Etimologi
Al-mahabbah adalah bentuk masdar dari kata yang mempunyai tiga arti yaitu;
-
Melazimi dan tetap. Jika dihubungkan dengan cinta maka dapat dipahami bahwa dengan melazimi sesuatu akan dapat menimbulkan keakraban yang merupakan awal dari munculnya rasa cinta.
-
Biji sesuatu dari yang memiliki biji. Dengan melihat fungsi biji pada tumbuh-tumbuhan adalah benih kehidupan bagi tumbuh-tumbuhan. Karena itu, Al-mahabbah merupakan benih kehidupan manusia minimal sebagai semangat hidup bagi seseorang yang akan mendorong usaha untuk meraih sesuatu yang dicintai.
-
Sifat keterbatasan. Dengan melihat manusia sebagai subjek cinta, sangat terbatas dalam meraih sesuatu yang dicintai sehingga membutuhkan bantuan Sang Pemilik Cinta yang sesungguhnya, yaitu Allah swt.
Ada yang mengatakan bahwa al-mahabbah berasal dari kata al-habab, artinya air yang meluap setelah turun hujan lebat, sehinggah al-mahabbah adalah luapan hati dan gejolaknya saat dirundung keinginan untuk bertemu sang kekasih.
Terminologi
Pengertian al-mahabbah yang dimaksud dalam pembahasan ini adalah pandangan dari beberapa golongan tentang al-mahbbah, di antaranya:
Pandangan kaum Teolog yang dikemukakan oleh Webster mengemukakan bahwa al-mahabbah berarti;
- Keredaan Tuhan yang diberikan kepada manusia,
- Keinginan manusia menyatu dengan Tuhan, dan
- Perasaan berbakti dan bersahabat seseorang kepada yang lainnya.
Pengertian tersebut bersifat umum, sebagaimana yang dipahami masyarakat bahwa ada al-mahabbah Tuhan kepada manusia dan sebaliknya, ada mahbbah manusia kepada Tuhan dan sesamanya.
Sejalan dengan hal tersebut, al-Razi menjelaskan bahwa jumhur Mutakallimin mengatakan bahwa al-mahabbah merupakan salah satu bagian dari iradah. Iradah itu tidak berkaitan kecuali apa yang dapat dijangkau, sehingga al-mahabbah tidak mungkin berhubungan dengan Zat Tuhan dan sifat-sifat-Nya, melainkan ketaatan kepada-Nya. Begitu pula pendapat al-Zamakhsyari sebagai salah seorang tokoh Muâtazilah bahwa al-mahabbah adalah iradah jiwa manusia yang ditentukan dengan ibadah kepada yang dicintai-Nya bukan kepada selain-Nya.
Pandangan tersebut, menggambarkan bahwa mahabbah kepada Tuhan adalah mematuhi segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya, tidak melakukan sesuatu yang dapat menimbulkan dosa, baik dosa kecil maupun dosa besar. Apa yang dilakukan adlah yang mendatangkan kebaikan.
Salah seorang filosof, Ibn Miskawaih (w. 1030 M.) mengatakan bahwa al- mahabbah merupakan fitrah untuk bersekutu sengan yang lain, sehinggah menjadi sumber alami persatuan. Mahabbah mempunyai dua obyek, yaitu;
- Hewani berupa kesenangan dan ini haram,
- Spiritual berupa kebijakan atu kebaikan.
Sedang tujuan akhir kebaikan adalah kebahagiaan ilahi yang hanya dapat dimiliki oleh orang suci.
Inti al-mahabbah dalam pandangan Ibn Miskawaih adalah penyatuan antara pencinta dengan kekasihnya, antara manusia dengan Tuhannya, tetapi peryataan yang dimaksud bukan antara zat dengan zat, melainkan perasaan hambah yang mencapai tingkat al-al-mahabbah tidak ada batas antara dia dengan Tuhan, karena kemampuannya menghilangkan sifat nasutnya (kemanusiaan).
Imam al-Gazali, sebagai seorang sufi, mengatakan bahwa al-mahabbah adalah kecenderungan hati kepada sesuatu. Jika dipahami pernyataan tersebut, maka al- mahabbah manusia ada beberapa macam karena kecenderungan hati di antara setiap orang berbeda-beda. Ada yang cenderung kepada harta, ada kepada sesamanya dan ada pula kepada Tuhan. Kecenderngan mereka tidak terlepas dari pemahaman dan penghayatan serta pengalamannya terhadap ajaran agama.
