Apa yang dimaksud dengan berbagi pengetahuan atau Knowledge Sharing?

berbagi pengetahuan

Penciptaan pengetahuan dan penyebaran pengetahuan merupakan inti dari manajemen pengetahuan. Proses penciptaan pengetahuan baru bisa diperoleh bilamana ada penyebaran pengetahuan dan itu bisa dilakukan bila diantara individu melakukan aktivitas berbagi pengetahuan. Apa yang dimaksud dengan berbagi pengetahuan atau Knowledge Sharing?

Berbagi pengetahuan merupakan isu penting dan menantang dalam manajemen pengetahuan yaitu bagaimana mendorong individu yang ada di dalam organisasi untuk melakukan berbagi pengetahuan mengenai apa yang mereka ketahui. Selain itu berbagi pengetahuan juga berperan dalam meningkatkan inovasi dan memfasilitasi individu untuk melakukan pemanfaatan kembali dan regenerasi pengetahuan.

Menurut Nonaka dan Takeuchi (1995) bahwa alasan fundamental mengapa perusahaan di Jepang menjadi sukses adalah disebabkan keterampilan dan pengalaman mereka dalam mengelola pengetahuan yang di dalamnya terdapat berbagi pengetahuan sebagai sebuah proses penciptaan pengetahuan baru.

Berikut beberapa definisi berbagi pengetahuan menurut beberapa ahli :

  • Christensen (2007) mendefinisikan berbagi pengetahuan sebagai proses yang dimaksudkan untuk mengeksploitasi pengetahuan yang ada dan berbagi pengetahuan ini, maka didefinisikan mengidentifikasi pengetahuan yang ada dan dapat diakses, untuk mentransfer dan menerapkan pengetahuan ini untuk memecahkan tugas tertentu baik, lebih cepat dan lebih murah daripada seharusnya yang telah mereka telah pecahkan.

  • Lin (2007) mendefinisikan berbagi pengetahuan sebagai budaya interaksi sosial, yang melibatkan pertukaran pengetahuan karyawan, pengalaman, dan keterampilan melalui seluruh departemen atau organisasi.

  • Xiong dan Deng (2008) berbagi pengetahuan sebagai proses pertukaran dan mengkomunikasikan pengetahuan dan informasi antara karyawan yang berada dalam suatu organisasi.

Dapat disimpulkan bahwa berbagi pengetahuan merupakan interaksi sosial yang melibatkan pertukaran pengetahuan, pengalaman dan keahlian karyawan dalam organisasi agar bisa bekerja lebih baik, cepat dan efisien. Berbagi pengetahuan juga dapat dipahami sebagai perilaku dimana seseorang secara sukarela menyediakan akses terhadap orang lain mengenai pengetahuan dan pengalamannya.

Secara konseptual perilaku berbagi pengetahuan dapat didefinisikan sebagai tingkatan sejauhmana seseorang secara aktual melakukan berbagi pengetahuan (Bock dan Kim, 2002). Dengan berbagi pengetahuan diharapkan suatu oganisasi berpotensi untuk meningkatkan modal intelektual agar terjadinya inovasi walaupun setelah karyawan meninggalkan organisasi (berpindah tempat, meninggal, atau berhenti) dan dapat membawa nilai tambah bagi organisasi serta berkontribusi terhadap efektivitas utama organisasi yaitu dapat meningkatkan produktivitas, meningkatkan proses kerja, menciptakan peluang baru, dan membantu organisasi untuk mencapai tujuan kinerjanya.

Pola Interaksi dalam Berbagi Pengetahuan


Terjalinnya interaksi harus didahului oleh kontak dan komunikasi. Komunikasi adalah peristiwa sosial yang terjadi ketika manusia berinteraksi dengan manusia yang lain (Rakhmat, 2009). Pada dasarnya komunikasi merupakan proses penyampaian pesan yang melibatkan interaksi yang terjadi diantara individu.
Seperti yang diungkapkan oleh Brent D. Ruben (1998) bahwa komunikasi adalah suatu proses individu, terkait hubungannya dengan kelompok, organisasi, dan masyarakat, guna menciptakan, mengirimkan, dan menggunakan informasi untuk mengkoordinasi lingkungannya dan orang lain (Laksmi, 2008).

Berbagi pengetahuan merupakan interaksi sosial yang melibatkan pertukaran pengetahuan, pengalaman dan keahlian karyawan dalam organisasi agar bisa bekerja lebih baik, cepat dan efisien. Selain itu berbagi pengetahuan juga dapat dipahami sebagai perilaku dimana seseorang secara sukarela menyediakan akses terhadap orang lain mengenai pengetahuan dan pengalamannya.

Dari pengertian tersebut maka ada kata kunci yang menjadi perhatian yaitu adanya interaksi sosial. Definisi interaksi sosial itu sendiri dalam buku Cultural Sociology (Gillin dan Gillin, 1954) merupakan hubungan-hubungan sosial yang dinamis yang menyangkut hubungan antara orang-orang perorangan, antara kelompokkelompok manusia, maupun antara orang perorangan dengan kelompok manusia (Soekanto, 2005).

