Apa yang dimaksud dengan filsafat Islam?

image

Kendati Islam sudah dikenal oleh dunia sejak awal abad VII masehi, namun filsafat di kalangan kaum muslimin baru di mulai pada awal abad VIII. Hal ini disebabkan karena pada abad pertama perkembangan islam tidak terdapat isme-isme atau paham-paham selain wahyu. Di kalangan kaum muslimin filsafat dianggap berkembang dengan baik mulai abad IX masehi sampai abad XII.

Keberadaan filsafat pada masa ini juga menandai masa kegemilangan dunia Islam, yaitu selama masa Daulah Abbasiyah di Bagdad (750-1258) dan Daulah Amawiyah di Spanyol (755-7492). Menurut Hasbullah Bakry, istilah skolastik Islam jarang dipakai dalam khazanah pemikiran Islam. Istilah yang sering dipakai adalah ilmu kalam atau filsafat islam.

Filsafat Islam meerupakan gabungan dari dua kata, yaitu filsafat dan Islam. Secara etimologi, filsafat berasal dari bahasa Yunani yaitu kata philein atau philos dan sophia. Kata philein atau philos berarti cinta (love) akan tetapi dalam maknanya yang lebih luas yaitu berupa hasrat ingin tahu seseorang terhadap kebijaksanaan, ilmu pengetahuan atau kebenaran. Sedangkan kata sophia berarti kebijaksanaan (wisdom). Sehingga secara sederhana, filsafat adalah mencintai kebijaksanaan (the love of wisdom).

Secara terminologi, filsafat merupakan kontemplasi atau mempelajari pertanyaan-pertanyaan penting mengenai eksistensi kehidupan yang berakhir dengan pencerahan dan pemahaman (illumination and understanding), sebuah visi mengenai keseluruhan. Filsafat adalah pandangan yang menyeluruh dan sistematis, dikatakan begitu karena filsafat bukan hanya sekedar pengetahuan, melainkan suatu pandangan yang dapat menembus sampai dibalik pengetahuan itu sendiri. Dikatakan sistematis karena filsafat menggunakan metode berfikir secara sadar, teliti, teratur serta sesuai dengan hukum-hukum yang ada.

Sementara itu, kata islam secara semantik berasal dari akar kata salima yang berarti menyerah, tunduk, dan selamat. Islam artinya menyerahkan diri kepada Allah SWT, dan dengan menyerahkan diri kepada-Nya maka akan memperoleh keselamatan dan kedamaian.

Jadi, Filsafat Islam pada hakikatnya adalah filsafat yang bercorak islami. Islam menempati posisi sebagai sifat, corak, dan karakter dari filsafat. Filsafat islam artinya berpikir dengan bebas dan radikal namun tetap berada pada taraf makna, yang mempunyai sifat, corak, serta karakter yang menyelamatkan dan memberi kedamaian hati. Filsafat Islam adalah pemikiran-pemikiran filsafat yang memberikan kontribusi pada islam dan sebaliknya islam menggunakan filsafat untuk memperkuat prinsip-prinsip agama. Dimana salah satu prinsip dalam filsafat adalah berpikir radikal, yang berujung pada pengakuan bahwa alam ini disebabkan oleh suatu dzat yang tidak tergantung siapapun. Yaitu dalam agama dzat tersebut adalah Tuhan.

Filsafat islam juga tidak semata-mata bersifat rasional yang hanya bersandar pada analisis logis terhadap suatu peristiwa, tetapi juga jejak spiritual untuk memasuki dimensi kegaiban. Rasionalitas filsafat islam, terletak pada kemampuannya menggunakan potensi berpikir secara bebas, radikal, dan berada pada tataran makna, untuk menganalisis fakta-fakta empirik dari suatu kejadian, dalam bangunan sistem pengetahuan yang ilmiah. Sedangkan transendensinya terletak pada kesanggupan mendayagunakan kalbu dan intuisi imajinatif, untuk menembus dan menyatu dalam kebenaran gaib secara langsung, dan menjadi saksi kehadiran Allah dalam realitas kehidupan.

Secara sederhana karekteristik filsafat islam dapat dirangkum menjadi tiga:

  • Filsafat islam membahas masalah yang sudah pernah dibahas filsafat yunani dan lainnya, seperti ketuhanan, alam, dan roh. Akan tetapi, selain cara penyelesaian dalam filsafat islam berbeda dengan filsafat yang lain, para filosof muslim juga mengembangkan dan menambahkan kedalamnya hasil-hasil pemikiran mereka sendiri.

  • Filsafat islam membahas masalah yang belum pernah dibahas filsafat sebelumnya seperti filsafat kenabian.

  • Dalam filsafat islam terdapat pemanduan antara agama dan filsafat, antara akidah dan hikmah, antara wahyu dan akal, dimana bentuk seperti ini banyak terlihat dalam pemikiran filosof Muslim.

