Disleksia adalah suatu kondisi dimana individu menunjukkan kesulitan yang bermakna di area berbahasa termasuk mengeja, membaca, dan menulis. Kesulitan ini tidak sesuai dengan kemampuan yang seharusnya merujuk kepada usia kronologis dan kemampuan intelegensinya yang (sedikitnya) normal.
Di usia dini, tanda tanda disleksia tentu saja bukan dilihat dari kemampuan membacanya karena anak pra sekolah kemampuan wicara yang sarat dengan artikulasi yang tidak tepat, misalnya kesulitan melafalkan ‘pemadam kebakaran’ menjadi ‘pedadam kebaran’, atau melafalkan ‘taksi’ menjadi ‘tasik’, atau melafalkan ‘jendela’ menjadi ‘tembela’, dan sebagainya. Anak anak ini juga seringkali bercerita menggunakan terminologi yang tidak tepat, misalnya ‘aku gak mau berenang di kolam yang itu, sereeem…, kolamnya tebel’, tentu saja yang dimaksud dengan istilah ‘kolam tebal’ adalah ‘kolam yang dalam’.
Di usia sekolah, gejala disleksia mulai nampak sebagai kesulitan di area membaca, menulis dan berhitung. Biasanya kemampuannya di bidang ini senantiasa ‘tertinggal’ dibandingkan dengan teman sebayanya. Anak sulit mengenali bentuk huruf, nama huruf, bunyi huruf, kesulitan membaca dan menuliskan kata-kata. Seringkali jika menulis banyak huruf huruf yang hilang atau bahkan kehilangan beberapa kalimat saat menulis atau menyalin dari papan tulis ke bukunya.
Anak yang lebih besar lagi, bisa jadi sudah mampu baca tulis, namun membutuhkan usaha yang luar biasa untuk mampu memahami kosa kata dan konten dari isi bacaan yang memang belum dituntut untuk mampu baca. Maka di usia prasekolah gejala disleksia yang nampak adalah pada kemampuan berbahasa lisan.
Anak disleksia biasanya dilaporkan telat bicara dimana yang dimaksud adalah anak dengan kemampuan memahami berbagai instruksi sesuai usianya, namun memiliki kosa kata yang terbatas saat berbicara. Selain itu anak juga biasanya menampilkan dibacanya. Anak ini juga kesulitan menjawab pertanyaan deskriptif secara tertulis sekalipun mampu menjawabnya dengan jauh lebih mudah jika jawaban disampaikan secara lisan.
Sebagian dari anak ini juga mengalami kesulitan dalam berhitung, sulit memahami komputasi sederhana, apalagi soal cerita. Anak ini sulit melakukan estimasi atas jawaban matematika yang sederhana, dan sulit memahami berbagai istilah dan lambang operasional dalam matematika.
Selain itu, anak juga nampak grasa grusu, sangat berantakan dalam keseharian aktivitasnya, misalnya banyak buku yang ketinggalan, pr yang kelupaan, isi ransel yang berjatuhan, pensil atau tempat makan yang selalu hilang, sulit menumpukan perhatian dalam rentang waktu yang cukup sesuai usianya.
Anak ini juga sulit untuk mengerjakan segala sesuatu dengan urutan yang benar dan terstruktur, segala kegiatannya nampak rusuh dan juga tidak terampil dalam melakukan berbagai kegiatan yang membutuhkan ketrampilan koordinasi motorik semisal menalikan sepatu, membuka tutup tempat makanannya, mengganti baju seragam dengan baju olah raganya lalu melipatnya dengan rapih, dan sebagainya.
Hal lain yang perlu dicermati sebagai bagian dari gejala disleksia nya adalah aspek perilakunya. Anak disleksia biasanya menunjukkan kesulitan untuk berinteraksi sosial, anak ini cenderung janggal dalam pergaulan, tidak percaya diri untuk bergabung dengan kegiatan permainan dengan sebayanya. Atau kejadian sebaliknya bisa terjadi.
Anak ini justru tampil seperti anak yang agresif, sulit diatur, hanya jalan-jalan saja di kelas, tidak pernah mengerjakan tugas dari guru, provokator di kelas dan dijauhi temantemannya karena perilaku negatifnya ini. Waspadalah karena perilaku negatif yang disebutkan tadi bisa jadi merupakan cara anak untuk menghindar dari paparan terhadap tugas akademis yang dia tidak mampu mengatasinya.
Penyebab Disleksia
Banyak penelitian yang mengungkapkan berbagai teori penyebab terjadiya disleksia, diantaranya adalah teori ‘phonological deficit’, teori ‘rapid auditory processing’, teori ‘visual perceptual deficit’, teori ‘cerebellar deficit’ dan yang terakhir adalah teori ‘genetika’. Berbagai penelitian melaporkan bahwa faktor genetik berperan sangat signifikan pada kejadian disleksia. Seorang ayah yang disleksia mempunyai potensi menurunkan disleksia nya sebesar 40% kepada anak laki-lakinya.