Ketika mereka saling menegur, berjabatan tangan, berbicara, atau mungkin berkelahi atau berkonflik, aktivitas yang mereka lakukan merupakan bentuk dari interaksi sosial. Proses suatu interaksi sosial itu sendiri tidak akan mungkin terjadi apabila tidak memenuhi dua syarat, yaitu : adanya kontak sosial dan komunikasi.

  • Kontak sosial bisa berarti fisik yaitu terjadi hubungan badaniah, misalnya saling bertemu, berdiskusi, namun bisa juga tidak, dengan melalui teknologi informasi saat ini yaitu melalui telepon, email, radio dan lain sebagainya.

  • Peran komunikasi itu sendiri adalah memberikan tafsiran pada perilaku orang lain (yang berwujud pembicaraan, gerak-gerak badaniah ataupun sikap), perasaan-perasaan yang ingin disampaikan oleh orang tertentu. Dengan demikian apabila dihubungkan dengan interaksi sosial, kontak tanpa komunikasi tidak mempunyai arti apa-apa. Komunikasi dapat memungkinkan terjalinnya kerjasama antara orang perorangan atau antara kelompok-kelompok manusia.

Seperti yang digambarkan oleh Charles H. Cooley bahwa kerja sama itu timbul apabila orang menyadari bahwa mereka mempunyai kepentingan-kepentingan yang sama dan pada saat yang bersamaan mempunyai cukup pengetahuan dan penendalian terhadap diri sendiri untuk kepentingan-kepentingan tersebut; kesadaran akan adanya kepentingankepentingan yang sama dan adanya organisasi merupakan fakta-fakta yang penting dalam kerja sama yang berguna (Soekanto, 2007).

Para ahli sosiologi berpandangan bahwa komunikasi merupakan jalan bagi individu-individu untuk mengembangkan dirinya dikarenakan dalam diri individu terdapat esensi kebudayaan, masyarakat dan buah pikirnya (Kuswarno, 2008). Terkadang hambatan seseorang untuk berbagi pengatahuan bisa saja bukan karena ketidakmampuan dirinya dalam bidang ilmu tertentu namun bisa juga dikarenakan ia tidak mampu mengkomunikasikan pengetahuannya dengan baik ataupun tidak memiliki jaringan komunikasi yang dapat membuat dirinya menjadi lebih berkembang.

Dalam berinteraksi ada unsur-unsur yang turut berperan di dalamnya yaitu simbol sebagai alat berkomunikasi. Simbol merupakan sesuatu yang diberi makna yang berbeda dari objek yang dijadikan simbol dan hanya dipahami oleh kelompok tersebut. Simbol yang digunakan dalam berkomunikasi adalah bahasa. Intinya dalam berinteraksi diperlukan bahasa. Selain bahasa yang diperhatikan adalah nilai, norma dan keyakinan. Nilai merupakan salah satu unsur yang mendasari jalannya organisasi guna menuntun individu untuk melakukan tindakan dan bersosialisasi. Kepercayaan atau keyakinan juga dapat mempengaruhi tindakan individu. Dengan adanya keyakinan yang kuat dari individu bahwa berbagi pengetahuan dapat meningkatkan kemampuan berinovasi tentunya akan membantu individu untuk mewujudkannya. Begitu pula dengan norma yang mengarahkan individu dalam organisasi untuk bertindak menjalankan tugasnya. Pada saat berbagi pengetahuan menjadi sebuah norma yang diberlakukan dalam organisasi, tentunya akan mempengaruhi tindakan individu dalam memaknai berbagi pengetahuan itu sendiri.

Dalam psikologi sosial menggambarkan struktur dimensi nilai Schwartz (1997) meliputi empat dimensi nilai.

  • Nilai openness to change
    Nilai openness to change menekankan pada kebebasan berpikir dan berperilaku serta kesenangan baru dalam menghadapi tantangan. Di sini individu cenderung menyukai sikap kreatif dan inovatif baik dalam hal mencipta maupun menyelidiki sesuatu (memiliki semangat tinggi).

  • Nilai conservation
    Individu yang berorientasi pada nilai conservation menekankan hubungan yang relatif stabil dalam hubungannya dengan antar individu atau institusi di mana ia bekerja. Individu tersebut menyukai keteraturan sosial dan memiliki komitmen yang sangat tinggi pada nilai-nilai budaya dan agama yang dianutnya.

  • Nilai self enhancement
    Nilai self enhancement menekankan pada ambisi untuk mengejar kesenangan pribadi, meskipun harus mengorbankan kepentingan orang lain. Individu yang berorientasi pada nilai ini mendambakan kehidupan sukses dan menyenangkan, sangat berambisi untuk mendapatkan pengakuan atas keberhasilannya.

  • Nilai self-transedence
    Individu yang berorientasi pada nilai self-transedence menekankan pada peningkatan kesejahteraan bersama, saling menolong, perhatian pada orang lain. Individu yang berorientasi pada nilai ini memiliki rasa keadilan sosial, persamaan tanggung jawab, dan loyalitas yang tinggi (Suhariadi, 2007).