Namun demikian, bagi Imam al-Gazali tentunya yang dimaksud adalah kecenderungan kepada Tuhan, karena bagi kaum sufi al-mahabbah yang sebenarnya bagi mereka hanya al-mahabbah kepada Tuhan. Hal ini dapat dilihat dari ucapannya bahwa
âBarang siapa yang mencintai sesuatu tanpa kaitannya dengan al-mahabbah kepada Tuhan adalah suatu kebodohan dan kesalahan karena hanya Allah yang berhak dicintaiâ.
Sementara itu, Harun Nasution (1998 M) mengemukakan bahwa al-mahabbah mempunyai beberapa pengertian:
-
Memeluk kepatuhan pada Tuhan dan membenci sikap melawan kepada-Nya.
-
Menyerahkan seluruh diri kepada yang dikasih.
-
Mengosongkan hati dari segala-galanya kecuali yang dikasih.
Pengertian tersebut diatas, sesuai dengan tingkatan kaum muslimin dalam pengalamannya terhadap ajaran agama, tidak semuanya mampu menjalani hidup kesufian, bahkan hanya sedikit saja yang menjalaninya, yang terbanyak adalah kelompok awam yang al-mahabbahnya termasuk pada pengertia yang pertama.
Sejalan dengan hal tersebut, al-Sarraj (337 H.) membagi al-mahabbah kepada tiga tingkatan, yaitu:
-
Cinta biasa, yaitu selalu mengingat Tuhan dengan zikir, suka menyebut nama- nama Allah dan memperoleh kesenangan dalam berdialog dengan Tuhan.
-
Cinta orang sidiq, yaitu orang yang kenal kepada Tuhan, pada kebesaran-Nya, pada kekuasaan-Nya dan lain-lain. Cinta yang dapat menghilangkan tabir yang memisahkan diri seseorang dari Tuhan dan dengan demikian dapat melihat rahasia-rahasia pada Tuhan.
-
Cinta orang yang arif, yaitu tahu betul pada Tuhan, yang dilihat dan dirasa bukan lagi cinta, diri yang dicintai. Akhirnya sifat-sifat yang dicintai masuk ke dalam diri yang mencintai.
Al-mahabbah tingkat ketiga adalah al-mahabbah bagi kaum sufi yang sudah manunggal dengan Tuhan, yakni memiliki sifat-sifat lahut (ketuhanan) dan menghilangkan sifat nasutnya. Sementara tingkat kedua merupakan proses untuk memasuki tingkat daketiga dan tingkat pertama adalah milik kaum awam. Jika yang pertama tidak dimiliki, berarti tidak memiliki al-mahabbah kepada Allah.
Berdasarkan uraian-uraian di atas, dapat dipahami bahwa al-mahabbah merupakan keinginan yang mendorong untuk berusaha memenuhinya, walaupun dengan pengorbanan. Keinginan tersebut adalah menyatu dengan kekasih, yaitu Tuhan, tetapi penyatuan yang dimaksud adalah kemampuan untuk memiliki sifat-sifat kekasih dan menghilangkan sifat-sifat yang dimiliki yang tidak sesuai dengan sifat kekasih agar biasa terjadi penyesuaian.
Al-mahabbah menurut Kaum Sufi
Bila di perhatikan ungkapan kaum sufi tentang al-mahabbah, tampak ada perbedaan karena persepsi yang mereka ungkapkan adalah berdasar pada pengalaman mereka masing-masing, antara satu dengan yang lain berbeda.
Rabiâah al-Adawiyah sebagai pencetus awal teori al-mahabbah di kalangan kaum sufi mangatakan, seperti yang dikutip Margareth Smith bahwa âcinta berasal dari kezalian menuju keabadianâ.
Selanjutnya Ibrahim Basyuni mengemukakan pandangan Rabiâah al-Adawiyah bahwa aku mencintai-Nya dengan dua macam cinta, yaitu ; Cinta kepada diriku dan cinta kepada-Mu. Adapun cinta kepada-Mu adalah keadaan- Mu yang menyingkapkan tabir, hingga Engkau kulihat, baik untuk ini maupun untuk itu.
