Apa yang dimaksud dengan asfiksia neonatorum?

Asfiksia Neonatorum adalah suatu keadaan bayi baru lahir yang gagal bernafas secara spontan dan teratur segera setelah lahir, sehingga dapat menurunkan O2 dan mungkin meningkatkan C02 yang menimbulkan akibat buruk dalam kehidupan lebih lanjut.

Apa yang dimaksud dengan asfiksia neonatorum ?

Asfiksia Neonatorum merupakan keadaan di mana bayi tidak dapat bernapas secara spontan dan teratur segera setelah lahir. Keadaan tersebut dapat disertai dengan adanya hipoksia, hiperkapnea sampai asisdosis.

Pengertian lain menyatakan bahwa asfiksia neonatorum merupakan suatu keadaan bayi baru lahir yang mengalami gangguan tidak segera bernafas secara spontan dan teratur setelah lahir. Asfiksia dapat terjadi selama kehamilan atau persalinan.

Asfiksia dalam kehamilan dapat disebabkan oleh beberapa hal, diantaranya adalah: penyakit yang diderita ibu selama kehamilan seperti hipertensi, paru-paru, gangguan kontraksi uterus pada ibu risiko tinggi kehamilan, keracunan obat bius, uremia, toksemia gravidarum dan anemia berat. Selain faktor ibu, dapat juga terjadi karena faktor plasenta seperti janin dengan solusio plasenta atau juga faktor janin itu sendiri seperti terjadi kelainan pada tali pusat yang menumbung atau melilit pada leher atau juga kompresi tali pusat antara janin dan jalan lahir. Sedangkan selama persalinan, asfiksia dapat disebabkan oleh beberapa hal diantaranya partus lama, ruptura uteri yang membakat, tekanan terlalu kuat kepala anak pada plasenta, prolapsus, pemberian obat bius terlalu banyak dan tidak tepat pada waktunya, plasenta previa, solusia plasenta, plasenta tua (serotinus) (Sofian, 2012).

Etiologi Asfiksia Neonatorum

Penyebab asfiksia neonatorum dapat terjadi karena beberapa faktor, yaitu (Saifudin, 1991):

  1. Faktor ibu:

    • Hipoksia ibu
    • Gangguan aliran darah fetus: Gangguan kontraksi uterus pada hipertoni, hipotoni, tetani uteri, hipotensi mendadak pada ibu karena pendarahan, hipertensi pada penyakit toksemia, eklamsia.
    • Primi tua, ibu dengan diabetes mellitus (DM), anemia, riwayat lahir mati, ketuban pecah dini, infeksi.
  2. Faktor plasenta: Abruptio plasenta, solutio plasenta

  3. Faktor fetus: tali pusat menumbung, lilitan tali pusat, meconium kental, prematuritas, persalinan ganda.

  4. Faktor lama persalinan: persalinan lama, persalinan dengan ekstraksi vakum, kelainan letak, operasi caesar.

  5. Faktor neonates

    • Anestesi/analgetik yang berlainan pada ibu secara langsung dapat menimbulkan depresi pernafasan pada bayi.
    • Trauma lahir sehingga mengakibatkan pendarahan intracranial
    • Kelainan kongenital seperti hernia diafragmatik, atresia/stenosis saluran pernafasan, hipoplasi paru.

Tanda dan Gejala

Ada 2 kriteria asfiksia, yaitu asfiksia pallid dan asfiksia livida. Perbedaan keduanya dapat dilihat pada tabel berikut ini:

Perbedaan Asfiksia pallida Asfiksia livida
Warna kulit Pucat Kebiru-biruan
Tonus otot Sudah kurang Masih baik
Reaksi rangsangan Negative Positif
Bunyi jantung Tak teratur Masih teratur
Prognosis Jelek Lebih baik

Sedangkan berdasarkan penilaian APGAR, asfiksia di klasifikasikan menjadi asfiksia ringan (7- 10), sedang (4-6) dan berat (0-3) dengan tanda dan gejala seperti terlihat pada tabel APGAR SCORE di bawah ini:

Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan adalah (Saifudin, 1991):

  1. Analisa gas darah
  2. Elektrolit darah
  3. Gula darah
  4. Baby gram (RO dada)
  5. USG (kepala)

Discharge Planning


Kejadian asfiksia neonatorum dapat dihindari dengan cara melakukan tindakan pencegahan yang komprehensif mulai dari masa kehamilan, persalinan dan setelah persalinan dengan cara:

  1. Melakukan pemeriksaan antenatal rutin minimal 4 kali kunjungan.
  2. Melakukan rujukan ke fasilitas pelayanan kesehatan yang lebih lengkap pada kehamilan yang diduga berisiko bayinya lahir dengan asfiksia neonatorum.
  3. Memberikan terapi kortikosteroid antenatal untuk persalinan pada usia kehamilan kurang dari 37 minggu.
  4. Melakukan pemantauan yang baik terhadap kesejahteraan janin dan deteksi dini terhadap tanda-tanda asfiksia fetal selama persalinan dengan kardiotokografi.
  5. Meningkatkan ketrampilan tenaga obstetri dalam penanganan asfiksia neonatorum di masing-masing tingkat pelayanan kesehatan.
  6. Meningkatkan kerjasama tenaga obstetri dalam pemantauan dan penanganan persalinan.
  7. Melakukan Perawatan Neonatal Esensial yang terdiri dari:
    • Persalinan yang bersih dan aman
    • Stabilisasi suhu
    • Inisiasi pernapasan spontan
    • Inisiasi menyusu dini
    • Pencegahan infeksi serta pemberian imunisasi.

Setelah persalinan ajarkan pada pasien dan keluarga dalam:

  1. Meningkatkan upaya kardiovaskuer efektif
  2. Memberikan lingkungan termonetral dan mempertahankan suhu tubuh
  3. Mencegah cidera atau komplikasi
  4. Meningkatkan kedekatan orang tua-bayi
  5. Beri asupan ASI sesering mungkin setelah keadaan memungkinkan.

