Apa yang dimaksud dengan Autis atau Autisme?

Autisme

Autisme merupakan salah satu keadaan psikiatri pada anak yang harus ditangani secara khusus. Apa definisi autisme yang benar sesuai dengan pengertian medis ?

Autisme

Autisme berasal dari kata auto yang berarti sendiri. Penyandang autisme seakan-akan hidup dalam dunianya sendiri. Istilah autisme baru diperkenalkan oleh Leo Kanner sejak tahun 1943 (Handojo, 2008).

Autisme bukan suatu gejala penyakit, tetapi berupa sindroma (kumpulan gejala) yang terjadi penyimpangan perkembangan sosial, kemampuan berbahasa, dan kepedulian terhadap sekitar (Yatim, 2003). Menurut kamus psikologi, pengertian dari autisme adalah anak dengan kecenderungan diam dan suka menyendiri yang ekstrem. Anak autisme bisa duduk dan bermain berjam-jam lamanya dengan jemarinya sendiri atau dengan serpihan kertas, serta tampaknya mereka itu tenggelam dalam satu dunia sendiri.

PENYEBAB AUTISME

Autisme dipengaruhi oleh faktor eksternal dan internal. Faktor internal meliputi genetik, psikologis, neorobiologis, prenatal, natal, infeksi virus, dan trauma kelahiran. Sementara faktor eksternalnya antara lain lingkungan bahan kimia beracun, merkuri, timbal, kadmium, arsenik, dan aluminium (Handojo, 2008).

Faktor internal

  1. Faktor psikologis
    Orang tua yang emosional, kaku, dan obsesif, yang mengasuh anak mereka yang secara emosional atau akibat sikap ibu yang dingin (kurang hangat).

  2. Neurobiologis
    Kelainan perkembangan sel-sel otak selama dalam kandungan atau sudah anak lahir dan menyebabkan berbagai kondisi yang memengaruhi sistem saraf pusat. Hal ini diduga karena adanya disfungsi dari batang otak dan neurolimbik.

  3. Faktor genetik
    Adanya kelainan kromosom pada anak autisme, tetapi kelainan itu tidak berada pada kromosom yang selalu sama. Ditemukan 20 gen yang terkait dengan munculnya gangguan autisme, tetapi gejala autisme baru bisa muncul jika kombinasi dari banyak gen.

  4. Faktor perinatal
    Adanya komplikasi prenatal, perinatal, dan neonatal. Komplikasi yang paling sering adalah perdarahan setelah trimester pertama, fetal distress, dan penggunaan obat tertentu pada ibu yang sedang hamil. Komplikasi waktu bersalin, terlambat menangis, gangguan pernapasan, dan anemia pada janin.

Faktor Eksternal

Faktor eksternal berasal dari lingkungan yaitu kontaminasi bahan kimia beracun dan logam- logam berat berikut ini (Yatim, 2003).

  1. Merkuri (Hg)
    Logam berat merkuri merupakan cairan yang berwarna putih keperakan. Paparan logam berat Hg dapat berupa metyl mercury dan etyl mercury (thimerosal) dalam vaksin. Merkuri dapat memengaruhi otak, sistem saraf, dan saluran cerna. Racun merkuri menyebabkan defisit kognitif dan sosial termasuk kehilangan kemampuan berbicara atau kegagalan untuk mengembangkan gangguan memori, konsentrasi yang buruk, kesulitan dalam mengartikan kata-kata dari berbagai macam tingkah laku autisme.

  2. Timbal
    Timbal dikenal sebagai neurotoksin yang diartikan sebagai pembunuh sel-sel otak. Kadar timbal yang berlebihan pada darah anak-anak akan memengaruhi kemampuan belajar anak, defisit perhatian, dan sindroma hiperaktivitas.

  3. Kadmium (Cd)
    Kadmium merupakan bahan alami yang terdapat pada kerak bumi. Logam berat ini murni berupa logam. Logam berwarna putih perak lunak dapat menyebabkan kerusakan sel membran sehingga logam berat lain dipercepat atau dipermudah masuk ke dalam sel.

  4. Arsenik (As)
    Arsenik banyak digunakan pengusaha atau kontraktor untuk membangun ruang bermain, geladak kapal, atau pagar rumah. Arsenik dapat diisap, ditelan, dan diabsorbsi lewat kontak kulit. Arsenik dapat disimpan di otak, tulang, dan jaringan tubuh, serta akan merusaknya secara serius. Gejalanya yang berlangsung lambat dapat menyebabkan diabetes dan kanker, juga dapat menyebabkan stroke dan sakit jantung. Dalam jangka lama dapat merusak liver, ginjal, dan susunan saraf pusat.

  5. Aluminium (Al)
    Keracunan aluminium adalah keadaan serius yang terjadi bila mengabsorbsi sejumlah besar aluminium yang sering disimpan di dalam otak. Pemaparan aluminium didapatkan dari konsumsi aluminium dari produk antasid dan air minum (panic aluminium). Aluminium masuk ke tubuh lewat sistem digestif, paru-paru, dan kulit sebelum masuk ke jaringan tubuh.

KELAINAN DI OTAK AKIBAT AUTISME

Autisme

  • Kelainan neurokimia
    Penurunan kadar neurotransmiter serotonin terutama pada sel purkinye serebellum. Anak normal memiliki kandungan serotonin pada sel purkinye serebellum cukup tinggi.

  • Kelainan neuroanatomi
    Anak autisme didapatkan kelainan neuroanatomi pada beberapa tempat. Hasil pemeriksaan otopsi didapatkan pengecilan serebellum utama terjadi hipoplasia lobus VI–VII sehingga mengakibatkan produksi serotonin menurun dan lalu lintas rangsangan informasi antara sel otak menjadikacau. Didapatkan juga kerusakan hemisfer otak kiri yang menyebabkan ganguan bahasa ekspresif, seperti ucapan kata (area broca) dan reseptif (pengertian [Wernicke]).

    Selain itu, terdapat gangguan pada lobus pariestalis, yakni sebanyak 43% dari jumlah kasus autisme ditemukan terjadi atropi lobus paretalis, jumlah sel otak menurun, sehingga mengakibatkan perhatian pada lingkungan terganggu, serta anak menjadi acuh tak acuh pada lingkungan. Pada PET scan dan MRI didapatkan gangguan pada sistem limbik (daerah hipokampus dan amigdala). Sel neuron tumbuh padat dan kecil yang menyebabkan fungsi neuron menjadi kurang baik.

