Apa yang dimaksud dengan fitnah anak?

Fitnah

Hai orang-orang mukmin, sesungguhnya di antara isteri-isterimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka dan jika kamu memaafkan dan tidak memarahi serta mengampuni (mereka) maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Surat At-Tagabun Ayat 14

Apa yang dimaksud dengan Fitnah Anak ?

Sesungguhnya nikmat Allah yang dicintai oleh jiwa adalah nikmat anak- anak, merekalah perhiasan dan keceriaan hidup.

Allah berfirman

“Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia tetapi amalan-amalan yang kekal lagi saleh adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan” QS Al-Kahfi ayat 46

Tapi nikmat ini tidak terlepas dari menjadi sumber fitnah dari pemiliknya. Allah berfirman

“Sesungguhnya hartamu dan anak-anakmu hanyalah cobaan (bagimu), dan di sisi Allah-lah pahala yang besar.” QS Attaghabun ayat 15

Yaitu ujian dan cobaan dari Allah Ta’ala bagi makhluknya agar jelas siapa yang taat kepada-Nya dan siapa yang bermaksiat kepada-Nya.

Ada sebagian orang yang bertaqwa kepada Allah Ta’ala dalam nikmat anak anak ini, mereka memberikan perhatian atau dia mengayomi mereka dengan mendidik mereka dengan didikan yang sholeh dan dalam lingkungan islami, sehingga mereka menjadi individu-individu sholeh dan menjadi penolong orang tua mereka dalam ketaatan kepada Allah. Ada sebagian orang yang tidak memberikan perhatian pendidikan islami, lalu melepaskan anak-anaknya bebas sehingga mereka menjadi sumber kecelakaan dan kesengsaraan dan fitnah bagi kedua orang tua mereka, oleh karena itu Allah Ta’ala berfirman

“Hai orang-orang mukmin, sesungguhnya di antara isteri-isterimu dan anak-anakmu ada yang menjadi musuh bagimu maka berhati-hatilah kamu terhadap mereka dan jika kamu memaafkan dan tidak memarahi serta mengampuni (mereka) maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” QS Attaghabun ayat 14

Musuh dalam ayat ini memiliki banyak makna di antaranya:

  1. Dia lalai dari amal sholeh dengan sebab anak anak mereka
  2. Anak anak mereka membawanya memutuskan tali silaturahim atau maksiat. Orang tua dengan kecintaan kepada anak anak mereka, terpaksa mengikutinya

Dalam rangka kehati-hatian dari terjatuh dari fitnah ini, hendaknya kedua orang tua mengamalkan atau memperhatikan dua sisi berikut:

Sisi Pertama: Al-Ihtisab (Mengharap Pahala)

Jika seorang muslim memahami dengan pemahan yang menyeluruh makna ibadah seperti yang disebutkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah Rahmatallah Ta’ala: Ibadah itu adalah satu kata yang mencakup seluruh aktifitas yang dicintai dan diridhoi oleh Allah baik yang berupa kata- kata suatu ucapan, ataupun perbutan yang dhohir maupun batin.

Maka diketahui bahwa seluruh aktifitas duniawi yang dilakukannya masuk ke dalam katagori ibadah apabila dia mengharapkan pahala dari Allah. Di antara aktifitas-aktifitas tersebut adalah mengayomi dan mendidik anak anak. Di antara nikmat-nikmat Allah kepada hambanya adalah diberikakannya taufik untuk Ihtisaab (mengharap pahala dari Allah atas perbuatannya itu), karena tidak ada orang merasa sempit dari tanggung jawab keluarga dan anak anak kecuali akan tercegah dari mendapatkan pahala.

Disebutkan dalam hadits dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu: Rasulullah Salallahu Alaihi Wassalam bersabda:

“Jika manusia meninggal dunia maka terputuslah amalannya kecuali tiga perkara : sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, anak sholeh yang mendoakannya.”