Masalah Yang Sering Muncul


Diagnosa atau masalah yang terjadi pada bayi dengan asfiksia neonatorum di antaranya gangguan pertukaran gas, penurunan kardiac out put, intolerans aktifitas, ganggua perfusi jaringan (renal), resiko tinggi terjadi infeksi, kurangnya pengetahuan.

a. Gangguan Pertukaran Gas

Gangguan pertukaran gas ini dapat terjadi pada bayi dengan asfiksia, hal ini dapat disebabkan oleh karena penyempitan pada arteri pulmonal, peningkatan tahanan pembuluh darah di paru, penurunan aliran darah pada paru, dan lain-lain.

Untuk mengatasi gangguan atau masalah keperawatan tersebut dapat dilakukan intervensi keperawatan di antaranya: melakukan monitoring gas darah, mengkaji denyut nadi, melakukan monitoring sistem jantung, dan paru dengan melakukan resusitasi, memberikan oksigen yang adekuat.

b. Penurunan Cardiac Output

Terjadinya penurunan kardiac out put pada asfiksia neonatorum ini dapat disebabkan karena adanya edema paru dan penyempitan arteri pulmonal, untuk mengatasi masalah tersebut dapat dilakukan monitoring jantung paru, mengkaji tanda vital, memonitor perfusi jaringan tiap 2-4 jam, memonitor denyut nadi, memonitor intake dan out put serta melakukan kolaborasi dalam pemberian vasodilator.

c. Intolerans Aktivitas

Intolerans aktivitas pada asfiksia ini dapat disebabkan karena gangguan pada sistem syaraf pusat yang sangat terangsang dalam kondisi asfiksia, hal ini dapat diatasi dengan melakukan intervensi keperawatan di antaranya menyidiakan stimulasi lingkungan yang minimal, menyediakan monitoring jantung paru, mengurangi sentuhan (stimulasi), memonitor tanda vital, melakukan kolaborasi analgetik sesuai dengan kondisi, memberikan posisi yang nyaman dengan menyediakan bantal dan tempat tidur yang nyaman.

d. Gangguan Perfusi Jaringan (Renal)

Gangguan perfusi jaringan pada asfiksia neonatorum ini dapat disebabkan karena adanya kemungkinan hipovolemia, atau kematian jaringan, kondisi ini dapat diatasi dengan mempertahankan out put, kolaborasi dalam pemberian diuretik sesuai dengan indikasi, memonitor laboratorium urine lengkap dan memonitor pemeriksaan darah.

e. Risiko Tinggi Terjadi Infeksi

Risiko tinggi terjadi infeksi ini dapat terjadi adanya infeksi nosokomial dan respons imun yang terganggu, hal ini dapat diatasi dengan mengurangi tindakan yang menyebabkan terjadinya infeksi nosokomial dengan cara mengkaji dan menyediakan intervensi keperawatan dengan memperhatikan teknik aspetik.

Penatalaksanaan Asfiksia Neonatorum


Merupakan tindakan dengan mempertahankan jalan napas agar tetap baik sehingga proses oksigenasi cukup agar sirkulasi darah tetap baik. Cara pelaksanaan resusistasi sesuai dengan tingkatan asfiksi, antara lain:

a. Asfiksia Ringan (apgar skor 7-10)

  • Bayi dibungkus dengan kain hangat.
  • Bersihkan jalan napas dengan menghisap lendir pada hidung kemudian mulut.
  • Bersihkan badan dan tali pusat.
  • Lakukan observasi tanda vital dan apgar skor dan masukan ke dalam inkubator.

b. Asfiksia Sedang (apgar skor 4-6)

  • Bersihkan jalan napas.
  • Berikan oksigen 2 liter per menit.
  • Rangsang pernapasan dengan menepuk telapak kaki apabila belum ada reaksi, bantu pernapasan dengan melalui masker (ambubag).
  • Bila bayi sudah mulai bernafas tetapi masih sianosis berikan natrium bikarbonat 7,5% sebanyak 6cc. Dekstrosa 40% sebanyak 4 cc disuntikan melalui vena umbilikus secara perlahan-lahan, untuk mencegah tekanan intra kranial meningkat.

c. Asfiksia Berat (apgar skor 0-3)

  • Bersihkan jalan napas sambil pompa melalui ambubag.
  • Berikan oksigen 4-5 liter per menit.
  • Bila tidak berhasil lakukan ETT.
  • Bersihkan jalan nafas melalui ETT.
  • Apabila bayi sudah mulai bernapas tetapi masih sinosis berikan natrium bikarbonat 7,5% sebanyak 6 cc. Dekstrosa 40% sebanyak 4 cc.

Berdasarkan NANDA (2015), masalah keperawatan asfiksia neonatorum adalah:

  1. Ketidakefektifan pola nafas
  2. Gangguan pertukaran gas b.d gangguan aliran darah ke alveoli, alveolar edema, alveoli-perfusi
  3. Resiko ketidak seimbangan suhu tubuh
  4. Resiko syndrome kematian bayi mendadak
  5. Resiko cedera

Asfiksia neonatorum adalah kegagalan napas secara spontan dan teratur pada saat lahir atau beberapa saat setelah saat lahir yang ditandai dengan hipoksemia, hiperkarbia dan asidosis.

Organ pada bayi prematur belum sepenuhnya berkembang, bayi membutuhkan perawatan khusus hingga organ pada bayi tersebut dapat berkembang cukup dalam mendukung kehidupan bayi tanpa dukungan dari alat medis. Pematangan organ mungkin memakan waktu berminggu-minggu hingga berbulan-bulan. Kortikosteroid perlu diberikan 7 hari sebelum kelahiran hingga paling lambat 24 jam sebelum bayi lahir untuk meningkatkan maturasi paru fetus.

