-
Terdapat tanda kelainan ginjal termasuk kelainan dalam komposisi darah atau urin, atau kelainan dalam tes pencitraan.
Pada keadaan tidak terdapat kerusakan ginjal lebih dari 3 bulan, dan LFG sama atau lebih dari 60 ml/menit/1,73 m2, tidak termasuk kriteria penyakit ginjal kronik.[2]
Secara umum, etiologi penyakit ginjal kronik mencakup diabetes mellitus, hipertensi, penyakit glomerular non diabetik, penyakit ginjal polikistik, dan penyakit tubulointerstitial. DM dan hipertensi adalah penyebab yang paling utama.[1]
Etiologi penyakit ginjal kronik sangat bervariasi antara satu negara dengan negara lain. [2]
2. Klasifikasi
Klasifikasi penyakit ginjal kronik didasarkan atas dua hal yaitu, atas dasar derajat (stage) penyakit dan atas dasar diagnosis etiologi. Klasifikasi atas dasar derajat penyakit, dibuat atas dasar LFG yang dihitung dengan mempergunakan rumus Kockeroft-Gault sebagai berikut: [2]
*) pada perempuan dikalikan 0, 85
Berdasarkan LFG, penyakit ginjal kronik lalu diklasifikasikan sebagai:[2]
-
Derajat 1 bila telah terjadi kerusakan ginjal namun nilai LFG masih normal ( > 90 ml/mnt/1,73 m2)
-
Derajat 2 bila telah terjadi kerusakan ginjal dengan LFG turun ringan (60-89 ml/mnt/1,73 m2)
-
Derajat bila telah terjadi kerusakan ginjal dengan LFG turun sedang (30-59 ml/mnt/1,73 m2)
-
Derajat 4 bila telah terjadi kerusakan ginjal dengan LFG turun berat (15-29 ml/mnt/1,73 m2)
-
Derajat 5 bila telah terjadi gagal ginjal dengan LFG <15 ml/mnt/1,73 m2 atau sudah membutuhkan terapi hemodialisis.
3. Epidemiologi
Di Amerika Serikat, data tahun 1995-1999 menyatakan insidens penyakit ginjal kronik diperkirakan 100 kasus perjuta penduduk pertahun, dan angka ini meningkat sekitar 8% setiap tahunnya. Di Malaysia, dengan populasi 18 juta, diperkirakan terdapat 1800 kasus baru gagal ginjal pertahunnya. Di negara-negara berkembang lainnya, insiden ini diperkirakan sekitar 40-60 kasus perjuta penduduk per tahun. [2]
4. Patofisiologi
Patofisiologi penyakit ginjal kronik pada awalnya tergantung pada penyakit yang mendasarinya, tapi dalam perkembangan selanjutnya proses yang terjadi kurang lebih sama. Pengurangan massa ginjal mengakibatkan hipertrofi. struktural dan fungsional nefron yang masih tersisa (surviving nephrons) sebagai upaya kompensasi, yang diperantarai oleh molekul vasoaktif seperti sitokin dan growth factors. Hal ini mengakibatkan terjadinya hiperfiltrasi, yang diikuti oleh peningkatan tekanari kapiler dan aliran darah glomerulus. Proses adaptasi ini berlangsung singkat, akhimya diikuti oleh proses, maladaptasi berupa sklerosis nefron yang masih tersisa. Proses ini akhirnya diikuti dengan penurunan fungsi nefron yang progresif, walaupun penyakit dasarnya sudah tidak aktif lagi. Adanya peningkatan aktivitas aksis renin-angiotensin-aldosteron intrarenal, ikut memberikan kontribusi terhadap terjadinya hiperfiltrasi, sklerosis dan progresifitas tersebut. Aktivasi jangka panjang aksis reninangiotansin-aldosteron, sebagian diperantarai oleh growthfactor seperti transforming growthfactorp (TGF- 0).
Beberapa hal yang juga dianggap berperan terhadap terjadinya progresifitas Penyakit ginjal kronik adalah albuminuria, hipertensi, hiperglikernia, dislipidemia. Terdapat variabilitas interindividual untuk terjadinya sklerosis dan fibrosis glomerulus maupun tubulointerstitial.[2]
Pada stadium paling dini penyakit ginjal kronik, terjadi kehilangan daya cadang ginjal (renal reserve), pada keadaan mana basal LFG masih normal atau malah meningkat. Kemudian secara perlahan tapi pasti, akan terjadi penurunan fungsi nefron yang progresif, yang ditandai dengan peningkatan kadar urea dan kreatinin serum. Sampai pada LFG sebesar 60%, pasien masih belum merasakan keluhan (asimtomatik), tapi sudah terjadi peningkatan kadar urea dan kreatinin serum. Sampai pada LFG sebesar 30%, mulai terjadi keluhan pada pasien seperti, nokturia, badan lemah mual nafsu makan kurang dan penurunan berat badan. Sampai pada LFG di bawah 30%, pasien memperlihatkan gejala dan tanda uremia yang nyata seperti, anemia, peningkatan tekanan darah, gangguan metabolisme fosfor dan kalsium, pruritus, muntah dan lain sebagainya. Pasien juga mudah terkena infeksi seperti infeksi saluran kemih, infeksi saluran napas, maupun infeksi saluran cema. Juga akan terjadi gangguan keseimbangan air seperti hipo atau hipervolemia, gangguan keseimbangan elektrolit antara lain natrium dan kalium. Pada LFG di bawah 15% akan terjadi gejala dan komplikasi yang lebih serius, dan pasien sudah memerlukan tetapi pengganti ginjal (renal replacement therapy) antara lain dialisis atau tansplantasi ginjal. Pada keadaan ini pasien dikatakan sampai pada stadium gagal ginjal.[2]
5. Gambaran Klinis
Gambaran klinis pasien penyakit ginjal kronik bisa dibagi atas:[2]
-
Sesuai dengan penyakit yang mendasari seperti diabetes melitus, infeksi traktus urinarius, batu traktus urinarius, hipertensi, hiperurikemi, Lupus Eritomatosus Sistemik (LES), dan lain sebagainya.
-
Sindrom uremia, yang terdiri dari lemah, letargi, anoreksia, mual muntah, nokturia, kelebihan volume cairan (volume overload), neuropati perifer, pruritus, uremic frost, perikarditis, kejang-kejang sampai koma.
-
Gejala komplikasinya antara lain, hipertensi, anemia, osteodistrofi renal, payah jantung, asidosis metabolik, gangguan keseimbangan elektrolit (sodium, kalium, klorida).
6. Terapi
Terapi pada penyakit ginjal kronik bisa dibagi atas terapi untuk penyakit penyebab, memperlambat progresivitas penyakit ginjal kronik, dan penanganan komplikasi. Terapi untuk penyakit penyebab tentu sesuai dengan patofisiologi masing-masing penyakit. Pencegahan progresivitas penyakit ginjal kronik bisa dilakukan dengan beberapa cara, antara lain restriksi protein, kontrol glukosa, control tekanan darah dan proteinuria, penyesuaian dosis obat-obatan, dan edukasi. Pada pasien yang sudah gagal ginjal dan terdapat gejala uremia, hemodialisis atau terapi pengganti lain bisa dilakukan.[1]
Referensi:
[1] Skorecki K, Green J, Brenner BM. Chronic renal failure in Harrison’s principles of internal medicine 16th ed. USA: McGraw-Hill. 2005. p. 1653-1663
[2] Suardjono, Lydia A. Penyakit ginjal kronik dalam Buku ajar ilmu penyakit dalam jilid II ed 3. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. 1999. h. 427-437