Selain dari nilai, keyakinan dan norma dalam berbagi pengetahuan, motivasi individu merupakan konstruksi yang juga sangat menentukan perilaku individu dalam berinteraksi. Perilaku individu pada dasarnya berorientasi pada tujuan, maksudnya adalah bahwa ketika individu bertindak maka ia dirangsang oleh keinginan untuk mencapai tujuan yang hendak dicita-citakannya. Motivasi adalah salah satu konstruksi bagi individu untuk menciptakan sebuah inovasi. Namun demikian inovasi itu sendiri tidak bisa terjadi begitu saja bila mana diantara individu tidak terjalin sebuah interaksi dengan lingkungannya. Motivasi ini bisa berasal dari diri pribadi atau pun dari orang lain dalam hal ini pimpinan atau atasan dalam sebuah organisasi. Motivasi sendiri adalah dorongan yang menyebabkan seseorang melakukan sesuatu, dengan intesitas dan ke arah tertentu (Riyono, 2007).

Untuk dapat lebih memahami manusia berperilaku maka patut dipahami terlebih dahulu bagaimana motifnya dalam berperilaku. Dalam Gerungan (2004) disebutkan bahwa motif itu sendiri ditinjau dari sudut asalnya bisa digolongkan ke dalam motif biogenetis (merupakan motif yang berasal dari kebutuhan organisame orang demi kelanjutan kehidupannya secara biologis), motif sosiogenetis (motif yang dipelajari orang dan berasal dari lingkungan kebudayaan tempat orang itu berada dan berkembang), dan motif teogenetis (motif yang berasal dari hubungan manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa, yang terwujud dalam bentuk ibadah).

Ada berbagai macam teori motivasi, diantaranya adalah Teori Hirarki Kebutuhan diungkapkan oleh Abraham Maslow. Ada semacam hirarki yang mengatur dengan sendirinya kebutuhan-kebutuhan manusia, yaitu kebutuhan fisik, keamanan, sosial (afiliasi), penghargaan dan aktualisasi diri. Manusia akan termotivasi bila stimulus yang ada sesuai dengan tingkat yang dia miliki, maksudnya adalah bila seorang individu berada pada posisi tingkt kebutuhan yang lebih tinggi maka stimulus yang menawarkan pemenuhan kebutuhan di bawahnya tidak akan menimbulkan motivasi. Secara prinsip teori ini menyatakan bahwa :

Satisfied need does not motivate. Only unsatisfied need motivate.

Kebutuhan fisik adalah pada posisi teratas karena merupakan faktor yang paling kuat di antara yang lainnya (Riyono, 2007)

Dalam teori motivasi Prestasi yang dikemukakan oleh McClelland adalah seseorang dianggap mempunyai motivasi untuk berprestasi jika ia mempunyai keinginan untuk melakukan suatu karya yang berprestasi lebih baik dari prestasi karya orang lain. Ada tiga kebutuhan manusia yakni kebutuhan berprestasi, kebutuhan untuk berafiliasi dan kebutuhan untuk kekuasaan. Ketiga kebutuhan ini terbukti merupakan unsur-unsur yang amat penting dalam menentukan prestasi seseorang dalam bekerja (Thaha, 2007).

Dalam sebuah organisasi, individu-individu saling berinteraksi dan bertukar pesan melalui jaringan hubungan sehari-hari dari anggota organisasi baik yang dilakukan secara formal maupun informal. Interaksi langsung dalam pertukaran informasi dianggap sebagai salah satu cara penting, sehingga kalangan ilmiah umumnya memiliki jaringan sosial sendiri. Jaringan komunikasi ini biasanya terbentuk karena adanya kesamaan kepentingan dalam suatu bagian atau kelompok tertentu dalam organisasi ataupun terkait hubungannya dengan bagian lainnya dalam organisasi. Dengan demikian maka komunikasi di dalam sebuah organisasi menjadi bagian penting karena proses komunikasi akan senantiasa terus berjalan selama organisasi dan individu yang ada di dalamnya tetap ada. Jaringan terbentuk dari hubungan atau koneksi orang-orang dalam organisasi serta kelompok tertentu (klik).

Klik dalam jaringan komunikasi adalah bagian dari sistem (sub sistem) dimana anggota-anggotanya relatif lebih sering berinteraksi satu sama lain dibandingkan dengan anggota-anggota lainnya dalam sistem komunikasi (Rogers dan Kincaid, 1981) ; adanya keterbukaan satu kelompok dengan kelompok lainnya; serta orang-orang yang memegang peranan utama dalam suatu organisasi. Berdasarkan peranannya, maka terbagi beberapa peran dalam jaringan komunikasi yaitu :

  1. Bridge adalah anggota kelompok atau klik dalam satu organisasi yang menghubungkan anggota satu kelompok dengan kelompok lainnya. Mereka saling membantu memberi informasi dan mengkoordinasi di antara anggota kelompok. Namun dengan adanya jembatan ini bisa rentan terhadap semua kondisi yang menyebabkan kehilangan, kerusakan dan penyimpangan informasi.

