Apa yang dimaksud dengan Beriman kepada takdir Allah swt ?

Takdir

Apa yang dimaksud dengan Beriman kepada takdir Allah swt ?

Iman kepada takdir artinya Meyakini dengan pasti bahwa Allah swt adalah pencipta segala sesuatu, pengaturnya dan pemeliharanya. Dan Dialah yang menentukan segala takdir-Nya. Baik dan buruknya, manis dan pahitnya dan Dialah yang menciptakan kesesatan dan hidayah, celaka dan bahagia dan sesungguhnya ajal dan rizki berada di tangan-Nya.

Qadar dengan membaca fathah dal adalah ketentuan Allah swt bagi semua makhluk sesuai dengan pengetahuan-Nya yang terdahulu dan sesuai dengan hikmah kebijaksaksaan-Nya.

Iman kepada Qadar (ketentuan Allah) mencakup 4 (empat) hal :

  • Mengimani bahwasannya Allah swt Maha mengetahui atas segala sesuatu secara menyeluruh dan terperinci serta abadi, baik yang berkaitan dengan perbuatan-Nya atau yang berkait dengan perbuatan hamba-Nya.

  • Beriman bahwa Allah swt telah menulis yang demikian itu di Lauh Mahfudz. Mengenai kedua hal tersebut Allah swt berfirman :

    “Apakah kamu tidak mengetahui bahwa sesungguhnya Allah mengetahui apa saja yang ada di langit dan di bumi?, bahwasanya yang demikian itu terdapat dalam sebuah kitab (Lauh Mahfudz). Sesungguhnya yang demikian itu amat mudah bagi Allah." (Q.S; Al Hajj : 70).

  • Mengimani bahwasanya semua alam ini tidak terwujud tanpa kehendak Allah, baik yang berkaitan dengan perbuatan-Nya atau yang berkaitan dengan perbuatan hamba-Nya. Allah swt berfirman tentang hal yang berkaitan dengan perbuatan-Nya :

    “Dan Tuhanmu menciptakan apa yang Dia kehendaki dan memilihnya .” (Q.S; Al Qashash : 68).

    Dan Allah swt juga berfirman tentang hal yang berkaitan dengan perbuatan hamba-Nya :

    “Kalau Allah menghendaki, tentu Dia memberi kekuasaan kepada mereka terhadap kamu, lalu pastilah mereka memerangimu .” (Q.S; An Nisa’ : 90).

  • Beriman bahwa semua yang ada adalah makhluk ciptaan Allah swt, baik dzat, sifat dan gerak-geriknya. Allah swt berfirman :

    “Allah menciptakan segala sesuatu dan Dia memelihara segala sesuatu .” (Q.S; Az Zumar : 62).

    Dan juga dalam firman-Nya yang lain :

    "Dan Dia telah menciptakan segala sesuatu dan Dia menetapkan ukuran- ukurannya dengan serapi-rapinya.” (Q.S; Al Furqan : 2).

    Dan Allah swt berfirman tentang Nabi Ibrahim as, bahwasanya dia berkata kepada kaumnya :

    “Dan Allah telah menciptakan kamu dan apa-apa yang kamu kerjakan.” (Q.S; Ash Shaffat : 96).

Iman kepada qadar (takdir) seperti yang telah kami uraikan di atas, sama sekali tidak bertentangan dengan kehendak yang dimiliki oleh manusia dan tidak bertentangan pula dengan kemampuannya untuk melakukan suatu pekerjaan. Sebab dalil syar’i dan dalil realita telah menunjukkan hal yang demikian itu.

Dalil syar’i adalah seperti firman Allah swt yang berkaitan dengan kehendak :

“Maka barangsiapa yang menghendaki, niscaya ia menempuh jalan kembali kepada Tuhannya.” (Q.S; An Naba’ : 39).

Dan juga firman-Nya :

“Maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki.” (Q.S; Al Baqarah : 223).

Dan Allah swt berfirman dalam hal yang berkaitan dengan kemampuan :

“Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu dan dengarlah serta ta’atlah.” (Q.S; At Taghabun : 16).

Dan juga firman-Nya :

“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya.” (Q.S; Al Baqarah : 286).

