Apa yang dimaksud dengan bahasa figuratif dalam puisi?

Figuratif berasal dari bahasa Inggris figurative, yang berasal dari bahasa Latin figura, yang berarti form, shape. Figura berasal dari kata fingere dengan arti to fashion. Istilah ini sejajar dengan pengertian metafora (Scott, 1980). Menurut Hawkes (1980), tuturan adalah ”language which doesn’t mean what it says”, tuturan untuk menyatakan suatu makna dengan cara yang tidak biasa atau tidak sesuai dengan apa yang diucapkannya. Tuturan figuratif atau sering disebut bahasa kias digunakan oleh sastrawan untuk mengatakan sesuatu dengan cara yang tidak langsung untuk mengungkapkan makna (Waluyo, 1991). Hawkes (1980) membedakan tuturan figuratif dengan bahasa literal. Jika tuturan figuratif mengatakan secara tidak langsung untuk mengungkapkan makna, maka tuturan literal menunjukkan makna secara langsung dengan kata-kata dalam pengertian yang baku.

Bahasa kias pada dasarnya digunakan oleh sastrawan untuk memperoleh dan menciptakan citraan. Adanya tuturan figuratif (figurative language) menyebabkan karya sastra menarik perhatian, menimbulkan kesegaran, hidup, dan terutama menimbulkan kejelasan angan (Pradopo, 1993). Tuturan figuratif mengiaskan atau mempersamakan sesuatu hal dengan hal lain supaya gambaran menjadi jelas, lebih menarik, dan lebih hidup. Dengan demikian, ada hubungan yang erat antara pencitraan kata dengan tuturan kias. Pencitraan kata pada dasarnya terefleksi melalui bahasa kias. Hal senada diungkapkan oleh Hawkes (1980), bahwa “inevitably, figurative language is usually descriptive, and the transference involved result in what seem to be “pictures” or ”images”.

Menurut Middleton (dalam Lodge, 1969), tuturan figuratif dalam aplikasinya dapat berwujud gaya bahasa yang sering dikatakan oleh para kritikus sastra sebagai uniqueness atau specialty (keistimewaan, kekhususan) seorang pengarang sehingga gaya bahasa merupakan ciri khas pengarang. Meskipun tiap pengarang memiliki gaya sendiri dalam mengungkapkan pikiran, ada beberapa bentuk yang biasa dipergunakannya. Jenis-jenis bentuk itu dalam stilistika sering disebut sarana retorika (rethorical device).

Tuturan figuratif merupakan retorika sastra yang sangat dominan. Bahasa figuratif merupakan cara pengarang dalam memanfaatkan bahasa untuk memperoleh efek estetis dengan pengungkapan gagasan secara kias yang menyaran pada makna literal (literal meaning). Tuturan figuratif dalam kajian ini mencakup majas, idiom, dan peribahasa. Pemilihan tiga bentuk bahasa figuratif tersebut didasarkan alasan bahwa keempatnya merupakan sarana sastra yang dipandang representatif dalam mendukung pesan atau gagasan pengarang. Selain itu, keempatnya diduga cukup banyak dimanfaatlkan oleh Tohari dalam RDP.

Hawkes (1980) membedakan bahasa figuratif (bahasa kias) dengan bahasa literal. Jika tuturan figuratif mengatakan secara tidak langsung untuk mengungkapkan makna, maka tuturan literal menunjukkan makna secara langsung dengan kata-kata dalam pengertian yang baku.

Bahasa kias pada dasarnya digunakan oleh sastrawan untuk memperoleh dan menciptakan citraan. Adanya tuturan figuratif (figurative language) menyebabkan karya sastra menarik per- hatian, menimbulkan kesegaran, hidup, dan terutama menimbul- kan kejelasan angan (Pradopo, 1993). Tuturan figuratif mengiaskan atau mempersamakan sesuatu hal dengan hal lain supaya gambaran menjadi jelas, lebih menarik, dan lebih hidup. Dengan demikian, ada hubungan yang erat antara pencitraan kata dengan tuturan kias. Pencitraan kata pada dasarnya terefleksi melalui bahasa kias. Hal senada diungkapkan oleh Hawkes (1980), bahwa “inevitably, figurative language is usually descriptive, and the transference involved result in what seem to be “pictures” or ”images”. Bahasa figuratif terdiri atas majas, idiom, dan peribahasa.

Terdapat dua bahasa figuratif utama yang digunakan dalam puisi yaitu majas dan idiom.

Majas


Majas diartikan sebagai penggantian kata yang satu dengan kata yang lain berdasarkan perbandingan atau analogi ciri semantis yang umum dengan umum, yang umum dengan yang khusus, ataupun yang khusus dengan yang khusus. Perbandingan tersebut berlaku secara proporsional, dalam arti perbandingan itu memperhatikan potensialitas kata-kata yang dipindahkan dalam melukiskan citraan atau gagasan baru (Aminuddin, 1995).

Majas terbagi menjadi dua jenis, yakni (1) figure of thought: tuturan figuratif yang terkait dengan pengolahan dan pembayangan gagasan, dan (2) rethorical figure: tuturan figuratif yang terkait dengan penataan dan pengurutan kata-kata dalam konstruksi kalimat (Aminuddin, 1995). Majas dalam kajian ini merujuk pada tuturan figuratif yang terkait dengan pengolahan dan pembayangan gagasan. Majas diartikan sebagai penggantian kata yang satu dengan kata yang lain berdasarkan perbandingan atau analogi ciri semantis yang umum dengan umum, yang umum dengan yang khusus, ataupun yang khusus dengan yang khusus. Perbandingan tersebut berlaku secara proporsional, dalam arti perbandingan itu memperhatikan potensialitas kata-kata yang dipindahkan dalam melukiskan citraan atau gagasan baru (Aminuddin, 1995).

Majas menurut Scott (1980) mencakup metafora, simile, personifikasi, dan metonimia. Merujuk pandangan Scott (1980) dan Pradopo (2004) majas yang akan dikaji daam kajian RDP ini meliputi metafora, simile, personifikasi, metonimi, dan sinekdoke (pars pro toto dan totem pro parte).

Idiom


Konstruksi dari unsur-unsur yang saling memilih, masing- masing anggota mempunyai makna yang ada hanya karena bersama yang lain disebut idiom. Idiom merupakan konstruksi yang maknanya tidak sama dengan gabungan makna anggota- anggotanya (Harimurti Kridalaksana, 1982. Menurut Panuti Sudjiman (1984), idiom adalah pengungkapan bahasa yang bercorak khas baik karena tata bahasanya maupun karena mempunyai makna yang tidak dapat dijabarkan dari makna unsur-unsurnya.

Senada dengan pendapat di atas, Suhendra Yusuf (1995) mengartikan idiom sebagai kelompok kata yang mempunyai makna khas serta tidak sama dengan makna kata per katanya. Jadi, idiom mempunyai kekhasan bentuk dan makna di dalam kebahasaan yang tidak dapat diterjemahkan secara harfiah. Tegasnya, makna idiom tidak dapat diterjemahkan secara satu persatu melainkan secara kebersatuan. Misalnya: kambing hitam, panjang tangan, kupu-kupu malam, kaki gunung, kaki tangan, tangan kanan, cetak biru, dan sebagainya.