Skor apgar adalah suatu metode sederhana yang digunakan untuk menilai keadaan umum bayi sesaat setelah kelahiran. Setiap penilaian diberi angka 0/1/2. Dari hasil penilaian tersebut dapat diketahui apakah bayi normal (vigorous baby = nilai apgar 7-10), asfiksia ringan (nilai apgar 4-6), asfiksia berat (nilai apgar 0-3).

Tabel Skor Apgar
Skor Apgar

Beberapa sumber mendefinisikan asfiksia sebagai berikut:

  • Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI)
    Asfiksia adalah kegagalan napas secara spontan dan teratur pada saat lahir atau beberapa saat setelah lahir yang ditandai dengan hipoksemia, hiperkarbia dan asidosis.

  • World Health Organization (WHO)
    Asfiksia adalah kegagalan bernapas secara spontan dan teratur segera setelah lahir.

  • America Academy of Pediatric (AAP)
    Seorang neonatus bisa disebut asfiksia apabila memenuhi kondisi sebagai berikut:

    • Adanya asidosis (pH <7) pada darah arteri umbilikalis

    • Nilai nilai APGAR setelah menit kelima tetap 0-3

    • Manifestasi neurologis (kejang, hipotoni, koma atau hipoksik iskemik enselopati)

    • Adanya gangguan sistem multiorgan, seperti gangguan kardiovaskular, gastrointestinal, hematologi, pulmoner, atau sistem renal (Prambudi, 2013).

Asfiksia dapat bermanifestasi sebagai disfungsi multiorgan, kejang dan enselopati hipoksik-iskemik, serta asidemia metabolik. Bayi yang mengalami episode hipoksia-iskemi yang signifikan saat lahir memiliki risiko disfungsi dari berbagai organ, dengan disfungsi otak sebagai pertimbangan utama (Lee, et.al, 2008).

Etiologi dan Faktor Risiko Asfiksia


Pengembangan paru bayi baru lahir terjadi pada menit-menit pertama kelahiran dan kemudian disusul dengan pernafasan teratur. Bila terdapat gangguan pertukaran gas atau pengangkutan oksigen dari ibu ke janin, akan terjadi asfiksia janin atau neonatus. Gangguan ini dapat timbul pada masa kehamilan, persalinan atau segera setelah lahir. Hampir sebagian besar asfiksia bayi baru lahir ini merupakan kelanjutan asfiksia janin, karena itu penilaian janin selama masa kehamilan, persalinan memegang peranan yang sangat penting untuk keselamatan bayi. Gangguan yang timbul pada akhir kehamilan atau persalinan hampir selalu disertai anoksia/hipoksia janin dan berakhir dengan asfiksia neonatus dan bayi mendapat perawatan yang adekuat dan maksimal pada saat lahir (Depkes RI, 2008).

Penyebab kegagalan pernafasan pada bayi, adalah :

  • Faktor ibu
    Hipoksia ibu dapat menimbulkan hipoksia janin dengan segala akibatnya. Hipoksia ibu ini dapat terjadi kerena hipoventilasi akibat pemberian obat analgetika atau anastesia dalam. Gangguan aliran darah uterus dapat mengurangi aliran darah pada uterus yang menyebabkan berkurangnya aliran oksigen ke plasenta dan janin. Hal ini sering ditemukan pada keadaan seperti gangguan kontraksi uterus, misalnya hipertoni, hipotoni, atau tetani uterus akibat penyakit atau obat, hipotensi mendadak pada ibu karna perdarahan, hipertensi pada penyakit eklamsi dan lain-lain.

  • Faktor plasenta
    Pertukaran gas antara ibu dan janin dipengaruhi oleh luas dan kondisi plasenta. Asfiksi janin akan terjadi bila terdapat gangguan mendadak pada plasenta, misalnya solusio plasenta, perdarahan plasenta, dan lain-lain.

  • Faktor fetus
    Kompresi umbilikus akan mengakibatkan gangguan aliran darah dalam pembuluh darah umbilikus dan menghambat pertukaran gas antara ibu dan janin. Gangguan aliran darah ini dapat ditemukan pada keadaan tali pusat menumbung, melilit leher, kompresi tali pusat antara janin dan jalan lahir dan lain-lain.

  • Faktor neonatus
    Depresi pusat pernafasan pada BBL dapat terjadi karena pemakaian obat anastesi/analgetika yang berlebihan pada ibu secara langsung dapat menimbulkan depresi pusat pernafasan janin, traoma yang terjadi pada persalinan mosalnya perdarahan intra cranial, kelainan kongenital pada bayi masalnya hernia diafragmatika, atresia atau stenosis saluran pernafasan, hipoplasia paru dan lain-lain. (Depkes RI, 2008)

Faktor risiko pada asfiksia, menurut America Academy Pediatric, 2002, dapat dikategorikan sebagai berikut :

  • Faktor risiko antepartum

    • Primipara Penyakit pada ibu

      • Demam saat kehamilan
      • Hipertensi dalam kehamilan
      • Anemia
      • Diabetes mellitus
      • Penyakit hati dan ginjal
    • Penyakit kolagen dan pembuluh darah

      • Perdarahan antepartum
      • Riwayat kematian neonatus sebelumnya
      • Penggunaan sedasi, analgesi atau anestesi
  • Faktor risiko intrapartum

    • Malpresentasi
    • Partus lama
    • Persalinan yang sulit dan traumatik
    • Mekoneum dalam ketuban
    • Ketuban pecah dini
    • Induksi oksitosin
    • Prolaps tali pusat
  • Faktor resiko janin

    • Prematuritas BBLR
    • Pertumbuhan janin terhambat
    • Kelainan kongenital

Patofisiologi


Kesulitan pada bayi di masa transisi terjadi karena bayi kekurangan oksigen atau kegagalan peningkatan tekanan udara di paru-paru akan mengakibatkan arteriol di paru-paru tetap konstriksi sehingga terjadi penurunan aliran darah ke paru-paru dan pasokan oksigen ke jaringan. Pada beberapa kasus, arteriol di paru-paru gagal untuk berelaksasi walaupun paru-paru sudah terisi dengan udara atau oksigen (Perinasia, 2006).

