Apa yang dimaksud dengan Difteri?

penyakit

Difteri merupakan penyakit yang sudah jarang ditemukan di Indonesia sejak tahun 1990-an. Tetapi, pada tahun 2009, kasus difteri mulai muncul kembali dan mengalami peningkatan setiap tahunnya. Di tahun 2017, kematian akibat wabah ini telah mencapai 32 kasus atau sekitar 5% dari keseluruhan kasus.

Menurut World Health Organization (WHO), tercatat ada 7.097 kasus difteri yang dilaporkan di seluruh dunia pada tahun 2016. Di antara angka tersebut, Indonesia turut menyumbang 342 kasus. Sejak tahun 2011, kejadian luar biasa (KLB) untuk kasus difteri menjadi masalah di Indonesia. Tercatat 3.353 kasus difteri dilaporkan dari tahun 2011 sampai dengan tahun 2016 dan angka ini menempatkan Indonesia menjadi urutan ke-2 setelah India dengan jumlah kasus difteri terbanyak. Dari 3.353 orang yang menderita difteri, dan 110 di antaranya meninggal dunia. Hampir 90% dari orang yang terinfeksi, tidak memiliki riwayat imunisasi difteri yang lengkap.

Difteri termasuk salah satu penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi dan imunisasi terhadap difteri termasuk ke dalam program imunisasi wajib pemerintah Indonesia. Imunisasi difteri yang dikombinasikan dengan pertusis (batuk rejan) dan tetanus ini disebut dengan imunisasi DTP. Sebelum usia 1 tahun, anak diwajibkan mendapat 3 kali imunisasi DTP. Cakupan anak-anak yang mendapat imunisasi DTP sampai dengan 3 kali di Indonesia, pada tahun 2016, sebesar 84%. Jumlahnya menurun jika dibandingkan dengan cakupan DTP yang pertama, yaitu 90%.

Penyebab Difteri
Difteri disebabkan oleh bakteri Corynebacterium diphtheriae. Penyebaran bakteri ini dapat terjadi dengan mudah, terutama bagi orang yang tidak mendapatkan vaksin difteri. Ada sejumlah cara penularan yang perlu diwaspadai, seperti:

Terhirup percikan ludah penderita di udara saat penderita bersin atau batuk. Ini merupakan cara penularan difteri yang paling umum. Barang-barang yang sudah terkontaminasi oleh bakteri, contohnya mainan atau handuk. Sentuhan langsung pada luka borok (ulkus) akibat difteri di kulit penderita. Penularan ini umumnya terjadi pada penderita yang tinggal di lingkungan yang padat penduduk dan kebersihannya tidak terjaga.

Bakteri difteri akan menghasilkan racun yang akan membunuh sel-sel sehat dalam tenggorokan, sehingga akhirnya menjadi sel mati. Sel-sel yang mati inilah yang akan membentuk membran (lapisan tipis) abu-abu pada tenggorokan. Di samping itu, racun yang dihasilkan juga berpotensi menyebar dalam aliran darah dan merusak jantung, ginjal, serta sistem saraf.

Terkadang, difteri bisa jadi tidak menunjukkan gejala apapun sehingga penderitanya tidak menyadari bahwa dirinya terinfeksi. Apabila tidak menjalani pengobatan dengan tepat, mereka berpotensi menularkan penyakit ini kepada orang di sekitarnya, terutama mereka yang belum mendapatkan imunisasi.

Gejala Difteri
Difteri umumnya memiliki masa inkubasi atau rentang waktu sejak bakteri masuk ke tubuh sampai gejala muncul 2 hingga 5 hari. Gejala-gejala dari penyakit ini meliputi:

  • Terbentuknya lapisan tipis berwarna abu-abu yang menutupi tenggorokan dan amandel.
  • Demam dan menggigil.
  • Sakit tenggorokan dan suara serak.
  • Sulit bernapas atau napas yang cepat.
  • Pembengkakan kelenjar limfe pada leher.
  • Lemas dan lelah.
  • Pilek. Awalnya cair, tapi lama-kelamaan menjadi kental dan terkadang bercampur darah.
  • Difteri juga terkadang dapat menyerang kulit dan menyebabkan luka seperti borok (ulkus). Ulkus tersebut akan sembuh dalam beberapa bulan, tapi biasanya akan meninggalkan bekas pada kulit.

