Apa yang dimaksud dengan bulan-bulan haram?

Apa yang dimaksud dengan bulan-bulan haram?

Bulan Haram adalah bulan yang dimuliakan merupakan kekhususan bulan yang diberikan Allah dengan manfaat yang luar biasa pada bulan tersebut. Selain adanya larangan untuk melakukan tindakan dosa seperti pembunuhan, pertikaian dan kemaksiatan, bulan haram sangat tepat untuk memperdalam amal ibadah kita kepadaNya.

Hal tersebut bukan berarti bahwa bulan-bulan lainnya tidak baik untuk berbuat amal shaleh, namun ada nilai plus yang diberikan Allah swt jika kita berlomba-lomba beramal shaleh pada bulan yang diberikan kemuliaan atasnya seperti bulan Rajab, Zulqaidah, Zulhijjah dan Bulan Muharram.

Menurut Ibnu Abbas bahwa Allah mengkhususkan 4 bulan sebagai bulan Haram (bulan yang dimuliakan) adalah jika berbuat dosa pada bulan itu, maka dosanya akan lebih besar dibandingkan dengan bulan yang lain, begitu juga sebaliknya jika berbuat amal shaleh, maka ganjaran kebaikan akan diperoleh dengan pahala yang berlipat-lipat. Lihat kitab Latho-if Al Ma’arif, 207

Dapat disimpulkan bahwa pengertian bulan Haram adalah:

  1. Bulan Haram adalah bulan yang sudah ditentukan bulan-bulannya
  2. Bulan Haram ada 4 yaitu Zulhijjah, Zulqa`idah, Rajab dan Muharram
  3. Dilarang melakukan perbuatan dosa (maksiat) dan pembunuhan
  4. Anjuran untuk lebih semangat berbuat baik dan amal shaleh
  5. Ganjaran pahala lebih banyak dan Ganjaran Dosa juga lebih berat

Referensi :

Bulan haram (asyhur al-hurum), merupakan bulan yang mulia dan yang di agungkan oleh Allah Swt., dimana bulan-bulan ini mempunyai beberapa keutamaan yang besar. Bulan-bulan haram terdiri atas bulan muharram, rajab, dzulqa’dah dan dzulhijjah.

Keutamaan bulan-bulan haram dijelaskan dalam firman Allah:

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu melanggar syi’ar-syi’ar Allah, dan jangan melanggar kehormatan bulan-bulan Haram…” (QS. Al Maidah:2)

Kemudian di dalam hadis Nabi Saw. bersabda :

“Sesungguhnya zaman telah berputar seperti keadaannya ketika Allah menciptakan langit dan bumi, dalam setahun itu terdapat dua belas bulan. Empat diantaranya adalah bulan haram (disucikan). Tiga dari empat bulan itu, (jatuh secara) berurutan yaitu Dzulqa’dah, Dzulhijjah, Muharram. Sedangkan Rajab (yang disebut juga sebagai) syahru Mudhar , terletak diantara Jumâda (al-Tsaniyah) dan Sya’ban.” (HR. al-Bukhârî).

Dan diantara keutamaan yang ada pada bulan-bulan haram ini adalah:

Bulan Dzulqa’dah

Dia merupakan salah satu bulan Haji (asyhur al-hajji) yang dijelaskan oleh Allah dalam firman-Nya:

“(Musim) Haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi…” (QS.Al Baqarah:197)

Asyhurun ma’lûmât (bulan-bulan yang dikenal) merupakan bulan yang tidak sah ihram haji kecuali pada bulan-bulan ini ( asyhurun ma’l ûmât ) menurut pendapat yang sahih. Dan yang dimaksud dengan bulan-bulan Haji ( asyhur al- hajji ) adalah bulan Syawwâl, Dzulqa’dah dan sepuluh hari dari bulan Dzulhijjah. Diantara keistimewaan bulan ini, bahwa empat kali ‘Umrah Rasulullah Saw. terjadi pada bulan ini, hal ini tidak termasuk ‘Umrah beliau yang dibarengi dengan Haji, walaupun ketika itu beliau Saw. berihram pada bulan Dzulqa’dah dan mengerjakan ‘Umrah tersebut di bulan Dzulhijjah bersamaan dengan hajinya.

Karena itu terdapat riwayat dari beberapa ulama Salaf bahwa disukai melakukan ‘Umrah pada bulan Dzulqa’dah. Akan tetapi ini tidak menunjukkan bahwa ‘Umrah di bulan Dzulqa’dah lebih utama daripada ‘Umrah di bulan Ramadhan. Keistimewaan lain yang dimiliki bulan ini, bahwa masa tiga puluh malam yang Allah janjikan kepada Musa untuk berbicara pada-Nya jatuh pada malam-malam bulan Dzulqa’dah. Sedangkan al-‘asyr (sepuluh malam) tambahannya jatuh pada periode sepuluh malam dari bulan Dzulhijjah.