Pada saat pasokan oksigen berkurang, akan terjadi konstriksi arteriol pada organ seperti usus, ginjal, otot dan kulit, namun demikian aliran darah ke jantung dan otak tetap stabil atau meningkat untuk mempertahankan pasokan oksigen. Penyesuaian distribusi aliran darah akan menolong kelangsungan fungsi organ-organ vital. Walaupun demikian jika kekurangan oksigen berlangsung terus maka terjadi kegagalan fungsi miokardium dan kegagalan peningkatan curah jantung, penurunan tekanan darah, yang mengkibatkan aliran darah ke seluruh organ akan berkurang.

Sebagai akibat dari kekurangan perfusi oksigen dan oksigenasi jaringan, akan menimbulkan kerusakan jaringan otak yang irreversible, kerusakan organ tubuh lain, atau kematian. Keadaan bayi yang membahayakan akan memperlihatkan satu atau lebih tanda-tanda klinis seperti tonus otot buruk karena kekurangan oksigen pada otak, otot dan organ lain;

  • depresi pernapasan karena otak kekurangan oksigen;

  • bradikardia (penurunan frekuensi jantung) karena kekurangan oksigen pada otot jantung atau sel otak;

  • tekanan darah rendah karena kekurangan oksigen pada otot jantung, kehilangan darah atau kekurangan aliran darah yang kembali ke plasenta sebelum dan selama proses persalinan;

  • takipnu (pernapasan cepat) karena kegagalan absorbsi cairan paru-paru;

  • sianosis karena kekurangan oksigen di dalam darah (Perinasia, 2006).

Frekuensi jantung mulai menurun pada saat bayi mengalami apnu primer, sedangkan tekanan darah akan tetap bertahan sampai dimulainya apnu sekunder.

Perubahan frekuensi jantung dan tekanan darah selama apnu
Gambar Perubahan frekuensi jantung dan tekanan darah selama apnu. Sumber : America Academy of Pediatric dan America Heart Association. Buku panduan resusitasi neonatus. Edisi ke-5, 2006

Bayi dapat berada pada fase antara apnu primer dan apnu dan seringkali keadaan yang membahayakan ini dimulai sebelum atau selama persalinan. Akibatnya saat lahir, sulit untuk menilai berapa lama bayi telah berada dalam keadaan membahayakan. Pemeriksaan fisik tidak dapat membedakan antara apnu primer dan sekunder, namun respon pernapasan yang ditunjukkan akan dapat memperkirakan kapan mulai terjadi keadaan yang membahayakan itu (Perinasia, 2006).

Jika bayi menunjukkan tanda pernapasan segera setelah dirangsang, itu adalah apnu primer. Jika tidak menunjukkan perbaikan apa-apa, ia dalam keadaan apnu sekunder. Sebagai gambaran umum, semakin lama seorang bayi dalam keadaan apnu sekunder, semakin lama pula dia bereaksi untuk dapat memulai pernapasan. Walau demikian, segera setelah ventilasi yang adekuat, hampir sebagian besar bayi baru lahir akan memperlihatkan gambaran reaksi yang sangat cepat dalam hal peningkatan frekuensi jantung (Perinasia, 2006).

Jika setelah pemberian ventilasi tekanan positif yang adekuat, ternyata tidak memberikan respons peningkatan frekuensi jantung maka keadaan yang membahayakan ini seperti gangguan fungsi miokardium dan tekanan darah, telah jatuh pada keadaan kritis. Pada keadaan seperti ini, pemberian kompresi dada dan obat-obatan mungkin diperlukan untuk resusitasi (Perinasia, 2006).

Pengkajian klinis


Menurut Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal (2009) pengkajian pada asfiksia neonatorum untuk melakukan resusitasi semata-mata ditentukan oleh tiga hal penting, yaitu :

  • Pernafasan
    Observasi pergerakan dada dan masukan udara dengan cermat. Lakukan auskultasi bila perlu lalu kaji pola pernafasan abnormal, seperti pergerakan dada asimetris, nafas tersengal, atau mendengkur. Tentukan apakah pernafasannya adekuat (frekuensi baik dan teratur), tidak adekuat (lambat dan tidak teratur), atau tidak sama sekali.

  • Denyut jantung
    Kaji frekuensi jantung dengan mengauskultasi denyut apeks atau merasakan denyutan umbilicus. Klasifikasikan menjadi >100 atau <100 kali per menit. Angka ini merupakan titik batas yang mengindikasikan ada atau tidaknya hipoksia yang signifikan.

  • Warna
    Kaji bibir dan lidah yang dapat berwarna biru atau merah muda. Sianosis perifer (akrosianosis) merupakan hal yang normal pada beberapa jam pertama bahkan hari. Bayi pucat mungkin mengalami syok atau anemia berat. Tentukan apakah bayi berwarna merah muda, biru, atau pucat.

Ketiga observasi tersebut dikenal dengan komponen skor apgar. Dua komponen lainnya adalah tonus dan respons terhadap rangsangan menggambarkan depresi SSP pada bayi baru lahir yang mengalami asfiksia kecuali jika ditemukan kelainan neuromuscular yang tidak berhubungan.

Nilai Apgar pada umumnya dilaksanakan pada 1 menit dan 5 menit sesudah bayi lahir. Akan tetapi, penilaian bayi harus dimulai segera sesudah bayi lahir. Apabila bayi memerlukan intervensi berdasarkan penilaian pernafasan, denyut jantung atau warna bayi, maka penilaian ini harus dilakukan segera. Intervensi yang harus dilakukan jangan sampai terlambat karena menunggu hasil penilaian Apgar 1 menit. Kelambatan tindakan akan membahayakan terutama pada bayi yang mengalami depresi berat (Saifuddin, 2009).

