Etnosentrisme adalah keyakinan suatu kelompok terhadap superioritas etnis dan budayanya sendiri sehingga menganggap rendah kelompok lain diluar kelompoknya.
Etnosentrisme adalah sikap dalam melihat dan melakukan interpretasi terhadap seseorang ataupun kelompok lain berdasarkan nilai-nilai yang ada pada budayanya sendiri. Dayakisni dan Yuniardi (2004)
Etnosentrisme merupakan kecenderungan berpikir bahwa kelompoknya sendiri lebih superior dari kelompok lain atau menilai kelompok lain inferior dari kelompoknya sendiri. Barger (2004)
Etnosentrisme sebagai pandangan bahwa kelompok sendiri merupakan pusat segalanya dan kelompok lain akan selalu dibandingkan dan dinilai sesuai dengan standar kelompoknya sendiri. Poerwanti (2001)
Etnosentrisme menjadikan kebudayaan sendiri sebagai patokan dalam mengukur baik buruk, tinggi rendah, serta benar atau tidaknya kebudayaan lain berdasarkan standar kebudayaannya sendiri. Hal ini terwujud dengan adanya kesetiakawanan yang kuat antar anggota terhadap kebudayaannya sendiri, tidak adanya kritikan terhadap kelompok etnis atau bangsa sendiri, disertai prasangka negatif terhadap kelompok etnis atau bangsa lain.
Kecenderungan untuk menjadi etnosentris akan mengakibatkan seseorang menilai kelompok lain menurut kategori dan nilai budayanya sendiri.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa etnosentrisme adalah suatu sikap, perilaku dan pola pikir dari suatu kelompok sosial berdasarkan etnis tertentu, yang memiliki in-group feeling yang kuat, menganggap bahwa segala sesuatu yang termasuk dalam kebiasaan, nilai, keyakinan, pandangan, sikap, perilaku dan pemikiran kelompoknya sebagai segala sesuatu yang terbaik dibandingkan dengan yang dimiliki kelompok sosial lain.
Secara sederhana, konsep etnosentrisme dapat dikatakan sebagai konsep hubungan sosial antar anggota dalam kelompok dengan anggota luar kelompok yang mana hubungan itu biasanya lebih banyak dilakukan oleh anggota dalam kelompok daripada anggota luar kelompok, sehingga orang yang memiliki sikap etnosentris yang tinggi akan banyak berhubungan dengan sesama anggota dalam kelompoknya dibandingkan dengan orang di luar kelompoknya. Hal ini disebabkan etnosentrisme mengandung dua dimensi sikap yang positif dan negatif.
Sikap Etnosentris dalam Kelompok Etnis
Matsumoto (1996) mengungkapkan bahwa setiap pribadi dari individu cenderung memiliki sikap etnosentris. Individu yang cenderung memiliki sikap etnosentris beresiko untuk menilai orang lain dari sudut pandang kebudayaannya sendiri. Sikap etnosentris muncul dalam diri individu disebabkan oleh kurangnya pengalaman, pengetahuan ataupun komunikasi mengenai etnis lain diluar etnisnya (Poerwanti, 2001).
Pengetahuan dan pengalaman yang dimaksud dapat berupa jatidiri etnis, norma kultural, bahasa yang beranekaragam pada masing-masing etnis serta pergaulan dengan individu lain diluar etnisnya. Hal ini menyebabkan komunikasi dan pergaulan antar individu antara satu etnis dengan etnis lainnya menjadi terbatas.
Brown (1986) menambahkan bahwa sikap etnosentris memiliki 2 dimensi, yaitu dimensi positif dan dimensi negatif. Dimensi positif dari sikap etnosentris mengandung makna pemberian identitas diri yang dapat meningkatkan kebanggaan diri terhadap kelompoknya, sedangkan dimensi negatif mengandung makna menganggap rendah terhadap kelompok di luar kelompoknya.
Norma kultural diartikan sebagai wujud dari sikap dan perilaku yang ditanamkan kepada setiap individu sejak awal perkembangan individu yang diinternalisasikan melalui proses belajar dari keluarga maupun lingkungan kelompok etnis (Berry, 1999). Norma kultural mengandung hal-hal yang berbau kebudayaan serta adat istiadat yang ada dalam kelompok etnis atau budaya yang berlaku secara umum tidak terkait dengan diri sendiri.