GEJALA AUTISME

Autisme

Autisme timbul sebelum anak mencapai usia tiga tahun dan sebagian anak memiliki gejala itu sudah ada sejak lahir. Seorang ibu yang sangat cermat memantau perkembangan anaknya sudah akan melihat beberapa keganjilan sebelum anaknya mencapai usia satu tahun. Hal yang sangat menonjol adalah tidak adanya atau sangat kurangnya tatapan mata.

Sebagian kecil dari penyandang autisme sempat berkembang normal, tetapi sebelum mencapai umur tiga tahun perkembangan terhenti, kemudian timbul kemunduran dan mulai tampak gejala-gejala autisme. Faktor pencetusnya misalnya ditinggal oleh orang terdekat secara mendadak, punya adik, sakit berat, bahkan ada yang gejalanya timbul setelah mendapatkan imunisasi.

Gejala-gajala akan tampak makin jelas setelah anak mencapai usia tiga tahun, yaitu meliputi hal berikut (IDAI, 2004).

  1. Gangguan dalam bidang komunikasi verbal dan nonverbal.

    • Terlambat bicara.
    • Meracau dengan bahasa yang tak dapat dimengerti orang lain.
    • Bila kata-kata mulai diucapkan, ia tidak mengerti artinya.
    • Bicara tidak dipakai untuk komunikasi.
    • la banyak meniru atau membeo (echolalia).
    • Beberapa anak sangat pandai menirukan nyanyian, nada, dan kata-kata tanpa mengerti artinya. Sebagian dari anak-anak ini tetap tak dapat bicara sampai dewasa.
    • Bila menginginkan sesuatu ia menarik tangan yang terdekat dan mengharapkan tangan tersebut melakukan sesuatu untuknya.
  2. Gangguan dalam bidang interaksi sosial.

    • Menolak atau menghindar untuk bertatap mata.
    • Tak mau menengok bila dipanggil.
    • Sering kali menolak untuk dipeluk.
    • Tak ada usaha untuk melakukan interaksi dengan orang lain, lebih asyik main sendiri.
    • Bila didekati untuk diajak main, ia malah menjauh.
  3. Gangguan dalam bidang perilaku.

    • Perilaku yang berlebihan (excess) dan kekurangan (deficient).

      1. Contoh perilaku yang berlebihan adalah adanya hiperaktivitas motorik, seperti tidak bisa diam, jalan mondar-mandir tanpa tujuan yang jelas, melompat- lompat, berputar-putar, memukul-mukul pintu atau meja, mengulang-ulang suatu gerakan tertentu.

      2. Contoh perilaku yang kekurangan adalah duduk diam bengong dengan tatap mata yang kosong, melakukan permainan yang sama atau monoton dan kurang variatif secara berulang-ulang, sering duduk diam terpukau oleh sesuatu misalnya bayangan dan benda yang berputar.

    • Kadang-kadang ada kelekatan pada benda tertentu, seperti kartu, kertas, gambar, gelang karet, atau apa saja yang terus dipeganganya dan dibawa ke mana saja.

    • Perilaku ritual (ritualistic).

  4. Gangguan dalan bidang perasaan atau emosi.

    • Tidak dapat ikut merasakan apa yang dirasakan orang lain, misalnya melihat anak menangis, maka ia tidak merasa kasihan, tetapi merasa terganggu dan anak yang menangis tersebut mungkin didatangi dan dipukul.
    • Kadang tertawa sendiri, menangis, atau marah tanpa sebab yang nyata.
    • Sering mengamuk takterkendali (bisa menjadi agresif dan destruktif).
  5. Gangguan dalam persepsi sensori.

    • Mencium atau menggigit mainan atau benda apa saja.
    • Bila mendengar suara tertentu, maka ia langsung menutup telinga.
    • Tidak menyukai rabaan atau pelukan.
    • Merasa sangat tidak nyaman bila dipakaikan pakaian dari bahan yang kasar.

PENATALAKSANAAN MENYELURUH

1. Terapi psikofarmaka
Kerusakan sel otak di sistem limbik, yaitu pusat emosi akan menimbulkan gangguan emosi dan perilaku temper tantrum, agresivitas baik terhadap diri sendiri maupun pada orang-orang di sekitarnya, serta hiperaktivitas dan stereotipik. Untuk mengendalikan gangguan emosi ini diperlukan obat yang memengaruhi berfungsinya sel otak. Obat yang digunakan antara lain sebagai berikut.

  • Haloperidol
    Suatu obat antipsikotik yang mempunyai efek meredam psikomotor, biasanya digunakan pada anak yang menampakkan perilaku temper tantrum yang tidak terkendali serta mempunyai efek lain yaitu meningkatkan proses belajar biasanya digunakan dalam dosis 0,20 mg.

  • Fenfluramin
    Suatu obat yang mempunyai efek mengurangi kadar serotonin darah yang bermanfaat pada beberapa anak autisme.

  • Naltrexone
    Merupakan obat antagonis opiat yang diharapkan dapat menghambat opioid endogen sehingga mengurangi gejala autisme seperti mengurangi cedera pada diri sendiri dan mengurangi hiperaktivitas.

  • Clompramin
    Merupakan obat yang berguna untuk mengurangi stereotipik, konvulsi, perilaku ritual, dan agresivitas, serta biasanya digunakan dalam dosis 3,75 mg.

  • Lithium
    Merupakan obat yang dapat digunakan untuk mengurangi perilaku agresif dan mencederai diri sendiri.

  • Ritalin
    Untuk menekan hiperaktivitas.

2. Terapi perilaku

Penatalaksanaan gangguan autisme menggunakan metode Lovass. Metode Lovass adalah metode modifikasi tingkah laku yang disebut dengan Applied Behavioral Analysis (ABA). ABA juga sering disebut sebagai intervensi perilaku (behavioral intervension) atau modifikasi (behavioral modification). Dasar pemikirannya adalah perilaku yang diinginkan atau yang tidak diinginkan bisa dikontrol atau dibentuk dengan sistem penghargaan (reward) dan hukuman (punishment). Pemberian penghargaan akan meningkatkan frekuensi munculnya perilaku yang diinginkan, sedangkan hukuman akan menurunkan frekuensi munculnya perilaku yang tidak diinginkan.