Walaupun Nilai Apgar tidak penting dalam pengambilan keputusan pada awal resusitasi, tetapi dapat menolong dalam upaya penilaian keadaan bayi dan penilaian efektivitas upaya resusitasi. Jadi nilai Apgar perlu dinilai pada 1 menit dan 5 menit. Apabila nilai Apgar kurang dari 7 penilaian nilai tambahan masih diperlukan yaitu tiap 5 menit sampai 20 menit atau sampai dua kali penilaian menunjukkan nilai 8 dan lebih (Saifuddin, 2009).

Skor Apgar dapat dilihat pada Tabel berikut:

Tabel Skor Apgar

Skor 0 1 2
Frekuensi jantung Tidak ada <100x/menit >100x/menit
Usaha pernafasan Tidak ada Tidak teratur, lambat Teratur, menangis
Tonus otot Lemah Beberapa tungkai fleksi Semua tungkai fleksi
Iritabilitas reflex Tidak ada Menyeringai Batuk/menangis
Warna kulit Pucat Biru Merah muda

Penegakkan Diagnosis


Anamnesis

Anamnesis diarahkan untuk mencari faktor risiko terhadap terjadinya asfiksia neonatorum.

Pemeriksaan fisis

  • Bayi tidak bernafas atau menangis

  • Denyut jantung kurang dari 100x/menit Tonus otot menurun

  • Bisa didapatkan cairan ketuban ibu bercampur mekonium, atau sisa mekonium pada tubuh bayi

  • BBLR

Pemeriksaan penunjang

Laboratorium : hasil analisis gas darah tali pusat menunjukkan hasil asidosis pada darah tali pusat:

  • PaO2 < 50 mm H2O
  • PaCO2 > 55 mm H2
  • pH < 7,30

Bila bayi sudah tidak membutuhkan bantuan resusitasi aktif, pemeriksaan penunjang diarahkan pada kecurigaan atas komplikasi, berupa:

  • Darah perifer lengkap

  • Analisis gas darah sesudah lahir

  • Gula darah sewaktu

  • Elektrolit darah (Kalsium, Natrium, Kalium)

  • Ureum kreatinin

  • Laktat

  • Pemeriksaan radiologi/foto dada

  • Pemeriksaan radiologi/foto abdomen tiga posisi

  • Pemeriksaan USG Kepala

  • Pemeriksaan EEG

  • CT scan kepala (Depkes RI, 2008).

Penatalaksanaan


Sebagian besar bayi baru lahir tidak membutuhkan intervensi dalam mengatasi transisi dari intrauterin ke ekstrauterin, namun sejumlah kecil membutuhkan berbagai derajat resusitasi.

Persiapan resusitasi

  • Satu tenaga terampil terlatih untuk resusitasi, yang dapat melakukan resusitasi secara lengkap

  • Tenaga tambahan

  • Peralatan resusitasi yang memadai

  • Tindakan pencegahan infeksi (Prambudi, 2013)

Peralatan/bahan yang disiapkan

  • Perlengkapan penghisapan :

    • Bulb Syringe / balon penghisap

    • Alat penghisap lendir

    • Kateter penghisap, ukuran 5, 6, 8, 10, 12, 14 Fr

    • Penghisap mekanik, tabung, dan selangnya

    • Penghisap mekonium/konektor Perlengkapan ventilasi balon dan sungkup :

    • Balon resusitasi neonatus dengan katup pelepas tekanan

    • Reservoar oksigen untuk memberikan O2 90-100%

    • Sungkup wajah dengan bantalan pinggir, ukuran untuk neonatus cukup bulan dan prematur

    • Oksigen dengan prematur aliran (flowmeter) dan pipa oksigen

  • Peralatan intubasi :

    • Laringoskop dengan daun lurus, No. O (prematur) dan No. 1 (neonatus cukup bulan)

    • Lampu dan baterai cadangan untuk laringoskop

    • Pipa ET 2,5; 3; 3,5; 4 mm

    • Stilet

  • Obat-obatan/bahan

    • Epinefrin 1:10.000

    • Obat pengembang volume/plasma expander, satu/lebih dari:

      • Salin normal

      • Larutan ringer laktat

      • Darah utuh (whole blood) golongan darah O negatif

    • Natrium bikarbonat 4,2%

    • Dekstrosa 10%

    • Nalokson

    • Aqua steril

    • Kateter umbilikal/pengganti kateter umbilikal (Prambudi, 2013)

Resusitasi neonatus

Secara garis besar pelaksanaan resusitasi adalah sebagai berikut:

Pada pemeriksaan atau penilaian awal dilakukan dengan menjawab 3 pertanyaan:

  • apakah bayi cukup bulan?

  • apakah bayi bernapas atau menangis?

  • apakah tonus otot bayi baik atau kuat?

Bila semua jawaban ”ya” maka bayi dapat langsung dimasukkan dalam prosedur perawatan rutin dan tidak dipisahkan dari ibunya. Bayi dikeringkan, diletakkan di dada ibunya dan diselimuti dengan kain linen kering untuk menjaga suhu.

Bila terdapat jawaban ”tidak” dari salah satu pertanyaan di atas maka bayi memerlukan satu atau beberapa tindakan resusitasi berikut ini secara berurutan:

  1. Langkah awal dalam stabilisasi

    • Memberikan kehangatan

    • Memposisikan bayi dengan sedikit menengadahkan kepalanya

    • Membersihkan jalan napas sesuai keperluan

    • Mengeringkan bayi, merangsang pernapasan dan meletakkan pada posisi yang benar

  2. Ventilasi tekanan positif

    • Pastikan bayi diletakkan dalam posisi yang benar.

    • Agar VTP efektif, kecepatan memompa (kecepatan ventilasi) dan tekanan ventilasi harus sesuai.