Rasulullah Salallahu Alaihi Wassalam bersabda:

“Bahwa sesorang ditinggikan derajatnya pada di surga pada hari kiamat, lalu dia bertanya dari mana aku mendapatkan ini, dikatakan kepadanya, itu disebutkan istighfar (permohonan ampun) dari anakmu untukmu.”

Apabila kedua orang tua merasakan keutamaan yang besar ini maka kedua nya akan mengerahkan kemampuannya untuk mendidik anaknya agar mereka tumbuh dan berkembang di atas istiqomah dan keshalehan kemudian kedua orang tuanya dapat keuntungan atau manfaat dalam kehidupan dunia dengan bakti mereka kepadanya dan setelah meninggal dunia dengan doa dan istighfar dari mereka dengan terus menuerus mengharapkan pahala dari Allah atas kesulitan dan kepayahan dari mendidik anak.
Seorang Ibu diutamakan oleh Allah dari ayah dengan tiga aderajat kelebihan.

Dari hadits Abu Hurairah, dia menceritakan ada seorang yang datang menghadap Rasulullah dan bertanya: “Ya Rasulullah siapakah orang yang lebih berhak dengan kebaikanku?”, jawab Rasulullah Salallahu Alaihi Wassalam :

Ibumu, dia bertanya lagi : lalu siapa?, dijawab lagi : Ibumu, dia bertanya lagi : lalu siapa ?, jawabnya : ibumu, dia bertanya lagi : lalu siapa ?, jawabnya : ayahmu.”

Itu karena beban yang dipikul dan pengorbanan yang berlipat-lipat yang seorang ibu berikan kepada anak daripada sang ayah, yaitu berupa mengandung , menyusui, menjaga, mendidik , maka jika seorang ibu mengharap pahala dalam menyusui anaknya, menyiapkan makanan dan langsung turun tangan menjaganya, sedikit istirahat, mengayomi, memperhatikan dan mengajak bermain anaknya , mengajarkan, memberikan jalan solusi bagi masalahnya, maka kesulitan – kesuiitan akan terasa ringan baginya, bahkan kepenatan itu akan berubah menjadi kenikmatan, apabila ia merasa mendapat pahala atas setiap ucapan dan perbuatan yang dia berikan kepada anak – anak, baik yang kecil maupun yang besar.

Demikian juga dengan ayah, yang di atas pundaknya beban besar dalam usaha mencari penghasilan yang halal untuk menunaikan kewajiban menghidupi keluarganya apabila dia menharapkan pahala dalam pekerjaan dan lelahnya dan merasakan bahwa setiap nafkah yang dia berikan kepada istri dan anak-anaknya mendapatkan ganjaran pahala, maka ringan baginya keletihandan kesusahan pekerjaan.

Diantara perkara perkara penting yang harus diiringi dengan ihtsab (mengharap pahala):

1. Infaq

Di dalam hadits riwayat Saad bin Abi Waqaash radhiallahu’anhu, dia menceritakan :

“Pada saat haji wada’ Rasulullah Salallahu Alaihi Wassalam menjengukku yang sedang terbaring sakit, lalu saya mengatakan : “Wahai Rasulullah, keadaan saya semakin parah yang telah engkau lihat saat ini, sedangkan saya adalah orang yang memiliki banyak harta dan saya hanya memiliki seorang perempuan yang akan mewaris harta peninggalan saya, maka bolehkah saya menyedekahkan dua per tiga dari harta saya, beliau menjawab: Jangan!, saya bertanya lagi: bagaimana dengan setengahnya?, beliau menjawab : Jangan!, tapi sedekahkanlah sepertiganya saja, dan sepertiga pun sudah banyak. Sebenarnya jika kamu meninggalkan ahli warismu dalam keadaan kaya itu lebih baik dari pada kamu meninggalkan mereka dalam keadaan yang serba kekurangan dan meminta-meminta pada orang lain, tidakkah kamu menafkahkan suatu nafkah dengan tujuan untuk mencari ridho Allah melainkan kamu akan mendapatkan pahala karena pemberianmu itu, hingga sesuap makanan yang kamu suapkan ke mulut istrimu juga merupakan sedekah darimu.”