Orang tua yang penyandang disleksia, dilaporkan sekitar 50% anak-anaknya juga menyandang disleksia, dan jika salah satu anak adalah penyandang disleksia dilaporkan 50% saudara kandungnya juga menyandang disleksia. Banyak penelitian genetika yang menunjukkan adanya ‘gen disleksia’ yang kebanyakan ditemukan di kromosom 6 yang merupakan kromosom yang banyak bertanggungjawab atas terjadinya penyakit-penyakit autoimun.
Disleksia penting diketahui sejak dini
Angka kejadian disleksia di berbagai negara cukup bervariatif. Di Inggris dilaporkan kejadian disleksia berkisar 5% sedangkan di Amerika Serikat sampai dengan 17%. Namun rata-rata angka kejadian disleksia adalah sekitar 15%. Suatu angka yang cukup besar karena kita bisa menemukan 3-5 siswa disleksia pada suatu kelas yang berisi 30 siswa.
Apakah guru dan orang tua sudah mampu mengenali anak-anak disleksia tersebut dengan tepat, atau justru salah mengenalinya sebagai anak nakal, anak bodoh, anak malas, anak yang tidak fokus dan lain sebagainya. Mudah dibayangkan jika anak anak yang salah dikenali itu tentu saja salah dikelola dan ini berdampak sangat serius pada kehidupan anak tersebut sendiri.
Selain dia tidak mendapatkan pertolongan atas kesulitan akademis yang dialaminya, maka anak ini juga biasanya perlahan namun pasti terpinggirkan dalam pergaulan karena dianggap tidak mampu dan tidak setara dengan teman teman lainnya. Perlu diketahui bahwa disleksia bukanlah suatu penyakit akut yang bisa sembuh.
Disleksia diturunkan secara genetik sehingga tetap disandang seumur hidup. Disleksia yang dikenali dini dan mendapatkan intervensi dini yang tepat akan menumbuhkan kemampuan anak mencari strategi belajar yang paling tepat bagi dirinya. Performanya menjadi lebih baik dan anak siap untuk menghadapi berbagai tantangan di setiap level kehidupannya. Sebaliknya, disleksia yang salah kelola akan tetap menunjukkan kesenjangan bermakna dengan kemampuan yang seharusnya dicapai.
Anak akan terbiasa gagal dalam setiap aspek kehidupannya sehingga menjadi individu dengan kepercayaan diri yang teramat rendah, minder, dan tidak sedikit kasus yang memilih untuk menarik diri dari kehidupan sosial dan tenggelam dalam berbagai aktivitas soliter yang mungkin membahayakan dirinya sendiri.
Sekali lagi perlu diyakini bahwa disleksia bukan disebabkan karena kebodohan, bukan juga karena gangguan sensoris, bukan karena gangguan penglihatan atau gangguan pendengaran dan juga bukan karena gangguan motorik. Hal ini penting untuk dipahami agar tata kelola disleksia tepat dan tidak melakukan berbagai jenis terapi yang tidak ada dasarnya bagi perbaikan performa disleksia.
Tata kelola/Strategi Menangani Disleksia bagi Pengajar
Secara umum pengelolaan disleksia meliputi remedasi dan akomodasi. Yang dimaksud remediasi adalah mengulang bagian-bagian akademis yang menjadi kesulitannya namun dilakukan dengan teknik yang tepat bagi anak disleksia, dan dilakukan oleh well-trained teacher yang mempunyai kompetensi khusus di bidang disleksia.
Proses remediasi dilakukan dengan materi yang diberikan sedikit demi sedikit atau bertahap dan pastikan dimulai dari materi yang dia sudah kuasai dulu sebelumnya sehingga anak mempunyai pengalaman berhasil. Proses remediasi yang berulang-ulang ini seringkali dikenal sebagai istilah overlearning.
Selain remediasi, maka dibutuhkan berbagai akomodasi setting belajar bagi anak disleksia. Meliputi akomodasi ruang belajar, akomodasi lay out lembar kerja, akomodasi metode pembelajaran dan metode pengetesan, dan lain sebagainya. Disarankan anak disleksia ini berada di kelas yang volume siswa nya tidak terlalu banyak, sekitar 1 guru untuk 7 siswa saja. Anak disarankan untuk duduk di bagian kelas yang mudah ‘terjangkau’ guru sehingga guru lebih mudah memberikan arahan individual kepadanya. Lembar kerja disarankan menggunakan kertas yang berwarna pastel dengan ukuran tulisan dan spasi yang lebih besar dari ukuran biasanya.
Cara pembelajaran dan cara pengetesan pada anak disleksia mungkin sekali membutuhkan teknik lisan atau praktikum (hands-on). Selain itu, sangat disarankan untuk memberikan waktu lebih bagi siswa disleksia untuk menuntaskan pekerjaannya karena seperti sudah dibahas di awal, bahwa mereka biasanya membutuhkan waktu yang lebih lama untuk bisa menyelesaikan tugasnya.
Referensi
http://repository.upy.ac.id/407/1/artikel%20kristiantini.pdf