3. Terapi bicara

Gangguan bicara dan berbahasa diderita oleh hampir semua anak autisme. Tata laksana melatih bicara dan berbahasa harus dilakukan karena merupakan gangguan yang spesifik pada anak autisme. Anak dipaksa untuk berbicara kata demi kata, serta cara ucapan harus diperhatikan. Setelah mampu berbicara, diajarkan berdialog. Anak dipaksa untuk memandang terapis, karena anak autisme tidak mau adu pandang dengan orang lain. Dengan adanya kontak mata, maka diharapkan anak dapat meniru gerakan bibir terapis.

4. Terapi okupasional

Melatih anak untuk menghilangkan gangguan perkembangan motorik halusnya dengan memperkuat otot-otot jari supaya anak dapat menulis atau melakukan keterampilan lainnya.

5. Terapi fisik

Autisme adalah suatu gangguan perkembangan pervasif. Banyak di antara individu autis mempunyai gangguan perkembangan dalam motorik kasarnya. Fisioterapi dan terapi integrasi sensoris akan sangat banyak menolong untuk menguatkan otot-ototnya dan memperbaiki keseimbangan tubuhnya.

6. Terapi sosial

Kekurangan yang paling mendasar bagi individu autis adalah dalam bidang komunikasi dan interaksi. Banyak anak-anak ini membutuhkan pertolongan dalam keterampilan berkomunikasi dua arah dan main bersama di tempat bermain. Seorang terapis sosial membantu dengan memberikan fasilitas pada mereka untuk bergaul dengan teman- teman sebaya dan mengajari cara-caranya.

7. Terapi bermain

Meskipun terdengarnya aneh, seorang anak autistik membutuhkan pertolongan dalam belajar bermain. Bermain dengan teman sebaya berguna untuk belajar bicara, komunikasi, dan interaksi sosial. Seorang terapis bermain bisa membantu anak dalam hal ini dengan teknik-teknik tertentu.

8. Terapi perkembangan

Floortime, Son-rise, dan Relationship Developmental Intervention (RDI) dianggap sebagai terapi perkembangan. Artinya anak dipelajari minatnya, kekuatannya, dan tingkat perkembangannya, kemudian ditingkatkan kemampuan sosial, emosional, dan intelektualnya.

9. Terapi visual

Individu dengan autisme lebih mudah belajar dengan melihat (visual learners atau visual thinkers). Hal ini yang kemudian dipakai untuk mengembangkan metode belajar komunikasi melalui gambar-gambar, misalnya dengan metode Picture Exchange Communication System (PECS). Beberapa video games bisa juga dipakai untuk mengembangkan keterampilan komunikasi.

10. Pendidikan khusus

Anak autisme mudah terganggu perhatiannya, sehingga pada pendidikan khusus satu guru menghadapi satu anak dalam ruangan yang tidak luas dan tidak ada gambar- gambar di dinding atau benda-benda yang tidak perlu, yang dapat mengalihkan perhatian anak. Setelah ada perkembangan, maka mulai dilibatkan dalam lingkungan kelompok kecil, kemudian baru kelompok yang lebih besar. Bila telah mampu bergaul dan berkomunikasi, maka mulai dimasukkan pendidikan biasa di TK dan SD untuk anak normal.

11. Terapi alternatif

Terapi yang digolongkan terapi altenatif adalah semua terapi baru yang masih berlanjut dengan penelitian. Salah satunya adalah terapi detoksifikasi. Terapi ini menggunakan nutrisi dan toksikologi. Terapi ini bertujuan untuk menghilangkan atau menurunkan kadar bahan-bahan beracun yang lebih tinggi dalam tubuh anak autisme dibanding dengan anak normal, agar tidak mengancam perkembangan otak. Kandungan yang dikeluarkan terutama bahan beracun merkuri atau air raksa dan timah yang memengaruhi sistem kerja otak. Terapi ini meliputi mandi sauna, pemijatan, dan shower, yang diikuti olahraga, konsumsi vitamin dosis tinggi, serta air putih minimal dua liter sehari. Tujuannya untuk mengeluarkan racun yang menumpuk dalam tubuh.

DIET UNTUK ANAK AUTIS

Selain tindakan keperawatan harus disesuaikan dengan masalah keperawatan, ada beberapa aturan diet khusus pada anak autis. Hal ini patut dipertimbangkan, karena faktor eksternal penyebab autis adalah banyak yang belum dapat dijelaskan dengan tegas, dan banyak terkait dengan konsumsi makanan yang mengandung logam berat.

Makanan yang Harus Dihindari

  1. Gluten, yaitu pada gandum, terigu, mie, spageti, makanan ringan, dan lain-lain. Produk olahan (gluten), seperti kecap, roti, kue, dan sebagainya.
  2. Kasein, yaitu susu sapi, kambing, keju, es krim, mentega, yoghurt, kue kemasan (cookies).
  3. Makanan yang mengandung penyedap rasa.
  4. Bahan pemanis dan pewarna buatan, seperti permen, saos tomat, minuman kemasan (soft drink), dan lain-lain.
  5. Makanan yang diawetkan, seperti bakso, pangsit.
  6. Makanan cepat saji (fastfood).
  7. Buah yang harus dihindari, yakni pisang, apel, anggur, jeruk, tomat.
  8. Semua makan yang menjadi alergen.
  9. Penurun panas yang ada, misalnya asetil salisilat, asetaminofen, parasetamol.

Makanan yang Boleh

  1. Tepung, seperti ketan, beras, kedelai, tapioka, sagu, hunkwe, soun, bihun, kentang.
  2. Buah, seperti pepaya, semangka, melon, nanas.
  3. Bahan pewarna alami, misalnya daun pandan, kunyit, coklat bubuk.
  4. Margarin dari tumbuhan, santan.
  5. Obat penurun panas, misal ibuprofen (proris).

Kata autisme berasal dari bahasa Yunani yang terdiri dari dua kata yaitu ‘aut’ yang berarti ‘diri sendiri’ dan ‘ism’ yang secara tidak langsung menyatakan ‘orientasi atau arah atau keadaan (state).

Sehingga autism dapat didefinisikan sebagai kondisi seseorang yang luar biasa asik dengan dirinya sendiri (Reber, 1985 dalam Trevarthen dkk, 1998).

Pengertian ini menunjuk pada bagaimana anak-anak autis gagal bertindak dengan minat pada orang lain, tetapi kehilangan beberapa penonjolan perilaku mereka. Ini, tidak membantu orang lain untuk memahami seperti apa dunia mereka.