Bahkan menafkahi keluarga lebih besar pahalanya dari pada pahala infaq untuk jihad fii sabilillah atau untuk membebaskan hamba sahaya atau untuk bersedekah. Dari Abu Hurairah radhiallahu anhu, dia mengatakan: Rasulullah Salallahu Alaihi Wassalam bersabda:

“Satu dinar yang kamu infaqkan di jalan Allah dan satu dinar yang kamu infaqkan untuk memerdekan hamba sahaya, satu dinar yang engkau sedekahkan kepada orang miskin dan satu dinar yang kau belanjakan atau berikan kepada keluargamu lebih besar pahala dari semua itu yaitu engkau membelanjakan untuk keluargamu.”

Dalam riwayat Tsauban radhiallahu anhu, dia berkata : Rasulullah Salallahu Alaihi Wassalam bersabda :

“Dinar yang paling utama yang dibelanjakan oleh seorang laki laki adalah dinar yang dia belanjakan untuk keluarganya, dinar yang dia belanjakan keduanya dijalan Allah yakni perlengkapan jihad, dinar yang dia belanjakan untuk sahabat sahabat di jalan Allah.”

Abu Qilaabah mengatakan: dan beliau mulai dari keluarga, kemudai Abu Qilabah mengatakan manakah orang yang lebih banyak pahala dari seorang laki-laki yang membelanjakan hartanya atau menafkahkan anak anak yang kecil sehingga mereka tidak meminta-minta ata Allah Ta’ala memberikan manfaat dengannya mencukupi mereka.”

Lawan dari itu ialah orang yang menahan tangannya dari memberi kepada orang yang menjadi tanggungannya, dia pelit kepada mereka. Allah mengancamnya dengan ancaman yang keras, Rasulullah Salallahu Alaihi Wassalam bersabda;

“Cukuplah seorang itu dikatakan berdosa karena ia tidak memberikan nafkah kepada orang- orang yang ditanggungnya.”

Hadits-hadits ini anjuran untuk menafkahi anggota keluarga dan keterangan besarnya pahala yang ada di dalammya.

Maka wajib atas seorang muslim untuk bermurah tangan kepada keluarga dan anak anaknya memberikan nafkah harta yang bisa mencukupi hajat atau keperluan keperluan mereka, makan, minum, pakaian, pelajaran dan lainnya, sehingga mereka tidak memiliki keperluan lagi. Hendaknya mereka memiliki prioritas dalam berinfaq keseluruh jalan-jalan kebaikan yang terkadang dia lakukan. Apabila infaq dijalan Allah, memerdekan budak atau hamba sahaya, sedekah pada fakir miskin tidak lebih utama walaupun di dalammnya ganjaran pahala yang besar, maka yang lebih utama pahalanya yaitu menafkahi istri dan anak anak, sudah pasti menjadi jalan paling selamat untuk meraih ridha Allah yang merupakan keinginan seorang muslim yang paling tinggi.

Dan tidak ada yang lebih utama dari yang utama, kecuali orang yang diberikan taufik oleh Allah, berupa semangat yang tinggi yang selalu membawanya ke tempat yang tinggi, dan ini diperlukan bekal yang banyak berupa mengharap dari Allah semata dalam setiap nafkah yang dia berikan kepada keluarganya sedikit atau banyak sehingga harta itu keluar dari jiwa yang ridha dan qana’ah (rasa cukup).