Ungkapan Rabiâah di atas, menggambarkan bahwa al-mahabbah adalah pemberian Tuhan, karena Tuhanlah yang menyingkap tabir, dan keadaan itulah terjadi mahabbah. Oleh karenanya kepada-Nya-lah al-mahabbah itu harus dikembalikan. Sekalipun dalam ungkapan Rabiâah ada mahbbah untuk dirinya, tetapi bukan untuk dirinya melainkan suatu proses untuk mencapai mahabbah sesungguhnya. Untuk itu harus menghilangkan segala sesuatu selain Allah dalam hati agar tersingkap tabir yang menjadi penghalang antara hamba dengan Tuhan-Nya, karena hati yang merasakan al-mahabbah dan merasakan berhadapan langsung dengan Tuhan tanpa ada penghalang.
Kamil Muhammad mengemukakan pandangan Zul al-Nun al-Misriy tentang al-mahabbah yaitu; mencintai apa yang dicintai oleh Allah dan membenci apa yang dibenci oleh-Nya. Melakukan semua kebaikan dan menolak semua yang menyebabkan lalai kepada-Nya, tidak takut terhadap celaan selama berada dalam keimanan dan mengikuti Rasululah saw. serta menjauhi orang-orang kafir.
Tampaknya, al-mahabbah dalam konsep Zu al-Nun al-Misri merupakan proses untuk mencapai tujuan akhir perjalanan sufi yaitu maârifah, bukan al-mahabbah yang dimaksud Rabiâah, karena al-mahabbah dalam kosep Rabiâah adalah tujuan akhir yang akan dicapai oleh seorang sufĂ. Akan tetapi, dapat dikatakan bahwa al-mahabbah dalam konsep Rabiâah dan maârifah dalam konsep Zu al-Nun al-Misri adalah merupakan pemberian Tuhan.
âAbd al-Qair Mahmud mengemukakan pandangan Abu Yazid al-Bistani (w. 874 M.) tentang al-mahabbah, yaitu; âhakikat al-mahabbah adalah pada saat terjadi ittihadâ.
Jika dalam pandangan Rabiâah al-Adawiyah dan Zu al-Nun al-Misri, masih ada dua wujud yang saling berhadapan, maka dalam pandangan Abu Yazid tinggal sattu wujud, karena antara wujud hamba dengan Tuhan bersatu. Hamba dapat bersatu dengan Tuhan setelah berhasil menghilangkan sifat nasut yang dimiliki.
Sejalan dengan hal tersebut, al-Sahrawardi mengemukakan pandangan al- Junaid (w. 911 .) tentang al-mahabbah, yaitu; memasukkan sifat-sifat sang kekasih untuk menggati sifat sang pencinta. Sang pencinta adalah manusia yang memiliki sifat kemanusiaan (nasut) yang berhubungan dengan dunia materi, sedang yang dimaksud sang kekasih adalah Tuhan yang tidak dapat berhubungan dengan dunia materi, sehingga diperlukan usaha keras dan sungguh-sungguh dari manusia untuk menghilangkan sifat nasutnya dan menggantikan dengan sifat ketuhana (lahut), sehingga terjadilah kesesuaian dan dapat bertemu.
Kemudian al-Sahrawardi (w. 578 H.) menjelaskan bahwa sesungguhanya al- mahabbah adalah suatu mata rantai keselarasan yang mengikat sang pecinta kepada kekasihnya, suatui ketertarikan kepada kekasih, yang menarik sang pecinta kepadanya, sehingga ia melenyapkan sifat yang tidak sesuai dengan kekasihnya agar dapat menangkap sifat sang kekasih. Apa yang dikemukan oleh al sahrawardi merupakan pengalaman yang dialami dalam perjalanan kerohiannya menuju Tuhan, yakni dimulai dengan pembersihan diri, yaitu mengosongkan diri dari sifat-sifat nasut yang dimiliki, kemudian mengisi dengan sifat-sifat lahut agar terjadi kesesuaian antara pencinta dengan sang kekasih, sehingga memudahkan bersatu.
Ittihad merupakan satu tingkatan dalam ajaran tasawwuf yang menganggap seorang sufi dapat bersatu dengan Tuhan-Nya atau atau antara pencinta dengan kekasihnya.