Autis pertama kali diperkenalkan dalam suatu makalah pada tahun 1943 oleh seorang psikiatris Amerika yang bernama Leo Kanner. Ia menemukan sebelas anak yang memiliki ciri-ciri yang sama, yaitu tidak mampu berkomunikasi dan berinteraksi dengan individu lain dan sangat tak acuh terhadap lingkungan di luar dirinya, sehingga perilakunya tampak seperti hidup dalam dunianya sendiri.

Autis merupakan suatu gangguan perkembangan yang kompleks yang berhubungan dengan komunikasi, interaksi sosial dan aktivitas imajinasi. Gejalanya tampak pada sebelum usia tiga tahun. Bahkan apabila autis infantil gejalanya sudah ada sejak bayi.

Autis juga merupakan suatu konsekuensi dalam kehidupan mental dari kesulitan perkembangan otak yang kompleks yang mempengaruhi banyak fungsi- fungsi: persepsi (perceiving), intending, imajinasi (imagining) dan perasaan (feeling). Autis jugs dapat dinyatakan sebagai suatu kegagalan dalam penalaran sistematis (systematic reasoning).

Dalam suatu analisis ‘microsociological’ tentang logika pemikiran mereka dan interaksi dengan yang lain (Durig, 1996; dalam Trevarthen, 1998), orang autis memiliki kekurangan pada ‘cretive induction’ atau membuat penalaran induksi yaitu penalaran yang bergerak dari premis-premis khusus (minor) menuju kesimpulan umum, sementara deduksi, yaitu bergerak pada kesimpulan khusus dari premis-premis (khusus) dan abduksi yaitu peletakan premis-premis umum pada kesimpulan khusus, kuat. (Trevarthen, 1998).

DSM IV (Diagnostic Statistical Manual) yang dikembangkan oleh para psikiater dari Amerika) mendefinisikan anak autis sebagai berikut:

  1. Terdapat paling sedikit enam pokok dari kelompok a, b dan c, meliputi sekurang-kurangnya: satu item dari kelompok a, sekurang-kurangnya satu item dari kelompok b, sekurang-kurangnya satu item dari kelompok

    a. Gangguan kualitatif dalam interaksi sosial yang ditunjukkan oleh paling sedikit dua diantara berikut:

    1. Memiliki kesulitan dalam mengunakan berbagai perilaku non verbal seperti, kontak mata, ekspresi muka, sikap tubuh, bahasa tubuh lainnya yang mengatur interaksi sosial

    2. Memiliki kesulitan dalam mengembangkan hubungan dengan teman sebaya atau teman yang sesuai dengan tahap perkembangan mentalnya.

    3. Ketidakmampuan untuk berbagi kesenangan, minat, atau keberhasilan secara spontan dengan orang lain (seperti; kurang tampak adanya perilaku memperlihatkan, membawa atau menunjuk objek yang menjadi minatnya).

    4. Ketidakampuan dalam membina hubungan sosial atau emosi yang timbal balik.

    b. Gangguan kualitatif dalam berkomunikasi yang ditunjukkan oleh paling sedikit satu dari yang berikut:

    1. Keterlambatan dalam perkembangan bicara atau sama sekali tidak (bukan disertai dengan mencoba untuk mengkompensasikannya melalui cara-cara komunikasi alternatif seperti gerakan tubuh atau lainnya)

    2. Bagi individu yang mampu berbicara, kurang mampu untuk memulai pembicaraan atau memelihara suatu percakapan dengan yang lain

    3. Pemakaian bahasa yang stereotipe atau berulang-ulang atau bahasa yang aneh (idiosyncantric)

    4. Cara bermain kurang bervariatif, kurang mampu bermain pura-pura secara spontan, kurang mampu meniru secara sosial sesuai dengan tahap perkembangan mentalnya

    c. Pola minat perilaku yang terbatas, repetitive, dan stereotype seperti yang ditunjukkan oleh paling tidak satu dari yang berikut:

    1. Keasikan dengan satu atau lebih pola-pola minat yang terbatas dan stereotipe baik dalam intensitas maupun dalam fokusnya.

    2. Tampak tidak fleksibel atau kaku dengan rutinitas atau ritual yang khusus, atau yang tidak memiliki manfaat.

    3. Perilaku motorik yang stereotip dan berulang-ulang (seperti : memukul-mukulkan atau menggerakgerakkan tangannya atau mengetuk-ngetukan jarinya, atau menggerakkan seluruh tubuhnya).

    4. Keasikan yang menetap dengan bagian-bagian dari benda (object).

  2. Perkembangan abnormal atau terganggu sebelum usia tiga tahun seperti yang ditunjukkan oleh keterlambatan atau fungsi yang abnormal pada paling sedikit satu dari bidang-bidang berikut:

  3. Sebaiknya tidak dikelompokkan ke dalam Rett Disorder, Childhood Integrative Disorder, atu Asperger Syndrom.


Gambar Spektrum Autis Disorder

PERILAKU ANAK AUTIS

1. Perilaku Sosial

Perilaku sosial memungkinkan seorang individu untuk berhubungan dan berinteraksi dalam seting sosial. Tinjauan tentang kesulitan (deficits) sosial pada anak- anak autis baru-baru ini muncul (Hawlin, 1986 dalam Kathleen Ann Quill, 1995).

Anak-anak autis yang nonverbal telah diketahui bahwa mereka mengabaikan (ignore) orang lain, memperlihatkan masalah umum dalam bergaul dengan orang lain secara sosial. Ekspresi sosial mereka terbatas pada ekspresi emosi-emosi yang ekstrim, seperti menjerit, menangis atau tertawa yang sedalam-dalamnya .

Anak-anak autis tidak menyukai perubahan sosial atau gangguan dalam rutinitas sehari-hari dan lebih suka apabila dunia mereka tetap sama. Apabila terjadi perubahan mereka akan lebih mudah marah, contoh: mereka akan marah apabila mengambil rute pulang dari sekolah yang berbeda dari yang biasa dilewati, atau posisi furnitur di dalam kelas berubah dari semula.