Sebagaimana firman Allah Ta’ala:

“Dan telah Kami janjikan kepada Musa (memberikan Taurat) sesudah berlalu waktu tiga puluh malam, dan Kami sempurnakan jumlah malam itu dengan sepuluh (malam lagi)…”(QS. Al A’raaf:142)

Bulan Dzulhijjah

Diantara beberapa keutamaan dan keberkahan bulan ini, bahwa seluruh manasik haji dilakukan pada bulan ini. Kesemuanya itu merupakan syi’ar-syi’ar yang besar dari berbagai syi’ar Islam. Terdapat di dalamnya sepuluh hari pertama yang penuh dengan keberkahan dan keutamaan, lalu tiga hari berikutnya merupakan hari-hari tasyriq yang agung.

Bulan Muharram

Di antara keutamaan dan keberkahan bulan ini, sebagaimana yang tercantum dalam Sahîh Muslim dari Abû Hurairah ra, ia berkata, “Rasulullah Saw. bersabda:”

“Puasa yang paling utama setelah Ramadhan adalah (puasa yang jatuh pada) bulan Allah, (yaitu) Muharram, dan salat yang paling utama setelah salat fardu adalah salat malam (qiyâmul laîl)” (HR. Muslim)

Ibnu Rajab rahimahull âh mengatakan, “Nabi Saw. menamakan Muharram dengan bulan Allah ( syahru Allâh ). Penisbatan nama bulan ini dengan lafaz ‘Allah’ menunjukkan kemuliaan dan keutamaan bulan ini, karena sesungguhnya Allah tidak menyandarkan (menisbatkan) lafaz tersebut kepada-Nya kecuali karena keistimewaan dan kekhususan yang dimiliki oleh makhluk-Nya tersebut dan seterusnya.

Sebagian ulama memberikan alasan yang mengaitkan tentang keutamaan puasa pada bulan ini. Maksudnya, bahwa sebaik-baik bulan untuk melakukan puasa sunat secara penuh setelah bulan Ramadhan, adalah Muharram. Karena berpuasa sunnat pada sebagian hari, seperti hari ‘Arafah, sepuluh hari bulan Zulhijjah atau enam hari di bulan Syawâl lebih utama ( afdal ) daripada berpuasa pada sebagian hari-hari bulan Muharram.

Diantara keberkahan bulan Muharram berikutnya, jatuh pada hari kesepuluh, yaitu hari ‘Asy ûrâ’ . Hari ‘Asy ûrâ’ ini merupakan hari yang mulia dan penuh berkah. Hari ‘Asy ûrâ’ ini memiliki kesucian dan kemuliaan sejak dahulu. Dimana pada hari ‘Asy ûrâ’ ini Allah ta’ala menyelamatkan seorang hamba sekaligus Nabi-Nya, Musa ‘Alaihis Sal âm dan kaumnya serta menenggelamkan musuhnya, Fir’aun dan bala tentaranya.

Sesungguhnya Nabi Musa ‘Alaihis Sal âm berpuasa pada hari ini sebagai bentuk syukurnya kepada Allah. Sedangkan orang- orang Quraisy di zaman Jahiliyah juga berpuasa pada hari ini, begitu juga Yahudi. Mereka dulu berpuasa pada hari ‘Asy ûrâ’ . Berdasarkan pendapat kebanyakan ulama, puasa ini pada mulanya wajib bagi kaum muslimin sebelum diwajibkannya puasa Ramadhan, kemudian (berubah) menjadi sunnah. Sebagaimana yang tedapat dalam Sah îh Bukhâri dari ‘Aisyah ra, ia berkata:

“Dahulu orang-orang Quraisy berpuasa ‘Asyura pada zaman Jahilliyah. Dan Rasulullah Salall âhu ‘Alahi Wassalam sendiri juga berpuasa ‘Asyura . Ketika beliau hijrah ke Madinah, beliau terus melaksanakan puasa ‘Asy ûrâ’ , dan memerintahkan orang-orang untuk berpuasa. Lalu ketika diwajibkan berpuasa pada bulan Ramadhan, beliau bersabda:’Barangsiapa yang mau berpuasa ‘Asy ûrâ’ , berpuasalah dan barangsiapa yang ingin meninggalkannya, tinggalkanlah.” (HR. al-Bukhârî)

Dan juga tertera dalam Sah îh Bukhârî dari Ibnu ‘Abbâs ra, bahwa Rasulullah Saw. datang ke Madinah dan beliau mendapati orang-orang Yahudi berpuasa pada hari ‘Asy ûrâ’ . Maka Rasulullah Saw. bertanya pada mereka,

“Hari apakah ini, yang kalian berpuasa di dalamnya?”