  2. Liaison adalah sama peranannya dengan bridge tetapi individu tersebut bukan anggota satu kelompok tetapi ia merupakan penghubung di antara satu kelompok dengan kelompok lainnya. Ia juga membantu dalam berbagi informasi yang relevan di antara kelompok-kelompok dalam organisasi. Penghubung memegang peranan penting bagi berfungsinya organisasi secara efektif. Penghubung dapat melancarkan maupun menghambat aliran informasi.

  3. Isolate adalah anggota organisasi yang mempunyai kontak minimal dengan orang lain dalam organisasi. Ia menyembunyikan diri dalam organisasi atau diasingkan oleh teman-temannya.

Namun bila dilihat dari pola interaksi dalam komunikasi di organisasi akan ditemukan berbagai model jaringan yang menghubungkan interaksi diantara individu. Para ahli juga menyebutkan bahwa terdapat hubungan sangat erat antara pola komunikasi dengan perilaku individu dalam kelompok. Pendapat Hamner, menyebutkan bahwa ada lima pola komunikasi dalam suatu kelompok, yaitu pola lingkaran (circle), pola Y, pola roda (wheel), pola rantai (chain) dan pola seluruh saluran (all-channel). Oleh Duncan disederahanakan menjadi dua bagian yaitu pola terpusat dan pola tersebar. Pola tepusat itu contohnya adalah pola roda, rantai dan pola Y, sedangkan yang tersebar adalah pola lingkaran dan pola seluruh saluran (Sofyandi, 2007).

  • Dalam jaringan berbentuk roda, menunjukkan bahwa seorang anggota menjadi pemimpin, yang pada dirinya semua pusat informasi terkumpul.

  • Model rantai, tiga orang dapat berkomunikasi dengan yang disebelahnya tetapi yang dua orang hanya dapat berkomunikasi dengan seorang anggota lainnya.

  • Model Y mirip dengan jaringan rantai yaitu tiga dari lima orang hanya dapat berhubungan dengan seorang anggota lainnya. Pada ketiga sistem ini ada satu orang yang dipusatkan.

  • Pada pola lingkaran dan pola semua-saluran tidak dipusatkan pada satu orang pemimpin, semua dapat berkomunikasi dengan anggota lainnya (Tubbs, 2000).

Para ahli menyimpulkan bahwa seseorang yang berada pada posisi sentral dalam artian dapat berkomuniaksi dengan semua anggota akan mempunyai kepuasan terbesar dibanding dengan yang lainnya. Namun kepuasan kelompok secara keseluruhan akan lebih tinggi dalam pola tersebar. Pola terpusat adalah pola yang paling baik dalam memecahkan masalah, dan pola tersebar sebaliknya karena membutuhkan waktu, banyak informasi dan memperbesar kemungkinan kesalahan (Sofyandi, 2007).

Adapun sumber informasi yang digunakan dalam berbagi pengetahuan di kalangan ilmiah bisa melalui media publikasi seperti jurnal, buku, prosiding dan lain-lain, kemudian adanya pertemuan langsung melalui diskusi, seminar, pelatihan dan lain-lain, dan juga bisa melalui kontak jarak jauh melalui telepon, email, chatting dan lain sebagainya yang dapat membuat komunikasi berlangsung.

Berbagi pengetahuan adalah hal yang fundamental bagi kalangan ilmiah karena melalui kegiatan-kegiatan tersebut mereka mendapatkan pengakuan atas karyakaryanya dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Bila kita kaitkan dengan proses penciptaan pengetahuan dari Nonaka (1994) dengan model SECI (Sosialisasi, Eksternalisasi, Kombinasi, dan Internalisasi) yang telah dijelaskan pada bagian sebelumnya, maka inovasi akan sulit berhasil jika ada hambatan dalam komunikasi baik kaitannya dengan hubungan antar individu ataupun jaringan informasi baik dalam dan luar organisasi. Media komunikasi yang diberikan organisasi dalam mendukung perilaku berbagi pengetahuan dapat mempercepat terciptanya sebuah inovasi dan pencapaian tujuan organisasi.

Konstruksi Sosial Berbagi Pengetahuan


Seorang manusia melakukan tindakan adalah bisa berdasarkan makna yang ada pada sesuatu tersebut, atau ia bertindak karena setelah terjadinya interaksi (pemaknaan diperoleh karena interaksi) atau pun makna tersebut diciptakan, dipertahankan, diubah dan disempurnakan melalui proses penafsiran pada saat ia berinteraksi dengan sesuat yang ditemuinya. Interaksi terjadi ketika dua orang individu mengakui keberadaan mereka masing-masing. Teori tindakan sosial Max Weber menjelaskan bahwa setiap tidakan sosial yang terjadi itu memiliki makna-makna. Ketika individu melakukan berbagi pengetahuan maka ia memiliki makna tentang berbagi pengetahuan itu sendiri.

