Apa Yang Dimaksud Dengan Cuci Darah atau Hemodialisis?

Hemodialisis, dikenal secara umum dengan istilah cuci darah, berasal dari kata “hemo” yang artinya darah, dan “dialisis” yang artinya pemisahan zat-zat terlarut. Hemodialisis berarti proses pembersihan darah dari zat-zat sampah, melalui proses penyaringan di luar tubuh. Dengan kata lain, Hemodialisis menggunakan ginjal buatan berupa mesin dialisis, mengingat “cuci darah” alami merupakan tugas ginjal.

Hemodialisis adalah proses pembuangan limbah metabolic dan kelebihan cairan dari tubuh melalui darah.[1] Prosedur mencakup pemompaan darah pasien yang telah diberi heparin melewati dialyzer dengan kecepatan 300-500 mL/min, sementara cairan dialisat dialirkan secara berlawanan arah dengan kecepatan 500- 800mL/min. Darah dan dialisat sendiri hanya dipisahkan oleh suatu membran semipermeabel.5 Prosedur dialisis pertama kali disusun oleh Dr. Willem Kolff pada tahun 1943 dan lalu disempurnakan oleh Dr. Nils Alwall pada tahun 1946.[3] Sampai sekarang, prosedur ini tetap menjadi terapi utama pada pasien dengan End Stage Renal Failure (ESRF) dan indikasi dialisis mencakup adanya sindrom uremik, hiperkalemi yang tak teratasi cara umum, penambahan volume ekstraseluler, acidosis yang tidak teratasi, diathesis perdarahan, dan clearance kreatinin yang kurang dari 10 mL/min per 1,73 m2.[2]

Prinsip dan Cara Kerja Hemodialisis atau Cuci Darah

Prinsip utama hemodialisis adalah difusi partikel melewati suatu membran semipermeabel. Cairan dialisat dikondisikan sedemikian sehingga memiliki gradien konsentrasi yang lebih rendah daripada darah sehingga zat-zat sisa akan berdifusi ke dialisat. Kecepatan difusi dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain besar gradien konsentrasi, luas membran, dan koefisien transfer dari membran. Berat molekul juga berpengaruh dalam menentukan kecepatan difusi. Selain itu, transfer zat-zat ini juga bisa dibantu dengan tekanan ultrafiltrasi. Sementara air dan larutan lain yang berlebih akan ikut terbuang karena tekanan osmosis.[2]

Ada tiga komponen utama yang terlibat dalam proses hemodialisis, yaitu alat dialyzer, cairan dialisat, dan sistem penghantaran darah. Dialyzer adalah alat dalam proses dialisis yang mampu mengalirkan darah dan dialisat dalam kompatemen-kompartemen di dalamnya, dengan dibatasi membran. Pada pasien dewasa, luas permukaan membran ini berkisar antara 0,8-1,2 m2. Untuk bentuknya sendiri, saat ini terdapat dua konfigurasi, papan datar (flat plate), dan serat berongga (hollow fibers).

Saat ini, kebanyakan orang menggunakan sistem hollow fibers karena volume darah yang diambil relatif lebih sedikit dan relatif lebih mudah dalam penggunaan kembali jika dibandingkan konfigurasi flat plate. Sementara untuk jenis membran sendiri, saat ini dikenal empat jenis membran, yaitu selulosa, selulosa tersubstitusi, cellulosynthetic, dan membran sintetis. Selulosa adalah membran jenis awal dan saat ini kurang digunakan karena resiko pengaktifan sistem komplemen darah relatif besar sehingga bisa memicu reaksi anafilaktoid. Sementara itu, membran sintetis seperti polysulfone, polymethacrylate, dan polycrylonitrile adalah yang paling aman secara biologis. Resiko anafilaktoid juga bisa dikurangi dengan penggunaan dialyzer secara berulang.[2]

Dialisat adalah cairan yang digunakan untuk menarik limbah-limbah tubuh dari darah. Sementara sebagai buffer umumnya digunakan bikarbonat, karena memiliki resiko lebih kecil untuk menyebabkan hipotensi dibandingkan dengan buffer sodium. Kadar setiap zat di cairan dialisat juga perlu diatur sesuai kebutuhan. Untuk air, air yang digunakan harus diproses sedemikian sehingga tidak menimbulkan resiko kontaminasi.[2], [7]

Sistem penghantaran darah bisa dibagi atas bagian di mesin dialisis dan akses dialisis di tubuh pasien. Bagian yang di mesin terdiri atas pompa darah, sistem pengaliran dialisat, dan berbagai monitor. Sementara akses juga bisa dibagi atas beberapa jenis, antara lain fistula, graft atau kateter. Prosedur yang dinilai paling efektif adalah dengan mebuat suatu fistula dengan cara membuat sambungan secara anastomosis (shunt) antara arteri dan vena. Prosedur ini dilakukan secara bedah dan akan berakibat pada terbentuknya pelebaran vena berupa fistula sehingga memudahkan pemasangan jarum untuk dialisa. Salah satu prosedur yang paling umum adalah menyambungkan arteri radialis dengan vena cephalica, yang biasa disebut fistula Cimino-Breschia. Prosedur graft sebenarnya juga merupakan penyambungan arteri dan vena, namun penyambungan ini dilakukan dengan menanamkan suatu pipa sintetis di antara kedua pembuluh darah. Prosedur ini lebih mudah dilakukan daripada pembuatan fistula secara anastomosis, namun biasanya lebih sulit bertahan lama karena reaksi trombosis yang terjadi.

Selain kedua cara di atas, akses ke pasien juga bisa dilakukan dengan pemasangan kateter lumen ganda (double lumen). Pemasangan kateter ini bisa langsung dilakukan tanpa prosedur pembedahan sehingga biasa dilakukan pada keadaan mendesak atau pada pasien yang masih menunggu pembedahan pembuatan fistula. Kateter jenis ini dipasang di vena besar seperti vena jugularis interna atau subclavia. Pada kondisi yang lebih mendesak, penggunaan dua kateter biasa di arteri dan vena femoral juga bisa digunakan, walau tida nyaman bagi pasien.[2]

Komplikasi Hemodialisis atau Cuci Darah

Komplikasi dari hemodialisis yang cukup sering ditemukan mencakup hipertensi, hipotensi, puritus, insomnia, nyeri otot, reaksi anafilaktoid, dan gangguan sistem kardiovaskular. Sementara faktor-faktor resiko untuk tiap komplikasi masih belum diketahui secara jelas.[2], [3]

Referensi:

[1] Hemodialisis. Diunduh dari: (medicastore. com/cybermed/detail_pyk.php?idktg=9&iddtl=10 5 )
[2] Singh AK, Brenner BM. Dialysis in the treatment of renal failure in Harrison’s principles of internal medicine 16th ed. USA: McGraw-Hill. 2005. p.1663-1666
[3] Department of Internal Medicine Lund Hospital. Nils Allwall, the artificial kidney and gambro. Diunduh dari (med.lu. se/english/about_the_faculty/faculty_milestones/nils_al wall)