2. Melahirkan anak perempuan

Di antara hal yang pantas dari seorang ayah untuk mengharapkan pahala di dalamnya adalah kelahiran anak perempuannya, karena ada di antara ayah-ayah yang beda dengan kelahiran anak laiki laki dan tidak gembira dengan kelahiran anak perempuan. Bahkan ada di antara mereka benci dengan anak-anak perempuan yang terkadang marah kepada istrinya, bahkan menceraikannya apabila dia melahirkan anak perempuan, seakan akan urusan ini adalah di tangan istrinya atau dia. Tidaklah yang demikan itu kecuali hanyalah sifat jahiliyah yang mematikan , maka semua urusan hanya milik Allah Sang Maha Pencipta. Allah Ta’ala berfirman

“Kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi, Dia menciptakan apa yang Dia kehendaki. Dia memberikan anak-anak perempuan kepada siapa yang Dia kehendaki dan memberikan anak-anak lelaki kepada siapa yang Dia kehendaki, “atau Dia menganugerahkan kedua jenis laki-laki dan perempuan (kepada siapa) yang dikehendaki-Nya, dan Dia menjadikan mandul siapa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui lagi Maha Kuasa” QS Al-Asyura ayat 49 -50

Jika seorang ayah merasakan bahwa anak anak perempuannya merupakan nikmat besar yang Allah istimewakan untuknya agar dengan sebab mereka dia mendapatkan kebaikan yang banyak dan keutamaan yang besar. Dimana kemungkinan dia tidak akan mendapatkannya jikalau Allah tidak memberikan rizki berupa anak anak perempuan. Maka dia bersyukur atas nikmat Allah dan bergembira dan mengharap pahala dari Allah atas pemeliharaannya serta didiknya kepada mereka yang Islami maka dia termasuk orang orang yang beruntung.

Di dalam hadits Rasulullah Salallahu Alaihi Wassalam bersabda:

“Barang siapa yang diuji dengan anak anak perempuan kemudian dia berbuat baik kepada mereka, maka anak anak perempuan tersebut menjadi penghalangdari siksa api neraka”.

Dan juga Rasulullah Salallahu Alaihi Wassalam bersabda:

“Barang siapa yang mengayomi dua anak perempuan hingga dewasa maka dia akan datang pada hari liamat bersamaku lalu Rasulullah Shalallahu Alaihi Wassalam mendekatkan dua jari beliau”

Dan jalan menuju keutamaan tersebut adalah mengharap pahala dari Allah Ta’ala atas mendidik mereka.

3. Kematian anak-anak

Di antara masalah yang paling besar di mana kedua orang tua hendaknya mengharap pahala di dalamnya adalah kematian anak-anak. Seorang anak baik laki-laki atau perempuan merupakan buah hati yang berjalan di atas bumi bagi kedua orang tuanya, dan merupakan bagian dari tubuh keduanya, dengan adanya mereka, maka kehidupan menjadi indah dan ceria.

Dan meninggalnya mereka adalah musibah paling besar yang dialami oleh kedua orang tua, dan menggoncang perasaan keduanya, seakan musibah tersebut menyalakan api dalam hati, menyemburkan larva air mata dimana tidak ada yang menghentikan derasnya kecuali air harapan pahala atas musibah itu dari Allah Ta’ala .

Di dalam hadits disebutkan, dari Abu Hurairah radhiallahu anhu, dari Rasulullah Salallahu Alaihi Wassalam bersabda :

“Barang siapa yang tiga orang anaknya meninggal dunia sebelum usia baligh, maka mereka bertiga akan menjadi tabir atau pelindung dari dari siksa neraka (atau perawi agak ragu) dia akan dimasukan kedalam surga.”

Dari Abu Hurairah radhiallahu anhu bahwasannya Rasulullah Salallahu Alaihi Wassalam mengatakan wanita wanita dari Anshar:

“Tidaklah salah seorang di antara kalian, tiga anaknya meninggal dunia lalu bersabat kecuali ia akan masuk surga, Salah satu diantara mereka bertanya : Atau dua Ya Rasulullah ?, Rasulullah menjawab : dua.”

