Apa yang dimaksud dengan Bilingualism?

Pada penelitian mengenai sosiolinguistik terdapat istilah "Bilingualism”.

Apa yang dimaksud dengan Bilingualism?

1 Like

Bilingualism adalah istilah lain dalam Bahasa Inggris yang berari kedwibahasaan dalam Bahasa Indonesia. Kedwibahasaan atau Bilingualism sebagai salah satu dari masalah kebahasaan yang terus mengalami perkembangan. Hal ini disebabkan oleh titik pangkal pengertian kedwibahasaan yang bersifat nisbi (relatif). Kenisbian demikian terjadi karena batasan seseorang untuk bisa disebut sebagai dwibahasawan bersifat arbitrer, sehingga pandangan tentang kedwibahasaan berbeda antara yang satu dengan yang lain.

Ada beberapa pendapat para ahli mengenai pengertian Bilingualism

  1. Haugen (1968)

Kedwibahasaan adalah pengetahuan mengenai dua bahasa.

Jika diuraikan secara umum maka pengertian kedwibahasaan adalah pemakaian dua bahasa secara bergantian baik secara produktif maupun reseptif oleh seorang individu atau masyarakat. Mengemukakan kedwibahasaan dengan mengetahui dua bahasa (knowledge of two languages), cukup mengetahui dua bahasa secara pasif atau understanding without speaking.

  1. Leonard Bloomfield (1933)

Kedwibahasaan merupakan kemampuan untuk menggunakan dua bahasa yang sama baiknya oleh seorang penutur.

Bloomfield merumuskan kedwibahasaan sebagai penguasaan yang sama baiknya atas dua bahasa atau native like control of two languages. Penguasaan dua bahasa dengan kelancaran dan ketepatan yang sama seperti penutur asli sangatlah sulit diukur.

  1. Henry Guntur Tarigan (1990)

Kedwibahasaan bukanlah sesuatu yang bersifat mutlak, hitam atau putih, tetapi bersifat “kira-kira” atau “kurang lebih”. Pengertian kedwibahasaan merentang dari ujung yang paling sempurna atau ideal, turun secara berjenjang sampai ke ujung yang paling rendah atau minimal.

Pendek kata, pengertian kedwibahasaan berkembang dan berubah mengikuti tuntutan situasi dan kondisi.

Bloomfield (1958) menerangkan bahwa bilingualisme adalah penguasaan yang sama baiknya terhadap dua bahasa seperti halnya penguasaan oleh penutur asli.

Konsep umum bilingualisme adalah digunakannya dua buah bahasa oleh seorang penutur dalam pergaulannya dengan orang lain secara bergantian (Chaer dan Leonie, 1995).

Bilingualisme berkaitan erat dengan pemerolehan bahasa kedua. Pemerolehan bahasa berkaitan erat dengan bagaimana anak memperoleh kata, makna, struktur, dan pragmatik. Itu tidak lain berhubungan dengan proses yang terjadi dalam mind dan sikap anak. Menjadi bilingual atau multilingual sejak dini dengan kata lain seorang anak mempunyai pengalaman proses pemerolehan kata, makna, struktur, dan pragmatik yang lebih kompleks sejak dini dibandingkan dari mereka yang hanya monolingual.

Secara umum dan dalam logika sederhana, bilingualisme dini membawa anak dalam pengalaman dua bahasa yang berbeda. Pengalaman dua atau lebih bahasa sejak dini ini pasti memberikan pengaruh yang berbeda dari pengalaman satu bahasa. Permasalahan perkembangan intelektual secara makro kemudian sangat bergantung juga pada banyak faktor, salah satunya adalah pendidikan yang mampu memaksimalkan potensi intelektual. Begitu juga dengan perkembangan psikologi dan sosialnya.

Hubungan antara bilingualisme dengan individu ini telah lama menarik perhatian orang. Berbagai macam kajian yang membandingkan penampilan bilingual dengan monolingual dalam berbagai pengukuran intelegensi untuk melihat ada-tidaknya pengaruh positif dan negatif bilingualisme terhadap intelegensi.

Berdasarkan cara pemerolehannya Reynolds (1991) bilingualisme dibedakan atas dua macam.

1. Pertama, pemerolehan dua bahasa secara serempak pada usia dini dan dalam konteks alamiah (balance bilingualism).

2. Kedua, pemerolehan bahasa kedua setelah bahasa pertama ketika dewasa dan setelah memasuki pendidikan formal (unbalance bilingualism). Hal senada juga dikemukakan oleh Hastuti (1989) yang membagi bilingualisme dalam dua kategori berdasarkan cara terjadinya, yakni :

  • Bilingualisme alamiah (natural bilingualism) atau bilingualisme utama (primary bilingualism) yaitu proses bilingualisme timbul dalam lingkungan alamiah, spontan, dan tidak terorganisasi.

  • Bilingualisme bantuan atau bilingualisme buatan atau bilingualisme sekunder (sekundary bilingualism) yaitu bilingualisme sengaja diatur dan diajarkan secara teratur dan formal.