Diagnosis dan Pengobatan Difteri
Untuk menegakkan diagnosis difteri, awalnya dokter akan menanyakan beberapa hal seputar gejala yang dialami pasien. Dokter juga dapat mengambil sampel dari lendir di tenggorokan, hidung, atau ulkus di kulit untuk diperiksa di laboratorium.

Apabila seseorang diduga kuat tertular difteri, dokter akan segera memulai pengobatan, bahkan sebelum ada hasil laboratorium. Dokter akan menganjurkannya untuk menjalani perawatan dalam ruang isolasi di rumah sakit. Lalu langkah pengobatan akan dilakukan dengan 2 jenis obat, yaitu antibiotik dan antitoksin.

Antibiotik akan diberikan untuk membunuh bakteri dan menyembuhkan infeksi. Dosis penggunaan antibiotik tergantung pada tingkat keparahan gejala dan lama pasien menderita difteri. Sebagian besar penderita dapat keluar dari ruang isolasi setelah mengonsumsi antibiotik selama 2 hari. Tetapi sangat penting bagi mereka untuk tetap menyelesaikan konsumsi antibiotik sesuai anjuran dokter, yaitu selama 2 minggu.

Penderita kemudian akan menjalani pemeriksaan laboratorium untuk melihat ada tidaknya bakteri difteri dalam aliran darah. Jika bakteri difteri masih ditemukan dalam tubuh pasien, dokter akan melanjutkan penggunaan antibiotik selama 10 hari. Sementara itu, pemberian antitoksin berfungsi untuk menetralisasi toksin atau racun difteri yang menyebar dalam tubuh. Sebelum memberikan antitoksin, dokter akan mengecek apakah pasien memiliki alergi terhadap obat tersebut atau tidak. Apabila terjadi reaksi alergi, dokter akan memberikan antitoksin dengan dosis rendah dan perlahan-lahan meningkatkannya sambil melihat perkembangan kondisi pasien.

Bagi penderita yang mengalami kesulitan bernapas karena hambatan membran abu-abu dalam tenggorokan, dokter akan menganjurkan proses pengangkatan membran. Sedangkan penderita difteri dengan gejala ulkus pada kulit dianjurkan untuk membersihkan bisul dengan sabun dan air secara seksama.

Selain penderita, orang-orang yang berada di dekatnya juga disarankan untuk memeriksakan diri ke dokter karena penyakit ini sangat mudah menular. Misalnya, keluarga yang tinggal serumah atau petugas medis yang menangani pasien difteri.

Dokter akan menyarankan mereka untuk menjalani tes dan memberikan antibiotik. Terkadang vaksin difteri juga kembali diberikan jika dibutuhkan. Hal ini dilakukan guna meningkatkan proteksi terhadap penyakit ini.

Komplikasi Difteri
Pengobatan difteri harus segera dilakukan untuk mencegah penyebaran sekaligus komplikasi yang serius, terutama pada penderita anak-anak. Diperkirakan 1 dari 5 penderita balita dan lansia di atas 40 tahun meninggal dunia akibat komplikasi difteri.

Jika tidak diobati dengan cepat dan tepat, toksin dari bakteri difteri dapat memicu beberapa komplikasi yang berpotensi mengancam jiwa. Beberapa di antaranya meliputi:

  • Masalah pernapasan. Sel-sel yang mati akibat toksin yang diproduksi bakteri difteri akan membentuk membran abu-abu yang dapat menghambat pernapasan. Partikel-partikel membran juga dapat luruh dan masuk ke paru-paru. Hal ini berpotensi memicu reaksi peradangan pada paru-paru sehingga fungsinya akan menurun secara drastis dan menyebabkan gagal napas.
  • Kerusakan jantung. Selain paru-paru, toksin difteri berpotensi masuk ke jantung dan menyebabkan peradangan otot jantung atau miokarditis. Komplikasi ini dapat menyebabkan masalah, seperti detak jantung yang tidak teratur, gagal jantung, dan kematian mendadak.
  • Kerusakan saraf. Toksin dapat menyebabkan penderita mengalami masalah sulit menelan, masalah saluran kemih, paralisis atau kelumpuhan pada diafragma, serta pembengkakan saraf tangan dan kaki. Paralisis pada diafragma akan membuat pasien tidak bisa bernapas sehingga membutuhkan alat bantu pernapasan atau respirator. Paralisis diagfragma dapat terjadi secara tiba-tiba pada awal muncul gejala atau berminggu-minggu setelah infeksi sembuh. Karena itu, penderita difteri anak-anak yang mengalami komplikasi umumnya dianjurkan untuk tetap di rumah sakit hingga 1,5 bulan.
  • Difteri hipertoksik. Komplikasi ini adalah bentuk difteria yang sangat parah. Selain gejala yang sama dengan difteri biasa, difteri hipertoksik akan memicu pendarahan yang parah dan gagal ginjal.
  • Pencegahan Difteri dengan Vaksinasi
  • Langkah pencegahan paling efektif untuk penyakit ini adalah dengan vaksin. Pencegahan difteri tergabung dalam vaksin DTP. Vaksin ini meliputi difteri, tetanus, dan pertusis atau batuk rejan.

Vaksin DTP termasuk dalam imunisasi wajib bagi anak-anak di Indonesia. Pemberian vaksin ini dilakukan 5 kali pada saat anak berusia 2 bulan, 3 bulan, 4 bulan, satu setengah tahun, dan lima tahun. Selanjutnya dapat diberikan booster dengan vaksin sejenis (Tdap/Td) pada usia 10 tahun dan 18 tahun. Vaksin Td dapat diulangi setiap 10 tahun untuk memberikan perlindungan yang optimal.

Apabila imunisasi DTP terlambat diberikan, imunisasi kejaran yang diberikan tidak akan mengulang dari awal. Bagi anak di bawah usia 7 tahun yang belum melakukan imunisasi DTP atau melakukan imunisasi yang tidak lengkap, masih dapat diberikan imunisasi kejaran dengan jadwal sesuai anjuran dokter anak Anda. Namun bagi mereka yang sudah berusia 7 tahun dan belum lengkap melakukan vaksin DTP, terdapat vaksin sejenis yang bernama Tdap untuk diberikan.

Sumber:

Difteri pertama kali ditemukan pada tahun 1884 oleh Loeffler. Difteri merupakan sebuah penyakit infeksi akut yang disebabkan oleh bakteri Corynebacterium diphtheriae (CD). Bakteri ini biasanya menyerang traktus respiratory bagian atas, menyebabkan pembentukan ulcer pada mukosa, dan pembentukan sebuah pseudomembrane. Walaupun infeksi ini pada umumnya menyerang bagian atas traktus respiratory seperti mukosa faring, dapat juga menyebabkan lesi sistemik dari jantung dan juga saraf (Hadfield et al., 2000). Corybacterium diphtheriae merupakan bakteri gram positif , aerobik , pleomorphic coccobacillus. CD menghasilkan sebuah toxin melalui lisogenisasi dengan corynebacteriophage yang membawa gen tox . Efek dari toksin CDinilah yang menyebabkan penyakit difteri(Zasada, 2015).Difteri dikenal sebagai sebuah pembunuh utama yang menyebabkan ribuan kasus kematian pada anak. Tingkat mortalitas mulai menurun drastis pada abad ke-21 setelah diperkenalkannya program imunisasi dan peningkatan taraf hidup (Byard, 2013).

Patofisiologi Difteri


Toksin CDmempunyai kapasitas invasif yang kecil tetapi mempunyai efek lokal dan sistemik. Toksin dari CD memiliki dua subunit, yaitu subunit A dan B. Subunit A mempunyai efek inhibisi terhadap sintesis protein, sedangkan subunit B yang menempel pada reseptornya, akan mempengaruhi pertumbuhan dan diferensiasi sel sehingga merubah fungsi normal sebuah sel(Ryan & Ray, 2004).

Genyang mengkode toksin CDterdapat pada corynophages / corynobacteriophages (Holmes, 2000) . Toksin dari CDyang disekresi, membawa gen struktural tox yang ditemukan pada lisogenik corynobacteriophagesβ tox+, ϒ tox+, and ω tox+ yang membuat toksin dari CDberbahaya. Ekspresi dari gen diregulasi oleh host bakteri dan konsentrasi besi yang terkandung pada tubuh bakteri. Pada kondisi dimana konsentrasi besi yang rendah, regulator gen terinhibisi dan menyebabkan kenaikan produksi toksin.