Dan darinya juga : Dia mengatakan Rasulullah Salallahu Alaihi Wassalam bersabda :

“Tidaklah seorang muslim ditinggal mati oleh tiga anaknya yang belum mencapai umur baligh, melainkan Allah akan memasukannya ke dalam surga karena karunia dan rahmatnya kepada mereka.” Dia mengatakan: “Dikatakan kepada mereka masuklah kedalam surga, lalu mereka mengatakan: Kami tidak akan masuk surga sehingga sampai ayah ayah kami, lalu dikatakan kepada mereka : Masuklah ke dalam surga kalian bersama orang tua kalian.”

Dari Hamad bin Salamah, dari Abu Sinan yaitu Eisa bin Sinan Al Qosamli, dia menceritakan,

“Aku menguburkan anakku Sinan, sementara Abu Tolhah al-Khaulani duduk di tepi lubang kubur. Ketika aku mau keluar dari lubang kubur ia menarik tangan ku lalu mengatakan : ‘Maukah kamu aku berikan kabar gembira wahai Abu Sinan?”, maka aku jawab, “Tentu”, lalu ia mengatakan, Adhhoha bin Abd Rahman bin Ahzab telah meriwayatkan kepadaku dari Abu Musa al Atssari bahwa Rasulullah Solallohu’alaihi wasallam bersabda :

“Jika putra seorang hamba meninggal dunia, ALLAH subhanahu wa ta’ala berfirman kepada malaikat : kalian telah mengambil putra hamba Ku mereka berkata : yaa,….Allah berfirman : kalian telah mengambil buah hati hamba Ku ? Mereka berkata : Yaa, Allah berfirman : apa yang diucapkan oleh hamba Ku ? mereka berkata : ia memuji Mu dan mengembalikan kepada Mu maka Allah berfirman: bangunkanlah rumah disurga dan berilah nama dengan Baitul Hamd “

Begitulah hadits-hadits di atas menerangkan bahwa pahala kesabaran hamba atas meninggalnya anak-anak sangat besar dan ganjarannya didalam timbangan pada hari kiamat sangat berat.

Yang demikian itu bisa meringankan kedua orang tua bila diuji dengan ujian itu, mereka jika diuji dengan ujian itu keduanya memakaikan musibah tersebut dengan pakaian atau perhiasan ridha dengan qodha dan qodar dari Allah Subhanahuwataala.

Sisi Kedua: Memuaskan Anak-anak dari Segi Kasih Sayang dan Materi

Sesungguhnya anak-anak baik laki-laki dan perempuan khususnya pada zaman sekarang banyak berhadapan dengan berbagai macam fitnah, ancaman dan ajaran yang menyeleweng dengan ajaran pendidikan islami, maka apa-apa yang dibangun disekolah dan dirumah berupa norma dan ajaran-ajaran yang mulia bertahun-tahun bisa dihancurkan oleh teman-teman buruk beberapa saat, oleh karena itu harus bagi kedua orang tua melawan bahaya teman-teman buruk baik laki-laki maupun perempuan dengan merangkul/memberikan kepuasan sempurna kepada mereka dan menghilangkan perasaan dahaga jiwa dan materi serta membentuk persahabatan dekat dengan mereka sehingga tidak meninggalkan celah bagi teman-teman yang jahat dalam jiwa anak-anak mereka yang mana melalui celah tersebut mereka masuk kedalamnya.

Diantara unsur-unsur penting dalam memuaskan anak adalah sebagai berikut:

1. Memuaskan perasaan

Dengan memberikan kasih sayang kepada mereka dengan sepuas-puasnya dengan kasih sayang dan kelembutan, karena ada beberapa orang tua beranggapan hanya anak saja yang membutuhkan belaian kasih sayang, ini tentu kesalahan fatal dalam dunia pendidikan karena anak-anak itu senantiasa membutuhkan kepuasan belaian kasih sayang sekalipun sudah mencapai masa pubertas dan remaja. Akan tetapi dengan keseimbangan karena berlebihan dalam meluapkan perasaan kasih sayang akan menyebebkan manja sedang pelit juga bisa menimbulkan dengki dan kekerasan.