Dalam proses berinteraksi terdiri atas pelaku, tindakan yang dilakukan dan pemaknaan terhadap tindakan itu sendiri. Hal-hal tersebut merupakan faktor penting dalam konstruksi sosial yang hasilnya adalah budaya. Masing-masing pelaku akan berupaya mempengaruhi yang lainnya untuk mendapatkan apa yang jadi tujuannya. Walaupun tidak sepenuhnya diterima, namun ada negosiasi sampai timbul kesepakatan. Berbagi pengetahuan sebagai sebuah realitas sosial pun demikian. Tidak sepenuhnya individu mau berbagi pengetahuan apalagi kekhawatiran yang ada pada dirinya untuk tidak mau tersaingi dan alasan lainnya.

Dalam konteks interaksi sosial, berdasarkan pemikiran fenomenologi bahwa peristiwa itu terjadi tidak dapat memiliki makna sendiri, kecuali manusia lah yang menjadikannya bermakna dan dipahami bersama. Ketika ia sendiri maka memiliki pengetahuan tentang sesuatu terbatas, namun pada saat ia bersama-sama dengan yang lain maka pengetahuannya menjadi bertambah. Cara seseorang menginterpretasikan pengalamannya itu adalah merupakan hasil konstruksi bersama-sama dengan orang lain. Dalam teori interaksionis simbolik yang berasal dari pemikiran Weberian bertolak dari kegiatan interpretif terhadap subjek individu.

Teori ini menggunakan perspekstif pendekatan fenomenologi yang menempatkan kesadaran manusia dan makna subjektif sebagai fokus untuk memahami tindakan sosial. Dalam sosiologi, teori ini berfokus pada individu dengan mengkaji secara khusus individu pada tataran mikro. Para ahli interaksionisme yang terlahir dari aliran Chicago melihat bahwa individu merupakan objek yang dapat secara langsung ditelaah dan dianalisis melalui interaksinya dengan individu yang lain. Individu adalah makhluk berpikir dan kemampuan berpikirnya merupakan hasil interaksi dengan individu lainnya (Salim, 2008). Faktor-faktor yang menciptakan konstruksi sosial berbagi pengetahuan bisa dikarenakan faktor internal yaitu individu sendiri dan faktor eksternal atau orgainsasi bisa berasal dari iklim atau budaya organisasi, pemimpin dalam organisasi ataupun fasilitas dan sarana (teknologi) yang menciptakan terjadinya berbagi pengetahuan.

Dalam Yi (2005) disebutkan bahwa menurut Goman (2002) ada lima alasan mengapa individu dalam suatu organisasi tidak mau mengatakan apa yang mereka ketahui dalam hal ini adalah berbagi pengetahuan. Alasan tersebut dikarenakan : individu percaya bahwa pengetahuan adalah kekuatan (power). Konstruksi sosial ini lah yang menjadikan adanya ketakutan akan hilangnya penguasaan atas pengetahuan (loss of knowledge power) sehingga ia merasa khawatir kedudukan atau posisinya dapat tergantikan (Abzari, 2009).
Jika individu mengganggap bahwa kekuasaan berasal dari pengetahuan yang mereka miliki maka kemungkinan mengarah pada penimbunan pengetahuan, bukan berbagi pengetahuan (Ipe, 2003). Individu tidak yakin bahwa yang mereka miliki adalah berharga.

Human Capital merupakan salah faktor kunci dalam diri individu yaitu berupa pengetahuan, keahlian dan pengalaman. Dengan kemampuan yang ada pada dirinya, ia bisa memberikan apa yang ia punya. Konstruksi sosial berikutnya diciptakan dari adanya rasa ketidakpercayaan di antara individu. Faktor kepercayaan terjadi karena adanya kedekatan di antara individu sehingga memudahkan proses berbagi pengetahuan. Individu takut hasilnya negatif atau dapat dikatakan takut salah dalam memberikan penjelasan dan alasan terakhir karena individu yang lainnya tidak ingin berbagi pengetahuan.

Davenport (1998) juga menyebutkan faktor lain yang menciptakan konstruksi sosial berbagi pengetahuan yaitu kurangnya kepercayaan dan kurangnya waktu dan tempat pertemuan. Namun ada faktor yang sangat menentukan yang terlahir dari dalam individu yaitu niatnya untuk mau berbagi pengetahuan.
Dalam Theory of Reason Action dan Theory of Planned Behavior, faktor niat adalah elemen utama yang mendasari seseorang untuk berperilaku. Sikap merasa mudah atau sulit dalam berbagi pengetahuan, norma subyektif berupa tekanan dari atasan untuk melakukan perilaku mempengaruhi niat individu untuk berbagi pengetahuan (Ajzen, 1991). Sikap senang untuk mau membantu orang lain merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi individu untuk berbagi pengetahuan (Hsiu-Fen Lin, 2007). Hal ini dikarenakan sikap terbentuk dari behavioral belief, yaitu keyakinan individu akan hasil dari suatu perilaku dan evaluasi atas hasil tersebut atau mengacu pada tingkat perasaan positif/negatif seseorang (Ajzen, 1991). Perasaan positif/negatif dikaitkan dengan konsekuensi yang diinginkan/tidak diinginkan.