Anak-anak autis sering memperlihatkan perilaku yang merangsang dirinya sendiri (self-stimulating) seperti mengepak-ngepakkan tangan (hand flapping) mengayun-ayun tangan ke depan dan kebelakang, membuat suara-suara yang tetap (ngoceh), atau menyakiti diri sendiri (self-inflicting injuries) seperti menggaruk-garuk, kadang sampai terluka, menusuk-nusuk. Perilaku merangsang diri sendiri (self-stimulating) lebih sering terjadi pada waktu yang berbeda dari kehidupan anak atau selama situasi sosial berbeda (Iwata et all, 1982 dalam Kathleen Ann Quill, 1995). Perilaku ini lebih sering lagi terjadi pada saat anak autis ditinggal sendiri atau sedang sendirian daripada waktu dia sibuk dengan tugas-tugas yang harus dikerjakannya, dan berkurang setelah anak belajar untuk berkomunikasi. (Carr & Durrand, 1985; dalam Kathleen Ann Quill, 1995).

2. Perilaku Komunikasi

Bahasa termasuk pembentukan kata-kata, belajar aturan-aturan untuk merangkai kata-kata menjadi kalimat dan mengetahui maksud atau suatu alasan menggunakan bahasa. Bahasa merupakan sesuatu yang abtrak. Pemahaman bahasa memerlukan fungsi pendengaran yang baik dan persepsi pendengaran yang baik pula. Bahasa pragmatis yang merupakan penerjemahan (interpreting) dan penggunaan bahasa dalam konteks sosial, secara pisik (physical) dan konteks linguistik. Pragmatis dan komunikasi berhubungan erat, untuk menjadi seorang komunikator yang berhasil seorang anak harus memiliki pengetahuan tentang bahasa yang dipergunakannya sama baiknya dengan pemahaman tentang manusia dan dimensi dunia yang bukan manusia.

Komunikasi lebih daripada kemampuan untuk bicara atau kemampuan untuk merangkai kata-kata dalam urutan yang tepat (Wilson, 1987 Kathleen Ann Quill, 1995). Komunikasi adalah kemampuan untuk membiarkan orang lain mengetahui apa yang diinginkan oleh individu, menjelaskan tentang suatu kejadian kepada orang lain, untuk menggambarkan tindakan dan untuk mengakui keberadaan atau kehadiran orang lain. Komunikasi dapat dilakukan secara verbal dan nonverbal. Komunikasi dapat dijalin melalui gerakan tubuh, melalui tanda isarat atau dengan menunjukkan gambar atau kata-kata. Secara tidak langsung komunikasi menyatakan suatu situasi sosial antara dua individu atau lebih.

Dalam komunikasi orang yang membawa pesan disebut pemrakarsa (initiator) sedangkan orang yang mendengarkan pesan disebut penerima pesan. Pesan bergantian antara pemrakarsa dan penerima pesan. Untuk memenuhi kemampuan (competent) dalam keterampilan pragmatis anak harus mengetahui dan memahami kedua peran tersebut, sebagai premrakarsa dan sebagai penerima pesan. (Watson, 1987, dalam Kathleen Ann Quill, 1995). Banyak anak autis yang memiliki kesulitan dalam pragmatis (Baron, Cohen, 1988 dalam Kathleen, 1995).

Untuk peran pemrakarsa dalam berkomunikasi, anak autistik memiliki kesulitan dalam memulai percakapan atau pembicaraan (Feidstein, Konstantereas, Oxman, & Webster, 1982 dalam Kathleen Ann Quill, 1995). Ketika berbicara, mereka cenderung meminta orang dewasa untuk mengambilkan mainan, makanan atau minuman, mereka jarang menyampaikan tindakan yang komunikatif seperti menjawab orang lain, mengomentari sesuatu, mengungkapan perasaan atau menggunakan etika sosial seperti pengucapan terimakasih, atau meminta maaf.

Anak-anak autis yang non verbal sering menjadi penerima informasi dan merespon pada orang tua dan guru mereka meminta dengan perlakuan (deal) yang konsisten. Contoh orang dewasa bertanya:”Kamu mau makan apa?”. Dan anak mungkin menjawab dengan memperlihatkan gambar kue atau dengan menggambar kue atau bahkan mungkin dengan kata-kata. Ini sutu peningkatan komunikasi karena anak mengakui orang dewasa sebagai teman dalam meningkatkan komunikasi dan memahami permintaan guru yang ditujukan padanya. Dalam permintaan ini anak sebagai penerima dan penjawab permintaan itu. (Kathleen Ann Quill, 1995).

Ada beberapa perilaku yang diperlukan dan harus dimiliki oleh seorang anak autis yang nonverbal agar menjadi seorang komunikator yang berhasil yaitu pemahaman sebab akibat, keinginan berkomunikasi, dengan siapa dia berkomunikasi, ada sesuatu untuk dikomunikasikan dan makna dari komunikasi. Di dalam komunikasi apabila seorang anak tidak memahami sebab, dia akan mengalami kesulitan dalam meminta seseorang untuk melakukan sesuatu atau membantunya untuk mengambil benda di tempat penyimpanan (rak) yang paling tinggi. Tanpa penalaran sebab akibat anak tidak dapat meminta suatu tindakan atau benda dari orang lain. Memiliki keinginan untuk berkomunikasi dengan orang lain merupakan tugas yang sulit untuk anak-anak yang nonverbal, selama satu dari tantangan utama mereka adalah ketidakmampuan untuk berhubungan dengan orang lain dalam cara yang diharapkan. Mereka tidak mengakui atau memperlihatkan ketertarikan pada orang lain.

Alasan utama dari pernyataan ini karena miskinnya hubungan sebab akibat yang telah dibicarakan di atas. Jika seorang anak tidak memahami bahwa seseorang dapat membantunya atau anak tidak memahami bahwa tindakan akan mengakibatkannya mendapatkan sesuatu.

Jika anak autis tidak memiliki sesuatu untuk dibicarakan dia akan tetap tidak berkomunikasi (noncomunicatif).