Seiring dengan peningkatan toksin, efek dari toksin itu sendiri meluas tidak hanya pada area dimana bakteri berkolonisasi. Walapun toksin Cd ini tidak memiliki target organ spesifik, tetapi miokardium dan saraf perifer lebih sering terkena dampaknya (Hadfield et al., 2000). Toksin CDadalah toksin poten yang mempunyai efek letal pada beberapa spesies seperti manusia, monyet, dan kelinci, dimana dosis sekitar 100-150 ng/Kg dapat memberikan yang serius (Zasada, 2015).

Manifestasi Klinis


Mukosa traktus respiratori bagian atas merupakan tempat infeksi utama. Pada orang dewasa lebih sering pada mukosa oral, mukosa bukal, bibir, palatum, dan lidah. Corybacterium diphtheriae berkolonisasi pada permukaan membran mukosa dan menyebabkan pembentukan dari pseudomembran yang berwarna putih dan setelah beberapa waktu akan menjadi warna abu – abu kotor. Pada tahap terakhir dapat menyebabkan warna hijau atau hitam yang merupakan hasil dari nekrosis. Pada limfonodi bisa terdapat pembesaran dan muncul warna merah kehitam – hitaman yang merupakan tanda – tanda perdarahan. Sebagai respon dari infeksi, menyebabkan terjadinya limfadenitis akut non-spesifik (Hadfield et al., 2000).

Setelah terjadi kontak dengan agen, masa inkubasi selama 2-5hari, gejala biasanya diikuti demam dan sakit tenggorokan. Terbentuk pseudomembran pada jaringan lunak uvula dan tonsil setelah 24 jam sebagai efek dari toksin. Bentuk yang lebih parah pada anak – anak adalah bull neck yang disebabkan pembengkakan pada jaringan lunak dan kelenjar getah bening leher (Byard, 2014). Onset terjadi secara tiba – tiba dan pertumbuhan dari pseudomembrane lebih cepat pada cavitas buccal , seluruh faring. Jaringan lunak palatum, uvula, dan tonsil dapat mengalami nekrosis dan lesi nekrotik ini dapat menembus ke otot rangka dan menyebabkan perdarahan serta edem (Byard, 2013).

Insiden komplikasi neurologis pertama kali diindikasikan dengan terjadinya neuropati dimana terjadi paralisis dari palatum lunak dan dinding posterior faring.

Seteleah itu, neuropati saraf kranial menyebabkan paralisis dari okulomotor dan siliari yang disebabkan karena disfungsi dari nervus fasial, faringeal, atau laringeal yang menyebabkan gangguan pada aspirasi (Hadfield et al., 2000).

Komplikasi dan efek letal difteri disebabkan adanya obstruksi respiratori atau efek sistemik dari DT yang diabsorbsi pada lokasi infeksi. Obstruksi secara mekanik jalur nafas disebabkan oleh pseudomembran, edem, dan perdarahan yang terjadi secara mendadak dan lengkap menyebabkan terjadinya sesak nafas. DT yang diabsorbsi ke dalam sirkulasi, menyebabkan kerusakan pada banyak organ, terutama pada jantung dan saraf. Pada jantung, DT menyebabkan terjadinya miokarditis yang menyebabkan terjadinya gagal jantung kongestif. Pada saraf, DT menyebabkan terjadinya paralisis pada otot – otot pernafasan dan juga otot okulomotor. Kombinasi dari ketiga manifestasi difteri yang menyebabkan penyakit infeksi ini memiliki tingkat mortalitas yang tinggi (Ryan & Ray, 2004).

Determinan Terjadinya Difteri


Berdasarkan keterangan dari kementrian kesehatan, kasus difteri di Indonesia mulai hilang pada tahun 1990, kemudian muncul kembali pada tahun 2009 dan terus mengalami peningkatan jumlah kasus pada tahun-tahun setelahnya. Dalam penelitian sebelumnya menyebutkan ada beberapa kemungkinan faktor yang menyebabkan munculnya penyakit difteri, diantaranya adalah riwayat imunisasi, faktor kepadatan hunian rumah yang tinggi, dan juga faktor pendidikan yang rendah dari ayah dan ibu (Sariadji et.al., 2016).

1 Like