Expected Contribution (Kontribusi yang diharapkan) didefinisikan sebagai sejauh mana keyakinan individu bahwa mereka dapat berkontribusi dalam meningkatkan kinerja organisasi dengan berbagi pengetahuan yang dimilikinya. Hal ini mengacu pada gagasan bahwa jika karyawan percaya bahwa mereka mampu memberikan kontribusi kepada kinerja organisasi maka mereka akan mengembangkan sikap positif terhadap berbagi pengetahuan (Bock dan Kim, 2005).

Konstruksi sosial juga terjadi di tempat kerja atau organisasi. Kebijakan dari pimpinan organisasi untuk memberikan kesempatan kepada individu dalam organisasi untuk berbagi pengetahuan melalui media workshop, seminar, town meeting, dan mentoring sessions yang dapat memperbaiki kinerja organisasi. (Szulanski, 2003)

Konstruksi sosial melalui motivasi yang berasal dari pimpinan juga sangat mendukung individu untuk berbagi pengetahuan. Seperti dukungan manajemen puncak atau pimpinan dengan pemberian penghargaan (reward), dan adanya insentif merupakan faktor yang juga turut mempengaruhi individu dalam organisasi berbagi pengetahuan. Extrinsic motivation atau motivasi ekstrinsik adalah dorongan seseorang untuk mencapai tujuan tertentu (penghargaan) misal peningkatan tugas, upah, promosi, dan lain-lain. (Deci dan Ryan, 1987).
Istilah motivasi ekstrinsik ini menunjuk pada kinerja dari aktivitas yang dilakukan untuk mencapai beberapa konsekuensi. Konstruksi sosial yang juga menentukan adalah adanya nilai dan norma subyektif dalam organisasi yang menentukan individu untuk berperilaku yaitu berupa tekanan sosial yang diberikan pimpinan atau sudah menjadi sebuah kebijakan dalam organisasi untuk menjadikan berbagi pengetahuan menjadi sebuah budaya dalam organisasi. Konstruksi sosial berikutnya adalah peralatan teknologi infomasi dan komunikasi yang mendukung keberlangsungannya.

Smith (2003) menggambarkan secara jelas antara teknologi dan berbagi pengetahuan. Teknologi informasi harus dilihat sebagai enabler pada berbagi pengetahuan. Dengan adanya sarana teknologi ini, interaksi sosial bisa berlangsung tidak terbatas pada jauhnya jarak sehingga tidak akan menghalangi individu untuk berinteraksi. Namun yang perlu juga diperhatikan adalah bahwa ketika organisasi memilih peralatan teknologi belum menjamin bahwa seluruh karyawan akan menggunakannya atau menggunakan dengan efektif, jadi masih ada aspek manusia pada teknologi untuk melakukan berbagi pengetahuan. Keberadaan infrastruktur teknologi yang efektif dalam organisasi dapat menghasilkan level berbagi pengetahuan yang tinggi (Radwan, 2007).

Konstruksi sosial juga dibatasi oleh nilai, norma dan keyakinan dalam masyarakat. Setiap masyarakat memiliki seperangkat nilai dan norma yang berbeda sesuai dengan karakteristik masyarakat itu sendiri. Nilai dan norma dijunjung tinggi, diakui dan digunakan sebagai dasar dalam melakukan interaksi dan tindakan sosial. Dalam interaksi berbagi pengetahuan terkadang tidak menjadi alami karena misalnya orang yang lebih muda harus mengikuti yang lebih tua atau senior kaena dianggap pengalamannya jauh lebih banyak. Kaitan dengan gender, dianggap tidak pantas bila perempuan lebih mendominasi dalam berdiskusi karena dianggap perempuan seharusnya lebih bisa menerima pendapat, mengalah dan lain sebagainya. Padahal dalam berbagi pengetahuan seharusnya sekat-sekat perbedaan seperti itu bisa dihindari agar proses berbagi pengetahuan bisa berlangsung alami. Berbagi pengetahuan penting dalam organisasi.

Namun, Kerwin dan Woodruff (1998) menemukan adanya hambatan berbagi dalam tubuh organisasi. Hambatan itu menurut Szulanski (1996) bersumber dari kecemburuan antar divisi, departemen, rendahnya insentif, keyakinan, dan komitmen, Not Invented Here (NIH syndrome). Hambatan-hambatan ini bisa diminimalisasi melalui peningkatan kepercayaan dan kerjasama di lingkungan organisasi. Itu tercipta melalui komunikasi dan sosialisasi yang lebih efektif tentang arti dan manfaat berbagi pengetahuan. Dalam penelitian perilaku berbagi pengetahuan yang dilakukan oleh Mehdi Abzari, Ali Shaemi Barzaki dan Rasoul Abbasi pada staf Bank Pertanian di negara Fars (Iran) mempelajari pengaruh Peningkatan Reputasi dan kehilangan kekuasaan pengetahuan (loss of knowledge power) pada komponen model tindakan beralasan (TRA) untuk mempelajari perilaku berbagi pengetahuan.

Temuan menunjukkan bahwa norma subyektif, dan sikap, memiliki dampak langsung terhadap niat perilaku. Juga sikap memiliki efek langsung pada perilaku berbagi pengetahuan.

