Apa yang Dimaksud dengan Budaya sebagai Sistem Kognitif?

image

Salah satu sifat budaya adalah sebagai sistem kognitif.

Apa yang dimaksud dengan budaya sebagai sistem kognitif?

Satu tema besar yang lain pada 15 tahun terakhir ini adalah kemunculan satu antropologi kognitif yang eksplisit (juga disebut “etnogrqfi baru”, “ethnoscience”, “ethnographic semantics”). Dalam prakteknya “etnografi baru” ini pada dasarnya adalah satu pengkajian terhadap sistem klasifikasi penduduk setempat (folk classification). Di luar metode “pengumpulan kupu-kupu” ini, juga telah muncul satu pandangan baru dan penting terhadap budaya, yaitu budaya sebagai cognition (pengetahuan).

Budaya dipandang sebagai sistem pengetahuan. Menurut Ward Goodenough:

Kebudayaan suatu masyarakat terdiri atas segala sesuatu yang harus diketahui atau dipercayai seseorang agar dia dapat berperilaku dalam cara yang dapat diterima oleh anggota-anggota masyarakat tersebut. Budaya bukanlah suatu penomena material: dia tidak berdiri atas benda-benda, manusia, tingkah laku atau emosi-emosi. Budaya lebih merupakan organisasi dari hal-hal tersebut. Budaya adalah bentuk hal-hal yang ada dalam pikiran (mind) manusia, model-model yang dipunyai manusia untuk menerima, menghubungkan, dan kemudian menafsirkan penomena material di atas (32, him. 167). Kebudayaan terdiri atas pedoman-pedoman untuk menentukan apa . . . untuk menentukan apa yang dapat menjadi . . . untuk menentukan apa yang dirasakan seseorang tentang hal itu . . . untuk menentukan bagaimana berbuat terhadap hal itu, dan . . . untuk menentukan bagaimana caranya menghadapi hal itu.

Goodenough mempertentangkan pandangan ideasionalnya tentang kebudayaan dengan pandangan yang digunakan oleh orang orang adaptionist yang telah didiskusikan dalam bagian terdahulu, yang melihat kebudayaan sebagai “pola kehidupan dalam satu komuniti, yaitu: kegiatan yang terjadi berulang kali secara ajeg dan susunan materi dan sosial”.

Maka kesimpulannya, Goodenough memandang budaya secara epistemologi berada dalam alam yang sama dengan bahasa (langue dari Sassure atau competence dari Chomsky), sebagai aturan-aturan ideasional yang berada di luar bidang yang dapat diamati dan diraba. Dengan konsep yang seperti ini, bahasa adalah satu subsistem dari budaya, dan peneliti antropologi kognitif berharap atau menduga bahwa metode-metode dan modelmodel linguistik (seperti: yaitu analisa komponential, emic lawan etic, kerangka eliciting, dan lain-lain) juga memadai untuk digunakan terhadap bidang budaya yang lain.

Orang antropologi kognitif telah membuat lompatan ini terlampau mudah dan telah meminjam dari metode linguistik taksonomik yang pada masa sekarang telah ketinggalan zaman. Namun demikian, dalam beberapa tahun terakhir ini perhatian orang-orang antropologi kognitif ini telah mulai beralih dari keunikan sistem-sistem kultural kepada satu usaha pencarian pola -pola universal.

Analisis budaya sebagai sistem kognitif tidak berkembang terlampau jauh di luar usaha pemetaan terhadap daerah-daerah semantik yang terikat secara terbatas dan ketat. Usaha-usaha penting untuk merumuskan pengetahuan kultural yang diperlukan untuk peningkatan penampilan atau mengoperasikannya dalam situasi-situasi sosial tertentu telah dilakukan oleh Frake, Metzger dan Williams, Wallace, Spradley, Agar dan Iain-Iain. Namun demikian, adalah mengesankan untuk dilihat kembali bahwa optimisme penyebaran antropologi kognitif pada mula -mula dulu ternyata pada akhirnya hanya menghasilkan bebera pa kepingan karangan deskripsi kultural saja.

Lebih jauh, antropologi kognitif bahkan hanya menghasilkan beberapa sketsa tentatif tentang struktur dan organisasi budaya sebagai sistem kognitif secara menyeluruh. Pemikiran tentang “grammar kultural” telah terbukti tidak produktif dan tidak memadai dalam menghadapi kekayaan dan kerumitan pengetahuan dan pengalaman manusia. Bahkan lebih menyedihkan lagi, ahli “etnografi-baru” tersebut malahan belum menyusun satu cetak biru tentang bagaimana caranya satu sistem kognitif yang menyeluruh dapat diorganisasikan. Karena itu gambaran- gambaran rinci yang disajikan dalam etnografi mereka tidak dapat disusun ke dalam satu kerangka yang lebih luas.

Pandangan yang kurang luas seperti ini telah menutupi kenyataan tentang betapa luasnya bidang-bidang budaya yang tidak terjangkau oleh penelitian dangkal etnografi- formal (antropologi kognitif). Linguistik transformasional baru memberikan beberapa pandangan yang berguna tentang bagaimana caranya pengetahuan-kultural yang ada di belakang struktur permukaan diorganisasikan.