    • Kecepatan ventilasi sebaiknya 40-60 kali/menit.

    • Tekanan ventilasi yang dibutuhkan sebagai berikut, Nafas pertama setelah lahir, membutuhkan: 30-40 cm H2O. Setelah nafas pertama, membutuhkan: 15-20 cm H2O. Bayi dengan kondisi atau penyakit paru-paru yang berakibat turunnya compliance, membutuhkan: 20-40 cm H2O. Tekanan ventilasi hanya dapat diatur apabila digunakan balon yang mempunyai pengukuran tekanan.

    • Observasi gerak dada bayi: adanya gerakan dada bayi turun naik merupakan bukti bahwa sungkup terpasang dengan baik dan paru-paru mengembang. Bayi seperti menarik nafas dangkal. Apabila dada bergerak maksimum, bayi seperti menarik nafas panjang, menunjukkan paru-paru terlalu mengembang, yang berarti tekanan diberikan terlalu tinggi. Hal ini dapat menyebabkan pneumothoraks.

    • Observasi gerak perut bayi: gerak perut tidak dapat dipakai sebagai pedoman ventilasi yang efektif. Gerak paru mungkin disebabkan masuknya udara ke dalam lambung.

    • Penilaian suara nafas bilateral: suara nafas didengar dengan menggunakan stetoskop. Adanya suara nafas di kedua paru-paru merupakan indikasi bahwa bayi mendapat ventilasi yang benar.

    • Observasi pengembangan dada bayi: apabila dada terlalu berkembang, kurangi tekanan dengan mengurangi meremas balon. Apabila dada kurang berkembang, mungkin disebabkan oleh salah satu penyebab berikut: perlekatan sungkup kurang sempurna, arus udara terhambat, dan tidak cukup tekanan.
      Apabila dengan tahapan diatas dada bayi masih tetap kurang berkembang sebaiknya dilakukan intubasi endotrakea dan ventilasi pipa-balon (Saifuddin, 2009).

  3. Kompresi dada

    Teknik kompresi dada ada 2 cara:

    • Teknik ibu jari (lebih dipilih)

      • Kedua ibu jari menekan sternum, ibu jari tangan melingkari dada dan menopang punggung

      • Lebih baik dalam megontrol kedalaman dan tekanan konsisten

      • Lebih unggul dalam menaikan puncak sistolik dan tekanan perfusi coroner

    • Teknik dua jari

      • Ujung jari tengah dan telunjuk/jari manis dari 1 tangan menekan sternum, tangan lainnya menopang punggung

      • Tidak tergantung

      • Lebih mudah untuk pemberian obat

    Kedalaman dan tekanan

    • Kedalaman ±1/3 diameter anteroposterior dada

    • Lama penekanan lebih pendek dari lama pelepasan curah jantung maksimum

    Koordinasi VTP dan kompresi dada

    • 1 siklus : 3 kompresi + 1 ventilasi (3:1) dalam 2 detik

    • Frekuensi: 90 kompresi + 30 ventilasi dalam 1 menit (berarti 120 kegiatan per menit)

    Untuk memastikan frekuensi kompresi dada dan ventilasi yang tepat, pelaku kompresi mengucapkan “satu – dua – tiga - pompa-…” (Prambudi, 2013).

  4. Intubasi endotrakeal

    Langkah 1: Persiapan memasukkan laringoskopi

    • Stabilkan kepala bayi dalam posisi sedikit tengadah

    • Berikan O2 aliran bebas selama prosedur

    Langkah 2: Memasukkan laringoskopi

    • Daun laringoskopi di sebelah kanan lidah

    • Geser lidah ke sebelah kiri mulut

    • Masukkan daun sampai batas pangkal lidah

    Langkah 3: Angkat daun laringoskop

    • Angkat sedikit daun laringoskop

    • Angkat seluruh daun, jangan hanya ujungnya

    • Lihat daerah farings

    • Jangan mengungkit daun

    Langkah 4: Melihat tanda anatomis

    • Cari tanda pita suara, seperti garis vertical pada kedua sisi glottis (huruf “V” terbalik)

    • Tekan krikoid agar glotis terlihat

    • Bila perlu, hisap lender untuk membantu visualisasi

    Langkah 5: Memasukkan pipa

    • Masukkan pipa dari sebelah kanan mulut bayi dengan lengkung pipa pada arah horizontal

    • Jika pita suara tertutup, tunggu sampai terbuka

    • Memasukkan pipa sampai garis pedoman pita suara berada di batas pita suara

    • Batas waktu tindakan 20 detik (Jika 20 detik pita suara belum terbuka, hentikan dan berikan VTP)

    Langkah 6: mencabut laringoskop

    • Pegang pipa dengan kuat sambil menahan kearah langit-langit mulut bayi, cabut laringoskop dengan hati-hati.

    • Bila memakai stilet, tahan pipa saat mencabut stilet. (Prambudi, 2013).

  5. Pemberian epinefrin dan atau pengembang volume (volume expander)

    • Epinefrin

      • Larutan = 1 : 10.000

      • Cara = IV (pertimbangkan melalui ET bila jalur IV sedang disiapkan)

      • Dosis : 0,1 – 0,3 mL/kgBB IV

      • Persiapan = larutan 1 : 10.000 dalam semprit 1 ml (semprit lebih besar diperlukan untuk pemberian melalui pipa ET. Dosis melalui pipa ET 0,3-1,0 mL/kg)

      • Kecepatan = secepat mungkin

      Jangan memberikan dosis lebih tinggi secara IV.

    • Bikarbonat Natrium 4,2%

    • Dekstron 10%

    • Nalokson (Prambudi, 2013).