Prodromos D. Chatzoglou and Eftichia Vraimaki juga melakukan penelitian perilaku berbagi pengetahuan pada staf bank di Yunani untuk mengembangkan pemahaman tentang faktor-faktor yang mempengaruhi berbagi pengetahuan perilaku dalam kerangka organisasi, menggunakan teori TPB (Theory of Planned Behavior). Hasil penelitian menunjukkan bahwa niat untuk berbagi pengetahuan terutama dipengaruhi oleh sikap karyawan sikap terhadap berbagi pengetahuan diikuti oleh norma-norma subyektif. Penelitian ini pun menyoroti perlunya menciptakan iklim yang akan membantu individu mengembangkan sikap yang lebih baik terhadap berbagi pengetahuan serta pentingnya peran tekanan sosial yang dirasakan oleh anggota organisasi (rekan-rekan, supervisor, senior manajer) agar individu mau berbagi pengetahuan.

Bock dan Kim (2001) melakukan survei terhadap 467 pegawai pada empat organisasi publik untuk mengidentifikasi faktor yang mempengaruhi perilaku individu untuk berbagi pengetahuan dengan menggunakan TRA (Theory of Reasoned Action). Mereka menambahkan expected reward (imbalan yang diharapkan), expected association, expected contribution (kontribusi yang diharapkan) sebagai salient belief (keyakinan penting) yang mempengaruhi sikap untuk berbagi pengetahuan. Temuan dari studi ini ternyata expected contribution dan expected associations merupakan faktor utama yang mempengaruhi sikap berbagi pengetahuan individu.

Penelitian yang dilakukan oleh Hsiu-Fen Lin (2007) mengenai berbagi pengetahuan dan kemampuan inovasi perusahaan dengan menggunakan studi empiris menguji pengaruh individu dalam hal ini kenikmatan bisa membantu orang lain pengetahuan efektifitas diri dan faktor oganisasi yaitu dukungan manajemen puncak dan pemberian penghargaan (reward) dan faktor teknologi (penggunaan teknologi informasi dan komunikasi). Penelitian ini dilakukan berdasarkan survei terhadap 172 karyawan dari 50 organisasi besar di Taiwan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dua faktor individu (kenikmatan dalam menolong orang lain dan pengetahuan self-efficacy atau efektifitas/kemampuan diri) dan salah satu faktor organisasi (dukungan manajemen puncak) secara signifikan mempengaruhi berbagi pengetahuan proses. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa kesediaan karyawan untuk menyumbangkan dan mengumpulkan pengetahuan memungkinkan perusahaan untuk meningkatkan kemampuan inovasi. Dari perspektif manajerial, penelitian ini mengidentifikasi beberapa faktor penting untuk berbagi pengetahuan yang sukses, dan membahas implikasi faktor-faktor untuk mengembangkan strategi organisasi untuk mendorong berbagi pengetahuan.

knowledge Sharing (KS) didefinisikan sebagai sebuah pertukaran pengetahuan antar dua individu; satu orang yang mengkomunikasikan pengetahuan, sedangkan seorang lainnya mengasimilasi pengetahuan tersebut (Jacobson, 2006). Fokus utama dari knowledge sharing dari masing-masing individu yaitu mampu menjelaskan, mengkodekan dan mengkomunikasikan pengetahuan kepada orang lain, kelompok, dan khususnya kepada organisasi.

Knowledge sharing dapat terjadi diantara individu, di dalam dan diantara tim, antara unit organisasi, dan antara organisasi (Glassop, 2002). Definisi diatas diperluas lagi dengan pernyataan bahwa knowledge sharing merupakan proses dimana individu secara kolektif dan iteratif memperbaiki sebuah pemikiran, gagasan, atau saran sesuai dengan petunjuk dari pengalaman individu (West dan Mayer, 1997).

Hooff dan Ridder (2004) mendefinisikan bahwa Knowledge Sharing adalah proses dimana para individu saling mempertukarkan pengetahuan mereka (Tacit Knowledge dan Eksplicit Knowldege).

Definisi ini mengimplikasikan bahwa setiap perilaku Knowledge Sharing terdiri atas bringing (knowledge donating) dan getting (knowledge collecting). Knowledge Donating yaitu perilaku mengkomunikasikan modal intelektual (intellectual capital) yang dimiliki seseorang kepada yang lainnya dan Knowledge Collecting yaitu perilaku individu untuk berkonsultasi dengan individu lainnya mengenai modal intelektual yang dimiliki. Kedua perilaku ini memiliki sifat yang berbeda dan dapat memberi pengaruh yang berbeda. Sedangkan Hooff dan Weenen (2004) mendefinisikan Knowledge Sharing sebagai aktivitas para individu saling bertukar Intellectual Capital Personal.

Knowledge Sharing adalah aktivitas mentransfer dan meyebarkan pengetahuan dari satu orang, kelompok atau organisasi pada pihak lain. Definesi ini mencakup tacit dan Explicit Knowledge (Jae-Nam Lee: 2000).

Knowledge Sharing bisa dibentuk dalam banyak bentuk seperti: "sebuah cerita yang menggambarkan pengalaman serupa dimana metode atau teknik dikembangkan atau digunakan untuk memecahkan masalah. Jika tidak dapat memberikan solusi langsung, pengetahuan dapat dibagi dalam kaitannya dengan menghubungi seseorang yang mungkin tahu dan bersedia dan mampu membantu " (Sharratt & Usoro: 2003).