Norma kultural memiliki peranan yang penting dalam menentukan apa yang dipelajari seseorang. Nilai-nilai kultural atau budaya yang ditanamkan oleh budaya pada masing-masing individu dapat berubah secara mencolok bila mendapat tekanan dan pengaruh dari lingkungan (Helmi, 1990).
Budaya yang terinternalisasi pada masing-masing individu memiliki derajat internalisasi yang berbeda-beda pada setiap individu anggota kelompok budaya tersebut (Dayakisni dan Yuniardi, 2004).
Individu yang mendapatkan pengetahuan mengenai norma kultural yang besar dari keluarga maupun lingkungan kelompok etnisnya menjadikan individu tersebut memiliki kecenderungan untuk bersikap etnosentris. Norma kultural berdampak pada sikap etnosentris, secara positif norma kultural dapat menjadikan individu melestarikan budaya dan adat istiadat yang terdapat pada etnisnya sebaliknya menjadi negatif bila individu mengganggap adat istiadat dan budaya etnis lain lebih rendah dari etnisnya.
Jatidiri etnis merupakan keseluruhan seseorang yang mencakup pribadi (misal nama) dan sosial (misal keluarga). Jatidiri etnis dapat dikatakan sebagai bagian konsep diri individu yang berasal dari pengetahuan tentang keanggotannya dalam suatu kelompok sosial, bersama dengan nilai dan signifikansi emosional yang dilekatkan pada keanggotaan itu. Jatidiri etnis seseorang berasal dari kelompok etnis dimana ia menjadi anggotanya. Dalam hal ini, individu merasa mereka menjadi milik kelompok dan bekerja untuk mengutamakan kelompok dan keanggotaan mereka (Berry, 1999).
Jati diri etnis yang terdapat pada diri individu dapat terlihat dari ciri- ciri fisik yang ada dalam diri individu, misalnya etnis Tionghoa memiliki mata yang sipit dan kulit yang putih atau orang yang berkulit hitam cenderung berasal dari Afrika. Jati diri etnis merupakan bentuk representasi diri individu dari kelompok etnisnya. Jatidiri etnis secara sederhana dapat digambarkan sebagai budaya dari etnisnya yang melekat secara langsung pada diri individu. Hal ini secara positif berdampak pada sikap etnosentris, yaitu individu menjadi istimewa dan bangga menjadi anggota dalam kelompok etnisnya. Berdampak negatif disaat individu merasa bahwa jatidiri etnisnya lebih baik dari jatidiri etnis yang lain.
Seringkali kesamaan jatidiri pada etnis membuat anggota dalam kelompok etnis berkumpul, bergaul dan berinteraksi hanya dengan sesama anggota dalam kelompok etnisnya. Identifikasi yang besar terhadap etnisnya menjadikan individu dalam kelompok etnis memiliki in-group feeling yang kuat. Rasa kebersamaan dalam kelompok yang berlebihan memunculkan dimensi yang negatif dari sikap etnosentris.
Keengganan untuk menjadikan orang lain diluar etnisnya sebagai teman menjadi besar. Rasa bangga yang besar terhadap kelompok etnis sendiri menjadikan terbentuknya stereotipe dari kelompok diluar etnis terhadap kelompok etnis tersebut.
Pembentukan Sikap Etnosentris
Faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan sikap etnosentris adalah:
1) Lingkungan keluarga
Menurut Helmi (1990), sikap etnosentris terbentuk melalui interaksi nilai-nilai yang ada dalam diri individu dan pengaruh lingkungan melalui proses belajar. Hal lain yang juga berkaitan dengan terbentuknya sikap etnosentris adalah ditanamkannya perasaan in-group yang kuat sejak tahap-tahap awal perkembangan manusia. Media yang sangat berpengaruh atas proses sosialisasi adalah lembaga keluarga (Helmi, 1990).
Sejak masih kanak-kanak, individu secara alamiah mampu untuk membedakan dirinya berdasarkan keanggotaan kelompok, yakni menjadi bagian dari sebuah keluarga. Sumner (dalam Brewer dan Miller, 1996) mengistilahkan hal tersebut dengan in-group dan out- group, yakni pengelompokan sosial yang dilakukan individu apakah menjadi bagian atau bukan merupakan bagian dari suatu kelompok sosial.