Adapun dalil realita

Setiap orang mengetahui bahwa dirinya memiliki kehendak dan kemampuan, yang dengannya ia bisa melaksanakan perintah dan meninggalkan suatu larangan. Manusia bisa membedakan antara perbuatan yang terjadi atas dasar kehendaknya, seperti; berjalan, makan dan lain-lain. Dan ia juga mengakui ada perbuatan yang terjadi bukan atas dasar kehendaknya, seperti; bergetar, takut dan lain-lain.

Hanya saja kehendak dan kemampuan seorang hamba terjadi atas dasar kehendak Allah swt dan qudrah-Nya yang mana Ia ciptakan keduanya dan ciptakan hamba-hambanya beserta prilaku mereka.

Allah swt berfirman :

“(Yaitu) bagi siapa di antara kamu yang mau menempuh jalan yang lurus. Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila dikehendaki Allah, Tuhan semesta alam.” (Q.S; At Takwir : 28-29).

Karena alam semesta dan se-isinya adalah milik Allah swt, maka tidak ada sesuatu pun dalam kepemilikan itu, tanpa sepengetahuan, kehendak-Nya dan ciptaanNya.

Salah satu hal yang berbahaya apabila manusia tidak punya kehendak dan kemampuan, sehingga mempunyai keyakinan bahwa semua yang terjadi murni karena Allah swt, maka hal itu dapat memberikan kepada kita hujjah (dalil) untuk meninggalkan kewajiban atau berbuat maksiat, dengan alasan sudah menjadi takdir-Nya.

Jika ada yang berpandangan seperti ini, maka pandangannya menjadi batal, dengan mengemukakan beberapa dalil yang membantahnya. Di antaranya :

Firman Allah swt :

“Orang-orang yang mempersekutukan Tuhan, akan mengatakan: “Jika Allah menghendaki, niscaya kami dan bapak-bapak kami tidak mempersekutukan-Nya dan tidak (pula) kami mengharamkan barang sesuatu apapun.” Demikian pulalah orang-orang yang sebelum mereka telah mendustakan (para rasul) sampai mereka merasakan siksaan Kami. Katakanlah: “Adakah kamu mempunyai sesuatu pengetahuan sehingga dapat kamu mengemukakannya kepada Kami?" Kamu tidak mengikuti kecuali persangkaan belaka, dan kamu tidak lain hanya berdusta.” (Q.S; Al An’am : 148).

Jika sekiranya mereka memiliki hujjah tentang qadar (yaitu mereka berbuat syirik dengan alasan takdir), niscaya mereka tidak akan disiksa oleh Allah swt lantaran kesyirikan yang mereka perbuat, maka mereka telah kufur prihal ilmu ghaib.

Juga firman Allah swt :

“(Mereka Kami utus) selaku rasul-rasul pembawa berita gembira dan pemberi peringatan agar supaya tidak ada alasan bagi manusia membantah Allah sesudah diutusnya rasul-rasul itu. Dan adalah Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (Q.S; An Nisa’ : 165).

Jika qudrah (kemampuan) merupakan hujjah bagi orang yang ingkar, maka kemampuan ini tidak bertentangan dengan diutusnya para rasul, karena ingkar setelah diutusnya para rasul, maka hal itu terjadi dengan kekuasaan Allah swt.

Iman kepada qadar memiliki beberapa pelajaran penting, di antaranya :

  • Menghadirkan rasa ketergantungan kepada Allah swt ketika melakukan sebab- sebab (keberhasilan) dan tidak hanya bergantung hanya kepada sebab itu sendiri, karena setiap sesuatu terjadi dengan ketentuan Allah swt.

    Agar seseorang tidak bangga dengan dirinya sendiri, ketika berhasil mendapatkan apa yang menjadi harapannya. Karena keberhasilan meraih tujuan dan menggapai harapannya adalah nikmat dari Allah swt sesuai dengan yang telah ditentukan-Nya melalui sebab-sebab kebaikannya dan keberhasilannya. Sedangkan bangga terhadap diri sendiri dapat melalaikan seseorang dari mensyukuri nikmat pemberian-Nya.