Kompetensi untuk Knowledge Sharing

Menurut Kayes, dkk. (2005) ada beberapa kompetensi yang diperlukan oleh seseorang dalam melakukan Knowledge Sharing tersebut, yaitu:

  1. Valuing different cultures.

Kemampuan untuk memahami kompleksitas norma budaya dan bagaimana hal tersebut memberi kontribusi bagi terciptanya pengetahuan baru.

  1. Building relationship within the host cultures.

Dengan membangun hubungan dengan orang-orang lokal akan memungkinkan proses penciptaan pengetahuan baru.

  1. Listening and observing

Kemampuan mendengarkan dan mengamati akan membuat orang memahami budaya lokal dan praktek-praktek yang ada untuk mengerti rasional di belakang praktek tersebut.

  1. Coping with ambiguity

Kemampuan untuk melihat permasalahan bukan sebagai sesuatu yang menyebabkan kebingungan tetapi hanya menganggap sebagai sesuatu hal baru yang perlu dipelajari.

  1. Translating complex ideas

Kemampuan untuk menjelaskan ide yang kompleks dalam bahasa dan makna lokal.

  1. Taking action

Kemampuan untuk bertindak dan membuat keputusan.

  1. Managing others

Kemampuan untuk mengorganisasikan staf local dan expatriate serta mengatasi konflik diantara mereka.

Hal yang menumbuhkan Knowledge Sharing

Beberapa hal yang perlu dilakukan untuk menumbuhkan budaya berbagi pengetahuan diantaranya (Ningky, 2001):

  1. Menciptakan know-how dimana setiap pegawai berkesempatan dan bebas menentukan cara baru untuk menyelesaikan tugas dan berinovasi serta peluang untuk mensinergikan pengetahuan eksternal kedalam institusi.

  2. Menangkap dan mengidentifikasi pengetahuan yang dianggap bernilai dan direpresentasikan dengan cara yang logis.

  3. Penempatan pengetahuan yang baru dalam format yang mudah diakses oleh seluruh pegawai dan pejabat.

  4. Pengelolaan pengetahuan untuk menjamin kekinian informasi agar dapat direview untuk relevansi dan akurasinya.

  5. Format pengetahuan yang disediakan di portal adalah format yang user friendly agar semua pegawai dapat mengakses dan mengembangkan setiap saat.

Berbagi pengetahuan adalah kegiatan bekerjasama yang dilakukan untuk meningkatkan pengetahuan dan keterampilan agar tercapai tujuan individu serta organisasi. Berbagi pengetahuanmerupakan interaksi sosial yang melibatkan pengetahuan, pengalaman dan keterampilan antara karyawan untuk meningkatkan kompetensi yang dimiliki (Pramono dan Susanty, 2015).

Menurut Triana dkk (2016) berbagi pengetahuanmerupakan proses yang sistematis dalam penyampaian pesan antar individu maupun organisasi melalui media yang beragam. Setiap individu berhak menentukan media apa yang akan mereka pakai untuk melakukan berbagi pengetahuan, yang terpenting adalah penerima pesan mampu memahami apa yang telah disampaikan.

Manfaat adanya berbagi pengetahuanadalah terciptanya pengetahuan baru yang dapat menghasilkan inovasi, meningkatkan keterampilan setiap anggotanya dan mengurangi resiko terulang kembali kesalahan yang pernah dilakukan.Pelaksanaan kegiatan ini tidak mudah dilakukan, mengingat adanya karyawan yang berfikir ingin menyimpan pengetahuan yang dimiliki untuk dirinya sendiri.

Mereka akan merasa terancam jika orang lain mengetahui pengetahuan yang lebih banyak dari dirinya, sehingga dapat menimbulkan persaingan yang tidak sehat. Oleh karena itu, perlu adanya pendekatan yang dapat memotivasi karyawan untuk saling berbagi pengetahuan. Pendekatan yang bisa dilakukan untuk memotivasi berbagi pengetahuan diantaranya:

  1. Supervisory control. Organisasi membuat aturan secara formal bagi anggotanya untuk melakukan kegiatan berbagi pengetahuan. Meskipun sulit, tetapi organisasi bisa melakukan sedikit pemaksaan kepada anggotanya agar terbiasa dalam pelaksanaan berbagi pengetahuan.

  2. Social exchange. Anggota organisasi menyadari adanya kaidah timbal balik. Mereka termotivasi melakukan kegiatan berbagi pengetahuan dengan adanya keyakinan bahwa orang lain juga akan memberikan kontribusi yang sama kepada dirinya.

  3. Perceived organization support. Organisasi memberikan dorongan dalam bentuk insentif atau penghargaan kepada anggotanya yang melakukan kegiatan berbagi pengetahuan agar mereka memiliki rasa untuk berkomitmen. Para anggota akan menganggap bahwa organisasi akan memberikan kesejahteraan bagi mereka yang telah mendukung proses berbagi pengetahuan.