Gambar Gejala Autisme dan kenyataannya

FAKTOR PENYEBAB

1. Faktor Genetik

Lebih kurang 20% dari kasus-kasus autisme disebabkan oleh faktor genetik. Penyakit genetik yang sering dihubungkan dengan autisme adalah tuberous sclerosis (17-58%) dan sindrom fragile X (20-30%). Disebut fragile-X karena secara sitogenetik penyakit ini ditandai oleh adanya kerapuhan (fragile) yang tampak seperti patahan diujung akhir lengan panjang kromosom X 4. Sindrome fragile X merupakan penyakit yang diwariskan secara X-linked (X terangkai) yaitu melalui kromosome X. Pola penurunannya tidak umum, yaitu tidak seperti penyakit dengan pewarisan X-linked lainnya, karena tidak bisa digolingkan sebagai dominan atau resesi, laki-laki dan perempuan dapat menjadi penderita maupun pembawa sifat (carrier). (Dr. Sultana MH Faradz, Ph.D, 2003)

2. Ganguan pada Sistem Syaraf

Banyak penelitian yang melaporkan bahwa anak autis memiliki kelainan pada hampir semua struktur otak. Tetapi kelainan yang paling konsisten adalah pada otak kecil. Hampir semua peneliti melaporkan berkurangnya sel purkinye di otak kecil pada autisme. Berkurangnya sel purkinye diduga dapat merangsang pertumbuhan akson, glia dan myelin sehingga terjadi pertumbuhan otak yang abnormal, atau sebaliknya pertumbuhan akson yang abnormal dapat menimbulkan sel purkinye mati. (Dr. Hardiono D. Pusponegoro, SpA(K), 2003).

Otak kecil berfungsi mengontrol fungsi luhur dan kegiatan motorik, juga sebagai sirkuit yang mengatur perhatian dan pengindraan. Jika sirkuit ini rusak atau terganggu maka akan mengganggu fungsi bagian lain dari sistem saraf pusat, seperti misalnya sistem limbik yang mengatur emosi dan perilaku.

3. Ketidakseimbangan Kimiawi

Beberapa peneliti menemukan sejumlah kecil dari gejala autistik berhubungan dengan makanan atau kekurangan kimiawi di badan. Alergi terhadap makanan tertentu, seperti bahan-bahan yang mengandung susu, tepung gandum, daging, gula, bahan pengawet, penyedap rasa, bahan pewarna, dan ragi.

Untuk memastikan pernyataan tersebut, dalam tahun 2000 sampai 2001 telah dilakukan pemeriksaan terhadap 120 orang anak yang memenuhi kriteria gangguan autisme menurut DSM IV. Rentang umur antara 1 – 10 tahun, dari 120 orang itu 97 adalah anak laki-laki dan 23 orang adalah anak perempuan. Dari hasil pemeriksaan diperoleh bahwa anak anak ini mengalami gangguan metabolisme yang kompleks, dan setelah dilakukan pemeriksaan untuk alergi, ternyata dari 120 orang anak yang diperiksa: 100 anak (83,33%) menderita alergi susu sapi, gluten dan makanan lain, 18 anak (15%) alergi terhadap susu dan makanan lain, 2 orang anak (1,66 %) alergi terhadap gluten dan makanan lain. (Dr. Melly Budiman, SpKJ, 2003).

Penelitian lain menghubungkan autism dengan ketidakseimbangan hormonal, peningkatan kadar dari bahan kimiawi tertentu di otak, seperti opioid, yang menurunkan persepsi nyeri dan motivasi

4. Kemungkinan Lain

Infeksi yang terjadi sebelum dan setelah kelahiran dapat merusak otak seperti virus rubella yang terjadi selama kehamilan dapat menyebabkan kerusakan otak. Kemungkinan yang lain adalah faktor psikologis, karena kesibukan orang tuanya sehingga tidak memiliki waktu untuk berkomunikasi dengan anak, atau anak tidak pernah diajak berbicara sejak kecil, itu juga dapat menyebabkan anak menderita autisme.

HAMBATAN-HAMBATAN ANAK AUTIS

Ada beberapa permasalahan yang dialami oleh anak autis yaitu: Anak autis memiliki hambatan kualitatif dalam interaksi sosial artinya bahwa anak autistik memiliki hambatan dalam kualitas berinteraksi dengan individu di sekitar lingkungannya, seperti anak-anak autis sering terlihat menarik diri, acuh tak acuh, lebih senang bermain sendiri, menunjukkan perilaku yang tidak hangat, tidak ada kontak mata dengan orang lain dan bagi mereka yang keterlekatannya terhadap orang tua tinggi, anak akan merasa cemas apabila ditinggalkan oleh orang tuanya.

Sekitar 50 persen anak autis yang mengalami keterlambatan dalam berbicara dan berbahasa. Mereka mengalami kesulitan dalam memahami pembicaran orang lain yang ditujukan pada mereka, kesulitan dalam memahami arti kata-kata dan apabila berbicara tidak pada konteks yang tepat. Sering mengulang kata-kata tanpa bermaksud untuk berkomunikasi, dan sering salah dalam menggunakan kata ganti orang, contohnya menggunakan kata saya untuk orang lain dan menggunakan kata kamu untuk diri sendiri.

Mereka tidak mengkompensasikan ketidakmampuannya dalam berbicara dengan bahasa yang lain, sehingga apabila mereka menginginkan sesuatu tidak meminta dengan bahasa lisan atau menunjuk dengan gerakan tubuh, tetapi mereka menarik tangan orang tuanya untuk mengambil obyek yang diinginkannya. Mereka juga sukar mengatur volume suaranya, kurang dapat menggunakan bahasa tubuh untuk berkomunikasi, seperti: menggeleng, mengangguk, melambaikan tangan dan lain sebagainya.

Anak autis memiliki minat yang terbatas, mereka cenderung untuk menyenangi lingkungan yang rutin dan menolak perubahan lingkungan, minat mereka terbatas artinya mereka apabila menyukai suatu perbuatan maka akan terus menerus mengulang perbuatan itu. anak autistik juga menyenangi keteraturan yang berlebihan.

Lorna Wing (1974) menuliskan dua kelompok besar yang menjadi masalah pada anak autis yaitu:

Masalah dalam memahami lingkungan (Problem in understanding the world)

  1. Respon terhadap suara yang tidak biasa (unusually responses to sounds).
    Anak autis seperti orang tuli karena mereka cenderung mengabaikan suara yang sangat keras dan tidak tergerak sekalipun ada yang menjatuhkan benda di sampingnya. Anak autis dapat juga sangat tertarik pada beberapa suara benda seperti suara bel, tetapi ada anak autis yang sangat tergangu oleh suara-suara tertentu, sehingga ia akan menutup telinganya.

  2. Sulit dalam memahami pembicaraan (Dificulties in understanding speech).
    Anak autis tampak tidak menyadari bahwa pembicaraan memiliki makna, tidak dapat mengikuti instruksi verbal, mendengar peringatan atau paham apabila dirinya dimarahi (scolded). Menjelang usia lima tahun banyak autis yang mengalami keterbatasan dalam memahami pembicaraan.