Keputusan untuk melanjutkan dari satu kategori ke kategori berikutnya ditentukan dengan penilaian 3 tanda vital secara simultan (pernapasan, frekuensi jantung dan warna kulit). Waktu untuk setiap langkah adalah sekitar 30 detik, lalu nilai kembali, dan putuskan untuk melanjutkan ke langkah berikutnya. Berikut algoritma dari resusitasi asfiksia neonatorum,

Algoritma Resusitasi Asfiksia
Gambar Algoritma Resusitasi Asfiksia. Sumber : American Academy of Pediatrics dan American Heart Association, Edisi ke-6. 2010.

Asfiksia neonatorum adalah keadaan gawat bayi yang tidak dapat bernafas spontan dan teratur, sehingga dapat meurunkan oksigen dan makin meningkatkan karbon dioksida yang menimbulkan akibat buruk dalam kehidupan lebih lanjut (Manuaba, 2007).

Asfiksia neonaturum adalah keadaan bayi baru lahir yang tidak dapat bernapas spontan dan teratur dalam satu menit setelah lahir (Mansjoer,2005).

Asfiksia neonatorum adalah kegagalan bernapas yang terjadi secara spontan dan teratur pada saat lahir atau beberapa saat setelah lahir. Hal ini disebabkan oleh hipoksia janin dalam uterus dan hipoksia ini berhubungan dengan faktor-faktor yang timbul dalam kehamilan, persalinan, atau segera setelah bayi lahir. Akibat-akibat asfiksia akan bertambah buruk apabila penanganan bayi tidak dilakukan secara sempurna. Tindakan yang akan dikerjakan pada bayi bertujuan mempertahankan kelangsungan hidupnya dan membatasi gejala-gejala lanjut yang mungkin timbul (Manuaba, 2007).

Klasifikasi Asfiksiaa

Menurut Mochtar (2008), klasifikasi klinis asfiksia dibagi dalam 2 macam, yaitu sebagai berikut :

  1. Asfiksia Livida yaitu asfiksia yang memiliki ciri meliputi warna kulit kebiru-biruan, tonus otot masih baik, reaksi rangsangan masih positif, bunyi jantung reguler, prognosis lebih baik.
  2. Asfiksia Pallida yakni asfiksia dengan ciri meliputi warna kulit pucat, tonus otot sudah kurang, tidak ada reaksi rangsangan, bunyi jantung irreguler, prognosis jelek.

Patofisiologi

Pernapasan spontan bayi baru lahir tergantung pada keadaan janin pada masa hamil dan persalinan. Proses kelahiran sendiri selalu menimbulkan asfiksia ringan yang bersifat sementara. Proses ini sangat perlu untuk merangsang hemoreseptor pusat pernapasan untuk terjadinya usaha pernapasan yang pertama yang kemudian akan berlanjut menjadi pernapasan yang teratur.

Pada penderita asfiksia berat usaha napas ini tidak tampak dan bayi selanjutnya dalam periode apneu. Pada tingkat ini disamping penurunan frekuensi denyut jantung (bradikardi) ditemukan pula penurunan tekanan darah dan bayi nampak lemas (flasid). Pada asfiksia berat bayi tidak bereaksi terhadap rangsangan dan tidak menunjukan upaya bernapas secara spontan.

Pada tingkat pertama gangguan pertukaran gas/transport O2 (menurunnya tekanan O2 darah) mungkin hanya menimbulkan asidosis respiratorik, tetapi bila gangguan berlanjut maka akan terjadi metabolisme anaerob dalam tubuh bayi sehingga terjadi asidosis metabolik, selanjutnya akan terjadi perubahan kardiovaskuler. Asidosis dan gangguan kardiovaskuler dalam tubuh berakibat buruk terhadap sel-sel otak, dimana kerusakan sel-sel otak ini dapat menimbulkan kematian atau gejala sisa (squele) (Depkes RI, 2005).

Diagnosis

Asfiksia yang terjadi pada bayi biasanya merupakan kelanjutan dari hipoksia janin. Menurut Saifuddin (2002) diagnosis hipoksia dapat dibuat ketika dalam persalinan yakni saat ditemukannya tanda-tanda gawat janin. Tiga hal yang perlu mendapat perhatian antara lain :

  1. Denyut jantung janin
    Frekuensi normal denyut jantung janin adalah antara 120 sampai 160x/menit. Selama his frekuensi tersebut bisa turun, tetapi di luar his kembali lagi kepada keadaan semula. Peningkatan kecepatan denyut jantung umumnya tidak banyak artinya, namun apabila frekuensi turun sampai dibawah 100 per menit di luar his dan terlebih jika tidak teratur, hal tersebut merupakan tanda bahaya.

  2. Mekonium dalam air ketuban
    Pada presentasi kepala mungkin menunjukan gangguan oksigenasi dan harus menimbulkan kewaspadaan. Adanya mekonium dalam air ketuban pada presentasi kepala dapat merupakan indikasi untuk mengakhiri persalinan bila hal tersebut dapat dilakukan dengan mudah.

  3. Pemeriksaan darah janin
    Dengan menggunakan amnioskop yang dimasukan melalui servik yang dibuat sayatan kecil pada kulit kepala janin, dan diambil contoh darah janin. Darah tersebut diperiksa pH nya, adanya asidosis menyebabkan turunnya pH. Apabila pH turun sampai 7.2 hal tersebut dianggap sebagai tanda bahaya.

    Kelahiran yang telah menunjukan tanda-tanda gawat janin dimungkinkan akan dissertai dengan asfiksia neonatorum. Oleh karena itu perlu diadakan persiapan untuk menghadapi keadaan tersebut jika terdapat asfiksia. Tingkatannya perlu diketahui untuk melakukan tindakan resusitasi yang sempurna. Hal tersebut diketahui dengan penilaian menurut APGAR.

    Untuk menentukan tingkat asfiksia dengan tepat membutuhkan pengalaman dan observasi klinis serta penilaian yang tepat, sehingga pada tahun 1953-1958 seorang bernama Virginia Apgar mengusulkan beberapa kriteria klinis untuk menentukan keadaan neonatus. Menurut Novita (2011), nilai APGAR pada umumnya dilaksanakan pada 1 menit dan 5 menit sesudah bayi lahir. akan tetapi, penilaian bayi harus segera dimulai sesudah bayi lahir. apabila memerlukan intervensi berdasarkan penilaian pernafasan, denyut jantung atau warna bayi, maka penilaian ini harus segera dilakukan.