Mereka menjawab: “Ini adalah hari yang agung, pada hari inilah Allah menyelamatkan Musa ‘as. dan kaumnya, dan menenggelamkan Fir’aun dan bala tentaranya. Maka Musa berpuasa pada hari ‘Asy ûrâ’ ini sebagai tanda syukurnya.” Kemudian Rasulullah Saw. bersabda:

“Maka, kami lebih berhak terhadap Musa ‘As. dan lebih diutamakan daripada kamu sekalian.” Lalu Rasulullah Saw. berpuasa ‘Asy ûrâ’ dan memerintahkan kaum muslimin agar berpuasa.

Berpuasa pada hari ini memiliki keutamaan yang besar, dimana puasa ini dapat meleburkan dosa-dosa setahun yang lalu, sebagaimana tertera dalam Sah îh Muslim, dari Abû Qatadah al-Ansari ra. Sesungguhnya Rasulullah Saw. ditanya tentang puasa pada hari ‘Asy ûrâ’ , maka beliau bersabda,

“Dia akan menggugurkan (dosa-dosa) setahun yang lalu.”

Sebagian ulama berpendapat sunnah berpuasa pada hari kesembilan bersamaan dengan hari kesepuluh karena Nabi Saw. berpuasa pada hari kesepuluh dan berniat akan berpuasa pada hari kesembilan. Imam Nawawi rahimahull âh menyatakan, “Barangkali sebab dari puasa dua hari ini agar tidak tasyabbuh (serupa) dengan Yahudi yang berpuasa hanya di hari kesepuluh.”

Bulan Rajab

Adapun tentang keutamaan bulan Rajab, kebanyakan ulama mengatakan bahwa dasarnya sangat lemah, bahkan boleh dikatakan tidak ada keterangan yang kuat yang mendasarinya dari sabda Rasulullah Saw. Bahkan sebahagian kaum muslimin berpendapat bahwa bulan Rajab memiliki berbagai keutamaan, sehingga umat Islam dianjurkan untuk melakukan ibadah-ibadah tertentu agar mereka dapat meraih fadilah atau keutamaan tersebut.

Di antara contoh-contoh amalan-amalan yang sering dipercaya umat Islam untuk dilakukan pada bulan Rajab adalah:

  • Mengadakan salat khusus pada malam pertama bulan Rajab.

  • Mengadakan salat khusus pada malam Jum’at minggu pertama bulan.

  • Salat khusus pada malam Nisfu Rajab (pertengahan atau tanggal 15 Rajab).

  • Shalat khusus pada malam 27 Rajab (malam Isra’ dan Mi’raj).

  • Puasa khusus pada tanggal 1 Rajab.

  • Puasa khusus hari Kamis minggu pertama bulan Rajab.

  • Puasa khusus pada hari Nisfu Rajab.

  • Puasa khusus pada tanggal 27 Rajab.

  • Puasa pada awal, pertengahan dan akhir bulan Rajab.

  • Berpuasa khusus sekurang-kurangnya sehari pada bulan Rajab.

  • Mengeluarkan zakat khusus pada bulan Rajab.

  • Umrah khusus di bulan Rajab.

  • Memperbanyakkan Istighfar khusus pada bulan Rajab.

Akan tetapi, semua pendapat tersebut tidak dapat dipegang, karena kalau kita jujur terhadap sumber-sumber asli agama ini, nyaris tidak satu pun amalan-amalan di atas yang berdasarkan kepada hadis-hadis yang sahih.

Kemudian diriwayatkan bahwa apabila Rasulullah Saw. memasuki bulan Rajab beliau berdo’a:

“Apabila masuk bulan rajab dahulu Nabi Saw. berdo’a: Ya, Allah berkahilah kami di bulan Rajab (ini) dan (juga) Sya’ban, dan sampaikanlah kami kepada bulan Ramadhan.” (HR. Imam Ahmad, dari Anas bin Malik).

Adapun ‘Umrah di bulan Rajab telah disebutkan oleh Ibnu Rajab bahwa “umrah dibulan Rajab itu adalah hukumnya sunnah menurut pendapat mayoritas generasi Salaf. Diantaranya ‘umar bin Khattâb ra. dan ‘Aisyah ra.