  3. Kesulitan ketika bercakap-cakap (Difiltuties when talking).
    Beberpa anak autis tidak pernah berbicara, beberapa anak autis belajar untuk mengatakan sedikit kata-kata, biasanya mereka mengulang kata-kata yang diucapkan orang lain, mereka memiliki kesulitan dalam mempergunakan kata sambung, tidak dapat menggunakan kata-kata secara fleksibel atau mengungkapkan ide.

  4. Lemah dalam pengucapan dan kontrol suara (Poor pronunciation and voice control).
    Beberapa anak autis memiliki kesulitan dalam membedakan suara tertentu yang mereka dengar. Mereka kebingungan dengan kata-kata yang hampir sama, memiliki kesulitan untuk mengucapkan kata-kata yang sulit. Mereka biasanya memiliki kesulitan dalam mengontrol kekerasan (loudness) suara.

  5. Masalah dalam memahami benda yang dilihat (Problems in understanding things that are seen).
    Beberapa anak autis sangat sensitif terhadap cahaya yang sangat terang, seperti cahaya lampu kamera (blitz), anak autis mengenali orang atau benda dengan gambaran mereka yang umum tanpa melihat detil yang tampak.

  6. Masalah dalam pemahaman gerak isarat (problem in understanding gesturs).
    Anak autis memiliki masalah dalam menggunakan bahasa komunikasi; seperti gerakan isarat, gerakan tubuh, ekspresi wajah.

  7. Indra peraba, perasa dan pembau (The senses of touch, taste and smell).
    Anak-anak autis menjelajahi lingkungannya melalui indera peraba, perasa dan pembau mereka. Beberapa anak autis tidak sensitif terhadap dingin dan sakit.

  8. Gerakan tubuh yang tidak biasa (Unusually bodily movement).
    Ada gerakan- gerakan yang dilakukan anak autis yang tidak biasa dilakukan oleh anak- anak yang normal seperti mengepak-ngepakan tangannya, meloncat-loncat, dan menyeringai.

  9. Kekakuan dalam gerakan-gerakan terlatih (clumsiness in skilled movements).
    Beberapa anak autis, ketika berjalan nampak anggun, mampu memanjat dan seimbang seperti kucing, namun yang lainnya lebih kaku dan berjalan seperti memiliki bebrapa kesulitan dalam keseimbangan dan biasanya mereka tidak menikmati memanjat. Mereka sangat kurang dalam koordinasi dalam berjalan dan berlari atau sebaliknya.

Masalah gangguan perilaku dan emosi (Dificult behaviour and emotional problems).

  1. Sikap menyendiri dan menarik diri (Aloofness and withdrawal).
    Banyak anak autis yang berprilaku seolah-olah orang lain tidak ada. Anak autis tidak merespon ketika dipanggil atau seperti tidak mendengar ketika ada orang yang berbicara padanya, ekspresi mukanya kosong.

  2. Menentang perubahan (Resistance to change).
    Banyak anak autis yang menuntut pengulangan rutinitas yang sama. Beberapa anak autis memiliki rutinitas mereka sendiri, seperti mengetuk-ngetuk kursi sebelum duduk, atau menempatkan objek dalam garis yang panjang.

  3. Ketakutan khusus (Special fears).
    Anak-anak autis tidak menyadari bahaya yang sebenarnya, mungkin karena mereka tidak memahami kemungkinan konsekuensinya.

  4. Prilaku yang memalukan secara sosial (Socially embarrassing behaviour).
    Pemahaman anak autis terhadap kata-kata terbatas dan secara umum tidak matang, mereka sering berperilaku dalam cara yang kurang dapat diterima secara sosial. anak-anak autis tidak malu untuk berteriak di tempat umum atau berteriak dengan keras di senjang jalan.

  5. Ketidakmampuan untuk bermain (Inability to play).
    Banyak anak autis bermain dengan air, pasir atau lumpur selam berjam-jam. Mereka tidak dapat bermain pura-pura. Anak-anak autis kurang dalam bahasa dan imajinasi, mereka tidak dapat bersama-sama dalam permainan denga anak-anak yang lain.

Autis merupakan salah satu kelompok dari gangguan perkembangan pada anak. Menurut Veskarisyanti (2008) dalam bahasa Yunani dikenal kata autis, “auto” berarti sendiri ditujukan pada seseorang ketika menunjukkan gajala hidup dalam dunianya sendiri atau mempunyai dunia sendiri.

Autisme pertama kali ditemukan oleh Leo Kanner pada tahun 1943. Kanner mendeskripsikan gangguan ini sebagai ketidakmampuan untuk berinteraksi dengan orang lain, gangguan berbahasa yang ditunjukkan dengan penguasaan bahasa yang tertunda, echolalia, pembalikan kalimat, adanya aktivitas bermain repetitive dan stereotype, rute ingatan yang kuat dan keinginan obsesif untuk mempertahankan keteraturan di dalam lingkungannya.

Autisme adalah gangguan perkembangan yang secara umum tampak di tiga tahun pertama kehidupan anak. Gangguan ini berpengaruh pada komunikasi, interaksi sosial, imajinasi dan sikap (Wright, 2007).

Menurut Yuwono (2009) autis merupakan gangguan perkembangan neurobiologis yang sangat kompleks/berat dalam kehidupan yang panjang, yang meliputi gangguan pada aspek interaksi sosial, komunikasi dan bahasa dan perilaku serta gangguan emosi dan persepsi sensori bahkan pada aspek motoriknya. Gejala autistik muncul pada usia sebelum 3 tahun.

Muhammad (2008) menuliskan bahwa anak autisme sering menimbulkan kekeliruan bagi pengasuhnya karena mereka kelihatan normal tetapi memperlihatkan tingkah laku dan pola perkembangan yang berbeda. Pemahaman dan tanggapan yang salah terhadap keadaan ini akan menghambat perkembangan anak yang serius dalam semua bidang, terutama dalam bidang kemampuan sosial dan komunikasi.

Menurut Hadis (2006) anak autisme digolongkan sebagai anak yang mengalami gangguan perkembangan pervasif (Pervasive Developmental Disorders). Kelompok gangguan ditandai dengan adanya abnormalitas secara kualitatif dalam interaksi sosial dan pola komunikasi disertai minat dan gerakan yang terbatas, stereotipik, dan berulang. Pervasif berarti bahwa gangguan tersebut sangat luas dan berat yang mempengaruhi fungsi individu secara mendalam dalam segala situasi.

