Apa yang dimaksud dengan Dehumanisasi atau Dehumanization?

Dehumanisasi atau Dehumanization adalah penghilangan harkat manusia atau tindakan menyangkal kemanusiaan terhadap manusia lainnya.

Apa yang dimaksud dengan Dehumanisasi atau Dehumanization dalam ilmu sosial?

Dehumanisasi adalah kemerosotan tata-nilai. Mereka yang menjadi korban dehumanisasi kehilangan kepekaan kepada nilai-nilai luhur, seperti kebenaran, kebaikan, keindahan(estetik) dan kesucian. Mereka hanya peka dan menghargai nilai-nilai dasar, seperti materi (pemilikan kekayaan), hedonisme (kenikmatan jasmani) dan gengsi (prestise).

Tiga nilai inilah yang menjadi dasar dari tata-nilai bagian besar dari masyarakat kita dewasa ini. Dan karena tidak didukung oleh nilai-nilai yang lebih tinggi, khususnya nilai kebaikan (etik, moral) dan kesucian (agama), di dalam mendapatkan nilai-nilai dasar itu mereka menghalalkan segala cara, misalnya korupsi, kolusi dan nepotisme serta (bahkan) kekerasan adalah cara yang sah; maksiat, kecabulan dan pemadatan adalah perilaku yang wajar; gengsi, sebagai kebalikan dari harga-diri (sense of honour), menampakkan dirinya dalam sifat tak bermalu dan bahkan cenderung membanggakan hasil kejahatan. Semua itu adalah gaya hidup yang sesuai bagi masyarakat dengan tata-nilai rendah sebagai akibat proses dehumanisasi itu.

Secara semantik, dehumanisasi terjadi tatkala nilai-nilai luhur yang ada dalam teks ideologi, budaya dan agama tidak lagi berfungsi efektif sebagai pegangan hidup manusia sehari-hari, sehingga kebudayaan kehilangan dukungan kolektif dan manusia cenderung hidup tanpa basis keluhuran kebudayaan.

Proses globalisasi, dengan segala kemajuan teknologi informasi dan komunikasi, juga membawa kepada terjadinya proses dehumanisasi, yakni manusia menganggap manusia lain tidak setara dengannya. Pada saat manusia menganggap manusia lain sebagai sesuatu yang derajatnya di bawah manusia, rasa empati tidak muncul ketika dia mengalami kesusahan, kesedihan ataupun kesakitan.

Di dalam pertikaian antar manusia, manusia bisa membunuh tanpa merasa salah karena merasa bahwa musuh merupakan spesies lain yang kurang manusiawi (less than human).

Dehumanisasi yang ditimbulkan bisa berakibat diskriminasi, penindasan serta pemusnahan etnis oleh suatu kelompok masyarakat terhadap kelompok lain.

Wacana seputar dehumanisasi, dalam hal ini jatuhnya martabat manusia yang luhur menjadi perhatian utama didalam bidang kajian humanisme.

1 Like

Dehumanisasi

Dehumanisasi adalah suatu proses yang menjadikan manusia tidak sesuai dengan kodratnya sebagai manusia, melainkan hanya bisa menirukan atau melaksanakan sesuatu yang diukur dengan apa yang dimilikinya dalam bentuk tertentu.

Dehumanisasi dapat terjadi karena beberapa alasan, diantaranya adalah :

  1. Terjadi ketika manusia sudah tidak ada derajatnya lagi dan dianggap sebagai “demon” atau hewan yang bisa dibunuh tanpa ada rasa bersalah.

  2. Cinta, sayang, kasih, kemesraan, pemujaan, moral, nilai, agama terlepas sehingga menyebabkan rasa tanggung jawab seseorang terhadap orang lainnya hilang.

Poin penting yang perlu dicatat di sini adalah bahwa proses dehumanisasi orang lain ini juga mempunyai cara dehumanisasi individu itu sendiri…Saat kita menolak martabat dan rasa hormat terhadap orang lain, kita juga mulai kehilangan kemanusiaan dan rasa hormat diri sendiri.

Semakin kita dehumanisasi musuh kita, kita pun menjadi semakin kurang manusiawi (less human).