Jadi, al-mahabbah adalah anugerah Tuhan yang tertanam dalam hati yang menerimanya. Karena itu, al-mahabbah bagi kaum sufi hanya diperuntukkan kepada Tuhan sebab hanya Dialah yang memiliki sebab-sebab adanya al-mahabbah, yaitu;
-
Manusiua mempunyai tabiâat yang cenderung kepada kekekalan, sedang yang kekal hanya Tuhan.
-
Manusia mempunyai tabiâat yan g suka kepada kebaikan dan Yang Maha Baik hanya Tuhan.
-
Adanya kekserasian antara yang dicintai dan yang mencintai.
-
Mencintai sesuatu karena diri yang dicintai tanpa mengharapkan apa-apa. Sikap yang demikian hanya Tuhan yang tidak membutuhkan sesuatu.
Argumen tersebut, dipertegas oleh Ibn Qayyim (hidup sekirtar abad VIII H.)29 bahwa siapa yang mengetahui Tuhan, maka tidak ada sesuatu yang lebih dicintai-Nya kecuali Dia dan tidak ada sesuatu yang disukai kecuali Dia. Ini berarti jika ada sesuatu yang lebih dicintai atau yang lebih dicintai daripada Tuhan berarti tidak mengenal Tuhan. Karena itu, al-mahabbah bagi kaum sufi hanyalah kepada Tuhan. Namun pengalaman mereka terhadap al-mahabbah tersebut berbeda.
Meskipun pandangan mereka berbeda, tetapi mereka sepakat bahwa al-mahabbah yang sebenarnya adalah anugerah Tuhan yang diberikan kepada hamba- Nya yang mencintai-Nya dan suci dari segala macam bentuk dosa, bahkan mereka telah mampu menghilangkan sifat nasut yang dimiliki, sehingga ia dapat menyaksikan Tuhan melalui hati sanubari atau merasa dekat atau bersatu dengan Tuhan.
Referensi
-
YĹŤsuf al-Qardawi, al-ÄŞmÄn wa al-ḤayÄt , terj. Jazirotul Islamiyah, Merasakan Kehadiran Tuhan (Yoqyakarta: Pustaka Pelajar, 1999).
-
Abi al-Husain Ahmad ibn Faris ibn Zakariyah, Muâjam al-Maqayis al-Lugah (Beirut: Dar al- Fikr,1991).
-
ibn Qayyim al-Jauziyah, Raudah al-Muhibbin wa Nuzhat al-Musytaqin (Beirut: Dar al- Kutub al-âIlmiyyah, 1995).
-
Fakhr al-Din Muhammad bin âUmar bin al-Husain bin al-Hasan ibn âAli al-Tamimi al- Bakri al-Razi, Tafsir al-Kabir , jilid XVI (Beirut: Dar al-Fikr, 1990).
-
Abi al-Qasim Jarallah Mahmud bin âUmar al-Zamakhsyari, al-Kasysyaf âan Haqaiq al- Tanzil wa âUyun al-Aqawil Wujuh al-Taâwil , juz I (Beirut: Dar al-Fikr, t. Tht.).
-
Abi Hamid Muhammad bin Muhamad al-Gazali, Ihya âUlim al-Din , juz IV (Beirut: Dar al-Fikr, 1991).
-
Harun Nasution, Falsafat dan Mistisisme Dalam Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1978).
-
Fazlur Rahman, Islam (Chicago: Univercity of Chicago Press, 1965).
-
Abu Nasr al-Sarraj al-Tusi, Kitab al-Luma â(Mesir: Dar al-Kutub al-Hadisah, 1960).
-
Margaret Smith, Rabiâah The Mystic and Her Fellow Saints In Islam (London; Cambirge Univecity Press, 1928).
-
Ibrahim Basyuniy, Nasy âat al-Tasawuf al-Islam (Kairo: Maktabat al-Nahdah al- Misriyah, 1319 H).
-
Navad Nurbakhsh, Sufi Women (London: Khanigahi Niâmatullah Publications, 1983)
-
Kamil Muuhammad âUwaidah, Zu al-Nun al-Misri al-Hakim al-Zahid (Beirut: Dar al-âIlmiyah, 1996).
-
Abd al-Qadir Mahmud, Falsafat al-Sufiyyat al-Islam (Kairo: Matbaâat al-Maâarif al-Imarah,
-
âAbd al-Qahir bin âAbdullah al-Sahrawardi, Kitab Awarif al-Maâarif (Beirut: Dar al- Kitab al-âArabi, 1983).