    Nilai APGAR dapat menolong dalam upaya penilaian keadaan bayi dan penilaian efektivitas upaya resusitasi. Apabila nilai APGAR kurang dari 7 maka penilaian nilai tambahan masih diperlukan yaitu 5 menit sampai 20 menit atau sampai dua kali penilaian menunjukan nilai 8 atau lebih.

    Penilaian untuk melakukan resusitasi semata-mata ditentukan oleh tiga tanda penting yaitu pernafasan, denyut jantung, dan warna kulit. Resusitasi yang efektif bertujuan memberikan ventilasi yang adekuat, pemberian oksigen, dan curah jantung yang cukup untuk menyalurkan oksigen ke otak, jantung dan alat vital lainnya (Novita, 2011).

    Patokan klinis yang dihitung meliputi menghitung frekuensi jantung, melihat usaha bernapas, menilai tonus otot, menilai reflek rangsangan, memperlihatkan warna kulit. Setiap bayi yang dilahirkan kemudian menangis biasanya hidup, sedangkan bayi lahir tidak menangis biasanya cepat meninggal, hal tersebut dikemukakan oleh Virginia Apgar.

    Oleh karenanya beliau membuat daftar penilaian dengan mengobservasi pada menit pertama dan menit kelima setelah lahir. pada menit pertama untuk menunjukan beratnya asfiksia dan menentukan kemungkinan hidup selanjutnya, sedangkan menit kelima untuk menentukan gejala sisa (Ilyas, 2004).

Penanganan pada asfiksia neonatorum

Asfiksia bayi biasanya merupakan kelanjutan dari anoksia/hipoksia janin. Resusitasi dapat dilihat dariberat ringannya derajat asfiksia, yaitu dengan cara menghitung nilai APGAR (Novita, 2011). Menurut Novita (2011), prinsip melakukan tindakan resusitasi yang perlu diingat adalah :

  1. Memberikan lingkungan yang baik pada bayi dan mengusahakan saluran pernapasan tetap bebas serta merangsang timbulnya pernapasan, yaitu agar oksigen dan pengeluaran CO2berjalan lancar.
  2. Memberikan bantuan pernapasan secara aktif pada bayi yang menunjukan usaha pernapasan lemah.
  3. Melakukan koreksi terhadap asidosisyang terjadi.
  4. Menjaga agar sirkulasi darah tetap baik.

Menurut Ilyas (2004), alat-alat resusitasi yang perlu dipersiapkan meliputi sebagai berikut :

  1. Meja resusitasi dengan kemiringan kurang dari 10 derajat.
  2. Guling kecil untuk menyangga/ekstensi
  3. Lampu untuk memanaskan badan bayi
  4. Penghisap slim
  5. Oksigen
  6. Spuit ukuran 2,5cc atau 10cc g. Penlon back atau penlon masker
  7. ETT (endo trakheal tube)
  8. Laringoskop
  9. Obat-obatan (natrium bikarbonat 7,5% (meylon), dekstrose 40%, kalsium glukonas, dekstrose 5%, dan infus set).

Menurut Novita (2011), resusitasi dilakukan sesuai dengan derajat asfiksia. Penatalaksanaan penanganan bayi dengan asfiksia bertujuan untuk mempertahankan kelangsungan hidup dan membatasi gejala sisa.

  1. Asfiksia ringan-bayi normal (skor apgar 7-10)
    Tidak memerlukan tindakan yang istimewa, seperti pemberian lingkungan suhu yang baik pada bayi, pembersihan jalan napas bagian atas dari lendir dan sisa-sisa darah, jika diperlukan memberikan rangsangan, selanjutnya observasi suhu tubuh, apabila cenderung turun untuk sementara waktu dapat dimasukan kedalam inkubator.

  2. Asfiksia sedang (skor apgar 4-6)
    Menerima bayi dengan kain yang telah dihangatkan, kemudian membersihkan jalan nafas. Melakukan stimulasi agar timbul refleks pernapasan. Bila dalam 30-60 detik tidak timbul pernapasan spontan, ventilasi aktif harus segera dimulai. Ventilasi yang aktif yang sederhana dapat dilakukan secara ‘frog brething’. Cara tersebut dikerjakan dengan meletakan kateter O2 intranasal dan O2 dialirkan dengan 1-2 liter/menit.

    Agar saluran napas bebas, bayi diletakan dalam posisi dorsofleksi kepala. Apabila belum berhasil maka lakukan tindakan rangsangan pernapasan dengan menepuk-nepuk telapak kaki, bila tidak berhasil juga maka pasang penlon masker kemudian di pompa 60x/menit. Bila bayi sudah mulai bernafas tetapi masih sianosis, berikan kolaborasi terapi natrium bikarbonat 7,5% dengan dosis 2-4 cc/kg berat badan bersama dektrose 40% sebanyak 1-2 cc/kg berat badan dan diberikan melalui umbilikalis.

  3. Asfiksia berat (skor apgar 0-3)
    Menerima bayi dengan kain hangat, kemudian membersihkan jalan nafas sambil memompa jalan nafas dengan ambu bag. Berikan oksigen 4-5 liter/menit. Apabila tidak berhasil biasanya dipasang ETT (endo tracheal tube), selanjutnya bersihkan jalan nafas melalui lubang ETT. Bila bayi bernafas namun masih sianosis maka berikan tindakan kolaborasi berupa natrium bikarbonat 7,5% sebanyak 6cc dan dektrose 40% sebanyak 4cc. Bila asfiksia berkelanjutan, maka bayi masuk ICU dan infus terlebih dahulu.