Siklus ini mengabadikan kemampuan dan keinginan kita untuk membunuh musuh kita; bahkan memudahkan kita untuk melakukannya. Rafael Moses mengkaji konsep ini dan mengemukakan bahwa karena proses demonisasi dan dehumanisasi, kita bisa membunuh tanpa merasa salah karena dua alasan:

  • pertama, kita berurusan dengan sesuatu yang kurang manusiawi (less than human);
  • kedua, subhuman ini mengancam kelangsungan hidup kita sendiri, karenanya agresi kita dibenarkan demi mempertahankan diri.

Dehumanisasi memang merupakan fakta sejarah tetapi tidak berarti manusia harus menerima hal tersebut sebagai fakta sejarah yang terberi. Secara aktual-empiri, di panggung publik deretan maksiat yang terkait dengan narkoba, judi dan prostitusi masih kokoh menjadi penyakit masyarakat. Bersumber dari krisis multidimensi dan krisis moral, deretan maksiat tersebut diperpanjang lagi oleh maraknya korupsi, kebohongan, kekerasan yang kemudian bersambung lagi dengan kejahatan, premanisme dan perdagangan manusia. Potret buram ini, benar-benar menunjukkan adanya segmen masyarakat yang khaostik, alienasi dan sedang dalam dehumanisasi.

Secara semantik, dehumanisasi terjadi tatkala nilai-nilai luhur yang ada dalam teks ideologi, budaya dan agama tidak lagi berfungsi efektif sebagai pegangan hidup manusia sehari-hari, sehingga kebudayaan kehilangan dukungan kolektif dan manusia cenderung hidup tanpa basis keluhuran kebudayaan. Dalam habitat seperti itu, manusia cenderung berperilaku sebagai serigala satu terhadap yang lain. Moral dan etika kehidupan sangat rapuh, jati diri terombang-ambing dan keharkatan berkembang makin nihil. Kehidupan mengalami kevakuman kultural. Fisik, rasio, rasa dan hati nurani tidak dalam kondisi seimbang.

Suatu kenyataan bahwa di dunia ini sebagian besar manusia menderita sedemikian rupa, sementara sebagian kecil lainnya menikmati jerih payah orang lain dengan cara-cara yang tidak adil. Persoalan inilah yang disebut oleh Paulo Freire sebagai “situasi penindasan” yang apapun nama dan alasannya adalah tidak manusiawi; dengan kata lain, dehumanisasi.

Dehumanisasi, dalam pemahaman Freire, adalah bersifat ganda, dimana ia terjadi atas diri mayoritas kaum tertindas dan juga atas diri minoritas kaum penindas. Kedua-duanya menyalahi kodrat manusia sejati (the man’s ontological vocation). Mayoritas kaum tertindas menjadi tidak manusiawi karena hak-hak asasi mereka dinistakan. Bahkan, mereka sendiri pun dibuat tak berdaya dan dibenamkan ke dalam apa yang disebut Freire sebagai “kebudayaan bisu” (submerged in the culture of silence).

Sedangkan miroritas kaum penindas, menjadi tidak manusiawi, karena telah mendustai hakikat keberadaan dan hati nurani dengan memaksakan “penindasan” terhadap sesama. Teknologi menjelma menjadi faktor dominan dalam kultur manusia masa kini, secara hegemonik menguasai kesadaran manusia modern. Berbagai unsur lain, kebudayaan manusia menjadi seolah-olah berada pada posisi subordinat, tergantung atau malah. ”Akibatnya, teknologi seringkali diposisikan secara dikotomis terhadap unsur kebudayaan lain. Pada satu sisi lain, ia juga sering dituduh sebagai penyebab terjadinya dehumanisasi, pemudaran sistem nilai, kerusakan lingkungan alam, kriminalitas, pembongkaran struktur sosial dan lainnya.”

Proses dehumanisasi sebagaimana dikatakan oleh sosiolog Max Weber (1864-1920), secara lambat namun pasti, menggerogoti masyarakat kita. Industrialisasi yang memegang teguh prinsip-prinsip rasionalisasi telah melahirkan disenchantment of the world (kekecewaan dunia).