Kedwibahasaan adalah kebiasaan untuk memakai dua bahasa atau lebih secara bergiliran (Samsuri, 1994). Selain itu. Mackey dan Fishman (dalam Chaer dan Agustina, 2004), secara sosiolinguistik mengartikan kedwibahasaan sebagai penggunaan dua bahasa oleh seorang penutur dalam pergaulanya dengan orang lain secara bergantian.

Bloomfield (dalam Chaer dan Agustina, 2004) mengatakan bahwa bilingualisme adalah kemampuan seorang penutur untuk menggunakan dua bahasa dengan sama baiknya, sedangkan Haugen (dalam Chaer dan Agustina, 2004) mengatakan tahu akan dua bahasa atau lebih berarti bilingual. Kemudian memperjelas dengan mengatakan seorang bilingual tidak perlu secara aktif menggunakan kedua bahasa itu, tetapi cukup kalau bisa memahaminya saja. Robert Lado (dalam Chaer dan Agustina, 2004) mengatakan bahwa bilingualisme adalah kemampuan menggunakan bahasa oleh seseorang dengan sama baik atau hampir sama baiknya yang secara teknis mengacu pada pengetahuan dua buah bahasa bagaimana pun tingkatnya.

Sementara itu, Pranowo (1996) menyatakan bahwa kedwibahasaan adalah pemakaian dua bahasa secara bergantian baik secara produktif maupun reseptif oleh seorang individu atau masyarakat. Bilingualisme yaitu berkenaan dengan penggunaan dua bahasa atau dua kode bahasa. Untuk dapat menggunakan dua bahasa tentunya harus menguasai kedua bahasa itu. Pertama, bahasa ibunya sendiri atau bahasa pertamanya, dan yang kedua adalah bahasa lain yang menjadi bahasa keduanya (Chaer dan Agustina, 2004)

Dari beberapa pendapat mengenai definisi kedwibahasaan di atas, peneliti mengacu pada pendapat Chaer dan Agustina karena dalam pengertian dan penjelasannya terdapat unsur penggunaan dua bahasa, namun dalam penggunaan dua bahasa itu tentu telah menguasai kedua bahasa yang digunakan tersebut, baik bahasa pertamannya maupun bahasa keduanya.

Akibat Kedwibahasaan

Masyarakat tutur yang tertutup, yang tidak tersentuh oleh masyarakat tutur lain karena tidak mau berhubungan dengan masyarakat tutur lain, akan tetap menjadi masyarakat tutur yang statis dan tetap menjadi masyarakat yang monolingual.

Sebaliknya, masyarakat tutur yang terbuka, yang memunyai hubungan dengan masyarakat tutur lain, akan mengalami kontak bahasa yang dapat terjadi atara lain adalah interferensi, integrasi, alih kode, dan campur kode (Chaer dan Agustina, 2004). Hal-hal tersebut akan diuraikan berikut ini.

1. Interferensi

Peristiwa interferensi juga digunakannya unsur-unsur bahasa lain dalam menggunakan suatu bahasa, yang dianggap sebagai suatu kesalahan karena menyimpang dari kaidah atau aturan bahasa yang digunakan (Chaer dan Agustina, 2004). Interferensi digunakan untuk menyebut adanya perubahan sistem suatu bahasa sehubungan dengan adanya persentuhan bahasa tersebut dengan unsur-unsur bahasa lain yang dilakukan penutur yang bilingual (Weinreich dalam Chaer dan Agustina, 2004), sedangkan Hartman dan Stork dalam Chaer dan Agustina (2004) menyebut interferensi itu merupakan “kekeliruan”, yang terjadi sebagai akibat terbawanya kebiasaan-kebiasaan ujaran bahasa ibu atau dialek ke dalam bahasa atau dialek kedua.

Kridalaksana (1993) mendefinisikan interferensi sebagai penggunaan unsur bahasa lain oleh bahasawan yang bilingual secara individual dalan suatu bahasa.
Contoh interferensi:

  1. Interferensi morfologi: ketabrak, kejebak, kekecilan, dan kemahalan;
  2. Interferensi sintaksis:

Di sini toko Laris yang mahal sendiri (Toko Laris adalah toko yang paling mahal di sini)
Makanan itu telah dimakan oleh saya (Makanan itu telah saya makan)

2. Integrasi
Integrasi adalah penggunaan secara sistematis unsur bahasa lain seolah-olah merupakan bagian dari bahasa itu tanpa disadari oleh pemakainya (Kridalaksana, 1993). Menurut Mackey dalam Chaer dan Agustina (2004), integrasi adalah unsur-unsur bahasa lain yang digunakan dalam bahasa tertentu dan dianggap sudah menjadi bahasa tersebut. Unsur-unsur tersebut tidak dianggap lagi sebagai unsur pinjaman atau pungutan.