Dua masalah ini terhitung fitnah (masalah) bagi anak-anak karena kedua sikap tersebut akan membawa pada perilaku yang tidak benar.

Tidak seorangpun yang lebih penyayang kepada anak-anak daripada Rasulullah Solallohu’alaihi wasallam, Aisha radhiallahu‘anha menceritakan bahwa telah datang pada Rasulullah Solallohu’alaihi wasallam sekelompok orang badui, mereka mengatakan: “Apakah kalian mencium anak-anak kalian?” Mereka menjawab : “Yaa,” tapi mereka mengatakan kami tidak mencium. Maka Rasulullah Solallohu’alaihi wasallam bersabda, “Aku tidak bisa berbuat apa-apa kalau Allah mencabut rasa kasih sayang dari hati mu.”

2. Berlaku adil dan tidak pilih kasih

Sebagaimana Nabi Solallohu’alaihi wasallam menyeru untuk berkasih saying kepada anaik-anak baik dengan ucapan dan perbuatan, beliau juga menyerukan untuk berbuat adil kepada mereka dalam setiap sesuatu.

Bersikap adil kepada anak-anak adalah diantara faktor penguat rasa kasih sayang dalam diri mereka, namun ada sebagian bapak dan ibu-ibu semoga Allah memberikan hidayah kepada mereka tidak bersikap adil kepada mereka dalam bergaul dan berinteraksi, mereka melebihkan sebagian anak di antara mereka, lebih mengutamakan anak laki-laki daripada perempuan atau ada yang melebihkan anak-anak yang kecil daripada yang besar, mereka memberikannya berdasarkan perasaan tersebut dengan perbedaan pemberian yang sangat mencolok dalam memberikan materi dan kasih saying.

Dengan cara ini orang tua telah memfitnah (merusak) anak-anak mereka sekaligus mendorong kepada anak-anak berprilaku berlebihan tanpa kontrol dan tanggung jawab kepada saudara-saudara mereka. Bahkan tidak bersikap adil kepada anak-anak termasuk sebab terbesar hancur leburnya jiwa anak-anak, oleh karena itu Nabi Solallohu’alaihi wasallam memberikan peringatan keras dari perbuatan ini.

Rasulullah Salallohu’alaihi wasallam dalam hadits diriwayatkan dari Annu’man bin Batsir Radhiallahu’anha : Ia mengatakan diatas mimbar, bapakku telah memberikan aku hadiah lalu Amroh binti Rowahah mengatakan aku tidak rela sehingga Rasulullah Solallohu’alaihi wasallam menyaksikannya, lalu bapak Num’an Batsir mengatakan kepada Rasulullah Solallohu’alaihi wasallam; “Sesungguhnya aku telah memberikan anakku hadiah lalu Amroh binti Amir menyuruhku agar engkau menyaksikannya yaa Rasulullah.” Lalu Rosulullah Sholallohu’alaihi wasallam bersabda :

“Apakah kamu memberikan semua anakmu seperti ini?” kemudian dia menjawab tidak maka Rasulullah Salallahu’alaihi wasallam bersabda,”Maka bertaqwalah kepada Allah dan berbuat adillah diantara anak-anak kamu.”

Dalam riwayat Imam Muslim disebutkan Nu’man bin Basyir radhiallahu anhuma mengatakan maka ayahku membawaku ke Rasulullah Salallahu Alaihi Wassalam dan berkata, “Wahai Rasulullah aku bersaksi bahwa aku telah memberikan Nu’man ini dan itu dari hartaku,” dan Rasulullah Salallahu Alaihi Wassalam bertanya :

“Apakah setiap anakmu kamu berikan seperti Nu’man?”,

ayahku menjawab : “Tidak!”,

lalu Rasulullah Salallahu Alaihi Wassalam mengatakan:

“Carilah saksi selainku, apakah kamu ingin anak anakmu berbuat bakti kepadamu?”,

ayahku menjawab: “Tentu!”,

lalu Rasulullah Salallahu Alaihi Wassalam mengatakan :

“Maka jangan lakukan hal itu (tidak berbuat adil).”

