Diplomasi publik dimaknai sebagai proses komunikasi pemerintah terhadap publik mancanegara yang bertujuan untuk memberikan pemahaman atas negara, sikap, institusi, budaya, kepentingan nasional, dan kebijakan-kebijakan yang diambil oleh negaranya (Tuch, 1990, Gouveia, 2006, dikutip J. Wang, 2006). Jay Wang (2006) melihat diplomasi publik sebagai suatu usaha untuk mempertinggi mutu komunikasi antara negara dengan masyarakat.
Dampak yang ditimbulkan meliputi bidang politik, ekonomi, sosial, dan dalam pelaksanaannya tidak lagi dimonopoli oleh pemerintah. Sementara itu, Jan Mellisen (2006) mendefinisikan diplomasi publik sebagai usaha untuk mempengaruhi orang atau organisasi lain di luar negaranya dengan cara positif sehingga mengubah cara pandang orang tersebut terhadap suatu negara. Berdasarkan semua definisi itu, dapat dikatakan bahwa diplomasi publik berfungsi untuk mempromosikan kepentingan nasional melalui pemahaman, menginformasikan, dan mempengaruhi publik di luar negeri. Karenanya, diplomasi publik merupakan salah satu instrumen soft power.
Jika dibandingkan, ada tiga perbedaan antara diplomasi publik dengan diplomasi yang sifatnya resmi (tradisional), yaitu :
1. Pertama, diplomasi publik bersifat transparan dan berjangkauan luas, sebaliknya diplomasi tradisional cenderung tertutup dan memiliki jangkauan terbatas.
2. Kedua, diplomasi publik ditransmisikan dari pemerintah ke pemerintah lainnya.
3. Ketiga, tema dan isu yang diusung oleh diplomasi resmi (jalur pertama) ada pada prilaku dan kebij akan pemerintah, sedangkan tema dan isu yang diangkat oleh diplomasi publik lebih ke arah sikap dan perilaku publik.
Dalam diplomasi publik, perlu dipahami bahwa proses diplomasinya tidak hanya di luar negeri tapi juga di dalam negeri. Evan Potter (2006) mengatakan bahwa permasalahan diplomasi publik tidak hanya tantangan terhadap kebijakan luar negeri, tetapi juga merupakan tantangan nasional. Esensi dari diplomasi publik adalah membuat orang lain berada di pihak Anda, sedangkan permasalahan dalam diplomasi publik adalah bagaimana mempengaruhi opini dan perilaku orang lain. Dalam hal ini, yang dimaksud orang bukan hanya pemangku kebijakan, tetapi juga khalayak atau publik.
Sebagai instrumen soft power, perkembangan diplomasi publik tergolong pesat. Pesatnya perkembangan ini dipicu oleh kenyataan bahwa upaya -upaya yang dilakukan oleh pemerintah dalam diplomasi jalur pertama dianggap telah gagal mengatasi konflik-konflik antarnegara.
Kegagalan diplomasi jalur pertama tela h mengembangkan pemikiran untuk meningkatkan diplomasi publik sebagai cara alternatif untuk menyelesaikan konflik-konflik antarnegara
(McDonald, 1991). Hal ini terjadi karena diplomasi publik memiliki ciri sebagai kelompok bukan pemerintah, bentuk nya yang informal efektif dalam menurunkan tensi ketegangan, menghilangkan ketakutan, dan meningkatkan saling ketergantungan di antara para pihak (Fulton, 1998 dikutip Djelantik, 1994).
Meski diplomasi tradisional telah gagal, diplomasi publik tidak lantas menggantikan diplomasi jalur pertama itu, tetapi melengkapi upaya-upaya yang dilakukan oleh pemerintah dalam diplomasi tradisional. Idealnya, diplomasi publik harus membuka jalan bagi negosiasi yang dilakukan antarpemerintah, memberi masukan melalui informasi-informasi penting, dan memberikan cara pandang yang berbeda terhadap suatu masalah. Untuk itu, diperlukan kerjasama aktor negara dan non-negara yang ditujukan untuk meningkatkan nilai tawar pemerintah. Aktor non-negara ini misalnya dapat berinteraksi dengan rekanan mereka dalam mempengaruhi, memberikan masukan, dan menerapkan kebijakan luar negeri.
Diplomasi publik kembali dibicarakan terutama pasca tragedi 911 pada 2001. Akan tetapi, sebenarnya diplomasi publik telah dipraktekkan jauh hari sebelumnya. Diplomasi publik muncul setelah Perang Dunia I dan mendominasi pada masa Perang Dingin. Istilah yang digunakan saat itu adalah democratic diplomacy (Fisher, 1972 dikutip J. Wang, 2006). Pasca 1945, negara-negara Eropa banyak menerapkan diplomasi publik. Negara-negara di benua ini merupakan negara-negara yang paling awal dan paling banyak menggunakan model diplomasi publik. Beberapa contoh misalnya pada saat kemunculan negara-negara Bahkan tahun 1990, atau jika ditarik ke belakang contoh kemunculan Republik Federal Jerman tahun 1949.
Perancis menerapakan diplomasi politique d’influence dengan sasaran pada publik luar negeri guna pemulihan citra setelah kekalahannya pada dua perang dunia. Belanda menerapkan publieks diplomatie avant-la-lettre dalam mengusung isu-isu moral jauh sebelum perang dingin berakhir. Penyebutan diplomasi publik sendiri muncul pada tahun 1965 oleh Edmund Gullion dari Fletcher School of Law and Diplomacy, Tufts University dalam penelitiannya mengenai program-program internasional dan budaya Amerika Serikat (Fisher, 1972).
Penerapan diplomasi publik tidak terlepas dari pengkomunikasian kebijakan luar negeri
terhadap publik manca. Ciri utama dalam diplomasi publik adalah melibatkan semua stakeholder dalam prosesnya. Stakeholder di sini tidak hanya Departemen Luar Negeri, tetapi juga lintas departemen dalam pemerintah, swasta, NGO, media, dan individu. Dengan porsi keterlibatan yang beragam dan besar tersebut, maka rancangan strategi komunikasi harus dikedepankan.