Tajfel (dalam Brewer dan Miller, 1996) menyatakan, perasaan in-group sudah nampak sejak usia anak-anak. Pada usia 6 atau 7 tahun, misalnya anak-anak sudah memperlihatkan kecintaan yang kuat pada bangsanya, meskipun mereka belum mengerti apa arti bangsa itu sendiri. Orang tua merupakan dasar dari perkembangan etnosentrisme.
2) Lingkungan masyarakat atau tempat tinggal
Setiap manusia lahir membawa potensi perilaku dan berada dalam suatu kondisi sosial. Kondisi sosial masing-masing individu berbeda dengan individu lainnya. Perbedaan ini termasuk dalam hal nilai-nilai yang mengatur perilaku mana yang boleh dipelajari dan tidak boleh dipelajari. Hal ini mengartikan bahwa manusia diajar oleh lingkungan sosialnya untuk dapat membuat respon tertentu dan tidak merespon yang lain. Oleh Segall (dalam Dayakisni dan Yuniardi, 2004) hal ini dinamakan sosialisasi.
Child berpendapat bahwa sosialisasi sebagai proses dalam diri individu, dimana individu tersebut dilahirkan dengan potensi perilaku yang luas, yang mengarah pada pengembangan perilaku nyata yang dibatasi lebih sempit pada suatu kebiasaan dan dapat diterima oleh individu dengan standar nilai- nilai yang ada pada kelompoknya.
Proses sosialisasi biasanya melibatkan reinforcement didalamnya. Adanya reward sosial dan punishment sosial, membuat individu belajar perilaku mana yang boleh dilakukan dan dilarang untuk dilakukan. Individu akan diberi penghargaan jika perilakunya diterima oleh lingkungan sosialnya dan hukuman terhadap perilaku yang tidak diinginkan atau dilarang oleh lingkungan sosialnya (Dayakisni dan Yuniardi, 2004).
Dengan demikian, lingkungan sosial dapat memperkuat atau memperlemah terbentuknya sikap etnosentris melalui adanya reward sosial dan punishment sosial yang dibentuk sesuai dengan aturan dan standar nilai yang ada pada masing-masing kelompok sosial.
3) Lingkungan sekolah atau pendidikan
Sistem pendidikan tidak hanya sebagai institusi untuk meningkatkan kemampuan dalam berpikir dan pengetahuan. Tetapi juga merupakan institusi yang mensosialisasikan individu, mengajarinya dan memperkuat nilai-nilai budaya yang penting.
Pada sistem pendidikan penanaman nilai-nilai budaya dan pensosialisasian individu dapat dilakukan dengan beberapa cara, yaitu
-
Materi yang yang diajarkan sekolah merefleksikan pilihan-pilihan yang secara apriori melalui anggapan yang dihargai oleh suatu budaya atau masyarakat tentang apa yang diyakini penting untuk dipelajari.
-
Setting lingkungan dimana pendidikan itu berjalan perlu untuk dipertimbangkan. Tanpa memperhatikan setting lingkungan, sarana yang memungkinkan pendidikan terjadi akan memperkuat tipe nilai- nilai budaya tertentu pada sipenerima pendidikan itu. Organisasi, perencanaan dan pelaksanaan dari rencana pelajaran merupakan bagian yang penting dari faktor sosialisasi (Dayakisni dan Yuniardi, 2004).
Di sekolah, sebagian besar hidup individu dihabiskan tidak dengan orang tua mereka. Proses sosialisasi yang awalnya terbentuk pada hubungan dengan orang tua berlanjut dengan teman sebaya dalam situasi bergaul, bekerjasama dan sekolah (Matsumoto, 2004).
Sekolah melembagakan nilai-nilai budaya dan merupakan kontributor perkembangan intelektual serta perkembangan sosial dan emosi individu. Dengan demikian, perkembangan sikap etnosentris pada individu dapat berbeda-beda tergantung dari internalisasi nilai-nilai budaya yang diajarkan dalam sistem pendidikan pada individu.