Begitulah dua hadits di atas menunjukan bahwa siapa yang membeda-bedakan anaknya dalam pemberiaan, maka dia menanam benih buah pahit di antara mereka. Maka setelah itu jangan lah tunggu lama, pasti ada di antara anak-anaknya yang tidak berbakti kepadanya sebagaimana mestinya, atau minimal berbakti kepadanya hanya sekedar mengikuti keinginan ayah tersebut.

Karena sesungguhnya tidak memberikan menyebabkan kekasaran oleh karena itu tidak boleh seorang ayah manapun melebihkan pemberian lebih kepada sebagian anaknya karena membawa konsekuensi berupa menanamkan permusuhan diantara mereka, Maka dia dituntut berlaku adil kepada mereka dalam memberikan hadiah / hibah, mmeberikan pakaian, peralatan atau bermain dengan mereka, mencium bahkan memandang mereka.

Demikian itu demi mewujudkan pendidikan jiwa dan kasih sayang yang benar untuk anak-anak dengan tujuan membentuk pribadi islam yang sempurna dan seimbang, apabila perasaan itu teratur dan terkontrol akan membentuk kepribadian sempurna bagi pemiliknya, dimana akan menjadi unsur utama dan berpengaruh dalam masyarakat.

3. Seorang Ayah Meluangkan Waktu untuk Anak – anaknya

Di antara aktifitas – aktifitas yang bisa memuaskan anak-anak adalah seorang ayah meluangkan waktu untuk anak-anak nya, walaupun sebentar, maka hendaknya dia memberikan waktu khusus istrinya dan anak-anaknya, duduk bersama, mendidik dan mengajarkan , menceritakan kepada mereka kisah-kisah yang bermanfaat, dia pun mendengar keinginan-keinginan dan keluh-kesah mereka, dan mengabulkan keinginan tersebut serta memberikan jalan keluar masalah mereka, dengan itu dia mengubah kesedihan mereka menjadi kegembiraan untuk mendapatkan kecintaan Allah Ta’ala, Di dalam hadits Rasulullah Salallahu Alaihi Wassalam bersabda :

“Hamba yang paling dicintai oleh Allah Ta’ala adalah hamba yang paling bermanfaat bagi keluarganya.”

Kebutuhan anak-anak akan keberadaan orang tua mereka sangat dibutuhkan. Untuk mewujudkan keselarasan jiwa dan perilaku, maka para ayah yang dekat dengan anak- anak mereka merasakan keberadaan mereka dan duduk berbincang-bincang bersama akan meluruskan tabiat anak-anak mereka, jiwa mereka stabil dan menjadi pendidikan yang baik bagi mereka.

Adapun bapak-bapak yang sibuk dengan pekerjaan dan melupakan anak-anak mereka, maka mereka tumbuh, sementara dunia menjadi gelap-gulta di hadapan mereka, jiwa mereka goncang dan mereka menjauh dari kebenaran dan jalan yang lurus, maka mereka membenci kedua orang tuanya dan tidak menutup kemungkinan lari dari rumah-rumah mereka dan terjeremus ke dalam bahaya kejahatan dan kerusakan.

Begitulah tanggung jawah ayah pada zaman ini semakin besar dimana gelombang fitnah semakin besar dimana gelombang fitnah saling menghempas dan agama semakin terasing, ayah bersama anak-anaknya ibarat penggembala kambing di tengah-tengah daratan hewan buas dan mematikan, jika dia lengah dalam mengawasi anak- anaknya , maka serigala serigala akan memangsanya.

Sumber : Dr. Hamad bin Nasr bin Abdurrahman Al-Amr, Menangkal berbagai macam fitnah dengan al-qur’an dan sunnah. Diterjemahkan Oleh Isnan Efendi Abu Abdus Syahid