Proses integrasi ini memerlukan waktu yang cukup lama, sebab unsur yang berintegrasi tersebut harus disesuaikan, baik lafalnya, ejaannya, maupun tata bakunya. Berikut ini adalah contoh integrasi.
sopir - chauffueur
pelopor - voorloper
fonem - phonem
standardisasi - standardization
organisasi - organitation

3. Alih Kode (Code Swicting)
Appel dalam Chaer dan Agustina (2004) mendefinisikan campur kode sebagai gejala peralihan pemakaian bahasa karena perubahan situasi. Appel mengatakan alih kode itu terjadi antarbahasa, namun berbeda dengan Hymes dalam Chaer dan Agustina (2004) mengatakan alih kode itu bukan hanya terjadi antarbahasa, melainkan juga terjadi antarragam-ragam atau gaya-gaya yang terdapat dalam satu bahasa.

Faktor yang menyebabkan terjadinya alih kode antara lain :

  • siapa yang berbicara;
  • dengan bahasa apa;
  • kepada siapa;
  • kapan, dan
  • dengan tujuan apa.

4. Campur Kode ( Code Mixing)
Pranowo (1996) mengungkapkan campur kode (code mixing) adalah pemakaian dua bahasa atau lebih dengan saling memasukkan unsur bahasa yang satu ke dalam bahasa lain secara konsisten. Campur kode adalah suatu keadaan berbahasa ketika seseorang penutur mencampur dua atau lebih bahasa atau ragam bahasa dalam suatu tindak berbahasa (speech act) tanpa ada sesuatu dalam situasi berbahasa itu yang menuntut pencampuran bahasa itu sendiri (Nababan, 1986).

Thelander dalam Chaer dan Agustina (2004) mengatakan bahwa campur kode terjadi apabila di dalam suatu peristiwa tutur, klausa-klausa maupun frasa-frasa yang digunakan terdiri dari klausa dan frasa campuran dan masing-masing klausa atau frasa itu tidak lagi mendukung fungsi sendiri-sendiri. Kemudian Fasold dalam Chaer dan Agustina (2004) yang mengatakan bahwa campur kode terjadi apabila seseorang menggunakan satu kata atau frasa dari satu bahasa.

Contoh campur kode yang diambil dari buku Chaer dan Agustina (2004), dapat dikemukakan sebagai berikut.

  1. Mereka akan merried bulan depan.
    „Mereka akan menikah bulan depan‟.
  2. Nah, karena saya sudah kadhung apik sama dia, ya saya tanda tangan saja.
    „Nah, karena saya sudah benar-benar baik dengan dia, maka saya tanda tangan saja‟.

Menurut Suwito (1983), pengertian tentang kedwibahasaan atau bilingual sebagai salah satu dari masalah kebahasaan terus mengalami perkembangan. Hal ini disebabkan oleh, titik pangkal pengertian kedwibahasaan yang bersifat nisbi (relatif). Kenisbian demikian terjadi karena batasan seseorang untuk bisa disebut sebagai dwibahasawan bersifat arbitrer, sehingga pandangan tentang kedwibahasawan berbeda antara yang satu dengan yang lain.

Awalnya Bloomfield (dalam Chaer dan Agustina, 1995) merumuskan kedwibahasaan sebagai “Native like control of two languages”. Maksudnya, kemampuan menggunakan dua bahasa yaitu bahasa daerah (B1) dan bahasa Indonesia (B2) dengan penguasaan yang sama baiknya oleh seorang penutur. Orang yang menggunakan dua bahasa disebut dwibahasawan, sedangkan kemampuan untuk menggunakan dua bahasa disebut kedwibahasaan. Proses memperoleh kebiasaan menggunakan dua bahasa disebut pendwibahasaan.

Mackey (melalui Chaer dan Agustina, 1995) mengatakan dengan tegas bahwa bilingualisme adalah praktik penggunaan bahasa secara bergantian oleh seorang penutur. Untuk dapat menggunakan dua bahasa diperlukan penguasaan kedua bahasa dengan tingkat yang sama, artinya kemampuan penutur dalam penguasaan bahasa keduanya.

Sependapat dengan Mackey, Weinreich (1986) memberi pengertian kedwibahasaaan sebagai pemakaian dua bahasa oleh seorang penutur secara bergantian. Perluasan pengertian kedwibahasaan nampak pada pendapat Haugen (dalam Suwito, 1983) yang mengemukakan kedwibahasaan sebagai tahu dua bahasa (knowledge of two languages).

Maksudnya, dalam hal kedwibahasaan, seorang dwibahasawan tidak harus menguasai secara aktif dua bahasa, tetapi cukuplah apabila ia mengetahui secara pasif dua bahasa tersebut. Perluasan itu berkaitan dengan pengertian kedwibahasaan yang tadinya dihubungkan dengan penggunaan bahasa diubah menjadi pengetahuan tentang bahasa.

Oksaar (dalam Suwito, 1985) tidak cukup membatasi kedwibahasaan sebagai milik individu. Kedwibahasaan merupakan masalah bahasa, sedangkan bahasa itu sendiri tidak terbatas sebagai alat penghubung antarindividu melainkan sebagai alat penghubung antar kelompok. Oleh karena itu, masalah kedwibahasaan bukan masalah perseorangan tetapi masalah yang ada dalam suatu kelompok pemakai bahasa.