Filsafat Islam merupakan produk dari sebuah proses intelektual yang kompleks. Menurut Ahmad Fuad al-Ahwany, filsafat Islam adalah suatu pembahasan yang meliputi berbagai soal tentang alam semesta dan manusia atas dasar ajaran-ajaran keagamaan yang turun bersama lahirnya agama Islam. Artinya, filsafat Islam itu menembus berbagai disiplin seperti halnya Islam sebagai agama yang fungsinya merahmati seluruh alam.

Dalam pandangan berbagai cendekiawan, muncul perbedaan pendapat tentang nomenklatur yang sesuai apakah filsafat Islam, filsafat Arab, filsafat negara-negara Islam, filsafat dalam dunia Islam atau pun penyebutan yang lainnya. Namun setidaknya untuk disebut sebagai filsafat Islam masih dirasa lebih tepat.

Mulyadi Kartanegara misalnya, lebih suka menggunakan sebutan filsafat Islam dan menguatkannya menggunakan 3 (tiga) alasan :

  1. Pertama, ketika filsafat Yunani diperkenalkan ke dunia Islam, Islam telah mengembangkan sistem teologi yang menekankan keesaan Tuhan dan syariah, yang menjadi pedoman bagi siapapun. Begitu dominannya pandangan tauhid dan syariah ini, sehingga tidak ada suatu sistem apapun, termasuk filsafat, dapat diterima kecuali sesuai dengan ajaran pokok Islam (tawhid) dan pandangan syariah yang bersandar pada ajaran tauhid. Oleh karena itu, ketika memperkenalkan filsafat Yunani ke dunia Islam, para filosof Muslim selalu memperhatikan kecocokannya dengan pandangan fundamental Islam. Imbasnya, disadari atau tidak, telah terjadi “pengislaman” filsafat oleh para filosof Muslim.

  2. Kedua, sebagai pemikir Islam, para filosof Muslim adalah pemerhati filsafat asing yang kritis. Ketika dirasa ada kekurangan yang diderita oleh filsafat Yunani, misalnya, maka tanpa ragu-ragu mereka mengkritiknya secara mendasar. Contoh, sekalipun Ibn Sina sering dikelompokkan sebagai filosof Peripatetik, namun ia tak segan-segan mengkritik pandangan Aristoteles, kalau dirasa tidak cocok dan menggantikannya dengan yang lebih baik. Beberapa tokoh lain seperti Suhrawardi, dan Umar bin Sahlan al-Sawi, juga mengriktik sistem logika Aristoteles. Sementara al-‘Amiri mengkritik dengan keras pandangan Empedokles tentang jiwa, karena dianggap tidak sesuai dengan pandangan Islam.

  3. Ketiga, adanya perkembangan yang unik dalam filsafat Islam, akibat dari interaksi antara Islam sebagai agama dan filsafat Yunani. Akibatnya, para filosof Muslim telah mengembangkan beberapa isu filsafat yang tidak pernah dikembangkan oleh para filosof Yunani sebelumnya, seperti filsafat kenabian, mikraj dan sebagainya.

Selain alasan tersebut, menurut Haidar Bagir, penggunaan istilah filsafat Islam, bukannya filsafat Muslim atau filsafat Arab, karena sifatmenentukannya dari filsafat itu yang berisi ajaran Islam di dalamnya. Alasan lain adalah karena para filosof tersebut dianggap tidak kehilangan sifat filosofisnya, termasuk Ibnu Rusyd yang sudah mengarang kitab fiqh Bidâyatul Mujtahid.

Dalam pandangan Haidar Bagir, para filosof Islam itu telah teruji kesetiaannya pada kegiatan rasiosinasi (ratiocination) dalam segenap prosedur berfikirnya. Selain disepakati oleh Mulyadi Kartanegara dan Haidar Bagir, penyebutan istilah filsafat Islam juga diamini oleh para pemikir lain dalam berbagai karya mereka, meski sebagian kecil saja diantara mereka yang bisa disebutkan di sini. Seperti Ahmad Fuad Al-Ahwany, Musa Asy’arie, A. Khudori Soleh, Oliver Leaman, Seyyed Hossein Nasr dan lain-lain. Mengenai awal dimulainya, banyak pendapat bermunculan.

Kebanyakan ahli menyatakan bahwa penggunaan metode berfilsafat dalam dunia Islam dimulai sejak adanya penerjemahan karya filsafat secara besar-besaran pada masa Khilafah Abbasiyah. Akan tetapi pendapat ini bertolak belakang dengan fakta bahwa pada masa itu, teologi (kalam) dan yurisprudensi (fiqh) Islam sudah mapan.
Bahkan paham mu’tazilah yang dituduh mengajarkan ilmu kalam yang keliru karena hanya mendasarkan pemikirannya pada akal saja sudah mapan dan menghegemoni pemikiran masyarakat dan bahkan menjadi doktrin resmi negara pada masa khalifah al-Makmun (811-833 H.). Sejatinya, pemikiran filosofis memang telah dipergunakan jauh sebelum itu, akan tetapi memang tidak menggunakan reverensi yang relevan.