Apa Yang Dimaksud Dengan Budaya Politik Patrimonialisme?

Sekilas Patrimonialisme
Patrimonialisme: istilah yang dibuat oleh max weber untuk menjelaskan negara-negara yang dimana seorang penguasa mengatur kekayaan dan kekuasaan negara berdasar pada kewenangan tradisional

Gambaran Umum Patrimonialisme

Patrimonialisme sesungguhnya merupakan bentuk kepemimpinan authoritarian, diktator, di mana negara dijalankan sesuai kehendak pribadi pemimpin negara (personal rule). Pemimpin negara memposisikan diri diatas hukum dan hanya mendistribusikan kekuasaan kepada kerabat dan kroni dekatnya.Seringkali menggunakan kekerasan gunamempertahankan posisi kepemimpinannya. Pemerintahan patrimonial bersandarkan diri pada tiga unsur yang membuatnya jadi pemerintahan tradisional dan belum mencapai tahap birokratis dan modern. (Michels, 1984).1

Unsur-unsur budaya Patrimonialisme:

1. Unsur pertama adalah klientisme
Istilah ini merujuk pada hubungan kekuasaan yang dibangun oleh penguasa dan lingkungan sekitarnya. Dalam birokrasi modern, pusat loyalitas ada pada impersonal order (hukum). Namun, dalam klientisme, loyalitas ada pada pribadi penguasa.

2.Unsur kedua adalah kaburnya wilayah publik
Dalam birokrasi modern, wilayah publik dan pribadi sangat terpisah. Segala urusan sang pemimpin, di luar urusan rumah tangga pribadi, ada dalam wilayah publik. Karena berada di wilayah publik, urusan itu harus melalui prosedur yang sudah ditetapkan, dan pertanggungjawabannya mesti transparan. Sedangkan dalam pemerintah patrimonial, batas wilayah publik dan pribadi dibuat kabur. Bantuan uang dari luar negeri, misalnya, yang seharusnya berada dalam wilayah publik, dimasukkan ke wilayah pribadi, tanpa keterbukaan dan tanpa pertanggungjawaban.

3. Unsur Kultural Nonrasional
Birokrasi modern berkembang dalam kultur yang rasional, yang sumber informasi dan validitasnya dapat diverifikasi dalam dunia yang nyata. Sedangkan corak pemerintahan patrimonial mengembangkan kultur nonrasional, dalam segala bentuk mistisisme ataupun kultus individual. Dalam birokrasi modern, sang penguasa ditampilkan sebagai politisi biasa yang menang pemilu. Sedangkan dalam corak patrimonial, penguasa diberi bobot mistik yang lebih kuat. Ia digambarkan memiliki kekuatan supernatural tertentu, atau keturunan sebuah dinasti atau moyang yang mahasakti atau kaliber seorang wali. Dengan mistisisme itu, loyalitas kepada pemimpin menjadi lebih dalam. Bahkan, informasi yang menjadi landasan kebijakan publiknya sebagian dianggap turun dari kahyangan, yang tak dapat diverifikasi di dunia nyata.

Patrimonialisme Politik dalam Demokrasi

Patrimonialisme politik adalah istilah untuk menyebut rezim pemerintahan dimana kekuasaan penguasa tergantung pada kecakapan untuk mempertahankan kesetiaan para elit kelompok. (Philipus, 2009).2 Kekuasaan politik dalam pemerintahan patrimonial dipertahankan melalui cara bagaimana seseorang mendapatkan atau mempertahankan kekuasaaanya. Jika demokrasi selalu di asosiasikan sebagai bentuk pemerintahan dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat sebagaimana di ungkap oleh Abraham Lincoln pada abad XVIII ,

Maka rakyat dalam pemerintahan patrimonial tak ubahnya hanya menjadi sapi perah (klien) untuk kepentingan elit politik tertentu dalam mencapai tujuannya. Demokratisasi politik di atas hanya berlangsung secara prosedural dimana kekuasaan berlangsung dan dipertahankan melalui cara dan pola tertentu hanya sebagai alat tujuan untuk kepentingan kelompok atau individu. Fenomena tersebut jelas telah kehilangan identitasnya makna yang sebenarnya, menguatnya fenomena politik transaksional tidak saja telah meruntuhkan legitimasi demokrasi namun mengubah wajah demokrasi hanya merupakan alat untuk kepentingan kelompok tertentu. Meski Robert Dahl, menyebut tiga prinsip utama pelaksanaan demokrasi, yakni (1) kompetisi, (2) partisipasi, dan (3) kebebasan politik dan sipil. Kompetisi harus dibingkai dalam proses yang sehat dan luas di antara individu serta dalam kelompok-kelompok organisasi untuk mencapai kekuasaan pemerintahan, secara periodik dan persuasif. (Keith R, 1983).3

Kesimpulan

Dari sini dapat kita simpulkan bawasannya, Budaya Patrimonialisme adalah unsur yang buruk terhadap perpolitikan di Indonesia, Pengamat politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Siti Zuhro berpendapat, sekalipun pascareformasi, sistem patrimonial yang rentan terhadap praktik nepotisme dan kolusi masih melekat dalam budaya politik Indonesia. Hal ini terjadi baik di lingkungan partai maupun pemerintahan. (News Liputan 6 .Com, 2012).4


Catatan Kaki:

  1. Keith R, L. (1983). Tuan Hamba Dan Politisi. Jakarta: PT. Sinar Harapan.
  2. Michels, R. (1984). Partai Politik: Kecenderungan Oligarkis Dalam Birokrasi. Jakarta: Pt Rajawali.
  3. News Liputan 6 .Com, L. (2012, Mei 26). Sistem Patrimonial Masih Melekat D.
  4. Philipus, N. (2009). Sosiologi Dan Politik. Jakarta: Rajawali Press.