Dari berbagai penjelasan dan keterangan di atas, dapat dipahami bahwa bulan rajab adalah bulan yang memiliki keistimewaan sendiri. Didalamnya juga banyak terdapat anjuran-anjuran untuk beribadah di bulan rajab.

Referensi :

  • Abu ‘Abdullah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim al-Bukhari, al-Jami’ al-Sâhih ( Sâhih Bukhâri ), (Beirut: Dar al-Fikr, 1994)
  • Muhammad Nasib ar-Rifa’i, Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir , Jakarta: Gema Insani, 1999
  • Ibnu Rajab al-Hanbali, Latâ’if al-Ma’arif , Beirut: Darul Kutub ‘Alamiyah, Cet. ke1, 1989
  • Abû ‘Abdullah Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad bin Hanbal , Juz V, (Bairut : al- Maktabah Islami, 1978)

Bulan Haram atau Asyhur al-Hurum pada dasarnya terdiri dari dua kata, yakni Asyhur yang berarti bulan-bulan, berasal dari kata Syahrun, dan al-Hurum yang berarti haram (yang dilarang), berasal dari kata harama.

Secara bahasa atau maknawiah bulan haram adalah bulan yang disucikan dimana orang dilarang berperang, kecuali kalau diserang, juga dilarang membunuh binatang darat buruan untuk menjamin kelangsungan hidup.

Bulan haram adalah bulan Dzulqa’dah, Dzulhijjah, Muharram dan Rajab. Bulan-bulan ini di istimewakan oleh Allah Ta’ala dengan kesuciannya dan Dia menjadikan bulan-bulan ini sebagai bulan-bulan pilihan di antara bulan yang ada. Allah Ta’ala berfirman:

“Sesungguhnya bilangan bulan disisi Allah ialah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, diantaranya empat bulan haram…” (QS. At Taubah:36)

Adapun dalil yang terdapat dalam al Qur’an tentang bulan-bulan Haram ini adalah firman Allah Ta’ala:

“Mereka bertanya tentang berperang pada bulan Haram. Katakanlah:’ Berperang dalam bulan itu adalah dosa besar…’” (QS. Al Baqarah:217).

Juga firman Allah:

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu melanggar syi’ar-syi’ar Allah, dan jangan melanggar kehormatan bulan-bulan Haram…” (QS. Al Maidah:2)

Al-Hafiz Ibnu Katsir menyatakan,”Yang dimaksudkan oleh ayat ini adalah pemuliaan dan pensucian bulan tersebut dan pengakuan terhadap kemuliaannya serta meninggalkan semua yang dilarang oleh Allah, seperti memulai peperangan dan penegasan terhadap perintah menjauhi hal yang diharamkan…”

Allah Ta’ala berfirman:

“Allah telah menjadikan Ka’bah, rumah suci itu sebagai pusat (peribadatan dan urusan dunia) bagi manusia, dan (demikian pula) bulan Haram…” (QS. Al Ma’idah: 97)

Al-Baghawi rahimahullâh menuturkan, “Maksudnya bahwa Allah menjadikan bulan-bulan Haram ini sebagai penunaikan kewajiban kepada manusia untuk menstabilkan keadaan pada bulan-bulan ini dari peperangan.” Di dalam Sahih al-Bukhâri terdapat hadis dari Abû Bakrah rahimahullâh dari Nabi Saw. bahwa beliau bersabda:

“Sesungguhnya zaman telah berputar seperti keadaannya ketika Allah menciptakan langit dan bumi, dalam setahun itu terdapat dua belas bulan. Empat diantaranya adalah bulan haram (disucikan). Tiga dari empat bulan itu, (jatuh secara) berurutan yaitu Dzulqa’dah, Dzulhijah, Muharram. Sedangkan Rajab (yang disebut juga sebagai) syahru Mudhar, terletak diantara Jumada ( al-Tsaniyah ) dan Sya’ban.” (HR. al-Bukhârî).

Sekelompok orang dari generasi salaf berpandangan bahwa hukum diharamkannya peperangan pada bulan-bulan haram ini, adalah tetap dan berlangsung terus-menerus hingga saat ini, karena dalil-dalil terdahulu. Sedangkan yang lainnya berpendapat bahwa sesungguhnya larangan memerangi kaum musyrikin pada bulan-bulan haram ini telah terhapus ( mansukh ) dengan firman Allah Ta’ala :

“Sesungguhnya bilangan bulan di sisi Allah ialah dua belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu Dia menciptakan langit dan bumi, diantaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah menganiaya diri sendiri dalam bulan yang empat itu, dan perangilah musyrikin itu semuanya sebagaimana mereka memerangi semuanya…” (QS. At Taubah:36).