Proses lunturnya daya tarik dunia karena semua yang ada dalam kehidupan bumi dapat dihitung secara rasional. Akibatnya, terjadilah penurunan kualitas kehidupan manusia (dehumanisasi), karena segala hal yang tadinya bersifat subjektif dapat diubah menjadi objektif, kualitatif menjadi kuantitatif.

Dengan demikian, tidak ada alternatif lain kecuali ikhtiar memanusiakan kembali manusia (humanisasi) sebagai pilihan mutlak. Sebab, kendatipun dehumanisasi merupakan kenyataan yang terjadi sepanjang sejarah peradaban manusia, dan tetap sebagai suatu kemungkinan ontologis di masa mendatang, ia bukanlah suatu keharusan sejarah (determinisme).

Manusia sebagai pribadi (subjek otonom), berarti memiliki kepribadian yang mengatasi atau mentransendir dunia luar, alam sekitar. Hal ini merupakan salah satu letak perbedaan dengan hewan. Seekor hewan tidak dapat berbuat lain daripada apa yang telah ditentukan oleh nalurinya. Namun, seorang manusia yang merupakan subjek mandiri, bermartabat pribadi dapat mengatasi alam sekitar dan tidak dideterminasikan oleh nalurinya

Manusia sebagai pribadi tidak mungkin dijadikan objek. Dia otonom dan bersifat khas sehingga tidak dapat diulangi dan tidak pernah ada duanya di dunia ini. Sebagaimana dikemukakan oleh Boethius dalam abad pertengahan, pribadi didefinisikan sebagai substansi, individual yang bersifat rasional, yang mampu menyadari bahwa dunia luarnya merupakan objek, yang dijadikan alat untuk memperkembangkan diri sehingga makin sempurna.

Manusia mempunyai martabat sedangkan barang material tidak. Dengan memanfaatkan barang material demi perkembangan dan kesempurnaan diri, manusia telah meninggikan derajat barang lain. Ilmu pengetahuan, teknik, ekonomi, organisasi, kebudayaan merupakan puncak keluhuran yang diberikan roh kepada materi. Keluhuran itu diberkan karena manusia dalam mencari kesempurnaannya sendiri membutuhkan materia sebagai saran untuk memperkembangkan diri manusia sebagai proses perkembangan tersebut.

Oleh karena itu yang menjadi ciri khas adanya manusia adalah ’eksistensi’ sebagaimana dikemukakan oleh Heidegger, artinya keluar dari diri sendiri, terbuka terhadap dunia luar. Keterbukaan ini tidak hanya paham, mengenal dan mengetahui dunia, melainkan lebih-lebih justru dalam mengolahnya secara aktif dan kreatif sehingga di satu pihak manusia makin berkembang dan makin sempurna, di pihak lain barang materia ditingkatkan derajatnya. Sebab barang duniawi itu berhubungan dengan roh manuisa.

Kesanggupan manusia untuk menyempurnakan diri dan meningkatkan derajat material tersebut disebabkan karena manusia itu berjiwa-badan sekaligus berakal budi. Dengan kodratnya itu, manusia merupakan suatu kebulatan yang disebut individu yang sanggup mempribadi. Manusia yang mampu mempertanggungjawabkan segala tindakannya, segala kebebasannya, dan bahkan keterbatasannya sendiri.

Setiap individu berbeda dengan individu yang lain. Masing-masing memiliki jati diri (identitas) yang unik. Setiap individu sebagai makhluk hidup yang aktif secar terus menerus melakukan aktualisasi, baik untuk menemukan maupun mengembangkan identitas dirinya sendiri. Setiap manusia dalam usaha merealisasikan dan mengaktualisasikan diri memiliki hak asasi yang harus dihormati dan dilindungi.

Setiap individu manusia harus berusaha memungkinkan serta merencanakan kehidupan manusiawi. Jadi, Sartre ingin menciptakan suatu moral manusiawi yang baru. Karena setiap individu manusia terikat dengan orang lain, maka kebebasannya harus juga memperhitungkan kebebasan orang lain itu. Seseorang tidak boleh membuat kebebasannya menjadi tujuan tanpa serentak juga membuat hal yang sama dengan kebebasan orang lain. Di sinilah letak tanggung jawab pribadi dalam kehidupan bersama dalam pandangan Sartre.

1 Like