  • Seorang hamba akan merasakan ketenteraman dan kepuasan jiwa dengan apa yang dia terima dari takdir-Nya. Dia tidak tergoncang dengan perginya orang- orang yang terkasih dan tidak pula hatinya dirundung duka ketika mendapatkan musibah. Karena yang demikian ini terjadi dengan ketentuan Allah swt sebagai Penguasa langit dan bumi.

    Allah swt berfirman :

    “Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauh Mahfudz) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. (Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri.” (Q.S; Al Hadid : 22-23).

    Rasulullah saw pernah bersabda :

    Mengagumkan urusan orang mukmin itu, segala urusannya adalak baik, yang demikian itu hanya dimiliki oleh orang yang beriman, jika mendapatkan kemudahan ia bersyukur yang demikian itu baik untuknya, jika ditimpa kesulitan ia bersabar, yang demikian itu (juga) baik untuknya.” (H.R; Muslim).

Ada dua golongan yang tersesat dalam masalah qadar :

  • Jabariyah
    Yaitu; golongan yang berpendapat bahwa manusia ini terekploitisir dalam perbuatannya. Ia tidak memiliki kehendak dan kemampuan sedikitpun.

    Sanggahan dan bantahan terhadap kelompok Jabariyah dapat dilihat dari sisi syar’i dan bukti realita. Dari sisi syar’i, bahwa Allah swt telah menetapkan bagi seorang hamba kehendak dan kemampuan, dengan menyandarkan amal perbuatan kepada hamba itu sendiri. Allah swt berfirman :

    “Di antara kamu ada orang yang menghendaki dunia, dan di antara kamu ada orang yang menghendaki akherat.” (Q.S; Ali Imran : 152).

    Dari bukti realita, bahwa semua orang mengetahui perbedaan antara perbuatan yang dilakukan dengan kesadarannya atau perbuatan yang dilakukannya atas dasar kehendaknya; seperti makan, minum, jual beli dan perbuatan yang terjadi pada dirinya tanpa kehendaknya, seperti; gemetar di waktu demam, dan terjatuhnya dari atap.

    Maka pada kondisi yang pertama dia adalah pelaku yang berkehendak sesuai dengan kemauannya tanpa ada paksaan dan ekploitasi. Sedangkan yang kedua adalah bentuk perbuatan yang terjadi tanpa iradah (kehendak) dengan apa yang telah terjadi pada dirinya.

  • Qadariyah
    Yaitu; golongan yang beranggapan bahwa seseorang mempunyai iradah (kehendak) dan kemampuan yang berdiri sendiri, tanpa ada pengaruh dari kehendak dan kemampuan Allah swt.

    Sanggahan dan bantahan terhadap kelompok kedua Qadariyah juga dapat dilihat dari sisi syar’i dan dalil akal. Dari sisi syar’i, bahwa Allah swt menciptakan segala sesuatu, dan setiap sesuatu tersebut tetap (bergantung) kepada kehendak-Nya.

    Allah swt telah menjelaskan dalam kitab-Nya bahwa semua amal perbuatan manusia terjadi dengan kehendak-Nya, Allah swt berfirman :

    "Dan kalau Allah menghendaki, niscaya tidaklah berbunuh-bunuhan orang- orang (yang datang) sesudah rasul-rasul itu, sesudah datang kepada mereka beberapa macam keterangan, akan tetapi mereka berselisih, maka ada di antara mereka yang beriman dan ada (pula) di antara mereka yang kafir. Seandainya Allah menghendaki, tidaklah mereka berbunuh-bunuhan. Akan tetapi Allah berbuat apa yang dikehendaki-Nya." (Q.S. Al Baqarah : 253).

    Dan juga firman-Nya :

    "Dan kalau Kami menghendaki niscaya Kami akan berikan kepada tiap-tiap jiwa petunjuk (bagi)-nya, akan tetapi telah tetaplah perkataan (ketetapan) dari pada-Ku; "Sesungguhnya akan Aku penuhi neraka Jahannam itu dengan jin dan manusia bersama-sama." (Q.S; As Sajdah : 13).

    Dari sisi Akal, bahwa seluruh alam adalah milik Allah swt, dan manusia termasuk dari jagat raya ini (alam) dan juga milik Allah swt. Tidaklah mungkin bagi seorang mamluk (makhluk yang dimiliki) dapat mengatur dalam kerajaan Rajanya tanpa seizin-Nya dan kehendak-Nya.