Safaria (2005) juga menuliskan bahwa secara khas gangguan yang termasuk dalam kategori pervasif ini ditandai dengan distorsi perkembangan fungsi psikologis dasar majemuk yang meliputi perkembangan keterampilan sosial dan berbahasa, seperti perhatian, persepsi, daya nilai terhadap realitas, dan gerakan-gerakan motorik.

Autisme merupakan suatu gangguan perkembangan pervasif yang secara menyeluruh mengganggu fungsi kognitif, emosi dan psikomotorik anak. Oleh sebab itu bisa juga dikatakan sebagai gangguan neurobiologis yang disertai dengan beberapa masalah, seperti autoimunitas, gangguan pencernaan, dysbiosis pada usus, gangguan integrasi sensori, dan ketidakseimbangan susunan asam amino.

Autisme merupakan gangguan perkembangan pervasif yang ciri utamanya adalah gangguan kualitatif pada perkembangan komunikasi baik secara verbal (berbicara dan menulis) dan non verbal (kurang bisa mengekspresikan perasaan dan kadang menunjukkan ekspresi yang kurang tepat) (Peeters, 2004). Hal ini ditandai dengan kurangnya atau tidak adanya bahasa yang diucapkan, tidak adanya inisiatif untuk konversasi, dan pembalikan dalam penggunaan kata terutama kata ganti (Monks, 2002).

Matson (dalam Hadis, 2006) juga mengemukakan bahwa autistik merupakan gangguan perkembangan yang berentetan atau pervasif. Gangguan perkembangan ini terjadi secara jelas pada masa bayi, anak-anak, dan masa remaja. Autistik adalah suatu gangguan perkembangan yang kompleks menyangkut komunikasi, interaksi sosial, dan aktivitas imajinasi dan anak autistik adalah anak yang mempunyai masalah atau gangguan dalam bidang komunikasi, interaksi social, gangguan sensoris, pola bermain, perilaku dan emosi.

Menurut Sastra (2011) autisme adalah gangguan perkembangan otak pada anak yang berakibat tidak dapat berkomunikasi dan tidak dapat mengekspresikan perasaan dan keinginannya, sehingga perilaku hubungan dengan orang lain terganggu. Alhamdi (dalam Sastra 2011) mengatakan autisme adalah suatu gangguan perkembangan dalam bidang komunikasi, interaksi sosial, perilaku, emosi dan sensoris.

Jenis- jenis Autis


Menurut Yatim (2002), autisme terdiri dari 3 jenis yaitu persepsi, reaksi dan yang timbul kemudian.

  1. Autis persepsi
    Autis persepsi merupakan autisme yang timbul sebelum lahir dengan gejala adanya rangsangan dari luar baik kecil maupun besar yang dapat menimbulkan kecemasan. Misalnya pada ibu hamil yang mempunyai genetik autisme dia mempunyai kecemasan akan menurun terhadap janin yang dikandungnya.

  2. Autis reaktif
    Autisme reaktif ditunjukkan dengan gejala berupa penderita membuat gerakan-gerakan tertentu yang berulang-ulang dan kadang disertai kejang dan dapat diamati pada anak usia 6-7 tahun. Anak memiliki sifat rapuh dan mudah terpengaruh pada dunia luar.

  3. Autis yang timbul kemudian
    Jenis autisme ini diketahui setelah anak agak besar dan akan kesulitan dalam mengubah perilakunya karena sudah melekat atau ditambah adanya pengalaman yang baru atau gejala autis terlihat saat anak mulai dewasa.

Menurut McCandless (2003) autis dibagi menjadi dua, yaitu :

  1. Autisme klasik
    Autis sebelum lahir merupakan bawaan yang diturunkan dari orang tua ke anak yang dilahirkan atau sering disebut autis yang disebabkan oleh genetika (keturunan). Kerusakan saraf sudah terdapat sejak lahir, karena saat hamil ibu terinfeksi virus seperti rubella, atau terpapar logam berat berbahaya seperti merkuri dan timbal yang berdampak mengacaukan proses pembentukan sel-sel otak janin.

  2. Autisme regresif
    Muncul saat anak berusia 12 sampai 24 bulan. Sebelumnya perkembangan anak relatif normal, namun sejak usia anak 2 tahun perkembangannya merosot. Anak yang tadinya sudah bisa membuat kalimat beberapa kata berubah menjadi diam dan tidak lagi berbicara. Anak menjadi acuh dan tidak ada lagi kontak mata. Kalangan ahli menganggap autism regresif karena anak terkontaminasi langsung faktor pemicu. Paparan logam berat terutama merkuri dan timbal dari lingkungan merupakan faktor yang paling disorot.

Klasifikasi Autis


Autisme dapat diklasifikasikan menjadi beberapa bagian berdasarkan gejalanya. Sering kali pengklasifikasian disimpulkan setelah anak didiagnosa autis. Klasifikasi ini dapat diberikan melalui Childhood Autism Rating Scale (CARS). Pengklasifikasiannya adalah sebagai berikut :

  1. Autis Ringan
    Pada kondisi ini anak autis masih menunjukkan adanya kontak mata walaupun tidak berlangsung lama. Anak autis ini dapat memberikan sedikit respon ketika dipanggil namanya, menunjukkan ekspresi-ekspresi muka, dan dalam berkomunikasi dua arah meskipun terjadinya hanya sesekali.

  2. Autis Sedang
    Pada kondisi ini anak autis masih menunjukkan sedikit kontak mata namun tidak memberikan respon ketika namanya dipanggil. Tindakan agresif atau hiperaktif, menyakiti diri sendiri, acuh, dan gangguan motorik yang stereopik cenderung agak sulit untuk dikendalikan tetapi masih bisa dikendalikan.

  3. Autis Berat
    Anak autis yang berada pada kategori ini menunjukkan tindakan-tindakan yang sangat tidak terkendali. Biasanya anak autis memukul-mukulkan kepalanya ke tembok secara berulang-ulang dan terus menerus tanpa henti. Ketika orang tua berusaha mencegah, namun anak tidak memberikan respon dan tetap melakukannya, bahkan dalam kondisi berada di pelukan orang tuanya, anak autis tetap memukul-mukulkan kepalanya. Anak baru berhenti setelah merasa kelelahan kemudian langsung tertidur (Mujiyanti, 2011).